Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS INDONESIA

Corak Kehidupan Perempuan Hukum Adat di Tanah Papua: Budaya


Patriarki yang Mengakar Secara Turun-Temurun

MAKALAH
Disusun untuk Ujian Tengah Semester (UTS)
Mata Kuliah Asas-Asas Hukum Adat Kelas Reguler B

Aulia Azmi Marcellinov Ramadhan


2106734890
Nomor Urut: 68

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
SUBPROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK
2021
Daftar Isi
A. Pendahuluan...................................................................................................2
B. Rumusan Masalah..........................................................................................4
C. Analisis............................................................................................................4
Relevansi budaya patriarki pada budaya masyarakat adat Papua terhadap
perkembangan zaman.............................................................................................4
Bias terhadap stigma perempuan yang telah mendarah daging secara turun-
temurun...................................................................................................................6
D. Penutup...........................................................................................................7
Daftar Pustaka......................................................................................................10

1
A. Pendahuluan
Setiap masyarakat hukum adat yang bertempat tinggal di Indonesia
memiliki corak dan kehidupan yang berbeda-beda. Corak kehidupan yang
berbeda-beda tersebut menimbulkan keragaman kehidupan budaya yang berbeda-
beda pula. Salah satu masyarakat hukum adat di Indonesia yang memiliki corak
kehidupan adatnya sendiri adalah masyarakat adat di Tanah Papua. Tanah Papua
merupakan sebutan filosofis bagi masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah
pulau Papua (termasuk wilayah Papua di Indonesia dan wilayah Papua Nugini). 1
Wilayah Tanah Adat Papua terdiri atas berbagai suku dan kebudayaannya masing-
masing.
Jika ditelaah lebih lanjut, masyarakat hukum adat di Tanah Papua berbentuk
terbentuk berdasarkan lingkungan daerah (teritorial). Masyarakat tersebut
terbentuk atas persekutuan hukum berdasarkan lingkungan daerah yang sama.2
Orang-orang yang hidup bertempat tinggal sama di suatu desa merupakan satu
golongan yang memiliki tata susunan ke dalam dan bertindak sebagai kesatuan
terhadap dunia luar.3 Masyarakat adat Tanah Papua termasuk ke dalam golongan
persekutuan hukum berdasarkan perserikatan dari beberapa desa. Hal itu karena
Tanah Papua merupakan kesepakatan filosofis antara masyarakat yang menempati
pulau Papua dengan latar belakang desa yang berbeda-beda.
Ragam corak kehidupan yang ada di Papua menimbulkan adanya
perlakuan khusus terhadap suatu individu atau kelompok tertentu. Perlakuan
khusus tersebut adalah sikap yang menjadikan perempuan sebagai masyarakat
kelas dua atau biasa yang kita kenal dengan budaya patriarki. Patriarki merupakan
istilah antropologi yang menempatkan garis keturunan dari ayah. Budaya patriarki
merupakan konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki di atas perempuan. 4
Dalam hal ini, budaya patriarki memberikan legitimasi bahwa laki-laki adalah

1
Andreas Jefri Deda dan Suriel Semuel Mofu, “Masyarakat Hukum Adat Dan Hak
Ulayat Di Provinsi Papua Barat Sebagai Orang Asli Papua Di Tinjau Dari Sisi Adat Dan Budaya:
Sebuah Kajian Etnografi Kekinian,” Jurnal Administrasi Publik Vol. 11 No. 2, (Oktober, 2014),
hlm. 12.
2
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, cet 18 (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), hlm.
53.
3
Ibid.
4
David AJ Richards, “Liberal Democracy and The Problem of Patriarchy,” Israel Law
Review, Vol. 46 No. 2 (2013), hlm. 169.

