Anda di halaman 1dari 21

KEGIATAN BELAJAR 2

ZAKAT PROFESI

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis ketentuan Islam mengenai zakat dalam
ekonomi modern dan mustahik zakat.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Dapat memahami dan menjelaskan zakat dalam ekonomi
modern
2. Dapat memahami dan menerangkan mustahik zakat dan
prospek zakat dalam meningkatkan ekonomi umat

C. Uraian Materi

1. Zakat dalam Ekonomi Modern


Para ulama kontemporer mempunyai pendapat tentang posisi
hukum zakat dalam konteks ekonomi modern. Berikut ini hukum
zakat dalam konteks sistem ekonomi modern:
a. Zakat Profesi
Persoalan zakat gaji, memang tidak ditemukan penjelasannya
dalam ketentuan fikih klasik. Tidak adanya keterangan dalam fikih
klasik, bukan berarti gaji tidak wajib dizakati. Para ulama seperti
Syekh Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradlawi telah
melakukan upaya untuk memecahkan persoalan ini dengan mencari
cantolan atau rujukan dalam fikih klasik.
Salah satu ijtihad yang dilakukan Syaikh Muhammad al-
Ghazali mengatakan “Sesungguhnya orang yang pemasukkannya
tidak kurang dari petani yang diwajibkan zakat, maka ia wajib
mengeluarkan zakat. Karenanya, dokter, pengacara, insinyur, peng-
rajin, para pekerja profesional, karyawan, dan sejenisnya wajib
mengeluarkan zakat. Zakatnya harus dikeluarkan dari pendapatan
mereka yang besar”. Pernyataan ini menegaskan bahwa zakat gaji
diqiyaskan dengan zakat pertanian. Pandangan ini setidaknya

18
didasari atas dua alasan. Pertama adalah keumumam firman Allah
swt. dalam QS al-Baqarah/2: 267:
ُ َ َ َ ُ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
َ َ َ َّ َ ُ َ َ َ َ َ
-٢٦٧-ْ‫ض‬
ْ ِ ‫نْالأر‬ ْ ِ ‫ينْآمنواْْأ ِنفقواْْ ِمنْط ِيب‬
ْ ‫اتْماْكسبتمْْو ِِماْأخرجناْلكمْ ِم‬ ْ ‫ياْأيهاْال ِذ‬
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik”.

Kedua, secara rasional, Islam telah mewajibkan zakat atas


petani. Jika petani yang penghasilannya lebih rendah daripada
mereka diwajibkan zakat, apalagi mereka yang penghasilannya lebih
tinggi daripad petani.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, gaji atau pendapatan yang
diterima dari setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu
yang halal wajib dizakati. Pendapat tersebut berarti menyamakan
dengan zakat al-mal al-mustafad (harta yang diperoleh seorang
muslim melalui satu jenis proses kepemilikan yang baru dan halal).
Al-Qardhawi mengatakan, “Zakat diambil dari gaji atau sejenisnya.
Sedang rujukan fikihnya yang sahih terhadap penghasilan ini
adalah mal mustafad (harta perolehan).”
Nishab gaji sama dengan nisab uang. Pendapat ini didasarkan
pada fakta bahwa banyak orang yang memperoleh gaji atau
pendapatan dalam bentuk uang, karenanya yang paling baik adalah
menentapkan nishab gaji berdasarkan nishab uang yang setara
dengan nilai 85 gram emas. Zakat tersebut diambil dari gaji atau
pendapatan bersih. Dalam soal zakat gaji, tidak disyaratkan adanya
haul, tetapi zakatnya harus ditunaikan ketika gaji itu diterima
sebesar 2,5%. Al-Qardlawi mengatakan bahwa yang paling utama
dari semua itu adalah nishab uang merupakan yang mu’tabar (yang
dijadikan patokan) dalam konteks ini (nishab gaji atau pendapatan).
Ia telah menentukan nilainya setara dengan nilai 85 gram emas.
Ketika ia telah memilih pendapat (yang mewajibkan) zakar gaji,
upah, dan sejenisnya, maka pendapat yang ia kuatkan adalah bahwa
zakatnya tidak diambil kecuali dari pendapatan bersih. Pendapat
yang Al-Qardlawi pilih bahwa harta perolehan seperti gaji pegawai,

19
gaji karyawan, insyinyur, dokter, pengacara, dan yang lainnya yang
mengerjakan profesi tertentu dan juga seperti pendapatan yang
diperoleh modal yang diinvestasikan di luar sektor perdangan
seperti kendaraan, kapal laut, kapal terbang, percetakan, perhotelan,
tempat hiburan dan yang lain, itu tidak disyaratkan bagi
kewajiaban zakatnya adanya haul, tetapi zakat dikeluarkan ketika ia
menerimanya (gaji). Persoalan gaji di negeri ini, pemerintah dan
perusahaan selalu mengatur gaji pegawainya berdasarkan ukuran
tahun walau pun dibayar perbulan. Hal ini karena kebutuhan
pegawai yang mendesak atau demi memenuhi kebutuhan hidup
pegawai. Dalam konteks ini, zakat penghasilan bersih seorang
pegawai dan golongan profesi dapat diambil dalam setahun penuh,
jika pendapatan bersih mencapai satu nisab. Artinya, jika
pendapatan bersih seorang pekerja setahun mencapai nishab yang
telah ditentukan, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya. Kewajiban
zakat tersebut ketika ia menerima gaji atau pendapatannya.
Misalnya, seseorang bekerja selama setahun mendapatkan gaji bersih
sekitar 48 juta dengan asumsi ia menerima pendapatan bersih setiap
bulan 4 juta, maka kewajiban zakatnya setiap bulannya 2,5 % dari 4
juta tersebut, yaitu sebesar 100 ribu. Jadi, selama setahun ia
mengeluarkan zakat sebesar 1,2 juta.
Selanjutnya, mengenai zakat gaji bisa langsung diberikan
kepada golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana firman
Allah swt:

