Anda di halaman 1dari 10

RELIGIOSITAS DALAM POSTMODERNISME

(Beriman Dalam Kemustahilan)


Dr. Felix Baghi

1. Pengertian
Saya ingin mulai dari apa yang disebut tradisi Latin religiosus, atau orang Prancis bilang
religiosité.1 Dengan religiosus kita tidak berbicara tentang manusia religius dalam arti yang
mutlak. Tidak juga berhubungan dengan manusia beriman atau orang beragama. Religiosus
juga tidak berkenaan dengan orang religius yang mengikrarkan kaul-kaul kebiaraan.
Religiosus adalah aspek yang murni sentimental dari orang yang beriman atau tidak beriman,
beragama atau tidak beragama dengan tanpa adhesi atau kelekatan formal pada normativitas
agama.
Mangunwijaya melihat religiositas sebagai "aspek yang berada di dalam lubuk hati, riak
getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit misteri bagi orang lain, karena
menapaskan intimitas jiwa,....cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa
manusiawi) kedalaman si pribadi manusia.”2 Makna religiositas tidak saja berhubungan
dengan doktrin komprehensif beriman atau formalitas beragama. Ia berkenaan dengan
totalitas sentimental manusia yang melampaui semua unsur konvensi termasuk iman atau
institusi agama.
Secara singkat, religiositas lebih berhubungan dengan cara keberadaan subjek yang memiliki
cita rasa dalam keintiman dengan yang kudus tanpa keniscayaan relasi dengan formalitas
institusional yang partikular.3 Memang, tak dapat dipungkiri bahwa sinonim pengertian ini
dapat juga dikaitkan dengan iman, devosi, kekudusan, dan spiritualitas.
2. Metafora Jalan
Heidegger berbicara tentang unterwegs, to be on the way, atau eksistensi manusia yang
senantiasa berada di jalan. Kondisi ini bukan suatu pilihan melainkan sesuatu yang
eksistensial. Namun, sesuatu yang eksistensial itu perlu diberi penegasan agar pilihan itu
menjadi sesuatu yang lebih spesifik. Kita adalah orang-orang beriman, beragama, atau
sebagian lagi adalah orang-orang religius yang memilih jalan panggilan yang khusus, maka
sebaiknya pembicaraan kita tentang religiositas dimulai dari religio dan iman. Saya mengajak
kita untuk mulai dari Surat Pertama Santu Petrus ini: "sebab untuk itu kamu dipanggil, karena
Kristus-pun telah menderita untuk kamu, dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya
kamu mengikuti jejak-Nya (I Pet. 2: 2 1). Yang hendak digarisbawahi di sini adalah panggilan
mengikuti “jejak-Nya.” Dalam konteks kekristenan, religiositas lebih berkenaan dengan
hidup dan perbuatan orang-orang yang "mengikuti jejak-Nya."
Asosiasi kita dalam hubungan dengan "mengikuti jejak-Nya" adalah orang-orang yang berada
dalam perjalanan. Telah berabad-abad, para guru rohani berbicara tentang kehidupan spiritual
sebagai spiritual journey. Menjadi religius dalam pengertian yang terdalam berarti menjadi
orang yang sedang menempuh perjalanan kerohanian. Dia adalah pencari, atau orang yang

1
Le Petit Robert, Dictionaire de la Langue Française, (Paris:Dictionnaires le Robert, 1993), 1919.
2
Y.B Mangunwijya, Sastra dan Religiositas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988, 12.
3
“Maniera soggettiva di sentire i rapporti col divino, non necessariamente legata a un aparticolare religione storica.”
Garzanti, Dizionario Italiano, con sinonomi e contrario, Roma: Garzanti Editore, 2003, 1831.

