Anda di halaman 1dari 14

CATATAN 1

Aturan mengenai pemekaran daerah dalam UU Pemda Dari masa ke masa

Undang-Undang Pemerintahan Daerah Keterangan

UU No 1 Tahun 1945 Tentang Kedudukan Komite Tidak Mengatur


Nasional Daerah

UU Pokok No 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Tidak Mengatur


Daerah

UU No 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Tidak Mengatur


Daerah

UU No 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok UU Ini diatur bahwa Indonesia hanya terdiri dari
Pemerintahan Daerah satu jenis daerah otonomi yang terdiri atas
tingktatan I (Provinsi), tingkatan II (Kabupaten),
tingkat III (Kecamatan), Dan secara resmi
negara tidak mengakui lagi adanya daerah
otonomi khusus diantaranya Yogjakarta dan
Aceh dan mengubah statusnya menjadi Provinsi
atau daerah Tingkat I

UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Dalam UU Ini negara mulai mengatur
Pemerintahan Daerah mengenai pembentukan daerah otonom yaitu
daerah tingkat I (Provinsi) dan daerah tingkat II
(Kabupaten/Kota) dengan memperhatikan
syarat-syarat seperti; Kondisi Politik, ekonomi,
sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan
nasional. Pasal 3 Ayat (2)

Pembentukan daerah didasarkan pada


parameter-parameter lain seperti ekonomi,
jumlah penduduk, dan luas daerah atau syarat-
syarat lain yang memungkinkan daerah dalam
melaksanakan pembangunan, melakukan
pembinaan terhadap kestabilan politik demi
kesatuan bangsa dalam menjaga keutuhan
bangsa demi terlaksanaanya otonomi daerah
yang bertanggung jawab. Pasal 4 Ayat (1)
Namun secara tegas dalam UU Pemda ini
menyatakan bahwa suatu daerah bisa dihapus
statusnya sebagai daerah otonom apabila tidak
memenuhi syarat yang telah diatur dalam pasal
4 ayat (1), sehingga di masa orde baru
pembentukan atau pemekaran daerah sangat
diperketat, bahkan di era orde baru hanya ada 3
daerah yang dimekarkan yaitu provinsi
Bengkulu, provinsi Irian Barat dan pembentukan
Provinsi Timor-Timor yang bergabung dalam
wilayah NKRI

UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Runtuhnya rezim orde baru membawa dinamika
baru terhadap ketatanegaraan di Indonesia,
dimana saat itu terjadi tuntutan pemekaran dari
berbagai daerah di Indonesia, karena UU telah
mengakomodir pemekaran tersebut dimana
kriteria pemekaran diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah Nomor 129 Tahun 2000
Tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan
Daerah, dalam Peraturan Pemerintah tersebut
memuat;

 Pengertian Pemekaran Daerah;


 Tujuan Pemekaran daerah;
 Kriteria Pemekaran Daerah;
 Prosedur Pemekaran Daerah;

Perbedaan antara UU No 5 Tahun 1974 dengan


UU No 22 Tahun 1999 terkait ketidakmampuan
suatu daerah tidak mampu menjalankan
semangat otonomi daerah adalah selain
dihapus statusnya menjadi daerah otonom
daerah yang dihapus tersebut akan
digabungkan dengan daerah lain

Dalam UU Ini terdapat hal yang sangat rancu


dalam pasal 115 menganai dewan
pertimbangan otonomi daerah yaiutu alih-alih
dewan tersebut memberikan pertimbangn
kepada presiden mengenai pemekaran Provinsi
dan Kabupaten/kota dalam pasal 115 ayat (1)
tersebut hanya memuat pertimbangn
pemekaran desa kepada Presiden tanpa ada
klausul Provinsi dan Kabupaten/Kota, apalagi
dalam UU ini hanya ada 3 daerah administrasi
yang diakui yaitu Provinsi, kabupaten dan Kota
tanpa Hirearki dan mengakui kekhususan
daerah Aceh, Jakarta Dan Yogjakarta

