Anda di halaman 1dari 31

STUDI ISLAM

MAKALAH
AL-QUR’AN
DAN
HADIST

Nama : Prana Andypal


NIM : 06018039
Kelas :A

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2006
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan karunianya


kepada semua kaum muslimin dan diturunkannya kitab suci al-Qur’an yang mulia
sebagai pedoman hidup untuk manusia, yang telah menjamin terpeliharanya dalam
lubuk hati dan kitab-kitab kaum muslimin hingga akhir zaman, serta menjadikannya
Sunah Rasul sebagai kesempurnaan terpeliharanya al-Qur’an. Shalawat serta salam
senantiasa dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw yang telah
diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan kitab al-Qur’an dengan perkataan,
perbuatan, dan taqrirnya dengan bahasa yang jelas dan tegas. (Q.S. an-Nahl :44).
Ilmu al-Qur’an merupakan salah satu yang termasuk dalam ulumul Qur’an.
Ilmu al-Qu’an sangat perlu kita pelajari, karena hanya sedikit yang mengetahui apa
saja yang terdapat didalamnya termasuk juga tentang al-Qur’an. Banyak yang
melakukan penelitian dan pembahasan tentang al-Qur’an dari berbagai segi.
Sehingga bisa membuat tafsir tentang al-Qur’an, tetapi tidak sembarang orang yang
bisa membuat tafsir al-Qur’an tersebut karena terlebih dahulu harus memahami,
menghayati, dan mengamalkan al-Qur’an dengan sebaik-baiknya. Semua itu ada
terdapat dalam ilmu al-Qur’an. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih. D an
semoga upaya penulis ini menjadi amal jariyah yang diterima di sisi Allah SWT.

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB II Pembahasan
2.1 Wahyu
2.2 AL-Qur’an
2.3 Kemukjizatan Al-Qur’an
2.4 Metode Memahami Tafsir Al-Qur’an
2.5 Al-Hadis
2.6 Sejarah Periwayatan dan Pembukuan Hadis
2.7 Kedudukan dan Keutamaan Al-Hadis
2.8 Metode Memahami Al-Hadis

BAB III Penutup


3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


AL-Qur’an
Studi tentang Islam sudah kita pelajari mulai dari kecil, tetapi masih juga banyak yang
kurang memahami tentang apa saja yang terdapat dalam studi islam tersebut. Kebanyakkan
dari kita malas untuk mencari informasi-informasi yang terdapat dalam studi islam tersebut,
terutama pada kebanyakan mahasiswa. Padahal zaman sekarang sudah banyak sekali media
yang mendukung untuk mempermudah kita mencari berbagai informasi dalam berbagai
bidang.
Dalam tugas studi islam kali ini, saya sebagai penulis ingin membahas tentang ilmu al-
Qur’an. Banyak manfaat mempelajari tentang ilmu al-Quran, sebagai contoh kita mengetahui
sejarah bagaimana turunnya al-Qur’an tersebut baik melalui perantara atau langsung. Yang
secara tidak langsung dapat membuat kita semakin yakin atas kebesaran Tuhan dan kebenaran
al-Qur’an melalui wahyu-wahyu dari Allah. Masih banyak lagi manfaat yang bisa kita dapat
dari mempelajari ilmu al-Qur’an dan bisa juga kita jadikan pedoman hidup atau pengalaman
dari sejarah-sejarah terdahulu.
Sekarang banyak juga yang mempelajari tentang bagaimana menafsirkan al-Qur’an,
yang merupakan salah satu cabang dari Ulumul Qur’an. Dengan mengetahui dan memahami
cara-cara menafsirkan al-Qur’an dengan baik sesuai hukum-hukum yang berlaku tentang tafsir
al-Qur’an. Semua itu dapat kita ketahui dengan mempelajari ilmu al-Qur’an. Sesungguhnya
sangat rugi apabila kita tidak mau mempelajari tentang ilmu al-Qur’an.

Al-Hadist
Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Tanpa hadis,
Islam tidak akan tampak ajarannya, bahkan seseorang bisa tersesat, karena tidak mengenal
ajarannya secara utuh. Hadis juga merupakan wahyu Allah tetapi lafadznya saja yang berasal
dari Nabi. Untuk memudahkan pemahaman bagi pengikut Nabi atau umat-umatnya.
Zaman sekarang ini banyak manusia yang tidak menyadari pentingnya mempelajari
ilmu al-Hadis. Yang didalamnya banyak juga terdapat etika-etika tentang kehidupan umat
manusia dan dapat kita jadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya bagaimana cara
duduk yang baik sewaktu makan, dan masih banyak contoh yang lainnya lagi. Itu semua
adalah kebiasaan hidup sehari-hari Nabi saw, yang ditulis baik secara langsung atau pun tidak
diketahui oleh Nabi saw sendiri. Kita juga dapat pelajaran untuk mengetahui mana yang boleh
dilakukan atau tidak boleh dilakukan (dilarang), mana yang baik atau buruk, dan mana yang
halal atau yang haram.
Banyak penelitian tentang sumber ajaran agama yang melahirkan berbagai bentuk
hadis sesuai keperluannya. Hadis yang dibuat-buat kemudian dinisbatkan kepada Nabi saw
tanpa melalui periwayatan yang sah dan diklaim sebagai Hadis Nabi disebut hadis palsu atau
tergolong Hadis dha’if yang paling lemah dan sangat merugikan umat islam di seluruh dunia.

1.2 Rumusan Masalah


Al-Qur’an
Rumusan masalah dalam ilmu al-Qur’an, antara lain :
1. Mempelajari semua hal dan yang terkandung dalam al-Qur’an.
2. Mencari manfaat dalam mempelajari ilmu al-Qur’an.
3. Dapat mengetahui perbedaan antara al-Qur’an dan Hadist.
4. Mendapat pembelajaran tentang metode penafsirkan al-Qur’an.
5. Mencari kebenaran akan diturunkannya al-Qur’an melalui sejarah-sejarah.
AL-Hadist
Rumusan masalah dalam ilmu Hadis, antara lain :
6. Mempelajari semua hal dan yang terkandung dalam al-Hadis.
7. Pengetahuan tentang pengertian dan berbagai bentuk Hadis
8. Mencari manfaat dalam mempelajari ilmu al-Hadis.
9. Dapat mengetahui perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi.
10. Memahami kedudukan dan keutamaan al-Hadis.
11. Mendapat pembelajaran tentang metode memahami al-Hadis.