1
hidup dalam pencarian. Corak hidup sebagai pencari tentu berlawanan dengan corak hidup
orang yang senantiasa puas, berada dalam kesempurnaan.
Kalau religiositas berhubungan dengan intimitas dan cita rasa tentang totalitas kedalaman
pribadi manusia, maka intimitas dan cita rasa ini bukan a fait accompli, sesuatu kenyataan
yang sempurna pada saat sekarang. la berhubungan dengan dinamisme dan kreativitas dalam
perjalanan hidup. Dinamisme dan kreativitas ini digerakan oleh mimpi tentang sesuatu yang
belum ada atau belum terjadi dengan dirinya. Mimpi itu mengundang dia untuk selalu
bertanya mengapa?
Selain itu, mimpi dan kreativitas adalah bagian dari orang-orang yang mempunyai janji.
Mereka adalah the people of promise. Orang yang mempunyai harapan meskipun tidak
mempunyai dasar untuk berharap. Dia adalah orang yang tidak pernah berhenti mengikuti
jejak-Nya. Dia adalah orang-orang yang selalu mau menyeberang, making a crossing, selalu
menjelajahi dirinya, mengatasi hidupnya untuk sesuatu yang lebih. St. Agustinus dalam
confessionesnya berbicara tentang cor inquietum atau jiwa yang tidak pernah beristirahat
(restless heart), jiwa yang tidak pernah tenang sebelum berada di dalam Tuhan. "Jiwaku tidak
akan tenang, tidak akan beristirahat sebelum berdiam di dalam Engkau".
Jauh sebelum agama-agama monoteistik hidup, kerohanian manusia dilukiskan dalam
metafora jalan. Lao Tze menyebut Tao sebagai jalan. Di hadapan para murid-Nya, Yesus
menyebut diri-Nya sebagai jalan. Religiositas oleh karena itu, harus berhubungan dengan
sebuah jalan. Jalan itu berawal dari masa lalu ke masa sekarang. Jalan terus terbuka dari
sekarang ke masa yang akan datang. Jalan itu berkenaan dengan transendensi diri. Panggilan
setiap orang sebenarnya berhubungan dengan transendensi diri. Manusia selalu bergerak
mengatasi diri, dan memang esensi manusia adalah selalu berusaha untuk mengatasi diri.
Manusia selalu menyeberang dari dirinya sendiri. Emmanuel Levinas berbicara tentang
extériorité,4 dimensi eksterior yang menyentuh kita dari luar, yaitu ketakberhinggaan yang
mengatasi dan bahkan dapat meruntuhkan totalitas diri kita.
Di sini, kita perlu mendengarkan sisi yang lain. Audi alteram parte. Manusia postmodern
sering mengerti hidup ini sebagai adventure, suatu petualangan. Petualangan yang membawa
dirinya keluar. Sering kali petulangan itu membuat manusia tidak tahu ke mana dia harus
pergi, dan jejak mana yang harus dia ikuti. Sering juga petualangan itu membuat manusia
postmodern mengalami sedikit kehilangan (lost). Seperti orang yang terdampar di sebuah
pulau, sedang mencari arah, dan mengalami ketakutan dengan hal-hal misterius di sekitarnya.
Demikianpun, manusia postmodern adalah orang-orang yang sedang mencari jejak tertentu
dalam hidupnya.
Ada dua situasi manusia yang sedang berada di jalan. Pertama, mereka yang mengetahui
jalan dan serentak mengenal tujuannya. Kedua, mereka yang sedang berjuang untuk
menemukan jalan dan tujuan tersendiri. Kelompok kedua ini berada dalam dunia
postmodernisme. Postmodernisme tidak menawarkan jalan. Yang ada di sana hanyalah
macam-macam cara untuk menemukan jalan.
Masing-masing kita bisa mengukur dirinya. Kita berada di kelompok yang mana? Mungkin
sebagai orang yang terpanggil, kita berada pada kelompok pertama. Kita sudah mempunyai
jalan. Yang tertinggal adalah bagaimana kita mengikutinya. Mungkin juga kita berada dalam
kelompok yang kedua. Meskipun sudah mempunyai jalan, tetapi seringkali masih mengalami
kehilangan. Masih tersesat. Ini adalah bagian dari kondisi hidup kita di era posmodernisme
ini