Selanjutnya dalam ketentuan umum dijelaskan


bahwa mekanisme pemekaran daerah dapat
dilakukan dengan ;
 Diusulkan oleh kepala daerah atas
persetujuan DPRD kepada pemerintah
pusat;
 Pemerintah pusat menugaskan dewan
pertimbangan otonomi daerah untuk
melakukan penelitian dengan
memperhatikan aspek ekonomi, sosial-
politik, jumlah penduduk, luas daerah
dan pertimbangan lainnya;
 Dewan pertimbangn otonomi daerah
menyampaikan pertimbangan untuk
menyusung RUU untuk mengatur
pemekaran daerah otonom;

UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pemekaran daerah juga telah diatur dalam UU
Ini dan juga telah memberikan syarat yang
harus dipenuhi yaitu meliputi batas usia
penyelenggaraan pemerintahan, syarat
administratif dan syarat teknis kewilayahan

UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Dalam UU Ini pembentukan daerah melalui
mekanisme pemekaran makin diperketat dan
dijabarkan secara terperinci dari awal proses
pengusulan pemekaran, misalnya selain harus
memenuhi syarat administrasi, syarat dasar dan
syarat usia minimal pemerintahan, terdapat pula
parameter-parameter yang harus dipenuhi,
ketika semua itu telah terpenuhi maka
dibentuklah daerah persiapan dalam jangka
waktu 3 Tahun kemudian dilakukan evaluasi
mengenai statusnya apakah akan dimekarkan
melalui mekanisme politis di DPR melalui RUU
atau apabila daerah persiapan tersebut tidak
memenuhi syarat maka daerah tersebut akan
digabungkan dengan daerah lainnya

CATATAN 2

1. Kelayakan Pembentukan Daerah Otonomi Baru ?


Dalam pasal 76 ayat 2 perubahan kedua UU Otsus Papua meyatakan bahwa

pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran daerah dengan memperhatikan

sungguh-sungguh aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya,

kesiapan SDM, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi atau dengan aspirasi

masyarakat Papua. Tapi apakah benar pemerintah memperhatikan poin ini dengan

sungguh-sungguh ?

Kalau pemerintah memang benar-benar memperhatikan aspek administratif dan

aspirasi masyarakat Papua, harusnya poin ketiga dalam UU Otsus sebaiknya tidak

dimasukkan dalam perubahan kedua, alasannya adalah dalam melakukan pemekaran

daerah tidak hanya merujuk pada UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah tapi juga merujuk pada aturan pelaksanaanya yang diatur dalam PP No 78

Tahun 2007 tentang pembentukan, penggabungan, penghapusan dan pemekaran

daerah. Dimana dalam aturan tersebut seluruh pihak memiliki peran dalam pemekaran

daerah tersebut mulai dari tingkat pusat ( DPR/DPD, Presiden, Mentri Dalam Negeri ),

Tingkat Provinsi (DPRD, Gubernur), Tingkat Kabupaten/Kota (DPRD Kab/Kota,

Bupati/Walikota), dan sampai tingkat desa ( Badan Pemusyawaran desa )

Dalam PP No 78 Tahun 2007 sejauh ini sangat efektif dilaksanakan dalam melakukan

pemekaran Provinsi karena seluruh pihak memiliki peran masing-masing dalam

prosesnya, ketika ini dipertimbangkan oleh pemerintah dengan tidak mencabut syarat

administratif sebagai syarat pemekeran daerah maka poin mengenai kesungguhan

pemerintah dan DPR dalam memperhatikan aspek “administratif” dan “aspirasi

masyarakat” dalam melakukan pemekaran dapat tercapai dengan baik, sehingga

dengan demikian pemerintah dalam melakukan pemekaran terhadap provinsi Papua


tidak benar-benar memperhatikan aspek hukum. setidaknya ada beberapa peran

berbagai pihak yang diatur dalam PP No 78 Tahun 2007 tersebut sebagai syarat

administrasi diantaranya;

- Peran Masyarakat dan Pemerintahan Desa > Mengeluarkan surat keputusan

melalui BPD (Badan Permusyawaratan Desa) atau forum komunikasi lainnya

dalam lingkup desa tersebut terkait dengan kesetujuan mereka yang daerahnya

akan menjadi bagian dari daerah otonomi baru yang dipersiapkan untuk

dimekarkan.;