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini yaitu :
Al-Qur’an
1. Untuk mengenal dan memahami apa saja yang terkandung atau terdapat dalam ilmu al-
Qur’an.
2. Untuk mengetahui pengertian dan fungsi tentang wahyu dan al-Qur’an yang terdapat
dalam ilmu al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui perbedaan antara Hadis Qudsi dan al-Qur’an.
4. Untuk mempelajari bagaimana sejarah turunnya al-Qur’an, pemeliharaan, hingga
kemukjizatan yang diturunkan al-Qur’an.
5. Untuk memahami tentang metode tafsir al-Qur’an yang merupakan salah satu cabang
dari ulumul Qur’an.
Al-Hadist
6. Untuk mengenal dan memahami apa saja yang terkandung atau terdapat dalam ilmu al-
Hadis
7. Untuk mengetahui bentuk-bentuk hadis yang sahih.
8. Untuk mengetahui perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis.
9. Untuk mempelajari bagaimana sejarah periwatan dan pembukuan hadis.
10. Untuk mencari tahu tentang bagaimana kedudukan dan keutamaan al-Hadis.
11. Untuk memahami tentang metode al-Hadis dengan berbagai aspek.
WAHYU

I. Pengertian Wahyu
Ada banyak pengertian wahyu, diantaranya adalah :
1. Arti asal, wahyu adalah “bisikan halus” yang dibisikkan kepada telinga sehingga yang
dibisikkan itu faham yang dimaksud oleh orang yang membisikkan.
2. Menurut syara’ :
 Wahyu adalah irfan yang didapat oleh seseorang manusia utama, yang dia
sendiri yakin bahwa itu diterimanya dari Tuhan langsung atau dengan
perantara malaikat.
 Wahyu adalah pemberian Tuhan kepada Nabinya tentang hukum-hukum
Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi
meyakinkan kepada Nabi atau Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang
diterimanya adalah betul-betul dari Allah sendiri.
3. Menurut bahasa, wahyu adalah memberitahukan sesuatu dengan cara yang samar dan
cepat.
4. Menurut Etimologis, wahyu adalah semacam informasi yang rahasia, cepat dan khusus
diketahui oleh pihak-pihak yang dituju saja.
5. Menurut Terminologis, wahyu adalah kalam Allah yang diturunkan kepada para Nabi
dan Rasul-Nya.

Kata wahyu dari berbagai bentuknya dalam al-Qur’an paling tidak memiliki empat
pengertian, diantaranya :
1. Isyarat (Q.S. Maryam, 19:11)
2. Ilham (Q.S. al-Qasas, 28:7)
3. Insting/naluri (Q.S. An-Nahl, 16:68)
4. Bisikan halus (Q.S al-An’am, 6:112)
Wahyu yang dimaksud dalam ayat 163 surat An-Nisa adalah pengertian yang asli,
yaitu pengertian ma’rifat yang didapati oleh seorang Nabi didalam hatinya penuh keyakinan,
bahwa pengertian itu datangnya dari Allah, baik langsung maupun memakai perantara.
II. Cara Penyampaian Wahyu
Surat As-Syura ayat 51

Artinya:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah
berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau
dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu
diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki.
Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”

Berdasarkan ayat diatas, maka wahyu ada tiga macam :


1. Pemberian Tuhan dengan cara ilham tanpa perantara, termasuk dalam bagian ini
adalah mimpi yang tepat dan benar, seperti yang pernah dialami Nabi Ibrahim yang
menerima perintah untuk menyembelih putranya (Nabi Ismail). (Q.S. Ash-
Shaffat:102)
2. Mendengar Firman Allah dibalik tabir, seperti yang dialami Nabi Musa ketika
menerima pengangkatan kenabiannya. (Q.S. Thaha:11-12)
Demikian juga yang dialami Nabi Muhammad pada peristiwa Mi’raj, yang menerima
perintah langsung dari Allah untuk mendirikan sholat lima waktu.
3. Penyampaian wahyu/amanat Tuhan dengan perantaraan Jibril as yang didalam al-
Qur’an disebut “al-Ruhul Amin”, ada dua macam :
 Nabi dapat melihat kehadiran malaikat Jibril yang menjelma sebagai manusia,
diperkirakan sebagai seorang laki-laki. Cara ini lebih ringan, karena ada
kesesuaian antara pembicara dengan pendengar.
 Nabi tidak melihat malaikat Jibril waktu menerima wahyu, tetapi beliau
mendengar pada waktu datangnya malaikat itu seperti suara lebah atau seperti
suara gemerincing bel. Cara demikian yang dirasa paling berat bagi Rasul
karena harus mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima,
menghafalkan dan memahaminya.
III. Fungsi Wahyu
Menurut Muhammad Abduh, wahyu mempunyai dua fungsi pokok. Pertama, timbul
dari keyakinan bahwa jika manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh kasar mati. Ini
bukan hasil dari pemikiran yang sesat dari akal dan bukan pula suatu khayalan, karena umat
manusia hanya sedikit saja yang sepakat menyatakan bahwa jiwa akan hidup setelah
meninggalkan tubuh. Kedua, mempunyai kaitan erat dengan sifat dasar manusia sebagai
makhluk sosial.
Untuk mengatasi masalah atau konflik yang terjadi dalam kehidupan manusia, maka
dibutuhkan wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Dengan demikian, wahyu
menolong akal untuk mengetahui alam akhirat serta kehidupan manusia di sana dan untuk
mengetahui sifat kesenangan serta bentuk perhitungan yang dihadapinya di akhirat.
Selanjutnya wahyu dapat menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-
prinsip umum yang dibawanya dan dalam mendidik manusia untuk hidup damai dan tenteram
dengan sesamanya.
Sesungguhnya akal dapat mengetahui adanya Allah dan dapat mengetahui bahwa
manusia wajib beribadat dan berterima kasih kepada-Nya, akan tetapi akal tidak mampu
mengetahui semua sifat-sifat Allah. Akal juga dapat mengetahui perincian kebaikan dan
kejahatan. Hanya Allah yang mengetahui semunya.
Fungsi lain dari wahyu adalah menguatkan pendapat akal dan meluruskannya melalui
sifat sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu. Sifat absolut inilah yang membuat orang
tunduk kepada sesuatu. Memang akal manusia dapat mengetahui kewajiban berterima-kasih
kepada Allah, kewajiban berbuat baik, dan menjauhi perbuatan jahat, serta selanjutnya dapat
membuat hukum dan peraturan mengenai kewajiban-kewajiban itu, agar manusia dapat tunduk
pada hukum dan peraturan yang dibuatnya.
Menurut beberapa riwayat ada 40 atau 42 orang penulis wahyu di jaman Nabi saw
sejak turunnya hingga berbentuk mushaf. Akan tetapi yang aktif hanya 25 orang, atau malah
kurang dari itu. Di antara sekian banyak sahabat penulis wahyu, Zaid bin Tsabit dan Ubay bin
Ka’ab adalah dua orang penulis wahyu yang paling popular. Keduanya senantiasa
mendampingi Nabi saw dalam kesehariannya. Dan seorang lain, “sekretaris eksekutif” yaitu
Ali bin Abi Thalib.
AL-QUR’AN

