Anda di halaman 1dari 14

A.

Pengertian Zakat Profesi


Zakat profesi atau jasa yang berarti mengeluarkan sebagian harta dari hasil gaji, komisi
atau bayaran suatu pekerjaan atau profesi, baik sebagai karyawan, dokter, konsultan, pengacara,
penjahit, pemborong, kontraktor, makelaran, pengajar dan lainnya, baik itu pegawai negeri atau
swasta. Diwajibkan mengeluarkan zakat setelah mencapai satu nishab dan memenuhi syarat
dengan niat zakat karena Allah. Istilah ‘zakat profesi’ sebenarnya tidak dikenal di zaman
Rosulullah dan diliteratur kitab salaf, bahkan sebagian fuqaha’ salaf tidak menyebutkannya
sebagai harta yang wajib dizakati. Karena harta yang wajib dizakati secara eksplisit hanya
meliputi beberapa macam yaitu harta 
1. Masyiyah (hewan ternak)
2. Naqd (emas dan perak)
3. Zuru’ (hasil pertanian)
4. Tsimar (buah-buahan)
5. ‘Arudl Al-Tijarah (harta dagangan)
6. Ma’dan (hasil pertambangan emas dan perak)
7. Rikaz (temuan harta dari pendaman orang jahiliah)
8. Madu
Namun, sebagian ulama’ mutaakkhirin memasukkan penghasilan dari sebuah profesi
sebagai harta yang wajib dizakati, karena setiap seorang muslim yang memiliki harta lebih dari
kebutuhan dan mencapai satu nishab, maka itu ada hak orang lain dan harus diambil sebagian
sebagai zakat. DR. Yusuf al-Qordlowi menyebutnya sebagai “al-mal al- mustafad” (harta yang
diambil faidah), sedangkan DR. Wahbah al-Zuhaili menamakannya “ Zakat kasbi al-amal wa al-
mihan al-hurrah (harta hasil pekerjaan dan profesi bebas). Ada beberapa macam profesi yang
mungkin dapat menjadi sumber zakat profesi, antara lain :

1. Profesi dokter yang dapat dikategorikan sebagai the medical profession


2. Profesi pekerja teknik / insinyur yang dapat dikategorikan sebagai the engineering
profession
3. Profesi guru, dosen, guru besar atau tenaga pendidik yang dapat dikategorikan
sebagai the teaching profession.
4. Profesi advokat, konsultan, wartawan dan sebagainya.

B. Hukum Zakat Profesi


Ketentuan hukum mengenai Kewajiban zakat profesi berdasarkan perintah umumnya
ayat:

١٠٣ ‫ن لَّهُمۡۗ َوٱهَّلل ُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬ٞ ‫ك َس َك‬ َ ‫ص ِّل َعلَ ۡي ِهمۡۖ إِ َّن‬
َ َ‫صلَ ٰوت‬ َ ۡ‫ُخ ۡذ ِم ۡن أَمۡ ٰ َولِ ِهم‬
َ ‫ص َدقَ ٗة تُطَهِّ ُرهُمۡ َوتُ َز ِّكي ِهم بِهَا َو‬

Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui
Dalam ayat yang lain juga dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 267 :
َ ِ‫وا ۡٱل َخب‬
‫َٔا ِخ ِذي ِه إِٓاَّل أَن‬qَِ‫يث ِم ۡنهُ تُنفِقُونَ َولَ ۡستُم ٔ‍ب‬ ‫أۡل‬
ِ ۖ ‫ت َما َك َس ۡبتُمۡ َو ِم َّمٓا أَ ۡخ َر ۡجنَا لَ ُكم ِّمنَ ٱ َ ۡر‬
ْ ‫ض َواَل تَيَ َّم ُم‬ ِ َ‫طيِّ ٰب‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا أَنفِق‬
َ ‫وا ِمن‬

٢٦٧ ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا أَ َّن ٱهَّلل َ َغنِ ٌّي َح ِمي ٌد‬ ْ ‫تُ ۡغ ِمض‬
ۡ ‫ُوا فِي ۚ ِه َو‬

Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Dari makna yang terkandung dari ayat kedua tersebut diatas, para fuqaha menetapkan
adanya kewajiban mengeluarkan zakat profesi yang digali diartikan sebagai penghasilan dan
hasil usaha profesi atau dari hasil jasa seseorang. Dalam menentukan nishab zakat profesi ada
sebagian ulama’ yang menqiyaskannya dengan pertanian (zuru’) dan ada yang dengan
perdagangan (tijarah). Karena ada kesamaan antara keduanya yaitu sama-sama hasil dari sebuah
pekerjaan. Jadi, jika diqiyaskan dengan pertanian, maka berarti nishabnya sama dengan
harga 815, 758 kg beras dan zakat yang harus dikeluarkan 5%, dan dikeluarkan setiap masa
panen. Tetapi jika diqiyaskan dengan perdagangan maka nishabnya sama dengan harga emas 90
gram dan zakat yang harus dikeluarkan 2,50%,dikeluarkan setiap satu tahun sekali (haul).
Cara menghitung zakat profesi,  hendaknya seorang muzakki menjumlah semua penghasilan
kemudian kalau sampai satu nishab dikeluarkan sebagian hartanya sesuai dengan ketentuan. 

C. Pendapat ulama tentang zakat profesi dalam islam

PENDAPAT ULAMA TENTANG ZAKAT PROFESI

Zakat profesi  adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil


profesi). Zakat profesi dikenal juga dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji
pegawai) atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi
swasta). (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/497; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522; Al-
Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal. 17). Zakat profesi menurut para
penggagasnya didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian
profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang
mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab. Misal profesi dokter, konsultan,
advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. (Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat,
Infaq, Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95).
Syarat Zakat

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut
berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan berkaitan dengan harta.

Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan (2) merdeka. Adapun anak kecil dan
orang gila -jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang
nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh
mayoritas ulama.

Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara
sempurna, (2) harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai
nishob, (4) telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut
merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok

Pendapat Ulama tentang Hukum Zakat Profesi

1.      Pendapat yang mewajibkan zakat profesi


Pertama, menurut Al-Qaradhawi, landasan zakat profesi adalah perbuatan sahabat yang
mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafaad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah
setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang
disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya. Al-Qaradhawi
mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian
tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-
mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun
qamariyah). Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat,
yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada harta
hingga berlalu atasnya haul.” (HR Abu Dawud). Alasan Yusuf Qaradhawi menganggap lemah
(dhaif) hadis tersebut, karena ada seorang periwayat hadis bernama Jarir bin Hazim yang
dianggap periwayat yang lemah. (Yusuf Al-Qaradhawi, ibid., I/491-502; Wahbah az-Zuhaili,
ibid., II/866).

Kedua, ulama lain menambahkan dalil lain dari yang telah dikemukakan Qaradhawi di atas, yaitu
keumuman ayat ke-267 dari surat Al Baqarah :

ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ْنفِقُوا ِم ْن طَيِّبَا‬


‫ت َما َك َس ْبتُ ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik…” (QS Al Baqarah [2]:267)

Ada pula ulama yang menambah dalil lain lagi, yaitu surat Adz Dzariyat ayat ke-19 sebagai
berikut :
‫ق لِلسَّآئِ ِل َو ْال َمحْ رُوْ ِم‬
ٌّ ‫َوفِى أَ ْم َوالِ ِه ْم َح‬

“Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang
menahan diri (daripada meminta).” (QS Adz Dzariyat [51]:19)

Diantara Ulama Yang Mendukung Zakat Profesi antara lain :

a. Dr. Yusuf Al-Qaradawi

Tidak bisa dipungkiri bahwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu icon yang paling
mempopulerkan zakat profesi. Beliau membahas masalah ini dalam buku beliau Fiqh Zakat yang
merupakan disertasi beliau di Universitas Al-Azhar, dalam bab ‫زكاة كسب العمل و المـهن الحرة‬ (zakat
hasil pekerjaan dan profesi) .Sesungguhnya beliau bukan orang yang pertama kali membahas
masalah ini. Jauh sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh
Muhammad Abu Zahrah, dan juga ulama besar lainnya seperti Abdulwahhab Khalaf.Namun
karena kitab Fiqhuz-Zakah itulah maka sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama
dalam masalah zakat profesi. Inti pemikiran beliau, bahwa penghasilan atau profesi wajib
dikeluarkan zakatnya pada saat diterima, jika sampai pada nishab setelah dikurangi hutang. Dan
zakat profesi bisa dikeluarkan harian, mingguan, atau bulanan.