- Peran DPRD Kab/Kota > DPR mempertimbangkan baik-baik tuntutan atau

aspirasi masyarakat tersebut kemudian menuangkannya dalam bentuk

keputusan DPRD Kab/Kota;

- Peran Bupati/Walikota > Dalam hal ini Bupati/Walikota dapat menyetujui atau

tidak menyetujui aspirasi tersebut, dalam hal Bupati/Walikota setuju dengan

aspirasi dan tuntutan tersebut maka Bupati/Walikota dapat mengeluarkan surat

keputusan dengan melampirkan keputusan tersebut bersama dengan keputusan

DPRD Kab/Kota dan dokumen aspirasi masyarakat terutama di tingkat desa

untuk disampaikan kepada Gubernur;

- Peran Gubernur > Dalam hal ini Gubernur memperhatikan usulan pemekaran

daerah tersebut salah satunya dengan mempertimbangkan kelayakan daerah

tersebut layak atau tidak untuk dimekarkan berdasarkan hasil kajian daerah,
ketika daerah tersebut layak untuk dimekarkan dengan segala persiapan yang

matang maka barulah Gubernur menyampaikan usulan tersebut kepada DPRD

Provinsi;

- Peran DPRD Provinsi > Sebelum surat keputusan DPRD dikeluarkan terlebih

dahulu DPRD membahas tuntutan dan aspirasi pemekaran tersebut dengan

Gubernur sebelum diserahkan dan disampaikan ke pemerintah pusat;

- Peran Pemerintah Pusat ( Presiden dan Menteri) > Setelah DPRD Provinsi

mengeluarkan surat keputusan perihal pemekaran daerah maka selanjutnya

Gubernur menyampaikan aspirasi masyarakat daerah tersebut perihal

pemekaran daerah kepada presiden melalui Menteri dengan melampirkan;

 Hasil Kajian Daerah;

 Peta Wilayah Calon Provinsi;

 Keputusan DPRD Kab/kota, Keputusan Bupati/Walikota;

 Keputusan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur

CATATAN 3
Apakah benar-benar pemerintah memperhatikan aspek Politik, administrasi,

hukum, kesatuan sosia-budaya, infrastruktur dasar, kesiapan sumber daya

manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan

datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua ?

ASPEK PENJELASAN

Politik Selain bertujuan untuk memeratakan pembangunan di wilayah Papua,


Pemekaran Provinsi tersebut juga bertujuan meningkatkan jiwa
kepemimpinan dan partisipasi politik masyarakat Papua dalam bidang
politik terutama dalam menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan
daerah, namun sayangnya tujuan tersebut berbanding terbalik dengan
apa yang sebenarnya terjadi di Papua karena pemekaran daerah di
Papua kurang mendapatkan dukungan oleh para elite politik di daerah
terutama oleh ketua MRP sendiri dan sekda provinsi Papua, terlebih lagi
muncul sebuah skandal yang melibatkan Bupati Merauke dimana
vidionya viral, dalam vidio tersebut Bupati Merauke diduga
menggelontorkan sejumlah uang kepada anggota DPR RI dari fraksi
PKS untuk melancarkan agenda pembahasan pemekaran Provinsi
Papua. Salah satu alasan mengapa elite politik Papua tidak sepakat
akan pemekaran provinsi Papua lebih karena pemekaran tersebut tidak
bersifat bottom up melainkan Top down (inisiatif pemerintah pusat) jadi
pemerintah bisa melakukan pemekaran daerah Papua bersama DPRD
Selain usulan MRP dan DPRP. Selain itu MRP juga sering menjadi
korban kriminalisasi aparat dimana 54 anggotanya ditangkap Polisi di
Merauke atas tuduhan Makar namun tidak terbukti kemudian
berdampak pada memanasnya tensi politik di Papua di awal-awal
wacana pemekaran yang berakibat tidak stabilnya perpolitikan di
daerah, harusnya pemerintah pusat tidak mengabaikan hal-hal besar
seperti ini dan bahkan memiliki peranan penting dalam menyelesaikan
hal tersebut karena salah satu tujuaan pemekaran daerah Papaua
adalah menjaga stabilitas politik di Papua. Selain itu ada pula
pertentangan antara para kepala daerah dengan MRP terutama dalam
hal tuntutan pemekaran daerah namun tidak di respon oleh MRP hal ini
disampaikan saat rapat dengar pendapat umum di DPR RI bersama
para kepala daerah dari wilayah adat saireei yang menuntut pemekaran
provinsi Papua Utara.