2
pemilik kehidupan dan laki-laki dipercaya lebih dominan dan mampu mengontrol
perempuan. Budaya patriarki tersebut berdampak kepada timbulnya perlakuan
diskriminatif terhadap perempuan.
Budaya patriarki tersebut hadir di dalam beberapa wilayah yang ditempati
oleh masyarakat adat Papua. Salah satunya adalah masyarakat adat Hubula Suku
Dani di Kabupaten Wijaya, Papua. Corak kehidupan masyarakat di sini adalah
menempatkan laki-laki sebagai orang yang memiliki peran lebih dominan
dibandingkan perempuan.5 Hal tersebut menyebabkan adanya subordinasi antara
perempuan dan laki-laki, yang kemudian menimbulkan ketimpangan akses untuk
memenuhi kehidupan yang lebih baik.
Keadaan perempuan yang berada pada kelas bawah dalam konstruksi
sosial di kehidupan masyarakat adat di Papua tidak terlepas dari budaya adat dan
hukum adat. Adat tersebut telah berlangsung selama turun-temurun dan
menimbulkan pertanyaan atas relevansi dari posisi subordinat perempuan dalam
tatanan masyarakat. Kondisi tersebut ditimbulkan oleh tradisi adat yang muncul
pada corak kehidupan yang ada pada zaman dahulu. Sebagai contoh, masyarakat
Hubula Suku Dani mengamini bahwa laki-laki bertugas untuk menangani perang
dan kesuburan tanah, sedangkan perempuan bertugas ke ranah domestik seperti
mengurus rumah tangga serta merawat anak.6 Menurut literatur yang ada, tradisi
tersebut sudah tidak relevan mengingat saat ini sudah tidak ada perang yang
melibatkan suku dan konsep hak asasi manusia (HAM) telah berkembang pesat.
Ironisnya, perempuan adat di Tanah Papua tidak hanya mendapatkan
perlakuan diskriminatif akibat adatnya sendiri. Perempuan adat Papua kerap
mendapatkan penindasan oleh negara. Menurut penelitian dari Asia Justice Rights
(AJAR) dan Papuan Women’s Working Group, 64 dari 170 perempuan asli Papua
mengalami kekerasan akibat kebijakan negara yang dilakukan oleh aparat negara. 7
Sungguh fakta yang pelik melihat perempuan adat Papua mendapatkan
diskriminasi dari budaya sampai negara.

5
Yanuaris You, et. al., eds., “Relasi Gender Patriarki dan Dampaknya terhadap
Perempuan Hubula Suku Dani, Kabupaten Jaya Wijaya, Papua,” Sosiohumaniora, Vol. 21 No. 1
(Maret, 2019), hlm. 68.
6
Ibid., hlm. 70.
7
Okke Oscar, “Perempuan Papua: Ditindas Negara, Dilindas Budaya,”
https://neverokayproject.org/en/perspective/column/perempuan-papua-ditindas-negara-dilindas-
budaya/, diakses 12 Maret 2022.

3
Sejatinya, negara wajib melindungi hak dasar manusia untuk hidup layak
dan aman. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). 8 Selain itu, secara
khusus negara pun melindungi keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. 9 Oleh karena itu,
perlindungan terhadap perempuan adat di Tanah Papua tidak terlepas dari adanya
peran negara.

B. Rumusan Masalah

• Apakah budaya patriarki yang ada dan berkembang dalam corak


kehidupan masyarakat adat di Papua masih relevan dengan kehidupan saat
ini?
• Apakah pandangan hukum adat di Tanah Papua tentang perempuan adat
merupakan hal yang patut dipertahankan?

C. Analisis

Relevansi budaya patriarki pada budaya masyarakat adat Papua terhadap


perkembangan zaman.