4
Emmanuel Levinas, Totalité et Infini, essai sur l’extériorité, (Paris: Martinus Nijhoff, 1971), 201

2
3. Kondisi Postmodernisme
Kondisi postmodernism5 adalah suatu kondisi di mana pluralisme tidak dapat disederhanakan
dalam sesuatu yang simple, dalam suatu reduksi. Kita hidup dalam dunia komunikasi global
yang instan, dijaring oleh sistem komunikasi satelit untuk segala sudut bumi, yang
menyajjkan di hadapan kita beragam pilihan, ras, tempat, budaya, agama, keanekaan gaya
hidup dan banyak jalan untuk ditempuh. Salah satu ciri dari postmodernisme adalah
keanekaan life-styles. Kita tidak lagi hanya berbicara tentang suatu kebijaksanaan atau suatu
kebaikan, suatu panggilan atau suatu pilihan. Yang ada sekarang adalah bermacam
kebijaksanaan dan banyak definisi tentang kebaikan. Ini adalah bagian ciri religiositas
postmodernisme. Semuanya dalam pluralitas. Dalam dunia postmodernisme, pertanyaan
utama yang harus diajukan adalah: kita mengikuti jejak yang mana? In whose steps? Kita
memilih yang mana?
Hal utama berkenaan dengan perjalanan kerohanian atau religiositas, tampaknya bahwa ada
banyak jalan, beragam tawaran, bermacam pilihan. Setiap kita harus menemukan jalan,
memilih sendiri dan tetap setia dengan jalan atau pilihan itu. Manusia postmodernisme sering
mengalami kehilangan (lost). Mungkin juga, ia mengalami antara kehilangan dan penemuan
diri. Keduanya silih berganti. Ini menjadi bagian yang tidak asing.
Di tengah pluralitas hidup, manusia dihadapkan dengan banyak hal. Berbicara dengan banyak
gaya bahasa yang berbeda, menyerap banyak informasi yang berlainan, memiliki banyak
guru penuntun. Ini adalah bagian dari kultur yang berbeda-beda. Namun yang menjadi
persoalan adalah apakah setiap orang tetap menjadi dirinya? Bagaimana setiap orang
mengetahui siapakah dirinya? Bukankah langkah pertama untuk mengetahui diri adalah
mengakui bahwa kita tidak mengetahui siapakah kita sesungguhnya? Kebijaksanaan klasik
berbunyi Gnóhi Sautón,6 kenalilah dirimu sendiri! Apolo mengajak manusia untuk mengenal
kontigensi diri agar ia menyadari dengan sungguh bahwa ia bukan sekedar berbeda dengan
para dewa melainkan ia bukan bagian dari dewa-dewa.
Langkah yang penting adalah menyadari, mengakui, dan berusaha menemukan kemampuan
untuk mengolah dan menapaki kongensinya dengan baik. Alasan mengapa kita mengikuti
jejak-Nya? Alasan mengapa kita dipanggil? Mengapa kita dibentuk dan menganut suatu
spiritualitas tertentu? Alasan mengapa para murid Yesus mengikuti jalan gurunya?
Lao Tze berbicara tentang jalan, dan jalan itu adalah suatu kontigengsi diri. Jika manusia
tidak menyadari kontigensi diri, ia akan tetap menjadi orang yang hilang. Kita harus
menyadari bahwa kita adalah orang-orang yang pernah hilang dan dengan demikian kita
boleh menemukan diri sekali lagi. Jesus is not the way unless you are not lost, even as Jesus'
is not the answer unless you have a question.7 Yesus bukan jalan jika kita tidak hilang.
Demikianpun, Yesus bukan sebuah jawaban, jika kita tidak mempunyai pertanyaan.
4. Iman, Pengharapan dan Kasih
Gempuran postmodernisme serta serbuan pengaruh globalisasi menuntut iman untuk
direfleksikan kembali secara baru. Di sini, kita harus menempatkan refleksi kita tentang iman
bukan di dalam sebuah menara gading atau di dalam ruang konvensi yang tertutup. Iman
direfleksikan di tengah fakta pluralitas. Iman harus ditempatkan dalam konteks diferensiasi.

5
Jean-Francois Lyotard, The Posmodern Condition: A Report on Knowledge, Manchester: Manchester University Press,
1991.
6
Giovanni Reale, Socrate, Alla scoperta della sapienza umana, Milano: Bur Saggi, 2001, 47
7
John D. Caputo, What Would Jesus Deconstruct?, Michigan: Baker Academic, 2007, 42.

3
Namun yang menjadi pertanyaan adalah bilamana iman dikatakan sungguh sebagai iman?
Dalam konteks Paulus, iman selalu ditempatkan dalam kerangka pengharapan dan kasih. (1
Kor. 13:1-13). Namun, pertanyaan adalah kapan suatu pengharapan dimengerti sungguh
sebagai pengharapan? Dan bilamana kasih dipahami sebagai kasih yang sebenarnya?
Dalam postmodemisme, pencarian makna tentang iman, pengharapan dan kasih hanya
dimulai dari konteks pluralitas. Pengharapan dimulai ketika orang beranjak dari situasi tanpa
harapan, atau dari kondisi jiwa di malam gelap. Harapan dimulai dari kemustahilan (the
impossibility). Dalam Rom 4: 18 Paulus berkata: "sebab sekalipun tidak ada dasar untuk
berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya." Demikian menurut logika akal sehat
orang bermain, yaitu bahwa ketika orang percaya, dia tidak butuh iman, tetapi ketika orang
kurang percaya, dia butuh iman meskipun kecil imannya. Iman sebesar biji sesawipun dapat
memindahkan gunung.
Demikianpun, dengan pengharapan. Harapan sebagai harapan bukan karena kita telah
memiliki segala alasan untuk mengharapkan, melainkan karena kita mulai melihat dan
menyadari kondisi tanpa harapan (hopeless). Menyadari kondisi tanpa harapan adalah awal
untuk berharap. Sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, sebaiknya kita tetap berharap.
Hope against all hopes.
Hal yang sama terjadi dengan kasih. Kasih yang sesungguhnya terjadi bukan karena kita
mengasihi orang yang kita kasihi, atau berhubungan dengan orang yang mengasihi kita dan
membuat hidup kita bermakna. Kasih sebagai kasih hanya mungkin ketika kita mampu
mengasihi yang tidak kita kasihi, atau membangun relasi dengan orang yang tidak mengasihi
kita. Secara singkat, kasih sesungguhnya terjadi ketika kita mengasihi musuh, meskipun ini
adalah kasih yang sering menjadi mustahil.
Secara singkat, kita hanya sungguh-sungguh berada pada jalan iman, pengharapan dan jalan
kasih apabila kita menyadari pertama-tama bahwa semua jalan ini dirintangi atau dihalangi
karena semuanya adalah jalan yang mustahil. Jalan iman, jalan pengharapan dan jalan kasih
adalah jalan kemustahilan. Sebagai orang-orang beriman, kita memilih jalan kemustahilan
ini, dan membuatnya tetap hidup, dan tetap menjadi suatu kemungkinan di tengah arus
postmodernisme.8
Santu Paulus berkata "yang paling besar di antara iman, pengharapan dan kasih adalah kasih"
(1 Kor. 13:13). Santu Yohanes menegaskan kasih sebagai nama dari Tuhan. Karena itu, orang
yang mengenal Tuhan adalah orang-orang yang mempunyai kasih. "Barangsiapa tidak
mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih" ( I Yoh. 4: 8). Orang-orang
beriman sesungguhnya berada dalam kemungkinan ini. Mari kita merenungkan perkataan
Yohanes ini:
Saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari
Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa
tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Kita telah mengenal dan
telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada
di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia. 1 Yoh 4:7-8, 16).
Kalau nama Allah adalah kasih, maka nama yang sama juga dapat kita kenakan bagi siapa
saja yang mengasihi. Orang yang mengasihi adalah orang yang mengenal dan mempunyai
nama itu. Dia adalah orang-orang kepunyaan Allah. Dia berada di dalam Allah. Serbuan
postmodernisme dalam arus globalisasi yang dahsyat, meminta kita orang-orang beriman,

