HIPERBILIRUBINEA
DOSEN:
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
Yusrianti :NH0321021
MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala
limpahan rahmat, bimbingan dan petunjuk serra hidayah sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dengan lancar. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah keperawatan maternitas.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penulisan dan penyususnan makalah ini tidak
mungkin terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak.
Akhir kata penulis meminta maaf atas kesalahn serta keihklafan dan juga banyaknya
kekurangan penulisan dalam makalah ini, penyusun berharap semoga makalah ini bisa bisa
bermanfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk serta rahmat-Nya
kepada kita semua.
Wassalamualaikum Wr,Wb
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI
B. ETIOLOGI
C. MANIFESTASI KLINIS
D. PATOFISIOLOGI
E. KOMPLIKASI
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
G. PENATALAKSANAAN
A. PENGKAJIAN
B. DIAGNOSA
C. INTERVENSI
D. IMPLEMENTASI
E. EVALUASI
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut Riset Kesehatan Dasar (2018) risiko gangguan kesehatan
paling tinggi terjadi pada masa neonatus. Dalam masa tersebut, terjadi
perubahan yang sangat besar dari awal kehidupan yang awalnya di
rahim yang serba bergantung pada ibu menjadi d luar rahim yang
harus hidup secara mandiri. Pada masa ini terjadi pematangan organ
hampir pada semua sistem sehingga berbagai masalah kesehatan dapat
muncul. Tanpa adanya penanganan yang tepat, gangguan keseahatan
pada neonatus dapat berakibat fatal bahkan menyebabkan kematian
pada neonatus.
Salah satu penyakit yang dapat mengakibatkan pada neonatus
adalah hiperbelirubinea. Hiperbelirubinea pada neonatus di
sebabkanoleh penimbuhan bilirubin di dalam jaringan tubuh. Hal ini
menyebabkan perubahan warna pada kulit, mukosa, dan skelera
menjadi berwarna kuning. Peningkatan kadar bilirubin pada neonatus
terjadi pada hari ke-2 atau hari ke-3 lalu mencapai puncaknya pada
hari ke-5 sampai hari ke-7 kemudian kembali pada hari ke-10 sampai
hari ke-14.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) faktor
yang menyebabkan hiperbilirubinemia antara lain fiksia, berat bayi
lahir rendah (BBLR), bayi prematur, kelainan konggenital, serta
sepsis. Hiperbilirubin pada sebagian bayi dapat bersifat fisiologis dan
pada sebagian lagi mungkin bersifat patologis. Hiperbilirubin harus
mendapat perhatian dan pentalaksanaan yang tepat (Yuliawati dan
astuti, 2018).
Apabila hiperbilirubin pada nenonatus tidak di atasi maka akan
menyebabkan kernikterus, yaitu suatu kerusakan pada otak yang di
sebabkan oleh perlengketan bilirubin inderek pada otak. Tanda-tanda
terjadinya kernikterus yaitu bayi tidak menghisap, latergin, gerak tidak
menentu, kejang, tonus otot kaku, leher kaku dan dapat mengakibatkan
mati pada bayi.
Hiperbilirubinea yang di sebabkan oleh bilirubin tarkonjugasi
merupakan neoroksit dan dapat menyebakan keiknterus. Keintekrus
merupakan komplikasi dari hiperbilirubinea yang paling berat selain
memiliki angka mortalitas yang tinggi, kerikterus juga dapat
menyebabkan cerebal palsy, tuli sensorineural, paralisis, dan
sysplasiadental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup neonatus
(Wu et al., 2018) oleh karena itu perlu di lakukan pemantauan kadar
bilirubin secara klinis sebagai langkah awal untuk melanjutkan
intervensi selanjutnya, apakah neonatus ada indikasi untuk di lakukan
fototerapi atau tidak.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu definisi hiperbilirubinea
2. Apa etiologi dari hiperbilirubinea
3. Apa menifestasi klinis dari hiperbilirubinea
4. Apa patofisiologi dari hiperbilirubinea
5. Apa komplikasi dari hiperbilirubinea
6. Apa pemeriksaan diagnostik dari hiperbilirubinea
7. Apa penatalaksanaan dari hiperbilirubinea
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui definisi dari hiperbilirubinea
2. Untuk menegetahui etiologi hiperbilirubinea
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis hiperbilirubinea
4. Untuk mengetahui patofisiologi hiperbilirubinea
5. Untuk mengetahui komplikasi hiperbilirubinea
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik hiperbilirubinea
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan hiperbilirubinea
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 KONSEP MEDIS
A. PENGERTIAN
Ikterik neonatus adalah suatu keadaan pada bayi batu lahir
yang di akibatkan oleh penumpukan berlebih kadar bilirubin
yang tidak terkonjugasi sehingga menyebabkan adanya warna
kuning pada sklera dan kulit (Auliasari,Etika, Krisnana, &
Lestari, 2019). Ikterik neonatus merupakan suatu kondisi
meningkatnya kadar bilirubin >5mg/dl yang di tandai dengan
menguningnya sklera maupun kulit yang dapat di sebabkan
oleh faktor fisiologis mamupun non fisiologis.