b. Dr. Abdul Wahhab Khalaf dan Syeikh Abu Zahrah

Dalam kitab Fiqhuzzakah, Al-Qaradawi tegas menyebutkan bahwa pendapatnya yang


mendukung zakat profesi bukan pendapat yang pertama. Sebelumnya sudah ada tokoh ulama
Mesir yang mendukung zakat profesi, yaitu Abdul Wahhab Khalaf dan Abu Zahrah.Abdul
Wahab adalah seorang ulama besar di Mesir (1888-1906), dikenal sebagai ahli hadits, ahli ushul
fiqih dan juga ahli fiqih. Salah satu karya utama beliau adalah kitab Ushul Fiqih, Ahkam Al-
Ahwal Asy-Syakhshiyah, Al-Waqfu wa Al-Mawarits, As-Siyasah Asy-Syar'iyah, dan juga dalam
masalah tafsir, Nur min Al-Islam. Tokoh ulama lain yang disebut oleh Al-Qaradawi adalah guru
beliau sendiri, yaitu Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1898- 1974). Beliau adalah sosok ulama
yang terkenal dengan pemikirannya yang luas dan merdeka, serta banyak melakukan perjalanan
ke luar negeri melihat realitas kehidupan manusia. Tulisan beliau tidak kurang dari 30 judul
buku, salah satunya yang terbesar adalah Mukjizat al-Kubra al-Quran”. Buku ini merupakan
mukadimah dalam beliau mengarang tafsir al-Quran. Namun tafsir ini tidak sempat
disempurnakan kerana beliau meninggal dunia terlebih dahulu. Buku lainnya adalah Tarikh Al-
Madzahib Al-Islamiyah, Al-'Uqubah fi Al-Fiqh Al-Islami, Al-Jarimah fi Al-Fiqh Al-Islami,

c. Majelis Tarjih Muhammadiyah

Musyawarah Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H
bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan
dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat. Lembaga ini pada intinya berpendapat bahwa Zakat Profesi
hukumnya wajib. Sedangkan nisabnya setara dengan 85 gram emas 24 karat. Ada pun kadarnya
sebesar 2,5 %

d. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

MUI memandang bahwa setiap pendapatan wajib dikeluarkan zakatnya, seperti gaji, honorarium,
upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal. Baik pendapatan itu bersifat rutin
seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter,
pengacara,konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas
lainnya. Bila syarat terpenuhi yaitu telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas
85 gram, maka zakat wajib dikeluarkan. Kadar zakat penghasilan menurut MUI adalah adalah
2,5%.

e. Dr. Didin Hafidhudin

Di Indonesia, salah satu icon zakat profesi yang cukup terkenal adalah Dr. Didin Hafidhuddin,
sebagamana naskah disertasi doktor yang diajukannya. Guru Besar IPB dan Ketua Umum
BAZNAS ini mencoba mendefinisikan profesi ialah setiap keahlian atau pekerjaan apapun yang
halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti seorang
pegawai atau karyawan. Didin memberikan mekanisme pengambilan hukum zakat profesi
dengan menggali pada teks al-Quran, dan dengan menggunakan metode qiyas.

f. Dr. Quraisy Syihab

Quraish Shihab juga termasuk yang menudukung wajibnya zakat profesi. Hal itu bisa kita baca
dari tulisannya antara lain : Menjawab pertanyaan 100 tentang keIslaman yang patut anda
ketahui.