َ َ َ ُ ُ ُ َ ََّ ُ َ َ َ َ َ
َ ْ ْ‫وب ُهم‬ َ َ َ ‫ات ْ ِلل ُف َق َراء ْ َوال َم‬ُ َ َ َّ َ َّ
ْ ِ‫اب ْ َوالغ ِارم‬
ْ‫ين‬ ْ ِ ‫الرق‬
ِ ْ ‫ي‬
ْ ‫ف‬
ِ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ق‬ْ ‫ة‬
ِْ ‫ف‬ ‫ل‬ ‫ؤ‬‫م‬ ‫ال‬ ‫و‬ ْ ‫ا‬
ْ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ْ ْ
‫ين‬‫ل‬ِ ‫ام‬
ِ ‫ع‬ ‫ال‬ ‫و‬ ْ ْ
‫ين‬ِ ‫اك‬
ِ ‫س‬ ْ ‫ِإنما ْالصدق‬
َ َ ُّ َ َ َ
-٦٠-ْْ‫اّللْع ِليمْْح ِكيم‬ ْ ‫نْاّللِْْو‬ ْ َ ‫يلْف ِريضةْْ ِم‬ ْ ِ ‫الس ِب‬َّ ْ‫ن‬ْ ِ ‫يلْاّللِْْ َواب‬
ْ ِ ‫َو ِفيْ َس ِب‬
Artinya:“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi orang-orang
fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat, para muallaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekan) budak, orang-orang yang
berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Taubah/9: 60).

20
b. Zakat Perusahaan
Pemilik perusahaan wajib mengeluarkan zakat. Dalam Islam,
ada dua kekayaan yang mengalami pertumbuhan yang diwajibkan
zakatnya. Pertama, kekayaan yang dipungut zakatnya dari pangkal
dan pertumbuhannya, yaitu dari modal dan keuntungan investasi,
setelah setahun, seperti yang berlaku pada zakat ternak dan barang
dagang. Kewajban ini berlaku karena hubungan antara modal
dengan keuntungan dan hasil investasi itu sangat jelas. Besaran
zakatnya adalah 2.5%. Kedua, kekayaan yang dipungut zakatnya
dari hasil investasi dan keuntungannya saja pada saat keuntungan
itu diperoleh tanpa menunggu masa setahun, baik modal itu tetap,
seperti tanah pertanian, maupun tidak tetap seperti lebah madu.
Besaran zakatnya adalah 10% atau 5%.
Harta (modal) perniagaan atau perdagaangan terdiri dari
berbagai macam jenis, antara lain:
1) Barang dagangan yang beredar (manqul), seperti mobil, traktor,
dan berbagai macam mesin, serta barang-barang dagangan yang
dijajakan seperti makanan, pakaian dan lain-lain.
2) Barang-barang yang tidak beredar atau tetap (tsawabit) seperti
kantor, mobil yang digunakan untuk bekerja, alat-alat seperti
mesin-mesin tulis, mesin-mesin hitung dan berbagai macam
perkakas lain yang memiliki nilai harga yang besar.
3) Barang-barang yang tidak bergerak (‘iqar) seperti gedung-gedung
perkantoran tempat-tempat penjualan dan pemasaran, tanah
kosong, dan lain-lain.
4) Berbagai macam utang-piutang seperti piutang yang
pengembaliannya diangsur selama beberapa tahun, piutang yang
pelunasannya telah ditetapkan pada waktu tertentu, dan piutang
yang disebut “piutang mati” (ad-dainaul-mayyit). Selain itu, barang
dagangan yang berada di tangan badan-badan perwakilan
(egencies) dagang.
Berkaitan dengan ini, ada dua pandangan tentang zakat, yaitu
pandangan sempit dan pandangan luas. Pandangan sempit tentang
kekayaan yang wajib zakat berpendapat bahwa Rasulullah saw.

21
telah menetapkan harta kekayaan wajib zakat, tetapi tidak
memasukkan ke dalamnya harta benda yang dieksploitasi atau
disewakan seperti gedung, binatang, alat-alat dan lain-lain. Secara
prinsip, manusia bebas dari beban. Prinsip tersebut tidak bisa
dilanggar begitu saja tanpa ada nash yang sahih dari Allah swt. dan
RasulNya. Sementara dalam persoalan ini, nash yang membahas
persoalan itu tidak ada. Hal itu didukung oleh kenyataan bahwa
para fukaha dalam berbagai masa dan asal tidak pernah mengatakan
hal itu wajib zakat. Jika ulama pernah mengatakan, tentu pendapat
tersebut akan sampai kepada kita. Bahkan, mereka hanya
mengatakan sebaliknya, yaitu bahwa rumah tinggal, alat-alat kerja,
hewan tunggangan, dan perabot rumah tangga tidak wajib zakat.
Sedangkan pandangan sempit tentang wajib tidaknya harta
kekayaan dizakati merupakan pendapat lama yang sudah dikenal
sejak salaf, ditegakkan dan dibela oleh pemuka mazhab Zahiri
terkemuka, Ibnu Hazm. Pada zaman modern ini, didukung oleh
Syaukani dan Sadik Hasan Khan, mereka semua bersepakat bahwa
kekayaan dagang, buahan-buahan segar tidak wajib zakat.
Pandangan luas tentang kekayaan yang wajib zakat
mewajibkan zakat atas pabrik-pabrik, gedung-gedung dan lain-
lainnya. Mereka adalah ulama-ulama Mazhab Maliki dan Mazhab
Hanbali, ulama-ulama Hadawiya dari Mazhab Zaidiah (Syi’ah), dan
juga sebagian ulama zaman ini, seperti Abu Zahra, Khalaf, dan
Abdur Rahman Hasan.
Harta berkembang berupa mesin-mesin dan alat-alat industri
yang dipergunakan sebagai pengganti tenaga manusia dianggap
sebagai harta kebanyakan yang dapat berkembang, sehingga wajib
dizakati.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya tentang
kewajiban dan hukuman bagi orang yang melanggar zakat, maka
ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam perhitungan
zakat perusahaan, yaitu:

22
1) Zakat wajib kepada orang muslim dan tidak wajib kepada
nonmuslim;
2) Aset berupa fasilitas perusahaan tidak dikenai zakat, seperti
mobil untuk fasilitas, kantor, komputer, dan sejenisnya;
3) Zakat perusahaan secara subtansial berarti menzakati harta
orang-orang yang menamkan modal di perusahaan serta
keuntungannya;
4) Sistem zakat perusahaan tergantung bidang perusahaan
tersebut. Perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan
keuangan, sistem zakatnya adalah zakat perdagangan.
Perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dan perkebunan,
zakatnya adalah zakat pertanian atau perkebunan. Sedangkan,
perusahaan jasa dan pertambangan ada perbedaan pendapat di
antara ulama, baik terkait dengan nishab maupun besaran zakat
yang harus dikeluarkan. Sebagian ulama berpendapat mengikuti
penghitungan emas serta perak dan ada juga yang berpendapat
mengikuti pertanian;
5) Bahan baku Perusahaan yang belum diproduksi masuk dalam
hitungan harta yang terkena zakat;
6) Cara menghitung zakat perusahaan yang bergerak di bidang
perdagangan, keuangan, investasi, dan jasa, menurut sebagian
ulama, adalah (seluruh uang perusahaan yang ada, baik uang
cash maupun uang yang tersimpan di bank + nilai barang yang
diperjualbelikan x 2,5 persen = besaran zakat yang harus
dikeluarkan;
7) Selain itu, dapat dihitung dengan metode penghitungan: (semua
aset perusahaan – aset tidak terkena zakat (sarana dan fasilitas))
x 2,5 persen = besaran zakat yang harus dikeluarkan;
8) Penghitungan zakat perusahaan boleh dilakukan saat tutup
buku atau genap satu tahun. Penghitungan zakat perusahaan
tidak berdasarkan pada fluktuasi keuangan yang berlangsung
per bulan atau per hari. Penghitungan dilakukan per tahun;
9) Hutang bisa menjadi pengurang zakat, apabila nilai hutang itu
melebihi nilai asset tidak bergerak perusahaan;

23
10) Cara menghitung hutang perusahaan dan pengaruhnya
terhadap zakat. Pertama, semua asset tidak bergerak dikonversi
ke rupiah. Kedua, membandingkan antara beban hutang yang
harus dibayar dan nilai asset perusahaan yang berupa harta
tidak terkena zakat. Apabila hasilnya ternyata nilai asset itu lebih
besar dari beban hutang, maka hutang tidak menjadi pengurang
zakat. Namun, jika nilai utang lebih besar, maka selisihnya
(selisih antara nilai asset tidak terkena zakat dan nilai beban
hutang) itu yang menjadi pengurang. Penjelasan tersebut
menegaskan bahwa tidak semua hutang menjadi pengurang
zakat;
11) Nilai zakat perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan
dan keuangan: 2,5 persen, sedangkan nishabnya 85 gram emas;
12) Nilai zakat perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dan
perkebunan adalah 5 atau 10%, sedangkan nisabnya adalah 653
kg beras atau senilai dengannya;
13) Nilai zakat perusahaan pertambangan (emas, batu bara, gas, dan
sejenisnya) adalah 2,5% menurut sebagian ulama dan seperti
zakat pertanian menurut ulama yang lain. Sedangkan nisabnya
adalah: 85 gram emas dan ada yang berpendapat seperti nisab
hasil pertanian.
c. Surat-surat Berharga
Sebagian ulama mengatakan saham dan surat-surat berharga
(obligasi) merupakan salah satu objek zakat yang tercantum dalam
literatur fikih zakat kontemporer. Saham dan surat-surat berharga
adalah harta yang berkaitan dengan perusahaan dan kepemilikan
saham. Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan dua pendapat
berkaitan dengan persoalan ini.
Pertama, jika perusahaan itu merupakan perusahaan industri
murni, artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan, maka
sahamnya tidaklah wajib dizakati, misalnya perusahaan hotel, biro
perjalanan, dan angkutan (darat, laut, udara). Alasannya, saham-
saham tersebut ada pada alat-alat, perlengkapan, gedung-gedung,
sarana dan prasarana lainnya. Akan tetapi, keuntungan yang ada