I. Pengertian Al-Qur’an
Berbagai macam pendapat tentang pengertian al-Qur’an :
1. Secara Etimologi
• Al-Qur’an tidak terambil dari kata lain, tetapi berdiri sendiri. Oleh karena itu, al-
Qur’an hanya nama resmi untuk firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
• Al-Qur’an berasal dari kata qara’in jama’ dari qorinah, karena antara ayat yang
satu dengan yang lain saling melengkapi dan beriringan.
• Al-Qur’an berasal dari kata qarana yang berarti menggabungkan sesuatu dengan
yang lain, sebab surta-surat maupun ayat-ayat bahkan huruf-hurufnya saling
beriringan dan bergabung satu dengan yang lain.
• Al-Qur’an berasal dari kata qari’ yang berarti mengumpulkan. Hal karena al-
Qur’an menghimpun surat-surat sehingga membentuk satu kesatuan.
• Al-Qur’an berasal dari kata qiro’ah yang berarti bacaan dan berbentuk mashdar.
“Qur’an” menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al
Salih, berarti “bacaan” asal kata qara-a. Kata al-Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim
maf’ul, yaitu maqru’ (dibaca).
2. Secara Terminologi
• Al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, yang ditunkan kepada
Nabi dan Rasul terakhir, baik langsung maupun melalui perantara.
• Al-Qur’an adalah lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw, yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, dan menantang setiap orang
untuk menyusunnya walaupun dengan membuat surat yang terpendek daripadanya.
• Al-Qur’an adalah perkataan yang mengandung mukjizat, yang ditunkan kepada
Nabi Muhammad saw, yang ditulis dalam mushaf, dan yang membacanya dianggap
ibadah.
Adapun definisi al-Qur’an ialah “kalam Allah swt yang merupakan mukjizat, yang
diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad saw, dan yang ditulis di mushaf kemudian
diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.” (Depag. RI., Al-Qur’an
dan terjemahannya, 1985:16)

Cara turunnya al-Qur’an , ada 3 macam pendapat :


1. Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia pada malam al-Qadar sekaligus, dari awal
hingga akhir. Kemidian dirunkan berangsur-angsur dalam tempo 20 tahun atau 23
tahun.
2. Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia dalam 20 kali Lailatur Qadar dalam 20 tahun
atau 23 tahun.
3. Al-Qur’an itu permulaan turunnya ialah di malam al-Qadar, kemudian setelah itu
diturunkan secara berangsur-angsur dalam berbagai waktu.
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur selama 2 tahun 2 bulan 22 hari,
baik langsung maupun melalui perantara malaikat Jibril. Dan setiap kali bulan ramadhan Jibril
menguji hafalan Qur’an Rasulullah, kecuali menjelang beliau wafat.

II. Nama-Nama Lain Al-Qur’an


Nama al-Qur’an yang disebut dalam Kitab suci al-Qur’an ada 70 kali, diantaranya :
1. Al-Burhan, artinya mengandung alasan-alasan, argumentasi, yang dapat difahami dan
diterima oleh akal manusia. (Q.S. An-Nisa’ (4):174)
2. An-Nur, maksudnya cahaya yang menerangi dan memancarkan sinar terang ditengah-
tengah kegelapan.
3. Al-Bayan, artinya memberikan keterangan tentang segala sesuatu masalah dan
persoalan yang dijumpai dalam kehidupan.
4. Adz-Dzikir, maksudnya peringatan kepada umat manusia agar menempuh jalan yang
lurus untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. (Q.S. al-Hijr (15):9)
5. Al-Furqan, artinya pemisah antara haq dan bathil, antara yang benar dengan yang
palsu, antara keadilan dengan kezaliman dan lain-lain. (Q.S. al-Furqan (25):1)
6. Al-Huda, artinya memberi petunjuk. (Q.S. Fush Shilat (41):44)
7. Ar-Ruh, artinya jiwa atau semangat yang mendorong manusia untuk mencapai
kejayaan.
8. Al-Kitab, lihat surat al-Baqarah (2):2 dan surat al-An’am (6):114.
9. At-Tanzil, artinya sesuatu yang diturunkan.
III. Perbedaan Antara Al-Qur’an dengan Hadis Qudsi
Dalam hal ini ada dua pendapat :
a. Pendapat pertama mengatakan, bahwa Hadis Qudsi termasuk firman Allah, bukan
sabda Nabi, tetapi Nabi hanya menceritakan saja, dengan alasan-alasan seperti :
1. Hadis Qudsi selalu disandarkan kepada Allah. Oleh karena itu
Hadis Qudsi juga dinamai Hadis Ilahy.
2. Nabi bersabda, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Wahai hamba-
hamba-Ku, sesungguhnya aku mengharamkan penganiayaan atas diri-Ku.”
3. Bahwa sanad Hadis Qudsi itu tidak hanya berakhir pada Nabi,
tetapi sampai kepada Allah melalui Nabi; sedangkan sanad Hadis Nabawi (Hadis
biasa) hanya sampai kepada Nabi.
Menurut pendapat ini, meskipun Hadis Qudsi itu termasuk firman Allah, tetapi ia tidak
mempunyai status yang sama dengan al-Qur’an, karena al-Qur’an diterima secara
mutawatir, sedangkan Hadis Qudsi seperti keadaan Hadis-Hadis Nabawi lainnya yang
pada umumnya diterima secara Ahad (perorangan).
b. Pendapat kedua mengatakan, bahwa Hadis Qudsi itu lafadznya dari Nabi sendiri
seperti Hadis-Hadis Nabawi lainnya.
Yang berpendapat demikian antara lain Abu al-Baqa’ dan al-Thibi.
IV. Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dan penyampaiannya secara
keseluruhan memakan waktu lebih kurang 23 tahun, yakni: 13 tahun waktu Nabi masih tinggal
di Makkah sebelum Hijrah disebut surat/ayat Makkiyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah
hijrah ke Madinah disebut surat/ayat Madaniyah. Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi
Muhammad pada malam Qadar tanggal 17 Ramadhan pada waktu Nabi telah berusia 41 tahun,
bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.
Surat/ayat Makkiyah merupakan 19/30 dari al-Qur’an, surat dan ayat-ayatnya pendek-
pendek dan gaya bahasanya singkat-padat (ijaz). Isi surat/ayat Makkiyah pada umumnya
berupa ajakan/seruan untuk bertauhid yang murni (pure monotheisme) atau Ketuhanan Yang
Maha Esa secara murni dan juga tentang pembinaan mental dan akhlak.
Surat/ayat Madaniyah merupakan 11/30 dari al-Qur’an, surat dan ayat-ayatnya
panjang-panjang dan gaya bahasanya panjang lebar dan lebih jelas (ithnad). Isi surat/ayat
Madaniyah pada umumnya berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan
suatu masyarakat/umat islam dan Negara yang adil dan makmur yang di ridhai Allah swt.
Hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur :
1. Untuk meneguhkan hati Nabi dalam melakukan tugas sucinya, sekalipun ia
menghadapi hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan yang beraneka macam (surat
al-Furqan:32-33).
2. Untuk memudahkan bagi Nabi menghafalkan al-Qur’an, sebab ia ummy (tidak
pandai baca tulis).
3. Untuk meneguhkan dan menghibur hati umat islam yang hidup dimasa Nabi
(surat an-Nur:55). Dan juga untuk meringankan bagi umat islam yang menghafalkan
al-Qur’an sebab mereka pada umumnya masih buta huruf.
4. Untuk memberi kesempatan sebaik-baiknya kepada umat islam untuk
meninggalkan sikap mental dan tradisi-tradisi pra islam (zaman Jahiliyah) yang negatif
secara berangsur-angsur.

V. Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an


a. Pada Masa Rasulullah
1. Para penulis : setiap kali (sahabat) menerima wahyu , Rasulullah memanggil beberapa
sahabat dan memerintahkan salah seorang diantara mereka menulis dan
membukukannya. Mereka itu disebut sebagai kuttab al-wanyi (para penulis wahyu).
2. Pola pengumpulannya : Zaid bin Tsabit mengatakan bahwa pengumpulan al-
Qur’an pada masa Rasulullah adalah dengan mengurutkan al-Qur’an pada kulit daun.
3. Alat tulis : Al-Usb (pelepah kurma), al-Likhaf (batu-batu yang tipis), ar-Riqa’
(potongan dari kulit kayu atau dedaunan), al-Karanif (kumpulan pelepah kurma yang
lebar), al-Aqtab (kayu yang diletakkan dipunggung unta sebagai alas untuk
ditunggangi), Aktaf (tulang kambing atau tulang unta yang lebar).
b. Pada Masa Khalifah
1. Masa Abu Bakar as-Shiddiq
Setelah Rasullullah wafat kemudian Abu Bakar diangkat/dipilih sebagai khalifah.
Pada masa itu sebagian bangsa Arab ada yang murtad. Abu bakar mengutus satu pasukan
tentara untuk memerangi mereka, sehingga terjadilah peperangan yang akhirnya banyak
memakan korban, diantaranya sahabat Nabi yang hafal al-Qur’an. Kejadian ini membuat
sahabat khawatir dan kemudian mereka ingin al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf
dan terpilihlah Zaid bin Tsabit sebagai tim.
2. Masa Utsman bin Affan
Pada masa Utsman, terjadilah perbedaan bacaan al-Qur’an di kalangan umat islam
dan kalau hal ini dibiarkan, bisa mengganggu persatuan dan kesatuan umat islam. Atas
saran Hudzaifah untuk menyeragamkan penulisan al-Qur’an maka di bentuklah panitia
yang terdiri dari empat orang.
c. Pada Masa Modern
Pada masa sekarang karena media dan alat perekam suara telah ditemukan, maka
bacaan bisa diulang-ulang kembali dalam rangka menyebarkan al-Qur’an dan
mengembangkannya di dunia islam. Orang-orang yang cemburu terhadap islam dan orang-
orang yang antusias untuk menyebarkannya, telah menyadari ketika mendengar rekaman-
rekaman tersebut dan akhirnya berlomba-lomba untuk memasukkan al-Qur’an ke dalam
kaset (pita suara) agar bisa didengar setiap orang.

KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN

I. Pengertian Mukjizat al-Qur’an


Menurut bahasa, kata mukjizat berasal dari kata ‘ajaza (lemah). Sehingga mukjizat
adalah hal yang melemahkan, yang menjadikan sesuatu atau pihak lain tidak berdaya.
Mukjizat dalam bahasa arab adalah menisbatkan yang lemah kepada orang lain. Allah
berfirman dalam Q.S. al-Maidah (5):31

Artinya :
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi
untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya
menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku,
mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara
orang-orang yang menyesal..” (Q.S. al-Maidah (5):31)
Secara istilah, yang dimaksud dengan mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran Nabi
dalam pengakuannya sebagai Rasul dengan menampakkan kelemahan orang-orang untuk
menghadapi mukjizat.
Kemukjizatan al-Qur’an adalah keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki al-
Qur’an yang menetapkan kelemahan manusia baik secara individual maupun kolektif, untuk
mendatangkan sesuatu yang serupa atau menyamainya. Mukjizat al-Qur’an bukan berarti
melemahkan manusia tetapi memberikan pengertian kepada mereka tentang kelemahan
mereka untuk mendatangkan sesuatu yang sejenis dengan al-Qur’an, menjelaskan bahwa kitab
Allah ini haq, dan Rasul yang membawanya adalah rasul yang benar.
Kemukjizatan al-Qur’an antara lain terletak pada fashahah dan balaghahnya,
susunannya dan gaya bahasanya, serta isi yang tiada bandingnya. Allah sengaja menantang
orang-orang Arab untuk membuat yang semisal al-Qur’an dengan tiga tahapan :
1. Menantang mereka dengan seluruh al-Qur’an dengan uslub umum yang meliputi
orang Arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tantangan yang
mengalahkan kemampuan mereka secara padu melalui firman-Nya. (Q.S. al-Isra’
(17):88)
2. Menantang mereka dengan sepuluh surat saja dari al-Qur’an, sebagaimana dalam Q.S.
Hud (11):13.
3. Menantang mereka dengan satu surat saja dari al-Qur’an, sebagaimana dalam Q.S.
Yunus (10):38.
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi
Muhammad. Hal ini dapat disaksikan oleh seluruh umat manusia sepanjang masa untuk
menjamin keselamatan dan kemurnian al-Qur’an.
Mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan Nabi-nabi lainnya ada dua
jenis :
Pertama : Hissi, yaitu mukjizat yang dapat dilihat oleh mata, didengar, dirasa, dan
ditangkap oleh panca indera. Ia sengaja ditunjukkan kepada manusia yang tidak mampu
menggunakan akal pikiran dan kecerdasannya untuk menangkap keluarbiasaan Allah.
Kedua : Maknawi, yaitu mukjizat yang tidak dapat dicapai dengan kekuatan panca
indera semata, tetapi harus dicapai dengan kekuatan dan kecerdasan akal pikiran. Hanya
orang-orang yang mempunyai akal sehat dan kecerdasan yang tinggi, mempunyai hati nurani
dan berbudi pekerti luhur sajalah yang mampu menangkap dan memahami kebesaran mukjizat
seperti ini.
Kedua mukjizat ini diberikan kepada Nabi Muhammad dan juga al-Qur’an
mengandung keduanya. Bahkan maknawi lebih besar porsinya dibandingkan hissi. Al-
Qur’an memang dipersiapkan untuk menghadapi dan mengendalikan segala zaman.
Banyak komentar yang muncul oleh para ulama-ulama tentang kemukjizatan al-
Qur’an, sehingga al-Qur’an secara terus-menerus menantang semua kesusastraan Arab untuk
mencoba menandinginya, tetapi tidak seorang pun yang mampu menjawab tantangan al-
Qur’an.
Adapun mengenai segi atau kadar manakah mukjizat itu, maka jika seorang peneliti
yang obyektif mencari kebenaran al-Qur’an dari aspek manapun yang ia sukai, ia akan
temukan kemukjizatan itu meliputi tiga macam aspek, yaitu aspek bahasa, aspek ilmiah, dan
aspek tasyri’. Kemukjizatan ilmiah al-Qur’an yaitu melalui semangatnya dalam memberikan
dorongan kepada manusia dalam berpikir menggunakan otaknya.
II. Aspek Kemukjizatan al-Qur’an
Pendapat dan panduan ulama kalam tentang aspek kemukjizatan al-Qur’an berbeda-
beda. Satu golongan ulama berpendapat, al-Qur’an itu mukjizat dengan balaghahnya yang
mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingnya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi
kemukjizatan al-Qur’an itu ialah kandungan badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan apa
yang telah dikenal dalam perkataan orang Arab.
Muhammad Ali as-Shabuni dalam kitab at-Tibyan menyebutkan segi-segi
kemukjizatan al-Qur’an sebagai berikut :
1. Susunannya yang indah, berbeda dengan susunan yang ada dalam bahasa orang-orang
Arab.
2. Terdapat uslub yang unik, berbeda dengan semua uslub bahasa Arab.
3. Bentuk undang-undang yang detail, yang sempurna melebihi undang-undang yang
dibuat oleh manusia.
4. Menggambaarkan hal-hal yang gaib, yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.
5. Tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang dipastikan
kebenarannya.
6. Menepati janji yang dikabarkan dalam al-Qur’an.
7. Mengandung prinsip-prinsip ilmu-ilmu pengetahuan didalamnya.
8. Berpengaruh kepada hati engikut dan musuhnya.