2. Pendapat yang menolak zakat profesi

1. Bahwa profesi-profesi pekerjaan yang dilakukan seseorang telah ada sejak jaman Nabi
Muhammad, para sahabat dan Tabi’in, seperti penjahit, tukang sepatu dan sebagainya, namun
tidak didapati penjelasan baik dari Nabi, sahabat dan Tabiin yang yang menyatakan mereka
mewajibkan untuk mengeluarkan zakat profesi. Mereka hanya mewajibkan zakat maal pada harta
yang telah disebutkan di dalam al Qur’an dan hadits atau harta selainnya jika memang
diperdagangkan.

2. Firman Allah (surat al Baqarah: 267) tidak pernah dipahami oleh para ulama terdahulu seperti
yang dipahami oleh penganjur pendapat ini. Para ulama terdahulu memahami dari ayat tersebut
kewajiban zakat tijarah dan hasil tanaman makanan pokok, tanaman buah-buahan tertentu saja,
selainnya tidak.

3. Pendapat tentang zakat profesi ini rancu dan terkesan asal-asalan dalam penentuan nishab,
kadar zakat dan waktu pengeluarannya. Dalam sisi nishab mereka menyamakan nishab
penghasilan dengan nishab emas dan perak. Demikian pula kadar zakatnya. Namun dalam waktu
pengeluarannya mereka menyamakannya dengan zakat makanan pokok seperti padi atau
semacamnya. Dalam penegasan awal mereka mensyaratkan haul, namun kemudian ketika
menjelaskan waktu pengeluaran yang pertama yaitu ketika penghasilan yang sekali diterima
telah mencapai nishab, haul tidak lagi mereka berlakukan. Jadi pendapat ini rancu dalam sisi
persyaratan haul-nya. Ini adalah salah satu bukti bahwa pendapat ini rancu dari sisi istinbath dan
dalilnya. Bahkan yang sangat menggelikan, para pengikut pendapat ini mewajibkan zakat
penghasilan setiap bulan tanpa melihat nishabnya sama sekali, dengan mengambil 2,5 % dari
penghasilan, berapapun jumlah penghasilan tersebut, dan ini berulang secara rutin setiap
bulannya.

4. Bukankah sangat mungkin bahwa penghasilan-penghasilan tersebut akan habis untuk


keperluan hidup sehari-hari atau untuk keperluan tidak terduga seperti karena sakit parah dan
semacamnya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
” ‫ليس على المسلم في عبده وال فرسه صدقة ” رواه مسلم‬

Maknanya: “Tidak ada zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya” (H.R.
Muslim)

Imam an-Nawawi mengomentari hadits ini:

‫هذا الحديث أصل في أن أموال القنية ال زكاة فيها‬

“Hadits ini adalah dalil bahwa harta qinyah (harta yang digunakan untuk keperluan pemakaian,
bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat“. (lihat: Syarh Shahih Muslim, Jilid III, Juz
VII, h. 61)

5. Biasanya para pengikut pendapat ini mengatakan: “Jika zakat penghasilan ditiadakan, enak
sekali para professional tersebut. Sementara petani yang tidak seberapa penghasilan sawahnya
dikenakan kewajiban zakat sedangkan mereka yang berdasi dan berjuta-juta penghasilannya
tidak dikenai kewajiban zakat ?!!”.
Jawabannya adalah:

Pertama: Ini adalah logika yang salah. Dikatakan kepada mereka: Sebagaimana dalam zakat
maal, hanya ternak khusus, emas dan perak, tanaman makanan pokok, tanaman buah-buahan
kurma dan anggur kering saja yang wajib dizakati, padahal ada ternak yang lain yang lebih
menghasilkan, ada logam mulia dan batu permata lain yang lebih mahal, ada tanaman makanan
yang lebih besar penghasilannya, ada tanaman buah-buahan selain kurma dan zabib yang lebih
memiliki harga jual, namun zakat hanya diwajibkan pada jenis-jenis harta tertentu yang sudah
disebutkan, demikian juga halnya, hanya penghasilan dari tijarah yang ada zakatnya. Jadi
ukurannya bukan besar penghasilannya, tetapi ada sisi ta’abbudi-nya.
Kedua: Dikatakan kepada pengikut pendapat ini: Jika ukurannya adalah besarnya pendapatan,
apakah mereka juga akan mewajibkan zakat pada hadiah yang diperoleh oleh seseorang atau
harta warisan yang diwarisi oleh seseorang karena jumlah atau nominalnya lebih besar dari
penghasilan petani atau bahkan dokter atau pejabat sekalipun ?!!. Padahal para ulama telah
menegaskan bahwa dalam zakat tijarah selain ada niat tijarah, modal atau harta pokok yang
dimiliki haruslah yang berasal dari mu’awadlah mahdlah atau ghairu mahdlah, dan karenanya
harta warisan atau hibah jika dijadikan modal tijarah tidak wajib dizakati karena modalnya
diperoleh bukan dengan jalur mu’awadlah (lihat Bughyah ath-Thalib, h. 367-368). Ini berkait
dengan tijarah yang sudah jelas wajib dizakati.