Administratif Istilah administratif ini merujuk kepada administrasi pemerintahan,


berdasarkan pengertian dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2014
tentang administrasi pemerintahan dalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan administrasi pemerintahan ada tata
laksana sebuat keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat negara. dalam
konteks pemekaran daerah sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh
sebuah institusi pemerintahan dan seorang penjabat menjadi salah satu
aspek yang diperhatikan terutama syarat administratif dimana dalam hal
pemekaran daerah, namun nyatanya di dalam perubahan kedua UU
Otsus mengenai pemekaran Papua mengecualikan syarat tersebut,
sekalipun dalam aturan teknis pemekaran dalam PP No 78 Tahun 2007
menyebutkan bahwa syarat adminsitratif yaitu berupa keputusan yang
dikeluarkan oleh DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. serta satuan
pemerintah daerah yaitu Gubernur/Bupati/Walikota. Dalam hal ini tidak
ada keterlibatan langsung pemerintah daerah kabupaten/ kota dalam hal
pemekaran daerah provinsi Papua dimana wilayahnya masuk dalam
pemetaan pemekaran menjadi daerah otonomi baru, sama saja hal ini
tidak sejalan dengan pasal 18B ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu Negara
harus menghormaati satuan pemerintahan yang bersifat khusus.

Hukum Sebelum perubahan terhadap pasal 76 UU Otsus Papua disebutkan


bahwa pemekaran daerah di Papua dapat dilakukan atas persetujuan
DPRP dan MRP, namun pasca perubahan dilakukan ditambahlah
sebuah klausul bahwa pemerintah dan DPR RI dapat melakukan
pemekaran daerah di Papua. salah satu indikasi bahwa dalam
pembahasan perubahan UU Otsus adalah tidak disebutkan peran dari
DPD RI. harusnya bukan hanya pemerintah dan DPR RI melakukan
pemekaran daerah Papua melainkan harus juga melibatkan DPD RI
karena perannya jelas disebutkan secara eksplisif pasal 22D Ayat (1),
(2), dan (3) UUD NRI 1945 yaitu DPD RI berhak mengajukan,
membahas, dan mengawasi rancangan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, penghapusan dan
penggabungan daerah.

Kesatuan Sosial- Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pemekaran provinsi
Budaya Papua adalah aspek kesatuan sosial budaya yang disebutkan dalam
pasal 76 ayat 2, kemudian dalam ketentuan umum UU tersebut
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesatuan sosial budaya
adalah wilayah adat. Sejauh ini ada 6 jumlah wilayah adat di Papua
yang dijadikan dasar dalam melakukan pemekaran provinsi diantaranya;
 Wilayah adat Animha; (Papua Selatan)
 Wilayah adat La Pago; (Papua Pengunungan)
 Wilayah adat Meepago; (Papua Tengah)
 Wilayah adat Mamta; ( Papua)
 Wilayah adat Saireei; ( Papua)
 Wilayah adat Bomberai dan domberai. (Papua Barat/Papua barat
daya)

Apa yang disebutkan diatas merupakan wilayah adat di Papua yang


memiliki hak ulayat yang diakui oleh negara. dari sini sudah dapat dilihat
perbedaan antara das sollen dan das sein yang terjadi. Jika benar-benar
pemerintah melakukan pemekaran daerah dengan berlandaskan
wilayah adat maka harusnya wilayah adat sairee juga dimekarkan
karena secara etnik mereka berbeda dengan masyarakat adat mamta
yang meliputi utara pulau papua sedangkan wilayah adat saeireei
meliputi kepulauan uatara Papua yaitu kepulauan Yapen. Pembagaian
DOB papua saat ini berdasarkan wilayah adat namun bahkan
sebelumnya mantan Gubernur Papua yaitu Lucas enembe mengusulkan
pemekaran wilayah papua menjadi 7 sesuai dengan jumlah wilayah
adat. Memang saat ini sudah bergulir wacana di DPR RI melalui Baleg
untuk mempertimbangkan wacana pemekaran provinsi Papua terutama
di wilayah adat saireei menjadi Provinsi Kepulauan Papua Utara,
wacana ini diusulkan oleh anggota Badan Legislatif DPR RI Yan
Permendas Mendenas namun saat ini pembahasan wacana tersebut
dalam proses singkronisasi, harmonisasi dan pemantapan konsepsi
atas usulan RUU Provinsi Kepulauan Papua Utara.

