NIM: 1897184009
CERPEN
PADA tahun 1950-an, ada pembunuhan mengerikan, dilakukan oleh Bik Rimang
terhadap Jemprot, suaminya sendiri. Pembunuhan, dengan alasan apa pun, adalah
perbuatan keji dan patut dikutuk. Tetapi, penduduk Candipuro justru menghargai
tindakan Bik Rimang, karena Jemprot selalu membuat kekacauan bukan hanya di
Candipuro, sebuah desa di Kabupaten Lumajang, tetapi juga di tempat-tempat lain
hampir di seluruh kawasan Tapal Kuda, Jawa Timur.
Pembunuhan terjadi setelah sekian kali Jemprot membawa pelacur ke rumah, lalu
mengeluarkan titah kepada Bik Rimang untuk menyaksikan Jemprot main kuda-kudaan
dengan pelacur. Kalau tidak mengindahkan titah Jemprot, mungkin nyawa Bik Rimang
akan melesat dari tubuhnya, disiksa oleh Jemprot.
Dan pada saat pembunuhan terjadi, kepala Jemprot ditebas oleh Bik Rimang dengan
celurit, terbelah menjadi dua bagian, yaitu bagian mata ke atas dan bagian mata ke
bawah. Otak di bagian atas mata terburai, otak bagian bawah mata untuk sementara
waktu tetap diam di tempatnya, tapi kemudian sebagian ikut-ikutan terburai. Dalam
waktu singkat berita kematian Jemprot sudah menjalar ke mana-mana, bukan hanya di
Candipuro, tapi juga di desa-desa lain. Semua orang merasa bersyukur atas kematian
Jemprot yang sudah lama mendapat julukan ”bangsat”, ”bajingan”, ”setan alas”, dan
entah apa lagi. Dan mereka tidak sudi mengatakan bahwa Jemprot telah mati, tapi
Jemprot telah ”mampus”, ”bongko”, ”modar”, dan sekian banyak kata-kata tidak sopan.
Secara spontan mereka tidak menyebut tubuh Jemprot sebagai ”jenazah” atau kata-
kata lain yang sopan, tapi ”bangkai”, istilah untuk binatang yang sudah mati.
Polisi datang, dan semua orang mengaku bersaksi atas kebiadapan Jemprot, dan
berteriak-teriak agar Bik Rimang tidak dihukum.
Tapi, bukankah mata harus diganti mata, gigi harus diganti gigi, tangan harus diganti
tangan, dan nyawa harus diganti nyawa pula? Ketika polisi datang untuk memborgol Bik
Rimang, Bik Rimang masih dalam keadaan mandi darah dan mandi otak, cipratan dari
darah dan otak dari kepala Jemprot. Meskipun tahu apa yang benar dan apa yang
tidak, polisi terpaksa melemparkan Bik Rimang ke rumah tahanan Kantor Polisi Kota
Lumajang.
Martoyo sama sekali tidak pernah sekolah hukum, tapi karena keinginannya untuk
membela orang-orang tidak berdaya dalam pengadilan, dia belajar ilmu hukum sendiri,
lalu mendaftarkan diri sebagai pokrol bambu. Tugasnya sama dengan advokat,
mendampingi dan membela orang-orang yang minta tolong dalam sidang-sidang di
pengadilan.
Sebagai pokrol bambu, Martoyo selalu minta dibayar. Tentu saja dia tahu makna ”pro
bono”, yaitu membela tanpa dibayar, dan dia menolak keras bekerja tanpa
mendapatkan apa-apa. Bekerja berarti mengeluarkan keringat, dan sebelum keringat
kering, harus dibayar. Itulah semangat hadis HR Ibnu Majah, dan dia benar-benar
mengikuti hadis ini, tentu saja, dengan catatan tertentu. Karena sering memenangkan
perkara, dia menjadi kaya. Dan inilah catatan tertentu itu: siapa pun yang dibela harus
membayar, bahkan orang miskin pun harus membayar. Kalau yang dibela orang miskin
dan benar-benar tidak mempunyai uang, orang miskin itu harus berutang, entah kepada
siapa. Kalau dia dapat memenangkan perkara, bayaran dari orang miskin itu akan
dikembalikan dengan jumlah berlipat ganda. Dia tidak akan segan menolong orang
miskin yang tertimpa perkara. Dan kalau dia gagal dalam memenangkan perkara, dia
juga akan mengembalikan uang orang miskin itu dengan jumlah yang sangat besar,
jauh lebih besar daripada kalau dia memenangkan perkara. Kalau perlu, dia rela
menjual sebagian sawahnya untuk menebus kegagalannya membela orang miskin. Dan
ketika mendapat pesan mengenai Jemprot dia tidak terkejut, sebab dia sudah
mendengar banyak mengenai Jemprot.