Ketiga: Jika Zakat yang mereka sebut sebagai zakat penghasilan ini, sebatas seperti madzhab
Imam Abu Hanifah maka hal itu adalah hal yang bisa diterima. Yaitu bahwa uang yang
dihasilkan dari jalur manapun, jika tetap utuh satu nishab dalam hitungan satu tahun, maka wajib
dizakati.

6. Hendaklah disadari bahwa bukan berarti demi kemaslahatan umum maka seseorang bisa
mewajibkan apapun demi kepentingan tersebut. Syari’at telah menjelaskan pintu-pintu untuk
menutupi keperluan untuk kemaslahatan umum ini. Ada pintu infak, sedekah, wakaf dan lain
sebagainya. Bahkan dalam keadaan darurat penguasa muslim boleh mengambil paksa sebagian
harta para konglomerat dan orang-orang kaya untuk menutupi kepentingan atau kemaslahatan
umum tersebut. Karenanya tidak perlu mewajibkan sesuatu yang tidak wajib demi kemaslahatan
yang bahkan kadang belum tentu kejelasannya dengan langkah seperti mewajibkan zakat
penghasilan. Atau karena dalih ingin meringankan beban masyarakat miskin maka dianggap saja
pajak yang mereka keluarkan untuk negara sebagai zakat sehingga tidak ada beban untuk
mengeluarkan harta lagi selain pajak. Padahal sudah jelas zakat memiliki masharif yang khusus.
Zakat adalah hal yang diwajibkan oleh Allah sedangkan pajak (al Maks) adalah hal yang
diharamkan oleh Allah, bagaimana mungkin hal yang haram mengganti posisi hal yang wajib

7. Hendaklah diketahui bahwa mewajibkan sesuatu dan mengharamkannya adalah tugas seorang
mujtahid seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad –semoga
Allah meridlai mereka- dan lainnya. Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda dalam
sebuah hadits yang mutawatir:
“‫فرب حامل فقه إلى من هو أًفقه منه” رواه الترمذي وابن حبّان‬

Maknanya: “Seringkali terjadi orang menyampaikan hadits kepada orang yang lebih
memahaminya darinya” (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Hadits ini menjelaskan bahwa manusia terbagi ke dalam dua tingkatan :

Pertama: orang yang tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari teks-teks al Qur’an dan
hadits) dan berijtihad. Kedua: mereka yang mampu berijtihad. Karenanya kita melihat ummat
Islam, ada di antara mereka yang mujtahid (ahli ijtihad) seperti Imam asy-Syafi’i dan yang lain
mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid. Jadi tidak setiap orang yang telah menulis
sebuah kitab, kecil maupun besar dapat mengambil tugas para Imam mujtahid dari kalangan
ulama’ as-Salaf ash-Shalih tersebut, sehingga berfatwa, menghalalkan ini dan mengharamkan itu
tanpa merujuk kepada perkataan para Imam mujtahid dari kalangan salaf dan khalaf yang telah
dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka. Dengan demikian fatwa yang menyatakan
adanya zakat penghasilan sama sekali tidak berdasar dan menyalahi fatwa para ulama,
karenanya tidak boleh diikuti sebab fatwa ini bukan fatwa seorang mujtahid. Kita hanya akan
mengikuti para ulama yang mu’tabar.