24
dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu
zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya.
Kedua, jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan
dagang murni yang membeli dan menjual barang-barang, tanpa
melakukan kegiatan pengolahan, seperti perusahaan yang menjual
hasil-hasil industri, perusahaan dagang internasional, perusahaan
ekspor-impor, maka saham-saham atas perusahaan itu wajib
dikeluarkan zakatnya. Kewajiban ini juga berlaku pada perusahaan
industri dan dagang, seperti perusahaan yang mengimpor bahan-
bahan mentah, kemudian mengolah dan menjualnya. Contohnya
perusahaan minyak, perusahaan pemintalan kapas dan sutera,
perusahaan besi dan baja, dan perusahaan kimia.
Beberapa ulama berpendapat bahwa saham dan obligasi
adalah harta yang dapat diperjualbelikan karena pemiliknya
mendapatkan keuntungan dari hasil penjualannya, sama seperti
barang dagangan lainnya. Oleh karena itu, saham dan obligasi
termasuk barang dagangan dan merupakan objek zakat.
Kedua pendapat tersebut menyatakan bahwa saham termasuk
ke dalam sumber zakat. Pendapat pertama mewajibkan adanya
penggabungan dengan harta lain yang dimiliki pemegang saham
lalu dikeluarkan zakatnya setelah mencapai nisab dan mencapai
waktu satu tahun. Pendapat kedua, secara tegas menyatakan
bahwa saham termasuk sumber zakat, yaitu zakat perdagangan.
Dalam Muktamar Internasional pertama yang membahas
zakat di Kuwait tahun 1404 menetapkan kewajiban zakat terhadap
saham. Dari sini, kita mengerti bahwa dari sudut hukum, saham
termasuk ke dalam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kewa-
jiban zakat ini akan lebih jelas dan gamblang, ketika dikaitkan
dengan nash-nash yang bersifat umum, seperti surah al-Taubah/9:
103 dan al-Baqarah/2: 267 yang mewajibkan semua harta yang
dimiliki untuk dikeluarkan zakatnya.
Uraian di atas menegaskan bahwa zakat saham dianalogikan
pada zakat perdagangan, baik nishab maupun kadarnya, yaitu

25
nishabnya senilai 85 gram emas dan kadarnya 2,5 persen. Yusuf al-
Qaradhawi menjelaskannya sebagai berikut, “Jika seseorang
memiliki saham senilai 1.000 dinar, kemudian di akhir tahun
mendapatkan deviden atau keuntungan sebesar 200 dinar, maka ia
harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen dari 1.200 dinar atau
30 dinar.”
Muktamar Internasional Pertama tentang zakat (Kuwait, 29
Rajab 1404 H) juga memutuskan bahwa jika perusahaan telah
mengeluarkan zakatnya sebelum deviden dibagikan kepada para
pemegang saham, maka para pemegang saham tidak perlu lagi
mengeluarkan zakatnya. Akan tetapi, jika pemegang saham belum
mengeluarkan, maka para pemegang saham berkewajiban
mengeluarkan zakatnya. Kewajiban terebut harus dituangkan
dalam peraturan perusahaan.
Berkaitan dengan zakat obligasi, Yusuf al-Qaradhawi
mengatakan bahwa obligasi adalah perjanjian tertulis dari bank,
perusahaan, atau pemerintah kepada pemegangnya untuk
melunasi sejumlah pinjaman dalam masa tertentu dengan bunga
tertentu pula. Yusuf al-Qaradhawi juga menjelaskan perbedaan
antara saham dan obligasi. Pertama, saham merupakan bagian dari
harta bank atau perusahaan, sedangkan obligasi merupakan pin-
jaman kepada perusahaan, bank atau pemerintah. Kedua, saham
memberikan keuntungan sesuai dengan keuntungan perusahaan
atau bank, yang besarnya tergantung pada keberhasilan
perusahaan atau bank itu, tetapi juga menanggung kerugiannya.
Sedangkan obligasi memberikan keuntungan tertentu (bunga) atas
pinjaman tanpa bertambah atau berkurang. Ketiga, pemilik saham
berarti pemilik sebagian perusahaan dan bank itu sebesar nilai
sahamnya. Sedangkan pemilik obligasi berarti pemberi utang atau
pinjaman kepada perusahaan, bank, atau pemerintah. Keempat,
deviden saham hanya dibayar dari keuntungan bersih perusahaan,
sedangkan bunga obligasi dibayar setelah waktu tertentu yang
ditetapkan.

26
Perusahaan yang tidak memproduksi barang-barang atau
komoditas-komoditas yang dilarang, maka sahamnya termasuk
objek atau sumber zakat. Sedangkan obligasi sangat tergantung
kepada bunga, apakah termasuk kategori riba yang dilarang secara
tegas oleh ajaran Islam atau tidak. Walaupun demikian, sebagian
ulama berpendapat akan haramnya bunga, tetapi mereka tetap
menyatakan bahwa obligasi adalah salah satu objek atau sumber
zakat dalam perekonomian modern ini.
Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa jika obligasi itu
dibebaskan dari zakat, maka akibatnya orang lebih suka
memanfaatkan obligasi dari pada saham. Hal ini akan membuat
orang lebih condong untuk meninggalkan yang halal dengan
melakukan yang haram. Selain itu, jika ada harta haram, sementara
pemiliknya tidak diketahui, maka harta tersebut disalurkan
sebagai sedekah. Tetapi, jika suatu obligasi hanya tergantung pada
bunga, maka obligasi itu bukan merupakan objek atau sumber
zakat.
d. Perdagangan Kurensi
Perkembangan dunia informasi dan teknologi telah mendorong
manusia modern untuk menghasilkan sumber daya ekonomi lewat
jalur internet. Salah satunya orang senang menghasilkan uang secara
instan dengan bermain forex atau jual beli mata uang. Allah swt.
secara tegas berfirman di dalam al-Qur’an akan halalnya jual beli
dan haramnya riba. Berkaitan dengan hukum transaksi jual beli via
elektronik, Muktamar NU ke-32 di Makassar Tahun 2010
menyatakan boleh dilakukan ketika barang yang diperdagangkan
(mabi’) memiliki unsur yang jelas menurut ciri dan sifatnya secara
urf. Jika kita merunut kasus perdagangan mata uang, maka kita
perlu nilai kurs harus diketahui oleh masing-masing, baik oleh pihak
penjual maupun pihak pembeli dalam pasar bursa valuta.
Forex (foreign exchange) merupakan transaksi tukar menukar
valuta (mata uang asing). Hukum barter mata uang asing di pasaran
tunai pada dasarnya diperbolehkan. Diperbolehkannya barter mata
uang asing dikiyaskan dengan makna zahir hadis sahih yang