8
John D. Caputo, Op. cit., 46.

4
beragama, orang-orang religius untuk tetap berkanjang di dalam Allah, karena "tak ada yang
mustahil dengan Allah" (Luk. 1:37).
5. Kemustahilan
Term bahasa Inggris untuk kemustahilan adalah the imposibility. Oposisi dari kemustahilan
adalah kemungkinan, the possibility. Kita berbicara tentang kemugkinan selalu dalam
hubungan dengan masa depan. Kita tidak pernah berbicara tentang kemungkinan untuk masa
lampau. Kita selalu mengharapkan agar masa depan kita lebih baik, lebih meyakinkan, lebih
jelas, penuh janji dan lebih terbuka.
Dalam hubungan dengan masa depan, kita mencegah agar masa sekarang tidak boleh bersifat
tertutup. Karena itu, kita berjuang untuk kemungkinan-kemungkinan yang baru, berjuang
untuk kesempatan-kesempatan yang berbeda. Kita mentransformasi masa sekarang ke masa
yang akan datang.
Masa depan sebagai kemungkinan menentukan masa sekarang sebagai orientasi. Kita bekerja
keras, kita berada dalam komunitas, kita hidup sesuai aturan dan spiritualitas karena
semuanya berkenaan dengan tanggungjawab masa sekarang. Namun tanggungjawab itu
terobsesi ke masa depan. Hal ini menjadikan depan kita bersifat relatif (relative future)
karena kita memiliki arah. Ada yang menyusun program hidup, ada yang menabung untuk
masa pensiun, ada yang membangun institusi hidup, ada yang mengorganisir seluruh rencana,
membentuk jaringan koperasi sosial, dan sistem politik.
Semuanya demi masa depan, tetapi, untuk masa depan yang sudah jelas dan terencana, kita
memiliki harapan-harapan yang pasti. John D Caputo menyebutnya sebagai reasonable
expectations.9 Kita berhubungan dengan harapan-harapan yang sudah dipastikan atau yang
telah dipikirkan. Untuk hal seperti ini, kita membuat program, membangun proyek, belajar
di universitas dan lain sebagainya.
Namun, ada sisi lain dalam hubungan dengan masa depan yang tidak dapat atau belum bisa
kita pastikan. Kita berhubungan dengan apa yang disebut unforessable, yang bisa
mendatangkan suatu surprise, atau “kejutan seperti pencuri pada malam hari." (1 Tes. 5:2 ).
Ini yang disebut absolute future 10 atau masa depan yang mutlak. Untuk masa depan seperti
ini, kita butuh tiga hal yaitu, iman, pengharapan dan kasih.
Religiositas dalam postmodernisme berhadapan dengan kemustahilan yang tidak terduga.
Seperti apa yang dikatakan Paulus, "apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah
didengar oleh telinga, dan tidak pernah timbul di dalam hati manusia...." (1 Kor. 2:9) sebagai
hal yang tidak terduga. Tuhan bisa menjadikan yang mungkin dari apa saja yang mustahil.
Seperti bunda Maria, segala sesuatu mungkin termasuk dalam hubungan dengan yang tidak
mungkin (mustahil). "Sebab bagi Allah, tidak ada yang mustahil" (Luk 1: 37). Kemustahilan
adalah bagian dari rencana Allah karena rencana itu ajaib. Penciptaan, orang buta melihat, si
lumpuh berjalan, yang tuli mendengar, angin dan badai dihentikan, roh jahat diusir, dan
bahkan kematian dikalahkan. Semunya adalah kemustahilan.
Nama Allah adalah nama untuk segala kemungkinan yang baru, untuk kelahiran baru, untuk
pengharapan, bahkan untuk pengharapan yang tidak bisa diharapkan. Allah sebagai yang
mustahil menjadi dasar atau alasan yang menggarami kehidupan ini. Termasuk situasi
postmodernisme yang sedang tercerai-berai dalam kehidupan yang fragmentaris, semuanya
terbuka terhadap yang mustahil. Hal ini masih terjadi di masa sekarang. Postmodernisme