Hasil data World Health Organization (WHO) tahun 2017
menunjukkan bahwa angka kematian Bayi (AKB) secara
global mencapai 59 pada tahun 2017 per 1000 kelahiran hidup,
dan sesaui profil kesehatan Indonesia di tahun 2018, AKB di
Indonesia menurun yaitu 25, 23 per 1000 bayi lahir hidup
yang artinya hampir mencapai sasaran Millenium Develpment
Goals (MDGs) 2017 yaitu sebesar 25 per 1000 bayi lahir
hidup. Meski menurun dari tahun ke tahun dulu, banyaknya
hal itu masih ternilai cukup tinggi. Pada survei Demografi dan
kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 di dapatkan angka
kematian neonatus pada tahun 2017 sebesar 19 per 1000
kelahiran hidup dan 78,5% kematian neonatus terjadi pada
usia 0-6 hari. Komplikasi yang terjadi paling banyak pada
neonatus adalah asfiksia ikterus, hipotermia, tetanus, infeksi,
trauma lahir, berat badan lahir (BBLR), sindroma gangguan
pernafasan, dan kelainan kongenital (Yusuf, Aupia, & Sari,
2021).
Akibat yang dapat muncul daru hiperbilirubin yang
berkepanjangan pada nenonatus adalah kernikterus yaitu
melekatnya kadar bilirubin pada otak sehingga terjadi adanya
cidera pada otak. Manifestasi dari kejadian ini refleks hisap
menurun, enggan minum, peningkatan tonus otot, kekakuan
pada leher, tingkat kesadaran menurun hinga terjadi kejang.
Oleh karena itu hal ini harus segera d tangani. Tindakan yang
dapat di berikan dalam kasus ini adalah dengan pemberian
fisioterapi (Kumar, dkk dalam Ambarita & Anggraeni, 2019).
Dalam keperawatan anak tentulah tentulah yang menajdi
perhatian utama adalah anak yaitu manusia yang masih
memiliki kebutuhan khusus (fisik, psikologi, sosial, dan
spritual) dengan usia di bawah 18 tahun yang masih berada
pada tahap tumbuh kembang dari bayi sampai remaja. Pada
tahap tumbuh kembang ini terdapat ciri fisik, pola pikir,
konsep diri, pola koping, dan perilaku sosial. Setiap anak
memiliki perkembangan yang berbeda-beda, ada yang
menangani perkembangan fisik dan kognitif yang cepat dan
adapula yang lambat (Yuliastari & Arnis, 2016).
B. ETIOLOGI
1. Faktor bayi
Berat badan bayi lahir kurang daro 2500 gram dapat
memicu terjadinya ikterik neonatus di karenakan fungsi
organ-organ khususnya hati belum matang untuk
memproses eritrosit. Asfiksia pada bayi baru lahir menjadi
faktor ikterik pada bayi di karenakan organ-organ pada
neoatus kekurangan asupan ogsigen terutama pada hati
sehingga menyebabkan fungsi kerja organ tidak optimal,
yang mengakibatkan glikogen yang di hasilkan dalam hati
berkurang, hal ini dapat menyebabkan ikterik pada bayi
(Putri & Rositawati, 2017).
2. Faktor ASI
Akibat peningkatan jumlah glukronidase yang terdapat
dalam ASI menyebabkan ikterik ASI pada bayi.
Peningkatan jumlah glukorinidase akan menimbulkan
pertambahan absorbsi bilirubin oleh usus. Ikterik ASI
yang berhubungan dengan meningkatnya kadar bilirubin
dalam tubuh bayi harus mendapatkan terapi sinar dan
berhenti memberi ASI dalam sementara waktu, ikterik ini
memiliki sifat sementara dan tidak lama.