Martoyo tahu, apa pun yang terjadi di pengadilan di Kota Lumajang nanti, Bik Rimang
pasti dianggap bersalah, dan pasti dituntut, dan kemudian dijatuhi hukuman tidak ringan
pula. Karena itu, Martoyo tidak akan berjuang untuk membebaskan Bik Rimang, tetapi
berjuang supaya hukuman Bik Rimang menjadi sangat ringan. Dan semua orang sudah
tahu, sebelum bertarung di pengadilan, Martoyo harus dibayar terlebih dahulu. Bekerja
pasti mengeluarkan keringat, dan bayaran harus segera diberikan sebelum keringat itu
kering.
Pada waktu datang kali pertama untuk menemui Bik Rimang, Martoyo tidak datang
sendirian, tetapi didampingi oleh seorang dokter muda lulusan Universitas Airlangga,
Surabaya. Dokter ini sangat tampan, sopan, dan dalam berbicara lebih senang menuju
langsung ke pokok persoalan. Sesuai dengan dugaan Martoyo, Bik Rimang pasti
menderita penyakit berbahaya, terpapar oleh kelakuan Jemprot. Setelah melakukan
pemeriksaan dengan disaksikan polisi, dokter menyatakan, Bik Rimang menderita
penyakit gonorhoa dan harus segera disembuhkan. Dan dokter muda itu memang
sudah menyediakan obat untuk membunuh gonorhoa.
Bik Rimang akan tetap menjalankan tugas-tugasnya sebagai istri meskipun Jemprot
terus-menerus menyiksanya. Bahkan kalau siksaan-siksaan itu sampai menyebabkan
Bik Rimang cacat seumur hidup, dan kalau perlu sampai mati, Bik Rimang rela.
Bik Rimang sudah berkali-kali mengingatkan Jemprot untuk tidak menghina orang tua
Bik Rimang.
Bik Rimang dimaki-maki oleh Jemprot di depan pelacur baru pada hari pembunuhan itu
dengan sikap dan kata-kata kasar. Ibu kamu pelacur jalanan, bapak kamu pengemis,
nenek moyang kamu orang gila, dan kata-kata kasar lain yang tidak perlu disebutkan di
sini.
Kesimpulan: sebagai orang Pandalungan asli, bagi Bik Rimang, kehormatan keluarga
berada di atas segalanya.
Kali ini ternyata Martoyo mengatakan, dia harus dibayar, bukan dengan uang, akan
tetapi dengan celurit Bik Rimang. Mengapa? Karena celurit Bik Rimang adalah simbol
dalam melawan kejahatan besar dengan cara yang sangat keliru, dan karena itu harus
diberikan kepada orang yang tepat. Orang yang tepat itu tidak lain adalah Martoyo
sendiri, sebagai pokrol bambu yang berjuang untuk membela seorang perempuan buta
huruf, tidak punya orang tua, dan tidak punya sanak saudara. Dengan celurit warisan
ayahnyalah, Bik Rimang merantau ke mana-mana untuk menyabit rumput pakan
ternak. Bik Rimang bertahan hidup karena celuritnya, dan membebaskan diri dari
penindasan juga dengan celuritnya.
Celurit adalah barang bukti, karena itu terjadi perdebatan keras dalam sidang ketika
Martoyo minta supaya celurit itu diberikan kepadanya. Barang bukti harus disita untuk
negara dan dimusnahkan apabila waktunya sudah tiba nanti. Tentu saja Martoyo
paham, tapi tetap ngotot. Dalam pikiran Martoyo, celurit itu akan diberikan kepada Bik
Rimang setelah bebas nanti.
Perjuangan Martoyo berhasil: celurit diberikan kepada Martoyo dan Bik Rimang
dihukum tiga bulan di penjara Kota Lumajang. Selama Bik Rimang dipenjara, hampir
setiap hari utusan Martoyo datang dari Kota Jember, menenangkan hati Bik Rimang,
dan juga memberi Bik Rimang makanan. Memang penjara memberi makan, tapi mutu
dan jumlahnya di bawah kewajaran.
Sekarang, masa tiga bulan sudah habis dan pagi-pagi sekali Martoyo sudah berada di
depan penjara. Jalan di depan penjara biasanya sepi, tapi kali ini ramai bukan main.
Banyak orang dari Kecamatan Candipuro, terdiri atas Desa Candipuro sendiri, Desa
Jarit, Desa Jugosari, Desa Kloposawit, Desa Penanggal, Desa Sumbermujur, Desa
Sumberrejo, Desa Sumberwuluh, dan Desa Tambahrejo, dengan penuh semangat ingin
menyaksikan pembebasan Bik Rimang. Bukan hanya itu. Sekian banyak orang dari
sekian banyak kota dan desa-desa lain kawasan Tapal Kuda atau dikenal sebagai
kawasan Pandalungan juga datang. Mereka masih ingat ketika Bik Rimang berkelana
sebagai penyabit makanan ternak. Bik Rimang dikenal sebagai pekerja keras, jujur,
tidak mau dibayar terlalu mahal, suka menolong, dan bersikap sopan terhadap siapa
pun.
