Anda di halaman 1dari 15

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Pelatihan

Pelatihan sebagai sarana motivasi yang mendorong para karyawan untuk bekerja
dengan kemampuan yang optimal, yang dimaksudkan untuk meningkatkan
performa dari karyawan tersebut. Pemberian pelatihan dimaksudkan agar dapat
memenuhi standar kerja yang telah di tetapkan oleh perusahaan. Pelatihan dapat
diartikan sebagai suatu usaha yang terencana untuk memfasilitasi pembelajaran
tentang pekerjaan yang berkaitan dengan pengetahuan, keahlian dan perilaku oleh
para karyawan. Definisi pelatihan menurut para ahli :
1. “Pelatihan mempersiapkan orang untuk melakukan pekerjaan mereka
sekarang dan pengembangan mempersiapkan karyawan yang membutuhkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Pelatihan merupakan proses secara
sistematis mengubah tingkah laku karyawan untuk mencapai tujuan
organisasi”. (Sedarmayanti dalam Denny Triasmiko 2014, p.3).
2. “Pelatihan adalah suatu usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan yang lebih efekif dan
efisien. Program pelatihan adalah serangkaian program yang dirancang untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan karyawan dalam hubungan
dalam pekerjaanya. Efektivitas program pelatihan adalah suatu istilah untuk
memastikan apakah program pelatihan yang dijalankan dengan efektif dalam
mencapai sasaran yang ditentukan”. (Rae dalam Herman Sofyandi 2013,
p.113).
3. “ Training helps employee do their current jobs, the benefits of training may
extend throught a person’s carreer and help develop that person’s for future
responsibilities”. (Werther dan Davis dalam Herman Sofyandi 2013, p.113).
Jadi menurut pendapat-pendapat para ahli di atas dapat penulis simpulkan,
bahwa Proses mengajarkan karyawan baru atau yang ada sekarang dengan

10
11

mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi atau


perusahaan. Melalui pelatihan, para pekerja akan menjadi lebih trampil dan
karenanya akan lebih produktif, serta mencapai kemampuan baru yang berguna
baik bagi pekerjaannya saat ini maupun di masa mendatang.

2.1.1 Tujuan Pelatihan

Tujuan diadakanya pelatihan yang diselenggarakan perusahaan terhadap karyawan


dikarenakan perusahaan menginginkan adanya perubahan dalam prestasi ke
rja karyawan sehingga dapat sesuai dengan tujuan perusahaan. Jadi sebelum
melakukan pelatihan akan dijelaskan terlebih dahulu tujuan perusahaan tersebut.

Tujuan tujuan tersebut yang dikemukakan oleh Beach dalam Herman Sofyandi
(2013, p.114) tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Reduce learning time to teach acceptable performance, maksudnya dengan
adanya pelatihan maka jangka waktu yang digunakan karyawan untuk
memperoleh keterampilan akan lebih cepat. Karyawan akan lebih cepat pula
menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang dihadapinya.
2. Improve performance on present job, maksudnya adalah pelatihan bertujuan
untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan dalam hal menghadapi
pekerjaan-pekerjaan yang sedang dihadapi.
3. Attitude formation, pelatihan diharapkan dapat membentuk sikap dan
tingkah laku para karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Dititikberatkan
pada peningkatan partisipasi dari karyawan, kerjasama antar karyawan dan
loyalitas terhadap perusahaan.
4. Aid in solving operation problem, pelatihan membantu memecahkan
masalah-masalah operasional perusahaan sehari-hari seperti mengurangi
kecelakaan kerja, mengurangi absen, dan lain-lain.
5. Fill manpower needs, pelatihan tidak hanya mempunyai tujuan jangka
pendek tetapi juga jangka panjang yaitu mempersiapkan karyawan
karyawan memperoleh keahlian dalam bidang tertentu yang dibutuhkan
perusahaan.
12