3. Faktor ibu
Faktor ini menyebabkan bayi ikterik dengan usia
kehamilan prematur/aterm, usia ibu yang sudah tidak
mudah lagi (antara usia 29-35 tahun). Persalinan dengan
jarak yang cukup lama, lahir dengan spontan, dan ibu
hamil yang menderita multipara.
4. Usia kurang dari 7 hari
5. Faktor lainnya
Faktor-faktor yang memicu terjadinya ikterik selain dari
ke empat faktor di atas adalah hipoksia, dehidrasi, usia sel
darah merah akibat prematuritas dapat menyebabkan
peningkatan infeksi saluran hepatic dan hipoglekemia.
Faktot-faktor tersebut bisa saja mengakibatkan
menurunnya kadar bilirubin oleh sel hati dan dapat
memperparah derajat ikterik (Manggiasih & Jaya, 2016)
C. MANIFESTASI KLINIS
a. Ikterik dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir
b. Ikterik yang di sertai dengan keadaan berat badan bayi
lahir rendag yaitu kurang dari 2000 gram.
c. Afiksia
d. Hipoksia
e. Kejang
f. Pembesaran pada hati
g. Terdapat anoreksia, muntah dan warna urin yang sedikit
gelap
h. Konsentrasi bilirubin yang meningkat 10mg% atau lebih
dalam 24 jam
i. Kuningnya membran mukosa
j. Kulit menguning
k. Sklera menguning (PPNI, 2017)
D. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah hasil dari katabolisme heme dan di
bentuk dari reaksi oksidasi reduksi yang di hasilkan dari
sistem terikuloendoteliel. Di tahap awal oksidasi, heme
ogsegenase bekerja untuk menghasilkan biliverdin yang
terbuat dari heme. Larutnya biiverdin di dalam air di ubah
dalam bentuk isomerik menjadi bilirubin yang sukar larut
dalam air. Plasma mengangkut bilirubin yang tidak larut di
dalam air yang berikatan dengan albumin, apabila terdapat
gangguan baik yang di sebabkan oleh faktor endogen maupun
egsogen antara bilirubin tak kojunggasi dengan albumin
menjadikan bilirubin yang tak terikat dapat menerobos
membran yang mengandung lemak dab sawar darah otak yang
dapat mengakibatkan neurotoksisitas. Hepatosit akan
mengangkut bilirubin yang berikatan dengan ligandin yang
telah berada di hati. Konsentrasi ligandin akan meningkat
berbanding lurus dengan peningkatan bilirubin yang masuk ke
dalam hepatosit. Ketika bayi baru lahir, terjadi penurunan pada
konsentrasi ligandin, namun setelah beberapa minggu
kelahiran akan erjadi peningkatan yang signifikan.
Bilirubin yang larut dalam air di ubah menjadi tidak larut
dalam air melalui konjugasi bilirubin. Bilirubin mengalami
proses reduksi yang berubah menjadi tetrapirol dengan
bantuan mikroba dalam usus besar ketika di ekskeresi ke
empedu yang kemudian masuk ke usus. Terjadinya
hiperbilirubin di karenakan adanya bilirubin yang tidak
terkonjugasi yang terabsorbsi dan masuk kedalam sirkulasi
sehingga mengakibatkan adanya peningkatan bilirubin di
dalam plasma.
E. KOMPLIKASI
Hiperbilirubin memiliki komplikasi serius jika tidak
segera di tangani dngan baik, menurut Mulyati et al (2019)
komplikasi ikterik neonatus dalam jangka pendek bisa
menyebabkan kejang-kejang pada bayi sedangkan dalam
jangka panjang bayi akan menderita kecacatan yang
menyerang neurologis.
Kerusakan otak adanya bilirubin indirek yang terdapat
pada otak adalah pengertian dari kern ikterus atau
ensefalopati biliaris. Komplikasi ini akan di tandai dengan
adanya kadar bilirubin pada darah yang sangat tinggi yaitu
lebih dari 20mg% untuk bayi lahir dalam cukup bulan dan
lebih dari 18mg% untuk bayi lahir dengan berat badan rendah,
dengan di ikuti tanda lain yaitu adanya kerusakan otak,
kejang-kejabg, tidak ada reflek menghisap, bayi mengalami
sianosis dan ada beberapa gangguan penyerta seperti
gangguan dengan pendengaran yang menyebabkan ketulian,
adanya gangguan dalam bicara, dan adanya retardasi mental.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Metode Visual
Untuk mengetahui adanya gejala ikterik pada neonatus,
perlu untuk di lakukan pemeriksaan visual. Penyebaran
ikterik pada mulanya berada di wajah kemudian menyebar
secara menyeluruh hingga bagian eksternitas, maka perlu
di lakukan evaluasi setiap hari dengan menekan bagian
dahi, midsternum, lutut atau pergelangan kaki untuk
mengecek adanya ikterik di bawah kulit dan jaringan
subkutan. Pemeriksaan ini dapat di lakukan pada kondisi
penerangan yang cukup, jika pada saat pemeriksaan visual
terdapat bayi ikterik maka perlu di lakukan konfirmasi
kadar bilirubin.