Tak sedikit corak budaya adat yang terdapat di wilayah Papua yang
menjadikan perempuan berada pada posisi yang tidak proporsional dengan laki-
laki. Corak kehidupan tersebut akibat budaya yang diturunkan oleh para
pendahulu. Hal-hal tersebut timbul akibat adanya pola pikir yang terbentuk atas
magis religius maupun konkrit. Sebagai contoh, corak kehidupan pada
Masyarakat Maybrat yang bertempat di Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Pada
masyarakat tersebut, seorang perempuan dinilai berdasarkan Kain Timur yang
melambangkan status sosial dari orang tersebut.10 Wasuway (2010) menyebutkan
bahwa perempuan dapat dikatakan “dijual” dan dihargai dengan Kain Timur,
sesuai dengan kelas sosialnya.

8
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 28G.
9
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 18B ayat (2).
10
Hendriana Johanna Sylvi Wasuway, “Perempuan Maybrat dan Dominasi Patriarki:
Kajian Berperspektif Feminis Terhadap Tradisi Pertukaran Kain Timur,” Tesis Magister
Universitas Indonesia, Jakarta, 2012.

4
Tradisi dan budaya yang ada di Papua memiliki latar belakang sejarah
dalam terbentuknya budaya tersebut. Warisan budaya dalam corak kehidupan
masyarakat adat membentuk hukum adat yang ditaati oleh masyarakat adat di
dalam wilayah yang memiliki hukum adat. Hukum adat terbentuk atas pengaruh
kuat di dalam masyarakat. Hukum tersebut dibentuk atas kesadaran bersama
berlandaskan nilai sosial, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan
kemasyarakatan.11 Berkaitan dengan hal tersebut, hukum adat terbentuk atas
kehendak bersama yang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri.12 Artinya,
berbeda dengan hukum positif yang berbentuk sebagai peraturan perundang-
undangan, hukum adat terbentuk dengan sendirinya tanpa ada otoritas khusus
yang membentuk hukum tersebut.13
Posisi perempuan adat yang berada pada level bawah dalam kelas sosial
cenderung menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan adat.
Padahal, terdapat instrumen internasional untuk melindungi hak-hak perempuan
di seluruh dunia. Instrumen tersebut adalah International Convention on
Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW). 14 Indonesia
pun telah meratifikasi kovenan tersebut melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan.15 Selain itu, Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin bahwa setiap orang
berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi.16 Pasal tersebut mengatur secara rinci perlakuan diskriminasi
terhadap warga negara.
Dokumen internasional maupun hukum positif yang ada saat ini telah
mengakomodasi perlindungan terhadap perempuan adat. Meskipun, adat yang

11
Eddy Pelupessy, “The Land of Rights of Indigeneous People: Revaluation of Papua
Special Autonomy,” Hasanuddin Law Review, Vol. 3 No. 1 (April 2017), hlm. 83.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Sri Wiyanti Eddyono, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW,”
https://referensi.elsam.or.id/2014/09/hak-asasi-perempuan-dan-konvensi-cedaw/, diakses 13 Maret
2022.
15
Ferdian Ananda Majni, “37 Tahun Ratifikasi CEDAW, Indonesia Wajib Penuhi Hak
Korban Pemerkosaan,” https://mediaindonesia.com/humaniora/420495/37-tahun-ratifikasi-cedaw-
indonesia-wajib-penuhi-hak-korban-pemerkosaan, diakses 12 Maret 2022.
16
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ,UU No. 39 Tahun
1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886, Ps. 3 ayat (3).

5
telah ada secara turun-temurun di Tanah Papua, tetapi hal tersebut sudah tidak
sejalan dengan keadaan saat ini. Kondisi yang tercipta pada saat adat itu dibuat
berbeda jauh dengan kondisi sekarang. Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian
untuk melindungi hak-hak dasar perempuan adat serta menjauhkan dari perlakuan
diskriminatif.

Bias terhadap stigma perempuan yang telah mendarah daging secara turun-
temurun.