Namun pemekaran Papua yang mengacu pada wilayah adat dikritik oleh
salah satu pakar antropologi Universitas Cendrawasih yaitu Dr. Akhmad
Kadir, M.Hum. bahwa pemekaran daerah di Papua sebaiknya tidak
mengacu pada pola kesukuan dengan basis penghormatan terhadap
simbol-simbol kesukuan, pemekaran Papua harusnya mewadahi semua
ekpresi kesukuan dan budaya dalam bermasyarakat karena prinsip dari
pemekaran daerah adalah pengembangan dan penerimaaan antara
budaya yang satu dengan budaya lainnya dalam ruang lingkup wilayah
administrasi pemerintahan. Memang dalam melakukan pemekaran
wilayah aspek pertalian kesukuan wajib diperhatikan namun ini tidak
menjadi alasan untuk melupakan aspek lainnya yaitu kedekatan wilayah
dan efektivitas pemerintahan. Sehingga solusinya adalah pemerintah
harus meredefenisi (memberikan batasan) area kebudayaan dengan
mempertegas atau membedakan mana wilayah adat mana wilayah
adminsitrasi pemerintahan. Pemekaran yang didasarkan pada
penerimaan antara budaya satu dengan budaya lainnya perlahan-lahan
akan meruntuhkan sekat-sekat kesukuan dan etnis sehingga dengan
sendirinya masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda
saling menerima perbedaan tersebut, sehingga dalam konteks tuntutan
pemekaran daerah bisa terbangun atau tumbuh dan berkembang
berdasarkan basis komunikasi budaya

Untuk meninjau bagaimana bentuk perhatian pemerintah dan DPR RI


Infrastruktur Dasar terhadap pembangunan infrastruktur dasar di daerah otonomi baru lebih
relevan kita landaskan terhadap pembangunan dan kesiapan
infrasturktur dasar bidang pemerintahan diantaranya pembentukan;
1. Sekretarian daerah;
2. Sekretariat DPRD;
3. Staf ahli kepala daerah;
4. Inspektorat Daerah;
5. Dinas Daerah;

Dalam hal pembentukan perangkat-perangkat daerah diatas harus


dibentuk melalui peraturan daerah. Sedangkan untuk kedudukan,
susunan, organisasi, perincian tugas dan fungsi serta tata kerja
perangkat tersebut ditetapkan melalui peraturan kepala daerah
(perkada). Apakah penjabat gubernur Papua telah melaksanakan
tugas dan wewenangnya dalam membentuk perangkat daerah tersebut
sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam pasal 11 ayat 2 UU
Provinsi Papua Tengah, Papua pengunungan dan Papua selatan ?

Papua Tengah
Sejauh ini langkah awal yang dilakukan Plt Gubernur Papua adalah
membentuk organisasi perangkat daerah dan berdasarkan berbagai
sumber plt gubernur Papua telah melantik sekda dan untuk perangkat
daerah lainnya seperti inspektorat daerah, dinas daerah, dan secretariat
daerah

Papua Pengunungan

Sejauh ini untuk Papua pengunungan telah terbentuk oraganisasi


peraglat daerah yang terdiri atas Berikut nama-nama Penjabat Provinsi
Papua Pegunungan yang menerima SK, Yakobus Way sebagai Plt
Isnpektur, Wasuok Demianus Siep sebagai Asisten I Bidang
Pemerintahan, Alpius Yigibalom sebagai Plt Kepala Biro Hukum,
Rooy John Erasmus Salamony sebagai Plt Kepala Badan Pengelola
Pendapatan, Keuangan dan Aset. Lalu, Margaretha Rumbekwan
sebagai Plt Kepala Dinas Administrasi dan Kependudukan, Welem
Bianglabi sebagai Plt Kepala Badan Perencanaan Pembangunan,
Sutrisno Richi Prayitno sebagai Plt Kepala Badan Kepegawaian,
Agustinus Howay sebagai Plt Kepala Kesbangpol, Aron Wanimbo
sebagai Plt Kepala Dinas Pendidikan, Rony Situmorang sebagai Plt
Kepala Dinas Kesehatan, Samuel Palimbong Sebagai Plt Kepala
Karo Umum dan Tunggul Panggabean sebagai Plt Kepala Dinas
Pekerjaan Umum.*