6. Benefits to employee themselves, dengan pelatihan diharapkan para


karyawan akan mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang tinggi
sehingga karyawan sehingga karyawan tersebut akan semakin berharga bagi
perusahaan. Selain itu juga akan menambah nilai dari karyawan tersebut
yang akan membuat karyawan yang bersangkutan memperoleh rasa aman
dalam melakukan pekerjaannya sehingga menimbulkan kepuasan dalam
dirinya.
Pelatihan bertujuan sebagai sarana untuk lebih mengaktifkan kerja para anggota
organisasi yang kurang aktif sebelumnya, mengurangi dampak-dampak negatif
yang disebabkan kurangnya pendidikan, pengalaman yang terbatas, atau
kurangnya kepercayaan diri dari anggota atau kelompok anggota tertentu.
Tujuan pelatihan terebut akan terlaksana dengan baik apabila pelatihan diberikan
secara tepat dan adanya kerjasama yang baik antara karyawan maupun
pimpinan. Pelatihan juga bertujuan agar peserta pelatihan cepat berkembang,
sebab sulit bagi seseorang untuk mengembangkan diri hanya berdasarkan
pengalaman tanpa adanya suatu pendidikan khusus. Ini membuktikan bahwa
pengembangan diri akan lebih cepat melalui palatihan.

2.1.2 Jenis-Jenis Pelatihan

Pelatihan (training) menurut Rosleny, (2015, p.184) adalah proses pembelajaran


yang melibatkan perolehan keahlian, konsep, peraturan atau sikap untuk
meningkatkan kinerja tenaga kerja. Jenis-jenis pelatihan menurut Rosleny (2015,
p.184) adalah sebagai berikut :

1. Pelatihan Keahlian
Pelatihan keahlian (skills training) merupakan pelatihan yang relatif
sederhana. Kebutuhan atau kekurangan diidentifikasi melalui penilaian yang
jeli. Kriteria penilaian efektivitas pelatihan juga berdasarkan sasaran yang
diidentifikasi dalam tahap penilaian.
13

2. Pelatihan Ulang
Pelatihan ulang (retraining) adalah pelatihan yang berupaya memberikan
keahlian-keahlian yang dibutuhkan karyawan untuk menghadapi tuntutan
kerja yang berubah-ubah.
3. Pelatihan Lintas Fungsional
Pelatihan lintas fungsional (cross fungtional training) melibatkan pelatihan
karyawan untuk melakukan aktivitas kerja dalam bidang lainya selain
pekerjaan yang diselesaikan.
4. Pelatihan Tim
Pelatihan tim merupakan kerja sama dalam sebuah tim kerja sama sekelompok
individu untuk menyelesaikan pekerjaan demi tujuan bersama dalam sebuah
tim kerja.
5. Pelatihan Kreativitas
Pelatihan Kreativitas (creativity training) berlandaskan pada asumsi bahwa
kreativitas dapat dipelajari. Maksudnya, tenaga kerja diberi peluang untuk
mengeluarkan gagasan sebebas mungkin yang berdasar pada penilaian
rasional, biaya, dan kelaikan.

2.1.3 Indikator-Indikator Pelatihan

Berdasarkan definisi pelatihan yang diungkapkan oleh Sedarmayanti dalam Denny


Triasmiko. (2014, p.4) maka indikator pelatihan adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan adalah usaha untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan pengajaran, dan latihan bagi perannya dimasa yang akan datang.
2. Cara kerja (menjalankan) dengan cara yang teratur dan baik-baik.
3. Kecakapan untuk menyelesaikan tugas secara teknik (pengetahuan dan
kepanduan membuat sesuatu yang berkenaan dengan keterampilan).
4. Mempelajari ilmu (pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu).
5. Mengutamakan cara melakukan apa yang tersebut dalam pendapat yang
dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa.
14

2.2 Pengertian Disiplin Kerja

Disiplin kerja merupakan suatu proses perkembangan konstruktif bagi karyawan


yang berkepentingan karena disiplin kerja ditunjukan pada tindakan bukan
orangnya. Disiplin juga sebagai proses latihan pada karyawan agar para karyawan
dapat mengembangkan kontrol diri dan agar dapat menjadi lebih efektif dalam
bekerja. Dengan demikian tindakan pendisiplinan juga hendaknya mempunyai
sasaran yang positif, bersifatnya mendidik dan mengoreksi, bukan tindakan
negatif yang menjatuhkan karyawan atau bawahan yang indisipliner dengan
maksud tindakan pendisiplinan untuk memperbaiki efektivitas dalam tugas dan
pergaulan sehari-hari di masa yang datang bukan menghukum kegiatan masa lalu.
Definisi Disiplin Kerja menurut para ahli :
1. “Kedisiplinan adalah jika karyawan selalu datang dan pulang tepat pada
waktunya, mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi semua
peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku”. (Hasibuan
2013, p.194).
2. “Kedisiplinan adalah fungsi operatif keenam dari Manajemen Sumber Daya
Manusia yang terpenting karena semakin baik disiplin karyawan, semakin
tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin yang baik, sulit
bagi organisasi mencapai hasil yang optimal. (Abdurrahmat fathoni(2009,
p.172).
3. “Disiplin adalah sikap kesediaan dan kerelaan seseorang untuk mematuhi dan
menaati norma-norma peraturan yang berlaku disekitarnya. Disiplin
karyawan yang baik akan mempercepat tujuan perusahaan, sedangkan disiplin
yang merosot akan menjadi penghalang dan memperlambat pencapaian
tujuan perusahaan. (Singodimedjo dalam Edy Sutrisno 2009, p.86).

Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa disiplin kerja adalah suatu yang
kemampuan yang akan berkembang dalam kehidupan kesehariannya seseorang
atau kelompok (organisasi) dalam bertaat azas, peraturan, norma-norma, dan
perundang-undangan untuk melakukan nilai-nilai kaidah tertentu dan tujuan hidup
yang ingin dicapai oleh mereka dalam bekerja.
15

2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disiplin Kerja

Asumsikan bahwa pemimpin mempunyai pengaruh langsung atas sikap kebiasaan


yang diperoleh karyawan. Kebiasaan itu ditentukan oleh pemimpin, baik dengan
iklim atau suasana kepemimpinan maupun melalui contoh diri pribadi, oleh
karena itu untuk mendapat disiplin dengan baik, maka pemimpin harus
memberikan kepemimpinan yang baik pula.
Menurut Singodimedjo dalam Edy Sutrisno (2009, p.89). Faktor yang
mempengaruhi disiplin karyawan adalah:
1. Besar kecilnya pemberian kompensasi
Para karyawan akan mematuhi segala peraturan yang berlaku, bila ia merasa
mendapat jaminan balas jasa yang setimpal dengan jeri payahnya yang telah
dikontribusikan bagi perusahaan. Akan tetapi, bila ia merasa konpensasi yang
diterimanya jauh dari memadai, maka ia akan berfikir mendua, dan berusaha
mencari tambahan penghasilan lain yang diluar, sehingga mengakibatkan ia
sering mangkir, sering minta izin keluar.
2. Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam perusahaan
Keteladanan pimpinan sangat penting sekali, dalam lingkungan perusahaan
semua karyawan akan selalu memperhatikan bagaimana pimpinan dapat
menegakkan disiplin dirinya dan bagaimana ia dapat mengendalikan dirinya
dari ucapan perbuatan, dan sikap yang dapat merugikan aturan disiplin yang
sudah ditetapkan.
3. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan
Pembinaan disiplin tidak akan dapat terlaksana dalam perusahaan, bila tidak
ada aturan tertulis yang pasti untuk dapat dijadikan pegangan bersama.
Disiplin tidak mungkin ditegakkan bila peraturan yang dibuat hanya
berdasarkan instruksi lisan yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi
dan situasi.
4. Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan
Bila ada seorang karyawan yang melanggar disiplin, maka perlu ada
keberanian pimpinan untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan
tinggakat pelanggaran yang dibuatnya.
16

5. Ada tidaknya pengawasan pimpinan


Dalam setiap kegiatan yang dilakuakan oleh perusahaan perlu ada
pengawasan, yang akan mengarahkan para karyawan agar dapat
melaksanakan pekerjaan dengan tepat dan sesuai dengan yang telah di
tetapkan. Dengan adanya pengawasan, maka sedikit banyak para karyawan
akan terbiasa melaksanakan disiplin kerja.
6. Ada tidaknya perhatian kepada karyawan
Pimpinan yang berhasil memberikan perhatian yang besar kepada karyawan
akan dapat menciptakan disiplin kerja yang baik.
7. Diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin
Kebiasaan-kebiasaan itu antara lain:
1. Saling menghormati, bila ketemu di lingkungan pekerjaan.
2. Melontarkan pujian sesuai dengan tempat dan waktunya, sehingga para
karyawan akan turut merasa bangga dengan pujian tersebut.
3. Sering mengikut sertakan karyawan dalam pertemuan-pertemuan, apalagi
pertemuan yang berkaitan dengan nasip dan pekerjaan mereka.
4. Memberitahu bila ingin meninggalkan tempat kepada rekan sekerja,
dengan menginformasikan kemana dan untuk urusan apa walaupun
kepada bawahan sekalipun.