Sedangkan Quraish Shihab berpendapat bahwa pada garis besarnya mukjizat al-
Qur’an tampak dalam tiga hal pokok :
1. Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra Arab.
2. Kandungan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkan.
3. Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenarannya.
Al-Qur’an itu mukjizat dengan segala makna yang dibawa dan dikandung oleh lafaz-
lafaznya. Al-Qur’an membawa ajaran penting bagi manusia sepanjang jaman di segala segi
kehidupan. Al-Qur’an tidak bisa ditiru, bukan hanya dalam kefasihan dan gaya bahasanya
yang mengagumkan, melainkan juga dalam hal isinya.

METODE MEMAHAMI TAFSIR


AL-QUR’AN

I. Pengertian Tafsir
Ada beberapa pengertian tafsir, diantaranya yaitu :
1. Tafsir dalam arti sempit yaitu tidak lebih dari menerangkan lafal-lafal ayat dan
I’rabnya serta menerangkan segi-segi sastra susunan al-Qur’an dan isyarat-isyarat
ilmiahnya.
2. Tafsir dalam arti luas yaitu yang bertujuan utama menjelaskan petunjuk-petunjuk al-
Qur’an dan ajaran-ajaran serta hukum-hukumnya dan nikmat Allah di dalam
mensyari’atkan hukum-hukum kepada umat manusia.
3. Tafsir menurut istilah
• Abu Hayyan.
Tafsir yaitu ilmu yang membahasa tentang cara pengucapan lafadz-
lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hokum-hukumnya, dan
makna-makna yang dimungkinan baginya ketika tersusun serta hal-hal yang
melengkapinya.
• Az-Zarkasyi.
Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya, serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
4. Tafsir menurut bahasa
• Sebagian Ulama mengatakan bahwa kata tafsir berasal dari dari
kebalikan kata safar, sehingga tafsir berarti penerangan/keterangan.
• Imam Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir itu berasal dari kata
“tafsirah”, yang berarti statoskop (alat yang dipakai oleh para dokter).
• Menurut Syekh Mannaa’ul Qaththan, kata tafsir itu mengikuti wazan taf’iil,
dari kata fassara yang berarti menerangkan, membuka, dan menjelaskan makna yang ma’quul.
• Menurut Ibnu Mandzuur, perkataan tafsir itu berarti Al-Bayan atau
keterangan/kupasan.
II. Sistematika dan Macam-Macam Tafsir
Sistematika penafsiran al-Qur’an, diantaranya :
a. Sistematika sederhana, yaitu yang tidak banyak mengemukakan segi-segi
penafsirannya dan biasanya hanya memberi kata-kata sinonim dari lafal-lafal ayat yang
sukar serta sedikit penjelasan ringkas.
b. Sistematika sedang, yaitu yang hanya mengemukakan dua-tiga segi penafsiran saja.
c. Sistematika lengkap, yaitu yang banyak mengemukakan segi-segi penafsiran ayat.

Macam-macam tafsir al-Qur’an :


a. Tafsir ringkas, ialah yang hanya menerangkan makna lafal dengan sistematika yang
sederhana.
b. Tafsir sedang, yaitu yang menjelaskan makna lafal-lafalnya ayat al-Qur’an dengan
memakai sistematis yang sedang.
c. Tafsir yang luas, yaitu tafsir yang menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur;an dengan
sistematis yang lengkap.

III. Metode Tafsir


a. Metode Tahlili (Analisis)
Yang dimaksud dengan metode Tahlili adalah penjelasan tentang arti dan maksud
ayat-ayat al-Qur’an dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan
menjelaskan ayat demi ayat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf melalui penafsiran
kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasaban, serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufasir itu. Metode Tahlili lahir jauh sebelum metode
Maudhu’iy.
b. Metode Maudhu’iy
Dalam perkembangannya metode Maudhu’iy mengambil dua bentuk penyajian.
Pertama, penyajian kotak yang berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat dalam ayat-ayat
yang terangkum pada satu surat saja. Kedua, penghimpunan pesan-pesan al-Qur’an yang
terdapat dalam satu surat saja belum menuntaskan persoalan, sehingga dihimpun saja
pesan-pesan yang terdapat dalam berbagai surat lainnya untuk memberikan jawaban utuh
dan tuntas.
Banyak keistimewaan dari metode ini. Dan tidak mudah menerapkan metode
maudhu’i. Mufasir yang menggunakannya dituntut untuk memahami ayat demi ayat yang
berkaitan dengan judul yang ditetapkannya.
Persyaratan menerapkan metode maudhu’I, yaitu :
 Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
 Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
 Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan
tentang asbab al-nuzulnya.
 Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
 Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
 Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok
bahasan.
 Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian sama sehingga semuanya
terkumpul menurut bagian-bagiannya.

