Anda di halaman 1dari 3

Islam adalah agama yang sangat canggih.

Banyak pernyataan di dalam al-Qur’an maupun


hadits yang shahih bersifat konvergen, dalam arti mengarah kepada satu pemahaman yang
utuh. Sebaliknya, jika dipahami sepotong-sepotong, maka akan terjerumus ke dalam
pemahaman yang salah. Pemahaman yang salah, bukan saja tidak diinginkan, tetapi bisa
sangat membayakan umat manusia.

Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia. Dan jawaban atas pertanyaan pertama di
atas hanya akan bisa didapatkan apabila mengkonvergensikan setidaknya dua ayat, yaitu:

“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Wahai ‘Isa! Aku mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-
Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang
mengikutimu di atas orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian kepada-Ku engkau
kembali, lalu Aku beri keputusan tentang apa yang kamu perselisihkan.” (Ali ‘Imran: 55)

“Allah mewafatkan jiwa (seseorang) pada saat kematiannya dan jiwa (seseorang) yang belum
mati ketika dia tidur; maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan
Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh, pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.” (al-Zumar: 42)

Ayat pertama menginformasikan bahwa Allah mewafatkan Nabi Isa. Istilah mewafatkan,
terutama dalam konteks masyarakat Indonesia yang menjadikan kata wafat sebagai kata
serapan memang berpotensi menyebankan kekeliruan pemahaman.

Sebab, kata wafat didalam bahasa Indonesia disamakan dengan mati. Padahal al-Qur’an
memberikan perspektif tentang sisi perbedaannya. Berdasarkan ayat kedua, mati pasti wafat,
tetapi wafat belum tentu mati; tidur adalah keadaan wafat selain keaadaan mati.

Ayat lain yang menguatkan perspektif bahwa Nabi Isa tidak mati adalah: “…dan (Kami hukum
juga) karena ucapan mereka, “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, ‘Isa putra
Maryam, Rasul Allah.” Padahal, mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya,
tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa.” (al-Nisa’: 157).

Al-Qur’an menambahkan penguatan dengan bukti bahwa pernah ada kejadian tidur panjang
yang terasa hanya sehari atau bahkan setengah hari saja yang dialami oleh ashhaab al-kahfi.
“Dan mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.” (al-
Kahfi: 25).

Dari perspektif yang utuh tentang wafat dan mati, kemudian memahami persamaan sifatnya,
kita akan bisa memahami mengapa saat akan tidur umat Islam diajarkan berdo’a: “Bismika
Allahumma ahyaa wa bismika amuut (Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup, dan dengan nama-
Mu aku mati)” Dan saat bangun tidur berdoa: Alhamdullillahilladzi ahyaanaa ba’da maa
amaatanaa wa ilaihin nusyuur (Segala puji bagi Allah, yang telah membangunkan kami setelah
menidurkan kami, dan kepada-Nya lah kami dibangkitkan)” ((HR.Bukhari dan Muslim).

Dari contoh kecil ini, untuk memahami Islam dengan baik, maka diperlukan pemahaman tentang
perspektif-perspektif dalam al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad. Banyak sekali perspektifnya
nampak terbangun secara tidak hanya konvergen, tetapi selaras dengan konsepsi lain yang
konvergen pula, sehingga nampak indah dan mengagumkan.

Jika dalam melihat setiap persoalan yang digunakan adalah sekedar pikiran sendiri, maka hasil
yang akan muncul adalah sejumlah kepala yang berpikir. Dan perbedaan-perbedaan itulah yang
menimbulkan perdebatan tanpa ujung. Aaplagi jika ego sudah ikut terlibat. Agar tidak terjadi
perdebatan yang tidak perlu, maka Allah menetapkan ketetapan-ketetapan (al-kitab).
Nah, untuk mengetahui apa yang benar dan diinginkan oleh Allah itu, maka setiap muslim tidak
bisa tidak harus memahami dengan baik al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai dua sumber
mutlak ajaran Islam. Berbagai ketetapan dan informasi di dalamnya harus dipahami dengan baik
untuk menyudahi perbedaan pandangan, sehingga energi bisa digunakan untuk berpikir dan
bekerja dalam rangka membangun peradaban masa depan.