2.2.2 Manfaat Disiplin Kerja

Disiplin menunjukan suatu kondisi sikap hormat yang dimiliki oleh karyawan
terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan. Menurut Edy Sutrisno (2009, p.86)
manfaat disiplin kerja adalah :
1. Tingginya rasa kepedulian karyawan terhadap pencapaian tujuan perusahaan.
2. Tingginya semangat dan gairah kerja dan inisiatif para karyawan dalam
melakukan pekerjaan.
3. Besarnya rasa tanggungjawab para karyawan untuk melaksanakan tugas
dengan sebaik-baiknya.
4. Berkembangnya rasa memiliki dan rasa solidaritas yang tinggi di kalangan
karyawan.
17

5. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja para karyawan.

2.2.3 Indikator-Indikator Disiplin Kerja

Menurut Hasibuan (2013, p.194) pada dasarnya banyak indikator yang


mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan diantaranya :
1. Tujuan dan kemampuan
Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan.
Tujuan yang dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup
menantang bagi kemampuan karyawan. Hal ini berarti tujuan (pekerjaan)
yang dibebankan kepada karyawan harus sesuai dengan kemampuan
karyawan bersangkutan, agar dia bekerja sungguh-sungguh dan disiplin
dalam mengerjakannya.

2. Teladan pimpinan
Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan
karyawan karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para
bawahannya. Dengan teladan pimpinan yang baik, kedisiplinan bawahan pun
akan ikut baik. Tetapi jika teladan pimpinan kurang baik (kurang disiplin),
para bawahan pun pasti akan kurang disiplin.

3. Balas jasa
Balas jasa ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan karena balas jasa akan
memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap pekerjaannya. Jika
kecintaan karyawan semakin baik terhadap pekerjaan, kedisiplinan mereka
akan semakin baik pula.
4. Keadilan

Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan karyawan karena ego


dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta
diperlakukan sama dengan manusia lainnya. Keadilan yang dijadikan dasar
kebijakan dalam pemberian balas jasa (pengakuan) atau hukuman akan
merangsang terciptanya kedisiplinan karyawan yang baik.
18

5. Waskat
Waskat (pengawas melekat) adalah tindakan nyata dan paling efektif
dalam mewujudkan kedisiplinan karyawan. Dengan waksat berarti atasan
harus aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja
dan prestasi kerja bawahannya. Waskat efektif merangsang kedisiplinan dan
moral kerja karyawan. Karyawan merasa mendapat perhatian, bimbingan,
petunjuk, pengarahan dan pengawasan dari atasan.
6. Sanksi Hukum
Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan
karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan
semakin takut melanggar peraturan-peraturan, sikap dan perilaku indisipliner
karyawan akan berkurang. Berat atau ringannya sanksi hukuman yang akan
diterapkan ikut mempengaruhi baik atau buruknya kedisiplinan karyawan.

7. Ketegasan
Ketegasan pimpinan menegur dan menghukum setiap karyawan yang
indisipliner akan mewujudkan kedisiplinan yang baik pada suatu instansi.

8. Hubungan Kemanusiaan
Pimpinan harus berusaha menciptakan suasana hubungan kemanusiaan yang
serasi serta mengikat semua karyawannya. Terciptanya human relationship
yang serasi akan mewujudkan lingkungan dan suasana kerja yang nyaman.
Hal ini akan memotivasi kedisiplinan yang baik pada perusahaan.

2.3 Pengertian Profesionalisme

Profesionalisme berasal dari kata bahasa inggris professionalisme berarti sifat


profesional. Orang yang profesinonal memiliki sikap-sikap yang berbeda dengan
orang yang tidak profesional meskipun dalam pekerjaan yang sama atau
katakanlah berada pada satu ruangan kerja. Sifat profesional berbeda dengan
sifat para profesional atau tidak profesional sama sekali. Sifat yang dimaksud
adalah seperti yang dapat ditampilkan dalam perbuatan , bukan yang dikemas
dalam kata-kata yang diklaim oleh pelaku secara individual
19

Definisi Profesionalisme menurut para ahli:


1. “Profesionalisme merupakan sebuah keahlian yang dimiliki oleh seseorang
terkait dengan ilmu dan keterampilan yang dimiliki. Seseorang individu yang
memegang jabatan atau kedudukan tertentu dituntut memiliki profesionalisme
yang tinggi agar dalam pelaksanaan pekerjaanya dapat berjalan dengan
efektif, seorang individu yang mengenali dengan baik keahlian dan
keterampilan yang dimilik akan lebih mudah menjalankan tugas dan
pekerjaanya dengan baik dibandingkan individu lain yang kurang mampu
mengenali keahlianya”. (Sutarjo dalam Yusra Husmaini 2013,p.58).
2. “Profesionalisme adalah apabila seseorang dikatakan profesional jika
profesionalisme tersebut membawa peningkatan kompetensi dan kemampuan
serta memberlakukan standart etika”. (Wilbern dalam Ayu Retno 2013, p.5).
3. “profesionalisme adalah seorang profesionalisme tidak saja mampu bekerja secara
produktif, efisien, mandiri, inovatif tetapi ia juga memiliki dedikasi dan moral
yang tinggi. Profesionalisme dapat diartikan keadaan dalam pelaksanaan tugas
sehingga terlaksana dengan mutu yang baik, waktu yang tepat, cermat dengan
prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan . (Siagian dalam
Melda Ambarwati 2014, p.3).
Dapat disimpulkan bahwa Profesionalisme merupakan komitmen para anggota
suatu profesi untuk meningkatkan kemampuannya secara terus menerus.
“Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam
bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan
dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Dalam bekerja, setiap manusia dituntut
untuk bisa memiliki profesionalisme karena di dalam profesionalisme tersebut
terkandung kepiawaian atau keahlian dalam mengoptimalkan ilmu pengetahuan,
skill, waktu, tenaga, sember daya, serta sebuah strategi pencapaian yang bisa
memuaskan semua bagian/elemen. Profesionalisme juga bisa merupakan
perpaduan antara kompetensi dan karakter yang menunjukkan adanya tanggung
jawab moral.
20

2.3.1 Ciri-Ciri Profesionalisme

Menurut Suhrawardi K Lubis dalam Wayan Bagus (2015, p.10) menyatakan


bahwa, “Profesionalisme biasanya dipahami sebagai kualitas yang wajib dimiliki
untuk meningkatkan kualitas pelayanan, maka pegawai perlu memiliki ciriciri
profesional antara lain adalah :

1. Punya keterampilan tinggi dalam satu bidang, serta kemahiran dalam


mempergunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas
yang bersangkutan dengan bidangnya.
2. Punya ilmu dan pengetahuan serta kecerdasan dalam menganalisa suatu
masalah dan peka didalam membaca situasi, cepat dan tepat serta cermat
dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan.
3. Punya sikap berorientasi ke hari depan, sehingga punya kemampuan
mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terentang dihadapannya,
4. Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta
terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam
memilih yang terbaik bagi dirinya dan perkembangan pribadinya.”

4.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme

Salah satu faktor yang menghambat kelancaran dan efektivitas birokrasi publik
adalah tidak profesionalnya aparatur birokrasi publik dalam menjalankan fungsi
dan tugas, tidak profesionalnya aparatur birokrasi publik Indonesia dapat dilihat
dari banyaknya temuan para pakar dan pengalaman pribadi masyarakat di
lapangan tentang pelayanan publik yang diselenggarakan birokrasi. Lambannya
birokrasi dalam merespon aspirasi publik serta pelayanan yang terlalu prosedural
(red tape) merupakan sedikit contoh diantara sekian banyak ketidakberesan dalam
dunia birokrasi publik Indonesia.

Menurut Siagian dalam Wayan Bagus (2015, p.11). Faktor-faktor yang


menghambat terciptanya aparatur yang profesional antara lain lebih disebabkan
oleh profesionalisme aparatur yang sering terbentur dengan tidak adanya iklim
21

yang kondusif dalam dunia birokrasi untuk menanggapi aspirasi masyarakat dan
tidak adanya kesediaaan pemimpin untuk memberdayakan bawahan.

Menurut Tjokrowinoton dalam Wayan Bagus (2015, p.10) menyatakan bahwa


profesionalisme tidak hanya cukup dibentuk dan dipengaruhi oleh keahlian dan
pengetahuan agar aparat dapat menjalankan tugas dan fungsi secara efektif dan
efisien, akan tetapi juga turut dipengaruhi oleh filsafat-birokrasi, tata-nilai,
struktur, dan prosedur-kerja dalam birokrasi.

Mewujudkan aparatur yang professional diperlukan political will (kemauan


politik) dari pemerintah untuk melakukan perubahan besar dalam organisasi
birokrasi publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap
aspirasi dan kebutuhan publik. Perubahan tersebut meliputi perubahan dalam
filsafat atau cara pandang organisasi dalam mencapai tujuan yang dimulai dengan
merumuskan visi dan misi yang ingin dicapai dan dijalankan oleh organisasi,
membangun struktur yang flat dan tidak terlalu hirarkis serta prosedur kerja yang
tidak terlalu terikat kepada aturan formal.