Bahkan jika penganjur fatwa ini berdalih mereka hanya melakukan qiyas, kita katakan bahwa
melakukan qiyas sekalipun, hal itu adalah tugas khusus seorang mujtahid, yaitu mengambil
hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada
kesamaan dan keserupaan antara keduanya. Para ulama ushul seperti imam asy-Syafi’i berkata:
“Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”.

8. Pendapat seperti ini biasanya muncul dari orang yang tidak mempelajari ilmu agama dengan
baik dan bukan dengan cara bertalaqqi kepada para ulama yang terpercaya. Karenanya
disarankan kepada mereka untuk terlebih dahulu belajar ilmu agama dengan baik kepada para
ulama sehingga tidak terjatuh pada perbuatan mewajibkan sesuatu, mengharamkan atau
menghalalkannya secara gegabah. Hal ni dikarenakan, para ulama salaf maupun khalaf sepakat
bahwa ilmu agama tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca (muthala’ah) kitab-kitab. Tetapi
harus dengan belajar secara langsung (talaqqi) kepada seorang guru atau ulama yang terpercaya
(tsiqah/kredibel) yang mata rantai keilmuannya bersambung sampai kepada sahabat dan
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, demikianlah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam dalam mendapatkan ilmu. Salah seorang ulama ternama dari kalangan tabi’in,
Muhammad ibn Sirin mengatakan:
ّ
“‫إن هذا العلم دين فانظروا ع ّمن تأخذون دينكم” رواه مسلم في مقدمة صحيحه‬

“Ilmu ini adalah (bagian) agama, maka teliti dan berhati-hatilah kepada siapa kalian mengambil
ajaran agama kalian”

Bahkan Rasulullah sendiri juga bertalaqqi ilmu kepada malaikat Jibril. Hal ini ditegaskan di
dalam al Quran, Allah ta’ala berfirman:

5 : ‫علّمه شديد القوى ( (سورة النجم‬

Maknanya : “Dia (Nabi Muhammad) diajari oleh Malaikat yang sangat kuat (Malaikat Jibril)”
(Q.S. an-Najm : 5 )

Sedangkan para sahabat mereka belajar ilmu agama dengan bertalaqqi secara langsung kepada
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Mereka yang berhalangan hadir dalam majelis
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam karena jauh tempatnya atau sibuk, selalu menyempatkan
diri bertanya kepada ulama dari kalangan sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan
lain-lain. Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab mempunyai seorang teman dari kaum Anshar.
Bila beliau tidak bisa hadir dalam majlis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam sedangkan
temannya itu hadir, Umar selalu bertanya kepadanya mengenai hal-hal yang telah diajarkan dan
dilakukan oleh Rasulullah dan begitu pula sebaliknya jika temannya itu berhalangan hadir.

9. Bahwa diantara syarat-syarat harta yang wajib dizakati, selain zakat pertanian dan barang
tambang (rikaz), harus ada masa kepemilikan selama satu tahun, yang dikenal dengan istilah
haul. Sementara Al-Qaradawi dan juga para pendukung zakat profesi berkeinginan agar gaji dan
pemasukan dari berbagai profesi itu wajib dibayarkan meski belum dimiliki selama satu haul.

Di antara ulama  yang tidak setuju dengan adanya zakat profesi antara lain :

a. Dr. Wahbah Az-Zuhaili

Menurut beliau bahwa zakat itu ibadah mahdhah, dimana pelaksanaannya membutuh dalil-dalil
yang qath'i. Sehingga kita tidak boleh mengarang sendiri masalah zakat ini. Zakat profesi tidak
pernah dikenal sebelumnya di dalam khazanah fiqih klasik, bahkan juga tidak pernah ada di
masa Rasulullah SAW dan para shahabat, sampai belasan abad kemudian.

b. Syeikh Bin Baz,

Ulama yang pernah menjadi mufti kerajaan Saudi Arabia ini ernah berfatwa : "Zakat gaji yang
berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai
satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum
berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati."

c. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin

Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, salah seorang
ulama di Kerajaan Saudi Arabia.