27
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhary, Kitab Al-
Buyu’: “Dagangkanlah emas dengan perak dan perak dengan emas
sekehendakmu.”
Dalam permasalahan forex, kita perlu memahami apakah forex
masuk rukun jual beli atau tidak. Dalam Islam, transaksi jual beli
diperbolehkan ketika barang yang diperjualbelikan bukan barang
haram, tidak ada unsur penipuan, tidak menyembunyikan cacat
barang, dan tidak mengandung unsur judi/nilai spekulatif di
dalamnya. Maksud nilai spekulatif di sini seperti tebak-menebak
harga. Misalnya, dalam sebuah transaksi jual beli terdapat unsur
“Jika beruntung, dapat barang bagus, tetapi jika tidak beruntung,
dapat barang jelek.”
Yusuf al-Qaradhawy dalam Kitab Al-Halal wa al-Haram
menjelaskan, “Al-maisir adalah segala hal yang memungkinkan
seorang pemain mengalami untung atau rugi.” Dalam transaksi jual
beli, unsur spekulatif didasari “tidak diketahuinya harga” saat
“pembeli memutuskan membeli” dengan “saat diterimanya barang
pembelian.” Imam Nawawi dalam Kitab Al-Majmuk Syarah Al-
Muhadzdzab mengatakan bahwa transaksi model ini sebagai bai’u
hablil hablah, yaitu jual beli hasil produksi yang masih belum jelas,
termasuk janin yang ada di dalam kandungan induknya, dengan
pembayaran tertunda (tidak kontan) dan waktu jatuh tempo yang
tidak pasti.
Dalam sejarahnya, istilah bai’u hablil hablah dinisbatkan pada
praktik jual beli hewan beserta janin yang dikandungnya dan anak
yang nantinya akan dilahirkan dari janin tersebut. Jual beli model
ini mengandung 2 (dua) makna.
Pertama, jual beli secara tidak tunai atau tidak kontan dengan
batas waktu pembayaran yang tidak pasti. Pada kasus ini, waktu
atau batas tempo pembayarannya menjadi indikator dilarangnya
jual beli model ini, mengingat harga barang dapat berubah seiring
rentang dan perubahan waktu.

28
Kedua, jual beli janin binatang yang masih dalam kandungan
induknya. Praktik seperti ini yang pernah berlaku di masa Arab
Jahiliyah dan pada akhirnya dilarang dalam ajaran Islam.
Mazhab Syafi‟i dan himpunan para ahli usul fikih
menyebutkan transaksi jual-beli semacam ini adalah batil, karena
adanya perbedaan harga saat awal transaksi dengan saat barang
diterima. Pendapat ini berangkat dari tafsir atas hadis yang
diriwayatkan Imam Muslim dalam Kitab Shahih Muslim,
“Rasulullah melarang jual beli kandungannya kandungan.”
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jual
beli valuta asing di pasar tunai hukumnya boleh. Sedangkan
transaksi jual beli di pasar online hukumnya diperinci sebagai
berikut: Pertama, haram ketika harga tidak sesuai dengan saat
pembeli memutuskan melakukan transaksi dengan saat transaksi
tersebut diterima oleh penjual (broker). Artinya, barang yang
diterima ada kecatatan atau cela. Kedua, boleh manakala harga saat
beli adalah sama dengan saat diterimanya transaksi oleh penjual
(broker). Berikut fatwa MUI yang berkaitan dengan jual beli mata
uang. (Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Tidak untuk spekulasi (untung-untungan);
2) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan);
3) Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka
nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh);
4) Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai
tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai.
e. Investasi Properti
Fikih menyebut zakat investasi sebagai zakat
“Almustaghillat”. Artinya, zakat yang dikenakan terhadap harta
yang diperoleh dari hasil investasi. Di antara usaha yang masuk

29
kategor investasi adalah: bangunan atau kantor yang disewakan,
saham, rental mobil, rumah kontrakan, dan lain sebagainya.
Sebagian ulama Hanbali menganalogikan zakat investasi ke
dalam zakat perdagangan, yaitu dengan tarif 2,5% dan nishab 85
gram serta sampai haul. Sedangkan, sebagian ulama Maliki dan
salaf seperti Ibnu Masud, Ibnu Abbas, menganalogikannya ke
dalam zakat uang, tetapi diambil dari hasilnya saja, tanpa
mensyaratkan haul dikeluarkan ketika menerimanya.
Para ulama kontemporer, seperti Abu Zahrah, Abdul wahab
Khallaf, dan Yusuf al-Qardhawi menganalogikannya ke dalam
zakat pertanian yaitu dikeluarkan saat menghasilkan dari hasilnya,
tanpa memasukkan unsur modal dengan tarif 5 % untuk
penghasilan kotor dan 10 % untuk penghasilan bersih.