2.4.3 Indikator-Indikator Profesionalisme

Menurut Atmosoeprapto dalam Yesy Andriyani (2016, p.3) indikator


profesionalisme adalah profesionalisme merupakan cermin dari kemampuan
(competensi), yaitu :
1. Memiliki pengetahuan (knowledge):
2. Keterampilan (skill)
3. Bisa melakukan (ability)
4. Ditunjang dengan pengalaman (experience) yang tidak mungkin muncul
tiba-tiba tanpa melalui pejalanan waktu.
22

2.4 Penelitian Terdahulu

1. Penelitian yang dilakukan oleh Indra Kurniawan dan Aprih Santoso 2007
tentang “Analisis Pengaruh Kepemimpinan, Disiplin Kerja, dan Motivasi Kerja
terhadap profesionalisme Karyawan PT. Prima Zirang Utama
Semarang”, disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh pengaruh antara
disiplin kerja terhadap profesionalisme karyawan dengan tingkat signifikansi
0,123 dan terdapat pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja terhadap
kinerja karyawan dengan tingkat signifikansi 0,000.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Suprayitno 2010 tentang “Pengaruh Disiplin


Kerja, Lingkungan Kerja dan Motivasi Kerja terhadap profesionalisme
Karyawan”. Penelitian ini yaitu pada karyawan Sub Dinas Kebersihan dan Tata
Kota DPU dan LLAJ Kabupaten Karanganyar. Disimpulkan bahwa secara
parsial (individu) terdapat pengaruh signifikan dan positif antara disiplin kerja,
lingkungan kerja dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan. Angka
koefisien determinasi sebesar 53,3% dan sisanya 46,7% dijelaskan oleh
sebab-sebab yang lain di luar variabel yang diteliti.
23

2.5 Kerangka Berpikir

1. PT. Telkom Akses Variabel X1 Pelatihan


melakukan pelatihan- Variabel X2 Disiplin Kerja
pelatihan untuk Variabel X3 Profesionalisme
meningkatkan
profesionalisme karyawan
2. Menngkatkan kedisiplinan Perumusan Masalah

karyawan dengan 1. Apakah pengaruh Pelatihan

menegakan peraturan- terhadap Profesionalisme

peraturan seperti Karyawan ?

menetapkan batas 2. Apakah pengaruh Disiplin

maksimum keterlambatan Kerja terhadap Profesionalisme

3. Profesionalisme karyawan Karyawan ?

PT. Telkom Akses masih 3. Apakah pengaruh Pelatihan

kurang karena masih terjadi dan Disiplin Kerja terhadap

komplain dari pelanggan Profesionalisme Karyawan ?

atas pekerjaan yang


dilakukan.
Analisis Data
Analisis regresi linier berganda,
Uji t, Uji F

H1 : Adanya pengaruh antara


Feedback Pelatihan (X1) terhadap
profesionalisme

H2 : Adanya pengaruh antara


Disiplin Kerja (X2)
terhadap
profesionalisme
karyawan (Y)
Gambar 2.1 Struktur Kerangka Pikir
H3 : Adanya pengaruh antara
Pelatihan (X1) dan
Disiplin Kerja (X2)
terhadap
profesionalisme
karyawan (Y)
24

2.6 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka berpikir, maka hipotesis yang


dirumuskan yaitu : DIDUGA?

H1 : Pelatihan berpengaruh terhadap profesionalisme karyawan PT.


Telkom Akses Cabang Kedaton Bandar Lampung

H2 : Disiplin Kerja berpengaruh terhadap profesionalisme karyawan


PT. Telkom Akses Cabang Kedaton Bandar Lampung

H3 : Pelatihan dan Disiplin Kerja berpengaruh terhadap profesionalisme


karyawan PT. Telkom Akses Cabang Kedaton Bandar Lampung

Hipotesis merupakan anggapan dasar yang kemudian membuat suatu teori yang
masih harus diuji kebenaranya. Jadi hipotesis merupakan jawaban sementara
pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dalam perumusan masalah. Dalam
kaitanya dengan pengaruh pelatihan dan disiplin kerja terhadap profesionalisme
karyawan.

Anda mungkin juga menyukai