9
John D. Caputo, On Religion , Thinking in Action, London and New York: Roustledge, 2001, 8.
10
Ibid., 7.

5
tidak hampa religiositas. Postmodernisme tidak identik dengan sekularsisme. Setiap periode
kehidupan manusia, pra-modern, modern atau postmodern, religus atau sekular, semuanya
memiliki religiositas tersendiri.
Iman sesungguhnya berkenaan dengan situasi di mana kita percaya kepada yang tidak dapat
dipercayai, atau kepada yang mustahil untuk dipercayai. "Sesungguhnya sekiranya kamu
mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: pindah dari
tempat ini ke sana, maka gunung itu akan pindah dan tak akan ada yang mustahil bagimu."
(Mat 17:20 ). Di tengah gempuran postmodemisme dan globalisasi, kita harus tetap berharap
meskipun tidak ada dasar untuk berharap.
Religiositas bertumbuh dalam segala kemustahilan, terjadi dalam situasi yang tidak dapat
diramalkan. Iman, pengharapan dan kasih justru menjadi bagian esensial dalam setiap
kemustahilan itu. Kalau ada yang sudah merasa diri sempurna, suci, dan tak bercela, maka
apa gunanya iman? Apa artinya pengharapan? Apakah kasih masih berarti? Religiositas
bergelut dengan kemustahilan, bersentuhan dengan ketidakpastian yang radikal. Singkatnya
ia terbuka tanpa akhir, open-endedness, dengan apa yang kita sebut masa depan absolut
yang memberi makna.
Seperti St. Agustinus yang melihat bahwa “jiwa belum pernah akan tenang jika belum
beristirahat di dalam Allah,” demikianpun kita. Kita tetap selalu terbuka terhadap banyak
kemungkinan. Boleh jadi, religiositas kita lahir dari tantangan jiwa yang belum pernah tenang
karena berhadapan dengan realitas yang sering tak terduga. Kita tidak hanya senang karena
sudah memiliki kenyataan hidup. Kita sebaiknya mempunyai keinginan untuk selalu menjadi
baru, dilahirkan menjadi baru lagi. Pemazmur berkata, "apabila Engkau mengirim RohMu,
mereka tercipta dan Engkau membaharu muka bumi." (Mz. 104:30) Penciptaan tidak hanya
terjadi sekali. Penciptaan harus disempurnakan terus-menerus dengan penciptaan kembali.
Creatio menjadi re-creatio. Kita sering bernyanyi: "utuslah Roh-Mu yang Tuhan, dan jadi
baru seluruh muka bumi."
6. Tiga Aksioma Iman
Manusia percaya kepada apa yang ia cintai. Demikianpun iman. Manusia beriman kepada
Tuhan yang Ia cintai. Yang percaya kepada Tuhan adalah dia yang mencintai Tuhan. Namun,
ada tiga persoalan besar yang sering kali tidak disadari manusia dalam hubungan dengan
iman atau kepercayaan kepada Tuhan. Pertama, manusia sering tidak tahu siapakah dirinya,
dan apakah ia percaya kepada Tuhan? Kedua, manusia juga sering tidak menyadari apa yang
ia percaya ketika ia percaya pada Tuhan? Ketiga, manusia tidak tahu apa yang ia cintai ketika
ia mencintai Tuhan.11
Mari kita lihat tiga aksioma ini lebih jauh. Pertama, manusia sering tidak tahu siapakah
dirinya, dan apakah ia percaya kepada Tuhan? Ini adalah titik awal. Hal ini bisa benar dalam
hubungan dengan kondisi postmodernisme. Manusia adalah misteri bagi dirinya sendiri.
Manusia adalah sebuah pertanyaan. Hidupnya sering penuh dengan ketidakpastian dan
kesulitan. Sering terjadi ada situasi ombang-ambing antara iman dan tanpa iman, ber-Tuhan
dan tanpa Tuhan, beragama dan tanpa agama. Di hadapan Tuhan, di dalam agamanya,
manusia sudah menjadi pertanyaan bagi dirinya sendiri.
Kedua, manusia sering tidak tahu apakah yang ia percaya itu Tuhan atau tidak? Ini adalah
kelanjutan dari yang pertama. Meskipun manusia menyadari dirinya sebagai pertanyaan di
hadapan Tuhan, ia mulai berlangkah maju, membuka diri dan bersedia menyambut suatu
11
John D. Caputo, The Players and Tears of Jacques Derrida, Religion Without Religion (Bloomington and Indianapolis:
Indiana University Press, 1997), 132-134.