Pada tradisi masyarakat adat di Papua khususnya Suku Dani, perempuan


dikategorikan memiliki peran domestik dalam kehidupan.17 Stigma tersebut
memberi legitimasi kepada laki-laki bahwa mereka yang lebih kuat dari laki-laki
dan mengehendaki agar perempuan selalu tunduk kepada laki-laki. Peristiwa
tersebut cenderung menimbulkan perlakuan diskriminatif yang diterima oleh
perempuan.
Proses konstruksi adat yang berlaku saat itu menempatkan perempuan
hanya sebagai pemenuhan kehidupan laki-laki tanpa mengejawantahkan hak
perempuan sebagai manusia kodrati. Padahal, jika ditelaah lebih lanjut,
perempuan memiliki peran tidak hanya pada sektor domestik saja. Perempuan
adat menjadi aktor kunci dalam pengambilan keputusan sehari-hari kehidupan
komunitas adat. Seperti contohnya, perempuan memiliki pengetahuan tentang
tanaman obat tradisional, menjaga hasil pangan dalam komunitasnya, hingga
berperan dalam keberlanjutan praktek-praktek dan pengetahuan yang dimiliki
perempuan adat terkait erat dengan keberlanjutan bahasa.18
Jika ditinjau lebih jauh lagi, peran perempuan Suku Honai bisa dikatakan
lebih besar dibandingkan peran laki-laki. Perempuan dituntut untuk bisa
melaksanakan fungsi biologis, menyelesaikan urusan domestik seperti memasak,
memberi makan hewan ternak, merawat hasil panen, dan lain-lain. Tak hanya itu,

17
Yanuaris You, “Relasi Gender Patriarki dan Dampaknya terhadap Perempuan Hubula
Suku Dani, Kabupaten Jaya Wijaya, Papua,” hlm. 69.
18
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara,” Hak-hak Perempuan Adat atas Wilayah Adat,”
https://wri-indonesia.org/sites/default/files/PerempuanAdat_Seminar_Papua-Ibu%20Rukka.pdf,
diakses 16 Maret 2022.

6
beberapa perempuan Suku Honai juga kerap menggantikan peran laki-laki
sedangkan laki-laki jarang diketahui yang menggantikan peran perempuan.19
Peran perempuan adat di Papua telah mengalami bias yang menyebabkan
hegemoni kekuasaan oleh laki-laki. Untuk menyelesaikan hal tersebut diperlukan
kesadaran atas setiap kelompok untuk memahami hak-hak dasar perempuan adat.
Penyelesaian diskriminasi yang diterima oleh perempuan tidak semata-mata bisa
diselesaikan oleh hukum positif. Masih ada sumber-sumber lainnya yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan kasus diskriminasi terhadap perempuan. 20 Salah
satu cara adalah dengan menegakkan hukum adat sebagai landasan untuk
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan.
Perempuan adat dianggap tidak mampu untuk ikut berpartisipasi dalam
kehidupan sosial di lingkup masyarakat adat. Hal ini merupakan bentuk konkrit di
mana terjadi hegemoni antara laki-laki adat dengan perempuan adat. Laki-laki
menilai peran perempuan tidak memiliki fungsinya untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Pola pikir seperti ini yang menjadi bias dan telah mengakar secara turun-
temurun.

D. Penutup

Perempuan adat merupakan satu kesatuan dari masyarakat adat Papua


yang keberadaannya diakui oleh negara. Namun, hingga saat ini perempuan adat
di Tanah Papua kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi akibat pengaruh
budaya patriarki yang tumbuh dalam tradisi turun-temurun. Perempuan adat di
Tanah Papua juga mendapatkan perlakuan diskriminatif dari negara. Hal tersebut
ditunjukkan dengan masih adanya kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap
masyarakat adat Papua khususnya perempuan. Tidak hanya itu, di wilayah adat
sendiri kerap terjadi konflik dalam memperebutkan lahan antara pihak asing

19
Willius Kogoya, “Peran Perempuan Suku Dani bagi Ketahanan Keluarga dalam Budaya
Patriarki,” Jurnal Kajian Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, Vol. 9 No. 1 (2021),
hlm. 513.
20
Maria Silvya E. Wangga dan R. Bondan Agung Kardono, “Alternatif Penyelesaian
Kekerasan Terhadap Perempuan,” ADIL: Jurnal Hukum, Vol. 9 No. 2 (2018), hlm. 91.