b. Pemeriksaan serum total bilirubin invasif
Di butuhkan fasilitas laboratorium yang khusus untuk
melakukan pemeriksaan ini. Pemeriksaan bilirubin perlu
di laksanakan setelah di lakukan pemeriksaan secara
langsung yang sudah keluar kemudian di bandingkan
dengan kurva American Academy of Pediatrich (AAP).
Metode pemekriksaan ini tentulah memiliki beberapa
kekurangan yaitu perlu 1ml sampel darah yang di
gunakan, hasil dari pemeriksaan memerlukan waktu
hingga 4 jam lebih karena membutuhkan tenaga
laboratorium khusus.
c. Pemeriksaan bilirubin Non-invasif
Di kenal juga dengan alat bilirubinometer transkutan
(TcB). Prinsip kerja alat ini seperti spektrofotometer
dengan memantulkan cahaya pada warna kulit yang
kemudian di ukur dan pengambilan di lakukan pada area
bawah sternum. Pemeriksaan ini dapat menjadi pilihan
untuk melakukan pemeriksaan bilirubin neonatus karena
metodenya yang cermat dan non-invasif. Kekurangan dari
alat ini adalah saat pasien menjalani fototerapi atau
berjemur di bawah sinar matahari, maka alat ini tidak bisa
di pakai, namun TcB ini cukup bisa di andalkan untuk
pemeriksaan bilirubin dengan kadar di bawah 15mg/dL.
d. Metode pemeriksaan kurang invasif, Blitick
Blistick ini memiliki beberapa keunggulan jika di
bandingkan dengan TcB. Beberapa keunggulan di
antaranya adalah metode pemeriksaan yang simple, cepat
tidak memerlukan reagen.
G. PENATALAKSANAAN
a. Pemberian terapi fenobarbital
Pemberian obat fenoberbital memerlukan waktu selama 48
jam agar hiperbilirubin bisa menurun, pemberian obat
fenoberbital dapat berfungsi sebagai perangsang enzim
untuk percepatan konjugasi, namun pengobatan dengan
cara ini tidak terlalu efektif untuk pemberian awal
(Manggiasih & Jaya, 2016)
b. Pemberian substrat
Dengan penatalaksanaan medis dengan memberikan
substrat untuk membantu transportasi inkonjugasi dengan
memberikan albumin, karena glukosa sangat di perlukan
untuk berlangsungnya konjugasi di hati sebagai sumber
energi
c. Pemberian fototerapi
Pemberian fototerapi merupakan tindakan dalam proses
penanganan ikterik neonatus, tindakan ini di lakukan
dengan memberikan sinar yang menggunakan lampu
sebagai alat utama terapi.
d. Transfusi tukar
Penatalaksanaan ini di lakukan dengan tujuan untuk
menangani anemia yang timbul dari eritrosit yang lemah
terhadap antibody eritrosit maternal, mengeluarkan serum
bilirubin yang berlebih dan meningkatnya albumin yang
tidak terikat dengan bilirubin serta menambah pengikatnya
terhadap bilirubin
e. Pemberian ASI
Pemberian ASI yang terus menerus akan menurunkan
kadar bilirubin pada bayi, di karenakan dalam ASI
mengandung banyak nutrisi yang di butuhkan dalam
perkembangan bayi dan kesehatan bayi. Fungsi utama ASI
yaitu untuk asupan nutrisi pada bayi serta meningkatnya
kekebalan dalam tubuh bayi (Herawati & Indriati, 2017)
2.1 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian meruapakan tahap awal dari proses
keperawatan. Pengkajian adalah proses pengumpulan demua
dari data klien atau keluarga, kelompok, komunitas, proses
mengelolanya menjadi imformasi, dan kemudian mengatur
informasi yang bermakna dalam ketagori penegetahuan, yang
di kenal sebagai diagnosis keperawatan. Ada dua jenis
pengkajian, pengkajian skrinng dan pengkajian mendalam.