Martoyo tidak mau mengecewakan Bik Rimang. Dia letakkan kakinya di atas kepala
dan pura-pura menginjak kepala Bik Rimang. Di luar dugaan, Bik Rimang menangis,
menjerit-jerit, memohon untuk diinjak keras-keras. Orang-orang berteriak-teriak: ”Injak,
Pak, injak!” Martoyo tidak punya pilihan lain. Kepala Bik Rimang diinjak agak keras, tapi
hanya sekejap. Bik Rimang kemudian menyembah-nyembah, menyatakan rasa terima
kasih. Orang-orang pun bertepuk tangan sebagai ungkapan terima kasih.
Sebelum mencapai mobil untuk mengajak Bik Rimang, dua anak kecil, masing-masing
membawa pisang satu tangkai, berlari-lari mendekati Martoyo dan Bik Rimang, lalu
menyampaikan setangkai pisang untuk Martoyo, dan satu tangkai untuk Bik Rimang.
Di dalam mobil Martoyo berkata: ”Bik Rimang, kamu saya anggap sebagai keluarga
saya sendiri. Istri saya juga keluarga kamu. Anak saya satu, perempuan. Dia baru
masuk kelas satu SMA. Sejak kecil kami panggil dia Genduk [catatan: nama
kesayangan bagi anak perempuan]. Dia tidak mau dipanggil dengan namanya sendiri.
Genduk adalah keluarga kamu juga.”
Ketika memasuki rumah Martoyo, begitu melihat istri Martoyo, Bik Rimang berbuat
sama, yaitu menginjakkan kaki istri Martoyo ke kepalanya. Dan begitu melihat Genduk
keluar dari kamar dengan lincah sambil menyanyi-nyanyi kecil, Bik Rimang merasa ada
petir menyambar dirinya. Genduk bukan anak perempuan biasa. Matanya berkilauan
memancarkan wibawa. Dan suaranya juga mempunyai kekuatan yang tidak mungkin
digambarkan. Sikapnya menunjukkan keinginan untuk disayang oleh Bik Rimang
menyebabkan Bik Rimang gemetaran.
”Anggaplah Genduk sebagai adik kamu sendiri, Bik Rimang,” kata istri Martoyo.
Hati Bik Rimang berdegup-degup. ”Anak ini luar biasa. Mungkin kelak akan menjadi
priayi agung.”
Bik Rimang menangis tersedu-sedu, lalu dirangkul kuat-kuat oleh Genduk, rangkulan
penuh kasih sayang. (*)
Judul : Pokrol Bambu Martoyo
Penulis : Budi Darma
Menurut pendapat saya, kelebihan karya cerpen ini cerpen ini menggunakan gaya
bahasa yang mudah dipahami dan mudah di cerna oleh pembacanya.
Kekurangan yang terdapat dalam cerpen Pokrol Bambu Martoyo ini terdapat beberapa
kata yang terkesan cukup kasar seperti bangsat”, ”bajingan”, ”setan alas”, ”mampus”,
”bongko”, ”modar atau kata-kata lain yang sopan, seperti ”bangkai”, istilah untuk
binatang yang sudah mati tetapi digunakan untuk seorang warga desa yang memiliki
sifat dan sikap yang buruk.
Untuk latar tempatnya sendiri dijelaskan secara objektif, hal itu dibuktikan dengan
kalimat berikut, Tetapi, penduduk Candipuro justru menghargai tindakan Bik Rimang,
karena Jemprot selalu membuat kekacauan bukan hanya di Candipuro, sebuah desa di
Kabupaten Lumajang, tetapi juga di tempat-tempat lain hampir di seluruh kawasan
Tapal Kuda, Jawa Timur. Jemprot dikubur di hutan, tidak diberi nisan, dan sama sekali
tidak ditaburi bunga.
Tokoh Bik Rimang dalam cerpen ini merupakan seseorang yang berani melawan
kejahatan meskipun sikapnya keliru karena telah membunuh suami yang sudah
menginjak-injak harga diri nya tetapi Pembunuhan, dengan alasan apa pun, adalah
perbuatan keji dan tidak dapat dibenarkan.
Tokoh Jemprot seseorang yang semena-mena, seringkali Jemprot bersikap tidak wajar
kepada istrinya, Jemprot sering membawa seorang pelacur ke rumahnya dan
melakukan kegiatan yang tidak senonoh di depan sang istri Bik Mina.
Tokoh matroyo seorang Pokrol Bambu (seseorang yang paham akan hukum) yang
membela mati-matian Bik Mina di dalam persidangan.
Dari keseluruhan cerpen ini penulis ingin menyampaikan banyak pesan moral kepada
pembacanya, melalui karakter tokoh Bik Mina, Jemprot, dan juga Martoyo.