Papua Selatan

Plt gubernur Papua Selatan telah melantik plt sekretaris daerah Papua
selatan dan sekda tersebut telah melampirkan dokumen terkait
pembentukan perangkat-perangkat daerah dan telah diserahkan kepada
plt Gubernur Papua selatan untuk disetujui

Saat ini berdasarkan data dari badan pusat statistik provinsi Papua pada
Kesiapan SDM tahun 2020 jumlah penduduk di Papua mencapai angka 4,3 Juta orang
itu sudah termasuk orang asli Papua dan penduduk Papua transmigran.
Berdasarkan angka tersebut apakah Papua sudah siapa dalam hal SDM
pasca pemekaran dilakukan. Aspek kesiapan SDM yang dimaksud disini
adalah kesiapan ASN sebagai penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik. Berdasarkan data dilansir dari kompas bahwa saat ini
papua memiliki 20.000 tenaga honorer dalam setiap instansi
pemerintahan, dan untuk kebutuhan kuota dalam perubahan kedua UU
Otsus baru memberikan prioritas sebanyak 80% bagi orang asli papua
sebagai ASN. Sementara ini kementian terkait seperti kementrian
pemberdayaan aparatur sipil negara dan reformasi birokrasi serta badan
kepegawaina negara telah merancang strategi penempatan dan
penyaluran ASN dalam ketiga DOB tersebut

Kemampuan Ekonomi Salah satu tujuan dalam UU Otsus perubahan kedua adalah dengan
memberikan dan melindungi hak dasar orang asli Papua salah satunya
dalam bidang ekonomi dengan memberikan prioritas pada orang asli
Papua. pripritas itu bukan tanpa alasan karena slag satu faktor pemecah
konflik di Papua adalah ketimpangan antara pendatang dengan OAP
karena menurut OAP, pendatang telah menguasai prekonomian papua
sehingga muncul sentiment menolak program transmigrasi, maka dari
itu dalam hal transmigrasi ke Papua diserahkan juga kepada
pememerintah daerah untuk mengatur dan menetapkannya dalam
bentuk Perda.

Aspirasi Masyarakat Salah satu poin yang menjadi polemik dari pemekaran provinsi Papua
Papua adalah pemekaran daerah murni bukan merupakan aspirasi atau
tuntutan murni orang asli Papua, hal ini disampaikan secara langsung
oleh ketua DPD RI ketika melakukan kunjungan kerja di Jayapura,
selain itu dalam pasal 76 ayat (2) UU Otsus Papua menyatakan bahwa
pemerintah dan DPD RI dapat melakukan pemekaran daerah, dari
sinilah dapat diketahui bahwa konsep pemekaran daerah di Papua
dilakukan secara “Top Down” atau murni dilakukan oleh pemerintahan
pusat, dan tidak secara “Bottom Up”. Dalah hal ini harusnya pemerintah
melakukan sosialisasi secara menyeluruh sepertihalnya pada masa
pemerintahan presiden Habibie dilaksanakan kongres rakyat Papua
hingga musyawarah bersama. Dalam hal ini kedua konsep tersebut
mesti dilakukan dalam pemekaran daerah bukan dengan
memprioritaskan salah satunya, kedua konsep tersebut harus
bersanding. Dengan kata lain laksanakan dulu pemekeran tersebut
dengan melakukan partisipasi langsung ke masyarakat, meminta
keterangan resmi dari pemerintahan daerah lainnya dalam hal ini DPRD
Provinsi/kab.kota, Gubernur/Bupati.Walikota barulah ketika semua itu
selesai barulah menggunakan mekanisme “Top down” secara politis
dalam pembahasan RUU di DPR RI.

Anda mungkin juga menyukai