6
kedatangan yang tidak pernah ia diduga sebelumnya. Manusia siap menerima hal-hal yang
mustahil sekalipun. Ini terkadang harus diterima dengan iman yang buta, artinya iman
menurut apa yang dimaksudkan Derrida sebagai iman tanpa melihat, tanpa memiliki dan
tanpa mengetahui. Sans voir, sans avoir, sans savoir.
Iman tidak harus membuat kita selalu menengadah ke langit dan mencari jawaban pada surga.
Iman menggerakkan kita untuk memandang ke depan dan selalu berada dalam harapan akan
apa yang akan datang. Meskipun harapan tanpa dasar untuk berharap. Harapan tetaplah
sebuah harapan, dan kita tetap percaya. Derrida berkata, je ne sais pas, il faut croire, 12 - saya
tidak tahu, (tetapi) hanya percaya. Iman adalah kepasrahan, termasuk kepasrahan terhadap
yang mustahil atau terhadap yang buta, yaitu terhadap apa yang John D. Caputo maksudkan
unforeseeable, unprovisional, unable to see thing,...13 Iman adalah soal harapan akan apa
yang akan datang, yaitu harapan sebagai harapan without the eyes to see.14 Inilah yang disebut
harapan akan suatu kemustahilan, yaitu kemustahilan yang mendatangkan tangisan dan derai
air mata. Suatu harapan yang membakar gairah untuk menantikan kedatangan (l'avenir) yang
tidak terduga itu. Boleh jadi, yang paling penting di sini, di tengah gempuran posmo, bukan
siapa atau apa yang akan datang, bukan juga nabi, Mesias atau Juru Selamat yang dijanjikan,
melainkan kedatangan, l’avenir itu sendiri.
Untuk suatu kedatangan, dibutuhkan suatu penantian, yaitu penantian yang senantiasa terbuka
terhadap segala yang lain (tout Autre). Ini termasuk keterbukaan terhadap siapa saja atau apa
saja. Tout Autre est tout Autrell,15 kata Derrida. Dengan tanpa referensi kepada siapa atau
kepada apa, penantian akan suatu kedatangan bersifat universal. Keterbukaan terhadap
semua yang lain. la berkenaan dengan yang tanpa batas, yang unjustifiable, yaitu yang lain
sebagai yang tidak dapat diantisipasi atau yang tidak dapat diduga.
Sesungguhnya, ia berhubungan dengan yang tidak dapat dimengerti, dan berkaitan dengan
apa yang tidak dapat diukur. Oleh karena itu, iman adalah suatu keterbukaan terhadap yang
lain dalam tindakan mengasihi. Mengasihi, sesungguhnya berarti mengasihi tanpa ukuran.
"Satu-satunya ukuran untuk mengasihi yaitu mengasihi tanpa ukuran. Esensi dari kasih
adalah berusaha untuk mengatasi segala esensi"16 apa saja. Ini berarti tidak ada ukuran atau
standar dalam mengasihi.
Kasih adalah rapresentasi kebebasan yang selalu bergerak dari satu situasi ke situasi yang
lain. Jalan-jalan kehidupan ini dikomposisikan oleh banyak tahap. Manusia harus
melewatinya dalam banyak tahap yang berbeda, termasuk tahap-tahap yang berlawanan arah
dengannya. Ia harus melewati lika-liku hidup hanya dengan energi kasih. Namun, kasih yang
dimaksudkan di sini bukan hasil dari sebuah konvensi yang dikemaskan menjadi doktrin dari
suatu tradisi. Kasih tidak lahir karena cetusan sejarah atau konstruksi dari agama tertentu.
Kasih adalah tanpa mengapa (sebab). Seperti mawar, kasih berbunga karena ia berbunga
dengan penuh perhatian, bukan karena seseorang memperhatikan dia. Kasih memberi, tetapi
memberi berarti memberi apa yang tidak harus diberi (dan meskipun terkadang orang memberi
apa yang tidak ia miliki).17

12
Jacques Derrida, Memoires d’aveuge: L’autobiographie et autres ruine (Paris: Editions de la Reunion des Musee
nationaux, 1990), 130.
13
John D. Caputo, The Payers and Tears of Jacques Derrida, Op. cit.,329.
14
Ibid.
15
Jacques Derrida, The Gift of Death, David Wills, penerj. (Chicago: The University of Chicago Press, 1992), 82.
16
John D. Caputo, Against Principles: A Sketch of An Ethichs, dalam The Ethical, Edith Wyschorod and Gerald P. McKenny
(eds.) (Malden: Blackwell Publishing, 2003), 177.
17
Ibid.