“Tentang zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang
setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai
bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya. Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu
harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika
seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya
disimpan, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap
kali sempurna haulnya.” .

d. Hai'atu Kibaril Ulama

Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia,
berikut fatwanya: "Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib
dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan
perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut.
Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah
mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan
dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan
gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang)
telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat
tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul)."

e. Dewan Hisbah Persis

Dewan Hisbah Persis tidak menerima keberadaan zakat profesi, karena zakat dalam pandangan
mereka termasuk ibadah mahdhah. Yang mereka berlakukan adalah zakat jual-beli atau
perdagangan.

f. Muktamar Zakat di Kuwait

Dalam Muktamar zakat pada tahun 1984 H di Kuwait, masalah zakat profesi telah dibahas pada
saat itu, lalu para peserta membuat kesimpulan: “Zakat gaji dan profesi termasuk harta yang
sangat potensial bagi kekuatan manusia untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti gaji pekerja dan
pegawai, dokter, arsitek dan sebagainya". "Profesi jenis ini menurut mayoritas anggota
muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain
miliknya sehingga mencapai nishob dan haul lalu mengeluarkan zakat untuk semuanya ketika
mencapai nishab". "Adapun gaji yang diterima di tengah-tengah haul (setelah nishob) maka
dizakati di akhir haul sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima
sebelum nishob maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishob lalu wajib
mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya adalah 2,5% setiap
tahun“.
Kesimpulan

Dari uraian tersebut diatas terlihat bahwa masalah Zakat Profesi  merupakan masalah khilafiyah
atau diperselisihkan oleh para ulama. Sekelompok ulama berpendapat bahwa pendapatan gaji
atau penghasilan dari hasil profesi seseorang wajib dikeluarkan zakatnya. Sementara sekelompok
ulama lainnya tidak mewajibkan zakat profesi. Dalam zakat profesi, berapa minimal besaran
pendapatan yang harus dikeluarkan? Berapa besaran tarifnya? Apakah dikeluarkan pada saat
menerima gaji atau setiap tahun? Pertanyaan itu banyak mengemuka seiring dengan rencana
pemerintah yang akan memungut zakat aparatus sipil negara (ASN).

Seorang profesional seperti dokter, pengacara, dan konsultan menjadi wajib zakat apabila
pendapatannya mencapai nisab. Nisab adalah batas minimal pendapatan wajib zakat. Jika kurang
dari nominal tersebut, tidak wajib zakat. Angka ini ditetapkan dalam Islam agar kewajiban ini
dibebankan kepada hartawan dan angka tersebut adalah standar minimal untuk seorang hartawan.
Tarif adalah besaran pendapatan yang harus dikeluarkan dan diberikan kepada penerima manfaat
zakat. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama terkait nisab, tarif, dan waktu zakat profesi.
Pertama, nisab zakat profesi adalah sebesar 85 gram emas (kira-kira senilai Rp 46,75 juta per
tahun jika harga emas per gram nya Rp 550 ribu) dengan tarif sebesar 2,5 persen dikeluarkan
setiap tahun atau pada saat pendapatannya mencapai nisab.
Resensi buku

1.      Zakat Profesi oleh : Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**

2.      Zakat Menurut Islam   oleh : www.muslim.or.id

3.      Fatwa Seputar Zakat Profesi oleh : http://abiubaidah.com

4.      Syarat-Syarat Zakat  oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, MScAhmad Sarwat

5.      Zakat Profesi: Antara Penentang dan Pendukung (part 1)oleh Ahmad Sarwat

6.      Menghiting Zakat Profesi oleh : H Abdurrahman Navis Lc Wakil Katib Syuriyah PWNU Jawa
Timur
MAKALAH

Zakat Profesi
Di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “fiqih zakat”

Dosen Pengampu :

Maisyarah Rahmi HS,Lc,MA

Disusun oleh :

Robyyatul Adawiyah (1721508053)


Arman Maulana (17215080

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
2018

Anda mungkin juga menyukai