Sebab, di dalam al-Qur’an dan juga sunnah Nabi, selain informasi, konsepsi, dan ketetapan,
terdapat pula panduan untuk menggali ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika energi habis untuk
memperbincangkan dan memperdebatan sesuatu yang sudah tidak perlu diperbincangkan lagi
karena sudah sangat jelasnya, apalagi diberdebatkan, maka umat Islam akan semakin
ketinggalan.

Agar bisa begitu, maka umat Islam perlu agak serius mempelajari sumber ajaran agama. Di
antara langkah paling fundamental yang harus dilakukan adalam sebagai berikut:

Pertama, mempelajari bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi wajib karena al-Qur’an dan hadits
Nabi Muhammad dalam teks aslinya menggunakan bahasa Arab. Di antara kemu’jizatan al-
Qur’an terletak pada aspek bahasanya. Dan merasakannya tidak mungkin kecuali dengan
memahami bahasa aslinya.

Demikian pula untuk memahami pesan-pesannya, termasuk hal yang sesungguhnya sangat
sederhana di atas. Dengan menguasai bahasa Arab, segala pertanyaan tentang aspek-aspek
dalam Islam bisa dicari jawabannya secara langsung dari sumber utamanya. Akses langsung
kepada sumber ajaran Islam akan menjadi mudah dilakukan. Ini akan lebih mendekatkan umat
Islam kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Jika ingin meningkatkan lebih tinggi lagi penguasaan
bahasa Arab, maka harus menguasai balaghah.

Kedua, mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi sarana untuk memahami pesan terdalam al-Qur’an
dan sunnah. Penguasaan bahasa saja tentu saja tidak cukup. Jika hanya perlu bahasa saja,
tentu saja semua orang Arab akan memahami ajaran Islam. Atau orang yang bekerja bertahun-
tahun di Arab akan menguasai ajaran Islam.

Faktanya tidaklah demikian. Yang paling penting dipelajari setelah menguasai bahasa Arab
adalah ulum al-Qur’an, ulum al-hadits, manthiq, ushul al-fiqh, dan sirah nabawiyah. Dengan
menguasai ilmu-ilmu ini, penarikan pemahaman akan bisa dilakukan dengan benar.

Ketiga, memperkuat dan membiasakan kajian, bukan sekedar pengajian. Sikap ilmiah dengan
menganggap bahwa al-Qur’an dan hadits juga mengandung informasi ilmiah yang logis dan
positifistik harus dikembangkan. Dan itu akan menjadi bukti bahwa pernyataan-pernyataan al-
Qur’an yang bersifat tidak bisa diverifikasi karena masuk dalam kategori yang gaib adalah
benar.

Praktek memahami teks secara langsung harus dilakukan, bukan hanya mendengar orang lain
menyampaikan pendapat agar bisa membandingkan lalu melakukan pemilahan mana yang
memenuhi kriteria kebenaran dan mana yang tidak. Ini tidak akan terjangkau apabila yang
dilakukan lebih banyak pengajian yang umumnya membahas tentang persoalan-persoalan
khilafiyah yang mestinya sudah selesai tiga belas abad yang lalu.

Kajian yang mendalam dan fokus persoalan yang spesifik akan lebih memungkinkan umat Islam
untuk melangkah lebih maju. Sebab, tanpa informasi kitab suci, ilmu pengetahuan harus diraba-
raba terlebih dahulu untuk mengidentifikasinya.

Namun, dengan kitab suci yang benar ini, ilmu pengetahuan langsung terdeteksi. Tinggal
melakukan tindakan ilmiah lanjutan agar pengetahuan itu benar-benar secara konkret bisa
dimanfaatkan untuk pembangunan peradaban.

Anda mungkin juga menyukai