2. Golongan dan Syarat Penerima Zakat


Golongan atau orang-orang yang berhak menerima zakat ada 8
macam (al-ashnaf al- tsamaniyyah) yang disebutkan di dalam al-Qur’an
yaitu: fakir, miskin, amil, mualaf , budak, gharim, fi sabilillah, dan ibnu
sabil.
a. Fakir Miskin
Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta benda atau
mata pencaharian yang bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhannya,
baik sandang dan papan maupun pangan. Sedangkan miskin adalah
orang yang mempunyai harta atau mata pencaharian, tetapi tidak
dapat mencukupi kebutuhannya. Pengangguran yang mampu
bekerja dan ada lowongan pekerjaan halal dan layak, tetapi tidak
mau bekerja, karena malas, tidak termasuk fakir/miskin. Sedangkan
para santri yang mampu bekerja, tetapi tidak sempat bekerja karena
kesibukan belajar, jika kiriman belum mencukupi, maka termasuk
fakir/miskin.
Seseorang dapat dikategorikan fakir, ketika penghasilannya
dibawah separuh dari kebutuhan hidupnya, akan tetapi jika diatas
separuh kebutuhannya, termasuk kategori miskin. Fuqara’ dan
masakin yang cakap bekerja, mereka berhak diberi modal bekerja

30
sesuai dengan bidangnya. Sedangkan mereka yang cakap
berdagang, diberi modal berdagang dan bagi yang mampu
dibidang pertukangan, maka diberi modal untuk membeli alat-alat
pertukangan. Jika orang-orang fakir dan miskin tidak cakap
bekerja, mereka perlu diberi modal untuk mendapatkan pekerjaan,
seperti diberi modal untuk membeli ternak atau pekarangan untuk
dijadikan penghasilan yang mencukupi kebutuhan. Dalam hal ini,
badan amil diperbolehkan memberi mereka dalam bentuk barang.
b. Amil Zakat
Amil zakat ialah suatu panitia atau badan yang dibentuk oleh
pemerintah untuk menangani masalah zakat dengan segala
persoalannya. Ada beberapa syarat yang dipenuhi dalam diri amil
yaitu:
1) beragama Islam;
2) mukallaf (sudah baligh dan berakal);
3) merdeka (bukan budak);
4) adil dengan pengertian tidak pernah melakukan dosa besar
atau dosa kecil secara kontinyu;
5) bisa melihat;
6) bisa mendengar;
7) laki-laki;
8) mengerti terhadap tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya;
9) tidak termasuk ahlul-bait atau bukan keturunan Bani Hasyim
dan Bani Muththalib, dan;
10) bukan mawali ahlul-bait atau budak yang dimerdekakan oleh
golongan Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
Sedangkan tugas-tugas yang diamanatkan kepada amil zakat
adalah sebagai berikut:
1) Menginventarisasi (mendata) orang-orang yang wajib
mengeluarkan zakat;
2) Menginventarisasi orang-orang yang berhak menerima zakat;
3) Mengambil dan mengumpulkan zakat;
4) Mencatat harta zakat yang masuk dan yang dikeluarkan;

31
5) Menentukan ukuran (sedikit dan banyaknya) zakat;
6) Menakar, menimbang, menghitung porsi mustahik zakat;
7) Menjaga keamanan harta zakat;
8) Membagi-bagikan harta zakat kepada para mustahik.
Tugas di atas memang tidak dapat dilakukan oleh seorang
diri atau dua orang. Oleh karena itu, perlu dibentuk badan amil
yang secara khusus menangani pembagian harta zakat. Badan yang
terdiri dari banyak orang harus bekerja sesuai dengan tugas dan
prosedurnya masing-masing demi kelancaran pembagian dan
pengambilan harta zakat.
Di sini, ada beberapa amil yang bekerja sesai dengan tugas-
tugasnya. Macam-macam Amil Zakat:
1) Orang yang mengambil dan mengumpulkan harta zakat;
2) Orang yang mengetahui orang-orang yang berhak menerima
zakat;
3) Sekretaris;
4) Tukang takar, tukang nimbang, dan orang yang menghitung
zakat;
5) Orang yang mengkoordinasi pengumpulan harta dari orang-
orang yang wajib zakat dan yang berhak menerima;
6) Orang yang menentukan ukuran (sedikit banyaknya) zakat;
7) Petugas keamanan harta zakat;
8) Orang yang membagi-bagikan zakat.
c. Mualaf
Mualaf atau al-mu’affalah qulubuhum ialah orang yang berusaha
dilunakkan hatinya. Dalam konteks ini, pemberian zakat terhadap
mereka memiliki tujuan agar mereka menjadi lunak dan loyal
terhadap agama Islam. Mazhab Syaf’ie, membagi mu’allaf empat
macam:
1) Orang yang masuk Islam, akan tetapi, kelunakannya terhadap
Islam masih dianggap lemah, seperti masih ada perasaan asing
di kalangan sesama muslim atau merasa terasing dalam agama
Islam;

32
2) Mu’allaf yang memiliki pengaruh di tengah komunitas atau
masyarakatnya. Dengan diberi zakat, kita berharap menarik
simpati masyarakatnya untuk masuk Islam;
3) Mu’allaf yang diberi zakat dengan tujuan agar membantu kaum
muslim menyadarkan mereka yang tidak mengeluarkan zakat
(mani’ al-zakat); dan
4) Mu’allaf yang diberi zakat dengan tujuan agar musuh-musuh
Islam tidak menyerang orang orang muslim.
d. Mukatab
Mukatab adalah budak yang melakukan transaksi dengan
majikannya untuk memerdekakan diri dengan cara mengkredit
pembayarannya. Transaksi semacam ini dianggap sah dan tidak
melanggar aturan Islam.
e. Gharim
Gharim ialah orang-orang yang mempunyai beban utang kepada
orang lain. Utang tersebut dipergunakan untuk mendamaikan dua
kelompok yang bertikai, atau utang untuk membiayai kebutuhannya
sendiri dan tidak mampu membayarnya, dan atau utang karena
menanggung utang orang lain.
f. Fi Sabililah
Fi Sabilillah adalah orang-orang yang merelakan diri dan
hartanya berperang di jalan Allah swt. Mereka tidak mendapatkan
bayaran resmi dari negara, meskipun mereka tergolong orang-orang
yang kaya. Menurut mazhab Syafi’i, fi sabilillah tertentu bagi mereka
yang berperang di atas. Sedangkan menurut pendapat ulama lain
mengatakan termasuk fi sabilillah adalah segala sesuatu yang menjadi
sarana kebaikan dalam agama, seperti pembangunan madrasah,
masjid, rumah sakit Islam, dan jalan raya atau seperti para guru dan
kiai yang berkonsentrasi mengajarkan agama Islam kepada
masyarakat.
g. Ibnu Sabil
Mazhab Hanibilah dan Syafi’iyah mendefinisikan Ibnu Sabil
sebagai seorang musafir yang akan bepergian atau yang sedang