Metode Tahlili berbeda dengan metode Maudhu’iy. Perbedaannya antara lain :


1. Pertama
Mufasir Maudhu’iy dalam penafsirannya tidak terikat dengan susunan ayat dalam
mushaf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian.
Sedangkan mufasir Analisis memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam
mushaf.
2. Kedua
Mufasir Maudhu’iy tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung
dalam satu ayat, tetapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang
diterapkan. Sementara para mufasir Analisis berusaha untuk berbicara menyangkut
segala sesuatu yang ditemukan dalam setiap ayat.
3. Ketiga
Mufasir Maudhu’iy berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan
yang menjadi pokok bahasannya. Sedangkan mufasir Analisis biasanya hanya
mengemukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri.
c. Metode Muqarin (Komparasi)
Yang dimaksudkan dengan metode Komparasi adalah membandingkan ayat-ayat
al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang membicarakan tentang
masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah
atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam obyek bahasan metode ini
adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi saw yang tampaknya
bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-
ayat al-Qur’an.
Dalam metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat
seperti dikemukakan diatas, sang mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud dengan masing-masing ayat atau
perbedaan kasus/masalah itu sendiri. (Surat al-Isra’ : 31)
AL-HADIS

I. Pengertian al-Hadis
Menurut pendapat yang berlaku di kalangan muhaddisin, lebih-lebih para
muta’akhhkhirin, kita dapat menjumpai bahwa istilah Hadis dan Sunah adalah sinonim.
Dimana keduanya mempunyai pengertian sebagai isnad (penyandaran) perkataan, perbuatan,
penetapan dan sifat kepada Nabi saw. Akan tetapi dikembalikan kepada akar katanya dan
kemunculannya secara histories, akan ditemukan adanya perbedaan antara kedua istilah
tersebut.
Kata al-Hadis adalah menurut masdar, dari kata kerja haddasa – yuhaddisu – tahdisan,
yang mempunyai arti al-khabar (berita/cerita) atau al-ikhbar (menceritakan). Bentuk tunggal
dari kata al-Hadis adalah uhdusah (berdasarkan qiyas), kemudian dijadikan bentuk jama’
untuk lafaz hadis.
Ada beberapa pengertian secara Terminologis hadis yang berbeda dengan yang lain :
1. Menurut ulama hadis : sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw berupa perkataan,
perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya. (Termasuk sifat fisik Nabi saw)
2. Menurut ulama ushul : segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi yang bersangkut
paut dengan hukum.
Dengan demikian sesuatu yang dibuat-buat kemudian dinisbatkan kepada Nabi saw
tanpa melalui periwayatan yang sah dan diklaim sebagai Hadis Nabi saw disebut hadis
mawdu’ (palsu) atau tergolong Hadis dha’if yang paling lemah.

II. Bentuk-Bentuk Hadis


1. Hadis Qauli
Hadis qauli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi saw yang berupa
perkataan atau ucapan yang memuat beberapa maksud syara’, peristiwa, dan keadaan,
baik yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, akhlaq maupun yang lainnya.
Contohnya : “Bahwasanya amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya dan bagi
setiap orang akan memperoleh sebagaimana yang diniatkan. (H.R. Bukhari Muslim)”
2. Hadis Fi’li
Hadis fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi saw berupa
perbuatannya yang sampai kepada kita. Perbuatan itu merupakan petunjuk praktis
terhadap peraturan syari’at yang belum jelas pelaksanaannya. Contohnya : “Konon
Rasulullah shalat di atas kendaraan (menghadap kiblat) menurut kendaraan itu
menghadap. Apabila beliau hendak shalat fardhu, beliau turun sebentar terus
menghadap kiblat. (H.R. Bukhari)”
3. Hadis Taqriri
Taqrir adalah keadaan ketika beliau mendiamkan, tidak menyanggah dan
menyetujui apa yang telah dilakukan dan dikatakan oleh para sahabat dihadapan
beliau. Sehingga yang dimaksud hadis taqriri adalah hadis yang berisi segala ketetapan
Nabi saw terhadap apa yang datang dari sahabat Nabi saw, membiarkan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi beberapa syarat baik
mengenai pelakunya maupun perbuatannya. Contoh : “Dalam suatu jamuan makan,
Khalid bin Walid menyajikan daging biawak dan mempersilahkan Nabi saw untuk
menikmati, kemudian Nabi saw menjawab : Tidak (maaf).”

III. Pengertian Hadis Qudsi


Hadis Qudsi adalah firman Allah yang lafadznya disusun oleh Nabi Muhammad atau
oleh Malaikat yang menyampaikannya. Hadis Qudsi meskipun termasuk firman Allah, tetapi
ia tidak mempunyai status yang sama dengan al-Qur’an, karena al-Qur’an diterima secara
mutawatir, sedangkan Hadis Qudsi seperti keadaan hadis-hadis Nabawi lainnya yang
umumnya diterima secara Ahad (perorangan).

IV. Perbedaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi


Tidak banyak perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi karena lafadznya
sama-sama dari Nabi sendiri dan termasuk firman Allah. Perbedaannya hanya pada, bahwa
sanad Hadis Qudsi itu tidak hanya berakhir pada Nabi, tetapi sampai kepada Allah melalui
Nabi; sedangkan sanad Hadis Nabawi (Hadis biasa) hanya sampai kepada Nabi saja.
SEJARAH PERIWAYATAN
dan
PEMBUKUAN HADIS

I. Pada Masa Rasulullah


Ketika Rasulullah saw wafat, al-Qur’an telah dihapalkan dengan sempurna oleh para
sahabat. Selain itu, ayat-yat suci al-Qur’an seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum
terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunah dalam penulisannya ketika
itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya al-Qur’an. Penulisan hadis dilakukan oleh
beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasulullah sebagaimana
ia memerintahkan mereka untuk menulis al-Qur’an. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat
memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah
mereka dengar dari Rasulullah saw.
Di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasul
adalah Abdullah bin Amr bin Ash, yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.
Sebagian sahabat menyatakan keberatannya atas pekerjaan yang dilakukan Abdullah itu.
Karena Rasulullah telah bersabda : “Janganlah kamu tulis apa-apa uyang kamu dengar dari
aku selain al-Qur’a. dan barang siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an,
hendaklah dihapuskan.” (H.R. Muslim)
Mengenai keberatannya para sahabat atas apa yang dilakukan Abdullah, maka
Abdullah langsung saja bertanya kepada Rasulullah yang kemudian bersabda : “Tulislah apa
yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku ditangannya, tidak keluar dari mulutku
selain kebenaran.”
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas
bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa
Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Yang
dikhawatirkan oleh Nabi saw adalah tercampur-aduknya antara hadis dan al-Qur’an. Oleh
karena itu, setelah al-Qur’an ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya,
maka tidak ada larangan untuk menulis hadis. Dan izin menulis hadis diberikan kepada orang-
orang yang tidak kuat ingatan/hapalannya saja.