7
dengan penduduk lokal.21 Hal itu yang menjadi ironi ketika melihat perempuan
adat mendapatkan kekerasan struktural akibat sistem yang berlaku di masyarakat.
Mirisnya perlakuan diskriminatif yang diterima oleh perempuan adat
terjadi karena negara yang ditempati dan budayanya sendiri. Seolah-olah
perempuan adat tidak memiliki ruang aman atas kehidupannya. Di samping
mendapat perlakuan diskriminatif, tempat tinggal masyarakat adat mengalami
pengikisan akibat kepentingan orang-orang yang ingin meraup keuntungan di
wilayah adat. Oleh karena itu, diskriminasi serta rasisme struktural yang
berlangsung harus mulai dihentikan dari hulunya.
Selain itu, perlakuan diskriminatif yang ada di wilayahnya sendiri adalah
karena corak subordinat antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan dikatakan
seolah-olah tidak memiliki kemampuan selain melayani para laki-laki yang
menghidupinya. Pemikiran yang salah tersebut menimbulkan diskriminasi yang
berujung pada kekerasan terhadap perempuan.
Padahal jika dilihat lebih jauh lagi, peran perempuan tidak hanya terbatas
pada urusan domestik saja. Perempuan memiliki peran yang lebih penting untuk
menjaga tatanan lingkungan hidup di wilayah adat mereka. Mereka merupakan
pemegang aktor kunci untuk menjalankan keputusan-keputusan selama hidup.
Mereka kerap menggantikan peran laki-laki untuk memenuhi kehidupannya. Akan
tetapi peran mereka jarang terlihat akibat budaya patriarki yang menyelimuti.
Hingga saat ini, budaya patriarki yang menjadi satu dengan tradisi di
masyarakat adat masih dijalankan oleh masyarakat adat di sana. Hal itu
menunjukkan minimnya pengetahuan dan kesadaran atas pemenuhan hak-hak
dasar perempuan adat. Oleh karena itu, kita bisa memulai melindungi hak-hak
masyarakat adat minimal dimulai dari diri kita sendiri.
Adat istiadat memang merupakan sesuatu yang sakral, tetapi jika adat
istiadat tersebut telah bertentangan dengan kemanusiaan ada baiknya mengubah
adat tersebut. Hukum adat memiliki kekuatan yang tetap untuk mengatur
kehidupan masyarakat adat. Hukum adat terbentuk atas konsensus dari
masyarakat adat. Jika mayoritas masyarakat adat paham akan hak-hak yang harus

21
George Frans Wanma, et. al., eds., “The Existence of Adat Law Community in
Indonesian Legal Regulations,” Journal Of Law, Policy and Globalizations, Vol. 39 (2015), hlm
130.

8
diperoleh perempuan adat. Maka, seharusnya adat istiadat tersebut dapat
mengikuti sesuai perkembangan sehingga diskriminasi terhadap perempuan adat
bisa berkurang.
Saran
Untuk menangani peristiwa tersebut dibutuhkan peran penting antara
negara dengan penduduk setempat. Negara telah berkomitmen untuk melindungi
hak-hak masyarakat hukum adat sesuai dengan yang tertulis di UUD NRI 1945.
Akan tetapi, belum ada bentuk peraturan komprehensif yang mengatur mengenai
masyarakat hukum adat. Komitmen negara dalam melindungi masyarakat hukum
adat bisa ditunjukkan melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang
Masyarakat Hukum Adat. Kemudian, negara bisa mengintevensi penduduk
setempat untuk menanamkan nilai-nilai yang berkaitan dengan HAM untuk
memberi pengetahuan akan perlindungan hak-hak perempuan adat.
Sebagai mahasiswa kita dapat melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi
yaitu, pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Melakukan pendidikan
berarti kita mencari fakta atas kejadian-kejadian sebenarnya yang terjadi pada
perempuan adat di Tanah Papua. Kemudian, melakukan penelitian yaitu
memperoleh validasi atas fakta yang sedang kita cari. Setelah itu, kita bisa
melakukan pengabdian masyarakat untuk mengadvokasikan isu-isu yang berada
pada perempuan adat.