33
melewati tempat adanya harta zakat dan membutuhkan biaya
perjalanan. Ada hal-hal yang perlu dicatat: a) perlu diketahui bahwa
dalam pemberian zakat terhadap al-ashnaf al-tsamaniyah di atas
masing-masing kategori (kelompok) minimal tiga orang, dan semua
kelompok di atas diberi sesuai dengan kebutuhannya; fakir miskin
diberi secukupnya untuk kebutuhan selama satu tahun, gharim dan
mukatab diberi secukupnya untuk membayar tanggungannya, fi
sabilillah diberi secukupnya untuk kebutuhan dalam peperangan,
ibnu sabil diberi secukupnya sampai ke negerinya, mualaf diberi
dengan pemberian yang dapat menghasilkan tujuan sesuai dengan
macam-macamnya mualaf di atas, dan amil diberi sesuai dengan upah
pekerjaannya.
Adapun mustahiqqin atau al-ashnaf al-tsamaniyah (delapan
golongan yang berhak menerima zakat) di atas harus memenuhi tiga
syarat; a) Islam, b) bukan orang yang wajib dinafaqahi oleh orang lain
bila atas nama fakir miskin, dan c) bukan dari golongan Bani Hasyim
dan Muththalib, karena mereka telah mendapat bagian dari khumus
al-khumus. Sebagian ulama dari berbagai mazhab ada yang
memperbolehkan memberikan zakat kepada Bani Hasyim dan Bani
Muththalib untuk masa-masa sekarang, karena khumus al-khumus
sudah tidak ada lagi.
Mustahiq yang mempunyai dua kategori seperti fakir yang
berstatus gharim, menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh menerima
zakat atas dua kategori tersebut. Orang yang mengaku sebagai
mustahiqqin apabila mengaku sebagai fakir atau miskin, maka
hendaknya disumpah terlebih dahulu. Apabila mangaku sebagai
gharim, maka dapat dibenarkan dengan dua saksi laki-laki atau satu
laki-laki dan dua perempuan. Akan tetapi apabila orang tersebut
sudah dikenal sebagai gharim sekiranya kabar tersebut dapat
dipercaya, maka langsung dapat dibenarkan.

3. Prospek Zakat dalam Peningkatan Ekonomi Umat.


Zakat merupakan ibadah yang berdimensi ganda. Selain untuk
menggapai keridhoan serta mengharap pahala dari Allah swt., zakat

34
merupakan ibadah yang berdimensi sosial. Karenanya, dalam sejarah
Islam, zakat banyak digunakan untuk kepentingan sosial. Wujud dari
kepentingan sosial tersebut dapat berupa pemberdayaan masyarakat,
jaminan sosial, pendidikan, Kesehatan dan lain-lain.
Zakat ini mempunyai dimensi sosial yang sangat mulia, yang
menandakan bahwa ajaran Islam telah memikirkan mengenai solusi
pemecahan persoalan ketimpangan dan distribusi pendapatan yang
tidak merata di masyarakat.
Zakat bukan saja sebatas kewajiban ritual saja, akan tetapi zakat juga
dapat merupakan instrumen fiskal negara yang berfungsi bukan hanya
untuk mendistribusikan kesejahteraan umat secara lebih adil dan merata
tetapi juga merupakan bagian integral akuntabilitas manusia kepada
Allah SWT atas rezeki yang diberikan kepada-Nya. Namun dalam era
modern saat ini, yang dikarenakan sistem pajak telah menjadi instrumen
fiskal bagi suatu negara menyebabkan zakat hanya menjadi refresentasi
tanggung jawab umat manusia atas limpahan rezeki dari Allah swt.
sekaligus tidak jarang hanya menjadi ritual budaya. Tujuan zakat tidak
hanya sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi
mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan
kemiskinan. Sehubungan dengan hal itu, maka zakat dapat berfungsi
sebagai salah satu sumber dana sosial-ekonomi bagi umat Islam, artinya
pendayagunaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat tidak hanya
sebatas pada kegiatan-kegiatan tertentu saja yang berdasarkan pada
orientasi konvensional, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan-
kegiatan ekonomi umat, seperti dalam program pengentasan kemiskinan
dan pengangguran dengan memberikan zakat produktif kepada mereka
yang memerlukan modal usaha.
Zakat yang diberikan kepada mustahik akan berperan sebagai
pendukung peningkatan ekonomi mereka apabila dikonsumsikan pada
kegiatan produktif. Pendayagunaan zakat produktif sebenarnya
mempunyai konsep perencanaan dan pelaksanaan yang cermat seperti
mengkaji penyebab kemiskinan, ketidak adaan modal kerja, dan
kekurangan lapangan kerja, dengan adanya maslah tersebut maka perlu
adanya perencanaan yang dapat mengembangkan zakat bersifat