7
Kodrat dari kasih adalah memberi tanpa kewajiban. Perbuatan mengasihi berarti perbuatan
memberi dalam tingkatan 'yang melampaui' setiap kewajiban. Memberi dalam kasih tidak ada
hubungan dengan apa yang dimiliki. Memberi terjadi karena passion untuk memberi semata-
mata. Ia tidak membuat kategori dan diferensiasi. Kasih tidak berkenaan dengan kewajiban
yang tegas. Kasih hanya ingin mengetahui apakah kewajiban-kewajiban seseorang berjalan
adil dan berdasarkan kasih yang tulus dan ikhlas atau tidak. Kasih tidak diikat oleh hukum-
hukum atau tradisi. Ia membaur dengan situasi apa saja, termasuk di dalam hukum itu sendiri.
Ia melebur dengan kondisi manapun termasuk dalam tradisi-tradisi. la melakukan apa saja
yang diharapkan darinya. Ia terus melakukan yang lebih, dan selalu lebih.
Ketiga, manusia tidak tahu apa yang ia cintai ketika ia mencintai Tuhan. Ini adalah puncak
dari energi kasih. Tuhan adalah kasih. Ia adalah nama dari kasih. Ia juga adalah nama dari
apa yang kita kasihi. Nama Tuhan adalah nama yang paling berkuasa, paling indah. Nama
dari segala nama. Namun, kita perlu ketahui bahwa kasih sebagai nama dari Tuhan, ia tidak
menjawab pertanyaan apa? Tetapi menjawabi pertanyaan bagaimana? Kasih bukan soal apa,
tetapi soal bagaimana? Bagaimana kasih dihidupkan? Bagaimana kasih diwartakan?
Bagaimana kasih dipraktekan? Semuanya berkenaan dengan pertanyaan bagaimana.
Nama Tuhan diwartakan bukan dalam proposisi-proposisi atau lewat argumen-argumen,
tetapi dalam kasih. la dihidupi dan dilayani dalam roh dan kebenaran, dan juga di dalam
melakukan keadilan. Amos berkata, "biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan
kebenaran seperti sungai yang mengalir". (Amos, 5:24). Bagi Amos, nama Tuhan yang
adalah kasih identik dengan nama keadilan, dan keadilan itu tidak dipikirkan, tetapi dibuat,
dihidupi, dijalani. Keadilan Allah atau Allah keadilan hendaknya dilihat sebagai suatu
perbuatan, tindakan atau kenyataan yang dihidupi.
Kita hanya mengerti setiap perbuatan kita dalam hubungan dengan tanggung jawab kita
terhadap semua situasi yang ada di hadapan kita. Tanggung jawab ini adalah tanggung jawab
yang intens. Setiap kita dituntut untuk berhadapan dengan apa saja atau dengan siapa saja
yang ada di depan kita, Tidak ada pilihan lain. Kita tidak dapat mengubah atau
mengalihkannya. Kita tidak boleh lari dari situasi apapun. Kita hanya dapat menghadapinya.
Ya, menghadapi apa yang sedang menuntut di depan kita. Obligasi kita yaitu kita memberi
respons sesuai tuntutan situasi itu. Oleh karena itu, yang paling menentukan di dalam setiap
respons adalah tanggung jawab itu. Berhadapan dengan suadara-saudari kita yang menjadi
korban sistim politik yang tidak adil, korban kekerasan, korban pelecehan, korban sistem dan
struktur yang sewenang-wenang, kita tidak dapat menentukan pilihan. Kita hanya
memperlihatkan respons dengan memberi waktu, tenaga, pikiran dan seluruh kekuatan diri
kita untuk bertanggung jawab terhadap situasi mereka.
Kita hendaknya selalu siap untuk segala sesuatu, termasuk segala sesuatu yang tidak kita
siapkan sebelumnya.18 Postmodemisme menawarkan banyak situasi yang tidak kita duga-
duga. Adalah hal yang sulit dan bahkan menyedihkan, kalau dalam hidup ini, kita harus
berhadapan dengan apa yang seharusnya tidak kita hadapi, karena kita tidak siap untuk hal
itu. Namun, bagaimanapun, kita diminta untuk siap dan berani menghadapi setiap
kemustahilan itu.
7. Penutup
Setiap keberadaan manusia hanyalah merupakan suatu kemungkinan di antara banyak
kemungkinan. Karena sebagai suatu kemungkinan, manusia sebaiknya selalu berusaha tanpa