II. Pada Masa Khulafaur Rasyidin


Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat (zaman
al-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah). Usaha-usaha para sahabat di dalam membatasi hadis
dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan, karena suhu politik umat Islam
secara internal mulai labil yang menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya, para
sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Mereka melakukan
periwayatan hadis dengan dua cara :
1. Periwayatan bi al-lafdz, adalah redaksi hadis yang diriwayatkan betul-betul sama
dengan yang disabdakan oleh Nabi.
2. Periwayatan ma’nawi, ialah redaksi hadis yang diriwayatkan berbeda dengan yang
disabdakan Nabi, tetapi substansinya sama.

III. Pada Masa Tabi’in


Penyebaran hadis ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang
berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi’in besar, dan juga wilayah islam sudah semakin
bertambah luas. Dengan demikian berdampak kepada menyebarnya hadis yang di bawa oleh
para sahabat yang pindah ke wilayah-wilayah tersebut untuk menjadi pimpinan atau menjadi
guru (pengajar) di sana. Pada masa tabi’in ini juga termasuk periode penulisan dan pembukuan
hadis secara resmi (‘ashr al-kitabat wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah
resmi dari khalifah Umar bin Abd al-‘Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah
khalifah Bani Umayah kedelapan yang mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad
bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadis, karena bercanpur-baurnya hadis
sahih dengan hadis palsu. Disamping itu juga rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis-hadis
dengan meninggalnya para ulama dalam perang.
Pentadwinan terus berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga melahirkan para
ulama hadis. Dan juga dihasilkan pula sejumlah kitab-kitab hadis karya para ulama, baik
berupa al-Jami’, al-Musnaf, maupun al-Musnad. Kitab-kitab hadis terbitan periode ini belum
terseleksi betul sehingga masih bercampur antara hadis Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa
tabi’in, atau hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’ disamping juga hadis palsu.
IV. Pada Masa Modern
Pada periode ini termasuk periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (‘ashr
al-tajrid wa al-tashhih wa al-tangih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir
abad ke-3 Hijriah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiah dipegang oleh Khalifah al-Ma’mun
sampai al-Mu’tadir (2011-300 H). Pada masa ini, para ulam mengadakan gerakan penyeleksi,
penyaringan, dan pengklasifikasian hadis-hadis, yaitu dengan cara memisahkan hadis marfu’
dari hadis mauquf dan maqthu’. Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadis yang
sudah terseleksi, seperti Kitab Shahih, Kitab Sunan, dan Kitab Musnad.
Pada masa ini juga termasuk masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan
penghimpunan (‘ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u), yang berlangsung
sekitar dua setengah abad. Hasil dari gerakan para ulama pada masa ini adalah lahirnya
sejumlah kitab hadis yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab Athraf,
Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami’.
Periode persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (‘ahd al-syarh wa al-jamu’ wa
al-takhrij wa al-bahts) juga termasuk periode modern yang merupakan kelanjutan periode
sebelumnya. Ulama pada periode ini mulai mensistemisasi hadis-hadis menurut kehendak
penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi-bagi hadis menurut
kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai topic pembicaraan.

KEDUDUKAN dan KEUTAMAAN


AL-HADIS

I. Sebagai Penjelas atau Penafsir Al-Qur’an


Umat islam sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam kedua setelah al-
Qur’an. Kesepakan ini didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun
Hadis. Dalam al-Qur’an umpamanya disebut dalam surat al-Nisa [4] ayat 59, surat al-Ma’idah
[5] ayat 92, dan surat al-Nur [24] ayat 54. Adapun dalil hadis adalah sabda Nabi saw ketika
beliau hendak mengutus Mu’adz dalam hal penetapan hukum. Hadis dipergunakan apabila
tidak ditemukan ketetapan hukum di dalam al-Qur’an. Tanpa hadis, islam tidak akan tampak
ajarannya, bahkan seseorang tersesat karena tidak mengenal ajarannya secara utuh.
Hadis memiliki kedudukan nilai yang sangat tinggi dalam agama mengiringi
kedudukan al-Qur’an, karena kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an mempunyai pengertian yang
masih mujmal (global), taqyid (memberikan persyaratan) dan mutlaq (absolut/tak terbatas).
Disamping itu, ia berfungsi sebagai tahkshish (menkhususkan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an
yang bersifat ‘amn (umum). Kemudian datang ucapan dan perbuatan Rasulullah yang menjadi
mubayyin (penjelas), muqayyid (pembatas) dan mukhasis (pentakhsis).
Hadis berfungsi menetapkan aturan dan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an,
mangacu pada bayan al-Tasyri’ versi Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Contohnya hadis
yang menerangkan tidak dibolehkannya memadu antara bibi dan keponakan. Contoh tersebut
merupakan salah satu contoh hadis yang menempati posisi dan fungsi tertentu disamping al-
Qur’an
Kedudukan Rasulullah dan sunah beliau dalam islam telah disebutkan dalam beberapa
ayat al-Qur’an sebagai penjelas atau penafsir al-Qur’an, seperti : menjelaskan Kitabullah
(Abbas Bayyuni : 4), yaitu di antara tugas Rasulullah adalah menjelaskan baik dengan
perbuatan maupun perkataan hal-hal yang masih global dan sebagainya dalam al-Qur’an.
Tugas ini berdasarkan perintah dari Allah yang tentu saja bukan sekedar Qira’ah al-Qur’an
(membaca al-Qur’an). Oleh karena itu, menolak penjelasan Rasulullah terhadap al-Qur’an
sama saja artinya dengan menolak al-Qur’an.
II. Sebagai Tuntunan Dalam Beribadah dan Beruamalah
Lafad athi’u al-rasul (taatilah Rasul) dalam al-Qur’an (Q.S. Ali Imran [3]: 32)dan
132 ; al-Nisa [4]: 59 ; al-Anfal [8]: 1, 20, dan 46), dan lafad fa rudduh ila Allah wa al-rasul
(kembalikanlah kepada al-Qur’an dan Rasul), memberikan pengertian tentang kewajiban
menaati sekaligus menjalani apa yang di bawa oleh Rasul, yaitu hadis. Dengan demikian,
hadis menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Al-Imam al-Syafi’i mengatakan bahwa setiap
orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan oleh Allah , maka ia berarti juga
menerima perintah-perintah Allah.
Adapun beberapa kedudukan dan sunah Rasulullah dalam islam yang telah disebutkan
dalam beberapa ayat al-Qur’an sebagai tuntunandalam beribadah dan beruamalah, di
antaranya :
1. Rasulullah merupakan teladan baik yang wajib dicontoh oleh setiap muslim (Mustafa
al-Azami, 1994:27). Allah swt berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 21, agar kita
beriman kepda datangnya hari kiamat dan banyak menyebut nama Allah seperti yang
sering dilakukan oleh Rasulullah untuk mendapatkan rahmat dari Allah swt.
2. Rasulullah wajib ditaati (Mustafa al-Azami, 1994:28). Allah berfirman dalam al-
Qur’an surat al-Anfal ayat 20 dan surat al-Nisa ayat 80. Ayat-ayat tersebut dengan
jelas menunjukkan bahwa Rasulullah diutus hanyalah agar dipatuhi perintah-perintah-
Nya dengan seizin Allah, bukan sekedar tablig (menyampaikan) atau memberikan
kepuasan. Manusia belum dikatakan beriman apabila belum mau menerima sistem dan
hukum Allah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah sewaktu masih hidup dan
sesudah beliau wafat.
3. Rasulullah mempunyai wewenang untuk membuat aturan (Syari’ah). (Dr. Abbass
Bayyumi ‘Ajallan: 9). Ayat-ayat ini berisi perintah untuk beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, dengan konsekuensi mematuhi perintah-perintah, aturan-aturan dan sunah-
sunahnya. Dan manusia tidak mungkin memperoleh petunjuk dari ajaran-ajaran Rasul
tanpa mengikuti ajaran-ajaran itu sendiri. Ayat-ayat tersebut juga mengandung
penjelasan tentang wewenang dan kekuasaan Nabi untuk membuat suatu aturan
hukum. Dalam ayat ini Allah melimpahkan wewenang untuk menghalalkan atau
mengharamkan sesuatu kepada Nabi.