35
produktif tersebut. Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara
dijadikannya dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan
ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat menjalankan atau
membiayai kehidupan secara konsisten. Dengan adanya dana zakat
tersebut, fakir miskin akan mendaptkan penghasilan tetap,
meningkatkan usaha, serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya
untuk menabung dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih
optimal bila dilaksanakan Lembaga Amil Zakat karena LAZ sebagai
organisasi yang terpercya untuk pengalokasian, pendayagunaan, dan
pendistribusian dana zakat, mereka tidak memberikan zakat begitu saja,
melainkan mereka mendampingi, memberikan pengarahan saat
pelatihan agar dana zakat tersebut benar-benar dijadikan modal kerja
sehingga penerima zakat tersebut memperoleh pendapatan yang layak
dan mandiri. Dengan berkembangnya usaha kecil dan menengah dengan
modal yang berasal dari zakat akan menyerap tenaga kerja. Hal ini
berarti angka pengangguran bisa dikurangi, berkurangnya angka
pengangguran akan berdampak pada meningkatnya daya beli
masyarakat terhadap suatu produk barang ataupun jasa, meningkatnya
daya beli masyarakat akan diikuti oleh pertumbuhan produksi,
pertumbuhan sektor produksi inilah yang akan menjadi salah satu
indikator adanya pertumbuhan ekonomi. Zakat dapat dijadikan sebagai
salah satu bentuk modal bagi usaha kecil. Dengan demikian, zakat
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bidang ekonomi. Pengaruh
zakat lainnya adalah terjadinya pembagian pendapatan secara adil
dalam masyarakat Islam. Dengan kata lain, pengelolaan zakat secara
profesional dan produktif dapat ikut serta membantu perekonomian
masyarakat lemah dan membantu pemerintah dalam meningkatkan
perekonomian negara, yaitu terberdayanya ekonomi imat sesuai dengan
misi-misi yang diembannya. Di antara misi-misi itu adalah :
a. Misi pembangunan ekonomi dan bisnis yang berpedoman pada
ukuran ekonomi dan bisnis yang lazim dan bersifat universal;
b. Misi pelaksanaan etika bisnis dan hukum;
c. Misi membangun kekuatan ekonomi untuk Islam, sehingga menjadi
sumber dana pendukung dakwah Islam.

36
D. Kontekstualisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Materi Zakat
Profesi
Zakat seperti sudah dipahami dan diyakini umat Islam merupakan
ajaran fundamen dalam Islam. Salah satu nilai yang ingin diajarkan oleh
ibadah zakat ialah bahwa kehidupan seseorang agar bisa bertahan
memerlukan dua aktifitas sekaligus yakni memberi dan diberi. Seorang
muslim yang memiliki perilaku suka memberi terutama kepada orang
yang tidak berdaya mencerminkan sikap dan nilai moderasi beragama
yang bercirikan hidup seimbang.
Zakat profesi sebagai salah satu bentuk ibadah zakat dalam Islam
juga melambangkan sikap moderat seorang muslim karena dia meyakini
bahwa profesi yang berhasil bukan hanya ditentukan oleh kecerdasan
manajerial dalam bisnis dan profesi tapi juga ditentukan olah sikap
bantu-membantu yang diberikan oleh negara dan masyarakat setempat.
Sikap tasamuh yang berarti bersikap empati kepada orang miskin karena
belum diberi rezeki berupa lapangan kerja yang bisa menghidupinya
adalah bagian dari manifestasi dari sikap moderasi beragama.
Selain nilai empati dan kepedulian terhada sesama manusia, nilai
moderasi beragama apa saja yang dapat Saudara peroleh dari materi
zakat dalam ekonomi modern ini?

E. Latihan
Berikut ini adalah beberapa pertanyaan yang Anda perlu jawab
untuk memperluas wawasan tentang zakat:
1. Sebutkan praktik dan sistem perekonomian modern yang bagi
sebagian ulama perlu dizakati!
2. Jelaskan cara-cara perhitungan dan kadar zakat yang harus
dikeluarkan oleh orang yang bergerak di bidang perekomian
moderan.
3. Kemukakan pandangan ulama seputar hukum zakat profesi.
4. Golongan yang berhak mendapat zakat hanya terbatas pada 8
macam. Adakah kedelapan golongan tersebut di sekitar Anda?
Kemukakan alasan Anda memasukkan 8 golongan tersebut!

37
5. Sebutkan syarat-syarat seorang mustahiq zakat berhak mendapatkan
haknya menerima zakat!
F. Daftar Referensi
Al-Zuhailiy, Wahbah, 1996. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Cet.
IV; Dimasyq: Dar al-Fikr.
al-ZuhailY, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh,
(terjemahan: Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2010.
al-Qaradawi, Yusuf. The Lawful and the Prohibited in Islam, ter.
Kamal el-Halbawy, dkk., American Trust Publication, 1994.
--------. Fiqh al-Zakat, Bairut-Mu`assah ar-Risalah, Cet ke-3, 1393
H/1983 M. http://labibfahmi07.blogspot.com
Husaini, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. Kifayah al-
Akhyar fi Halli Ghayah al- Ikhtishar, Surabaya: Dar al-Ilm, t.t.
al-Shabuni, Muhammad Ali. Al-Fiqh al-Syar'i al-Muyassar fi
Dhau' al-Kitab wa al-Sunnah, Dar al-Quran, 2000.
http://www.nu.or.id
https://almanhaj.or.id
https://aswajanucenterjatim.com
https://www.suduthukum.com
https://zakat.or.id

38

Anda mungkin juga menyukai