Keduanya membutuhkan pengumpulan data, keduanya
mempunyai tujuan yang berbeda. Pengkajian skirining adalah
langkah awal pengumpulan data, dan mungkin mudah untuk
di selesaika (Internasional, 2018)
1. Identitas pasien
Meliputi nama, No RM, umur, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, asuramsi kesehatan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, No. registrasi, serta
dignosa medis
2. Riwayat kesehatan
Profil darah abnormal (hemolisis, bilirubin serum total.
10mg/dl, bilirubin serum total pada rentang resiko tinggi
menurut usia pada normogram spesifik waktu, membrane
mukosa kuning, kulit kuning, skelera kuning.
3. Keluhan utama
Dalam kasus ikterik orang tua akan mengatakan jika kulit
bayi menadi kuning yang muncul dalam waktu 24 jam
setelah bayi lahir, nilai pemeriksaan bilirubin total lebih
dari 12mg/dL
4. Riwayat penyakit terdahulu
Dari riwayat penyakit terdahulu meliputi penyakit yang
pernah di drita, biasanya dalam kasus ikterik penyakit
yang menyertai yaitu berat badan bayi lahir rendah
(kurang dari 2000 gram), usia gestasi kurang dari 36
minggu (prematur), adanya afiksia, hipoksa, gangguan
pernafasan, adanya infeksi dan bayi mengalami
hipoglikemi.
5. Riwayat keluarga
Beberapa penyakit keturunan yang memicu bayi
menderita risiko ikterik misalnya penyakit hipertensi,
diabetes dan adanya riwayat melahirkan anak kembar,
selain penyakit keturunan ada juga penyakit menahun
asma, jantung serta penyakit menular.
6. Riwayat ibu
Usia ibu sangat berpengaruh dalam menetukan bayi
terkena ikterik, usia ibu yang berisiko melahirkan bayi
dengan risiko ikterik yaitu antara usia <20 tahun dan >35
tahun, jarak kehamilan yang terlalu dekat, gizi kurang
pada ibu hamil ukuran lingkar lengan atas <23,5cm, ibu
yang memiliki riwayat penyakit turunan, ibu yang
mengonsumsi alkohol dan perokok.
7. Riwayat kelahiran
Faktor risiko bayi menderita ikterik neonatus adalah usia
gestasi yang belum cukup (kurang dari 37 minggu) dan
terjadinya infeksi selama hamil, adanya asfiksia, trauma
kepala hingga mengakibatkan rusaknya jaringan otot.
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Diagnosa keperawatan dan fokus intervensi
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis tentang
respon individu, keluarga atau kelompok terhadap proses
kehidupan atau masalah kesehatan. Aktual atau potensial dan
kemungkinana membutuhkan tindakan keperawatan untuk
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk rencana
keperawatan guna membantu pasien dalam mencapai tujuan
yang telah di tetapkan. Perawat melaksanakn atau
mendegelasikan tindakan keperawatan untuk rencana yang di
susun dalamtahap perencanaan da
E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses
keperawatan, dalam konteks ini aktivitas yang di rencanakan,
berkelanjutan dan terarah ketika pasien dan proffesional
kesehatan menentukan kemajuan-kemajuan pasien menuju
pencapain tujuan/hasil dan keefektifan rencana asuhan
keperawatan.
Evalusi ikterik merupakan salah satu dari bagian tanggung
jawab keperawatan yang membutuhkan pemikiran kritis yan
efektif. Perawat harus melakukan observasi dengan penuh
perhatian dan mengetahui respon apa yang akan di antisipasi
berdasarkan kualitas perubahan warna kulit dan waktu
pemberian terapi .
1. Elastisitas kulit meningkat
2. Hidrasi meningkat
3. Perfusi jaringan meningkat
4. Kerusakan jaringan menurun
5. Kerusakan lapisan kulit menurun
6. Pigmentasi abnormal menurun
7. Suhu kulit membaik
8. Sensasi membaik
9. Tekstur membaik
10. Pertumbuhan rambut membaik
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hiperbilirubinea yang di sebabkan oleh bilirubin
tarkonjugasi merupakan neoroksit dan dapat menyebakan
keiknterus. Keintekrus merupakan komplikasi dari
hiperbilirubinea yang paling berat selain memiliki angka
mortalitas yang tinggi, kerikterus juga dapat menyebabkan
cerebal palsy
DAFTAR PUSTAKA