18
Ibid., 174.

8
henti untuk menemukan kembali dirinya secara baru. Endless reinvention.19 Ia harus berani
masuk dalam setiap pergulatan diri, termasuk pergulatan dengan suatu kemustahilan. Di
dalam kemustahilan itu, pertanyaan sebagai pertanyaan, termasuk pertanyaan tentang diri
sendiri adalah bagian yang tidak dapat dielakkan. We are the beings who always asking who
we are, dan sebagai kelanjutannya, if the truth be told we do not know who we are.20 Satu hal
yang pasti bagi manusia postmodernisme yaitu bahwa manusia sering tidak tahu secara pasti
siapakah dia. Bahkan terhadap iman sekalipun, ia sering tidak tahu siapakah dia, atau apakah
ia percaya kepada Tuhan atau tidak. Ia juga tidak tabu entahkah yang ia percaya itu, Tuhan
atau tidak. Demikianpun, manusia postmodernisme juga sering tidak tahu apa yang ia cintai
ketika ia mencintai Tuhan.21 Ya, manusia tidak tahu, tetapi ia tetap percaya.
Situasi seperti ini dianggap sebagai suatu misery of our condition yang senantiasa terbuka
tanpa akhir di hadapan kita. Kita bisa saja jatuh ke dalam situasi seperti ini. Mungkin, apa
saja yang kita katakan tentang diri kita adalah tidak benar, dan apa yang tidak kita katakan
adalah benar.
Kebenaran berada di mana saja, atau di depan kita, di dalam segala hal yang belum dikatakan
atau dipikirkan, di dalam segala sesuatu yang belum tedadi, di dalam banyak alternatif yang
belum pernah kita coba, di dalam kemungkinan tanpa akhir yang sedang menanti kita, di dalam
banyak jalan yang belum dilewati.22
Kebenaran bisa juga berada di dalam ketidakbenaran itu sendiri. Singkatnya, kita berada
dalam suatu keterbukaan tanpa akhir. Masa depan kitsa dibiarkan terbuka agar kita
bertumbuh dengan baik, termasuk bertumbuh di jalan-jalan kehidupan yang kita sendiri tidak
bayangkan.
Situasi postmodernisme adalah situasi yang "membiarkan bunga-bunga bermekar
memancarkan kebaikannya, karena ada banyak jalan untuk menjadi baik dan ada banyak
jalan kebaikan untuk dijalani dari sekedar yang kita mimpikan."23 Kita, bisa saja menghukum
suatu situasi yang mendatangkan penderitaan bagi. Namun kita pun harus mampu juga
menemukan banyak jalan yang lebih baik, yang membebaskan kita. Hal ini dianalogikan
sebagai jalan cinta.24 Berusaha menentukan yang baik, atau berusaha memperhitungkan
banyak jalan yang baik, ibarat suatu usaha untuk menentukan jalan-jalan cinta.” Mencintai
sesungguhnya berarti mencintai tanpa ukuran. "Satu-satunya ukuran untuk mencintai yaitu
mencintai tanpa ukuran. Esensi dari cinta adalah berusaha untuk mengatasi segala esensi .” 25
Ini berarti tidak ada ukuran atau standar bagi cinta.
Cinta adalah rapresentasi kebebasan yang selalu bergerak dari satu situasi ke situasi yang
lain. Jalan-jalan kehidupan ini dikomposisikan oleh banyak tahap. Manusia harus
melewatinya dalam banyak tahap yang berbeda, termasuk tahap-tahap yang berlawanan arah
dengannya. Trying now this, now that, moving in one direction then another 26 adalah bagian
dari pencarian akan kemungkinan-kemungkinan, termasuk yang paling mustahil sekalipun.
“Kita sedang mencari sesuatu tetapi kita tidak dapat mengatakan apa itu sesuatu." 27 Kita

19
Ibid., 176.
20
Ibid.
21
John D. Caputo, The Prayers and Tears, Op, cit. hlm 331-332. Di sini, saya mensubstitusikan orang pertama tunggal
‘saya’ dengan orang pertama jamak ‘kita’ hanya untuk menyesuaikan penjelasan termaksud.
22
Edith Wyscogrod and Gerald P. McKenny, Loc. cit.
23
Ibid., 177.
24
Ibid.
25
Ibid.
26
Ibid., 178.
27
Ibid.

9
bahkan tidak mengetahui apakah yang sedang kita cari adalah sesuatu yang sesungguhnya
kita cari. Kita sepertinya mencari dalam kegelapan28 yang di dalamnya kita tetap percaya.
Mencari tanpa henti dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam suatu repetisi, di mana kita harus
bangkit untuk memilih, dan memilih sekali lagi, dan seterusnya memilih. Di sini, kita
membutuhkan the constancy of the self,29 sebagai suatu bentuk loyalitas dan kesetiaan untuk
tetap mengikuti jejak-Nya.

Referensi:
1. Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988).
2. Garzanti, Dizionario Italiano, con sinonomi e contrario, (Roma: Garzanti Editore,
2003).
3. Jean-Francois Lyotard, The Posmodern Condition: A Report on Knowledge,
(Manchester: Manchester University Press, 1991).
4. John D. Caputo, What Would Jesus Deconstruct? (Michigan: Baker Academic, 2007).
5. John D. Caputo, On Religion , Thinking in Action, (London and New York:
Roustledge, 2001).
6. John D. Caputo, The Players and Tears of Jacques Derrida, Religion Without
Religion (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1997).
7. Jacques Derrida, Memoires d’aveuge: L’autobiographie et autres ruine (Paris:
Editions de la Reunion des Musee, 2003).
8. John D. Caputo, “Against Principles: A Sketch of An Ethichs,” dalam The Ethical,
Edith Wyschorod and Gerald P. McKenny (eds.) (Malden: Blackwell Publishing,
2003).
9. Jacques Derrida, The Gift of Death, David Wills, penerj. (Chicago: The University of
Chicago Press, 1992).

28
Ibid.
29
Ibid.

10

Anda mungkin juga menyukai