9
Daftar Pustaka

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.” Hak-hak Perempuan Adat atas Wilayah


Adat.”
https://wri-indonesia.org/sites/default/files/PerempuanAdat_Seminar_Papu
a-Ibu%20Rukka.pdf. Diakses 16 Maret 2022.
Deda, Andreas Jefri dan Suriel Semuel Mofu. “Masyarakat Hukum Adat Dan Hak
Ulayat Di Provinsi Papua Barat Sebagai Orang Asli Papua Di Tinjau Dari
Sisi Adat Dan Budaya: Sebuah Kajian Etnografi Kekinian.” Jurnal
Administrasi Publik Vol. 11 No. 2, (Oktober, 2014).
Eddyono, Sri Wiyanti. Sri Wiyanti Eddyono. “Hak Asasi Perempuan dan
Konvensi CEDAW.” https://referensi.elsam.or.id/2014/09/hak-asasi-
perempuan-dan-konvensi-cedaw/. Diakses 13 Maret 2022.
George Frans Wanma, et. al., eds., “The Existence of Adat Law Community in
Indonesian Legal Regulations.” Journal Of Law, Policy and
Globalizations. Vol. 39 (2015).
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
Kogoya, Willius. “Peran Perempuan Suku Dani bagi Ketahanan Keluarga dalam
Budaya Patriarki.” Jurnal Kajian Lembaga Ketahanan Nasional Republik
Indonesia, Vol. 9 No. 1 (2021).
Majni, Ferdian Ananda. “37 Tahun Ratifikasi CEDAW, Indonesia Wajib Penuhi
Hak Korban Pemerkosaan.”
https://mediaindonesia.com/humaniora/420495/37-tahun-ratifikasi-cedaw-
indonesia-wajib-penuhi-hak-korban-pemerkosaan. Diakses 12 Maret 2022.

10
Maria Silvya E. Wangga dan R. Bondan Agung Kardono. “Alternatif
Penyelesaian Kekerasan Terhadap Perempuan.” ADIL: Jurnal Hukum,
Vol. 9 No. 2 (2018).
Oscar, Okke. “Perempuan Papua: Ditindas Negara, Dilindas Budaya.”
https://neverokayproject.org/en/perspective/column/perempuan-papua-
ditindas-negara-dilindas-budaya/. Diakses 12 Maret 2022.
Pelupessy, Eddy. “The Land of Rights of Indigeneous People: Revaluation of
Papua Special Autonomy.” Hasanuddin Law Review. Vol. 3 No. 1 (April
2017). Hlm. 83.
Richards, David A. J. “Liberal Democracy and The Problem of Patriarchy.” Israel
Law Review. Vol. 46 No. 2 (2013).
Soepomo. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Cet 18 (Jakarta: PT Balai Pustaka,
2013)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39
Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886.
Wasuway, Hendriana Johanna Sylvi. “Perempuan Maybrat dan Dominasi
Patriarki: Kajian Berperspektif Feminis Terhadap Tradisi Pertukaran Kain
Timur.” Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2012.
You, Yanuaris. et. al., eds., “Relasi Gender Patriarki dan Dampaknya terhadap
Perempuan Hubula Suku Dani, Kabupaten Jaya Wijaya, Papua.”
Sosiohumaniora, Vol. 21 No. 1 (Maret, 2019).

11

Anda mungkin juga menyukai