METODE MEMAHAMI AL-HADIS

I. Aspek Sanad
Sanad dari segi bahasa artinya sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran.
Sedangkan menurut istilah, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis
kepada Nabi Muhammad saw.
a. Riwayat dan Keadaan Para Periwayat
Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak diisyaratkan apa-apa untuk
diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadis.
Pada masa Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan tidak
akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak
menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah. Tetapi itu tidak dipandang sebagai
suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Meminta seorang saksi
kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan
hati dalam menerima yang berisikan itu.
Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting, karena hadis yang diperoleh/
diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad, suatu periwayatan
hadis dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau
tidak untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum
islam. Memperhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-ketentuan
umat islam.
b. Ittishal l-Sanad (Sanad Bersambung)
Unsur pertama dari kaedah kesahihan sanad hadis adalah ittishal l-sanad
(bersambungnya sanad), adalah tiap-tiap perawi dalam sanad hadis dari perawi pertama, yaitu
mukharrij sampai perawi terakhir menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya,
keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu, yaitu sahabat.
Dalam hubungannya dengan persambungan sanad, kualitas perawi sangat menentukan.
Secara mullah keadaan perawi dapat dibagi kepada siqah dan yang tidak siqah. Dalam
menyampaikan riwayat, perawi yang siqah memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya
dapat dipercaya riwayatnya. Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang
terputus, tersembunyi, dan tidak diketahui identitasnya (wahm) atau samar.
c. Marfu’ (bersandar kepada Nabi)
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pelajaran tentang ilmu al-Qur’an tidak seharusnya kita tinggalkan begitu saja. Banyak
sekali manfaat-manfaat yang belum kita ketahui dari mempelajari ilmu al-Qur’an tersebut,
yang dapat juga kita jadikan pedoman dalam hidup dari mempelajari sejarah-sejarah Nabi dan
Rasul beserta sahabat-sahabatnya. Jika kita mau memanfaatkan media apa saja yang terdapat
disekeliling kita, mungkin kita tidak akan tertinggal dari yang lain. Al-Qur’an mewajibkan kita
untuk selalu berusaha dan menjauhi dari sifat malas.
Pelajaran tentang Hadis mungkin sangat membosankan, terutama bagi mahasiswa yang
malas membaca buku. Padahal zaman sekarang sudah banyak media-media yang memberikan
fasilitas agar menarik minat konsumen. Hadis merupakan hukum kedua setelah al-Qur’an.
Didalam ilmu hadis banyak manfaatnya, seandainya kita mau mencari informasi tentang ilmu-
ilmu Hadis tersebut. Karena dalam ilmu hadis terdapat juga berbagai kebiasaan Nabi saw dan
para sahabat, yang bisa kita jadikan contoh dalam kehidupan. Berbagai bentuk hadis yang
dituliskan oleh periwayat, yang mencakup segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi saw,
ditulis oleh para sahabat Nabi saw, baik secara langsung maupun sembunyi-sembunyi.
Tujuannya hanya bisa dijadikan contoh untuk generasi seterusnya.

3.2 Saran
Indonesia termasuk Negara yang penduduknya mayoritas islam, sudah seharusnya kita
mengetahui lebih banyak tentang ilmu al-Qur’an. Bagi siapa saja yang ingin memahami,
menghayati dan mengamalkan al-Qur’an dengan sebaik-baiknya adalah merupakan syarat bagi
yang mau menafsirkan al-Qur’an dengan setepat-tepatnya. Menafsirkan al-Qur’an tidak bisa
sembarang dilakukan, karena akan mengurangi keaslian isi al-Qur’an tersebut. Oleh karena
itu, bagi siapa saja yang ingin menafsirkan al-Quran dengan benar harus terlebih dahulu
mengetahui hukum-hukumnya.
Sudah sewajarnya Indonesia sebagai Negara yang penduduknya mayoritas islam,
mengetahui lebih banyak tentang ilmu al-Hadis. Bagi siapa pun yang ingin membuat
periwayatan Hadis yang absah, hendaklah mengetahui terlebih dahulu kriteria-kriteria atau
syarat-syarat dimana suatu Hadis yang diriwayatkan dapat dikatakan berasal dari Nabi saw
atau dengan kata lain Hadis tersebut benar-benar bersumber dari Nabi yang didukung dengan
kaedah-kaedah kesahihan yang telah ditetapkan oleh ahlinya dan juga telah ditetapkan oleh
ahli hadis buktinya. Menurut ahli hadis, Hadis sahih adalah hadis yang sanad dan matannya
sahih. Sehingga diketahui bagaimana status Hadis-hadis yang tidak memenuhi kriteria-kriteria
tersebut dan bagaimana suatu Hadis sampai kepada derajat maudu’ (palsu).
DAFTAR PUSTAKA

Kholis, Nur.2003.Studi Islam 1.Yogyakarta : UAD


Mushthafa, Ahmad.1985.Tafsir al-Maraghi.Semarang : C.V. Toha Putra
Waharjani.1999.Studi Islam 1.Yogyakarta : UAD
Zuhdi, Masjfuk.1980.Pengantar Ulumul Qur’an.Surabaya : PT Bina Ilmu
Mubarok, Jaih.2004.Metodologi Studi Islam.Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Zainuddin.2000.254 Hadis Qudsi.Jakarta : Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai