UU No 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok UU Ini diatur bahwa Indonesia hanya terdiri dari
Pemerintahan Daerah satu jenis daerah otonomi yang terdiri atas
tingktatan I (Provinsi), tingkatan II (Kabupaten),
tingkat III (Kecamatan), Dan secara resmi
negara tidak mengakui lagi adanya daerah
otonomi khusus diantaranya Yogjakarta dan
Aceh dan mengubah statusnya menjadi Provinsi
atau daerah Tingkat I
UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Dalam UU Ini negara mulai mengatur
Pemerintahan Daerah mengenai pembentukan daerah otonom yaitu
daerah tingkat I (Provinsi) dan daerah tingkat II
(Kabupaten/Kota) dengan memperhatikan
syarat-syarat seperti; Kondisi Politik, ekonomi,
sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan
nasional. Pasal 3 Ayat (2)
UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Runtuhnya rezim orde baru membawa dinamika
baru terhadap ketatanegaraan di Indonesia,
dimana saat itu terjadi tuntutan pemekaran dari
berbagai daerah di Indonesia, karena UU telah
mengakomodir pemekaran tersebut dimana
kriteria pemekaran diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah Nomor 129 Tahun 2000
Tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan
Daerah, dalam Peraturan Pemerintah tersebut
memuat;
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pemekaran daerah juga telah diatur dalam UU
Ini dan juga telah memberikan syarat yang
harus dipenuhi yaitu meliputi batas usia
penyelenggaraan pemerintahan, syarat
administratif dan syarat teknis kewilayahan
UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Dalam UU Ini pembentukan daerah melalui
mekanisme pemekaran makin diperketat dan
dijabarkan secara terperinci dari awal proses
pengusulan pemekaran, misalnya selain harus
memenuhi syarat administrasi, syarat dasar dan
syarat usia minimal pemerintahan, terdapat pula
parameter-parameter yang harus dipenuhi,
ketika semua itu telah terpenuhi maka
dibentuklah daerah persiapan dalam jangka
waktu 3 Tahun kemudian dilakukan evaluasi
mengenai statusnya apakah akan dimekarkan
melalui mekanisme politis di DPR melalui RUU
atau apabila daerah persiapan tersebut tidak
memenuhi syarat maka daerah tersebut akan
digabungkan dengan daerah lainnya
CATATAN 2
masyarakat Papua. Tapi apakah benar pemerintah memperhatikan poin ini dengan
sungguh-sungguh ?
aspirasi masyarakat Papua, harusnya poin ketiga dalam UU Otsus sebaiknya tidak
Daerah tapi juga merujuk pada aturan pelaksanaanya yang diatur dalam PP No 78
daerah. Dimana dalam aturan tersebut seluruh pihak memiliki peran dalam pemekaran
daerah tersebut mulai dari tingkat pusat ( DPR/DPD, Presiden, Mentri Dalam Negeri ),
Dalam PP No 78 Tahun 2007 sejauh ini sangat efektif dilaksanakan dalam melakukan
prosesnya, ketika ini dipertimbangkan oleh pemerintah dengan tidak mencabut syarat
berbagai pihak yang diatur dalam PP No 78 Tahun 2007 tersebut sebagai syarat
administrasi diantaranya;
dalam lingkup desa tersebut terkait dengan kesetujuan mereka yang daerahnya
akan menjadi bagian dari daerah otonomi baru yang dipersiapkan untuk
dimekarkan.;
- Peran Bupati/Walikota > Dalam hal ini Bupati/Walikota dapat menyetujui atau
- Peran Gubernur > Dalam hal ini Gubernur memperhatikan usulan pemekaran
tersebut layak atau tidak untuk dimekarkan berdasarkan hasil kajian daerah,
ketika daerah tersebut layak untuk dimekarkan dengan segala persiapan yang
Provinsi;
- Peran DPRD Provinsi > Sebelum surat keputusan DPRD dikeluarkan terlebih
- Peran Pemerintah Pusat ( Presiden dan Menteri) > Setelah DPRD Provinsi
CATATAN 3
Apakah benar-benar pemerintah memperhatikan aspek Politik, administrasi,
ASPEK PENJELASAN
Kesatuan Sosial- Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pemekaran provinsi
Budaya Papua adalah aspek kesatuan sosial budaya yang disebutkan dalam
pasal 76 ayat 2, kemudian dalam ketentuan umum UU tersebut
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesatuan sosial budaya
adalah wilayah adat. Sejauh ini ada 6 jumlah wilayah adat di Papua
yang dijadikan dasar dalam melakukan pemekaran provinsi diantaranya;
Wilayah adat Animha; (Papua Selatan)
Wilayah adat La Pago; (Papua Pengunungan)
Wilayah adat Meepago; (Papua Tengah)
Wilayah adat Mamta; ( Papua)
Wilayah adat Saireei; ( Papua)
Wilayah adat Bomberai dan domberai. (Papua Barat/Papua barat
daya)
Namun pemekaran Papua yang mengacu pada wilayah adat dikritik oleh
salah satu pakar antropologi Universitas Cendrawasih yaitu Dr. Akhmad
Kadir, M.Hum. bahwa pemekaran daerah di Papua sebaiknya tidak
mengacu pada pola kesukuan dengan basis penghormatan terhadap
simbol-simbol kesukuan, pemekaran Papua harusnya mewadahi semua
ekpresi kesukuan dan budaya dalam bermasyarakat karena prinsip dari
pemekaran daerah adalah pengembangan dan penerimaaan antara
budaya yang satu dengan budaya lainnya dalam ruang lingkup wilayah
administrasi pemerintahan. Memang dalam melakukan pemekaran
wilayah aspek pertalian kesukuan wajib diperhatikan namun ini tidak
menjadi alasan untuk melupakan aspek lainnya yaitu kedekatan wilayah
dan efektivitas pemerintahan. Sehingga solusinya adalah pemerintah
harus meredefenisi (memberikan batasan) area kebudayaan dengan
mempertegas atau membedakan mana wilayah adat mana wilayah
adminsitrasi pemerintahan. Pemekaran yang didasarkan pada
penerimaan antara budaya satu dengan budaya lainnya perlahan-lahan
akan meruntuhkan sekat-sekat kesukuan dan etnis sehingga dengan
sendirinya masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda
saling menerima perbedaan tersebut, sehingga dalam konteks tuntutan
pemekaran daerah bisa terbangun atau tumbuh dan berkembang
berdasarkan basis komunikasi budaya
Papua Tengah
Sejauh ini langkah awal yang dilakukan Plt Gubernur Papua adalah
membentuk organisasi perangkat daerah dan berdasarkan berbagai
sumber plt gubernur Papua telah melantik sekda dan untuk perangkat
daerah lainnya seperti inspektorat daerah, dinas daerah, dan secretariat
daerah
Papua Pengunungan
Papua Selatan
Plt gubernur Papua Selatan telah melantik plt sekretaris daerah Papua
selatan dan sekda tersebut telah melampirkan dokumen terkait
pembentukan perangkat-perangkat daerah dan telah diserahkan kepada
plt Gubernur Papua selatan untuk disetujui
Saat ini berdasarkan data dari badan pusat statistik provinsi Papua pada
Kesiapan SDM tahun 2020 jumlah penduduk di Papua mencapai angka 4,3 Juta orang
itu sudah termasuk orang asli Papua dan penduduk Papua transmigran.
Berdasarkan angka tersebut apakah Papua sudah siapa dalam hal SDM
pasca pemekaran dilakukan. Aspek kesiapan SDM yang dimaksud disini
adalah kesiapan ASN sebagai penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik. Berdasarkan data dilansir dari kompas bahwa saat ini
papua memiliki 20.000 tenaga honorer dalam setiap instansi
pemerintahan, dan untuk kebutuhan kuota dalam perubahan kedua UU
Otsus baru memberikan prioritas sebanyak 80% bagi orang asli papua
sebagai ASN. Sementara ini kementian terkait seperti kementrian
pemberdayaan aparatur sipil negara dan reformasi birokrasi serta badan
kepegawaina negara telah merancang strategi penempatan dan
penyaluran ASN dalam ketiga DOB tersebut
Kemampuan Ekonomi Salah satu tujuan dalam UU Otsus perubahan kedua adalah dengan
memberikan dan melindungi hak dasar orang asli Papua salah satunya
dalam bidang ekonomi dengan memberikan prioritas pada orang asli
Papua. pripritas itu bukan tanpa alasan karena slag satu faktor pemecah
konflik di Papua adalah ketimpangan antara pendatang dengan OAP
karena menurut OAP, pendatang telah menguasai prekonomian papua
sehingga muncul sentiment menolak program transmigrasi, maka dari
itu dalam hal transmigrasi ke Papua diserahkan juga kepada
pememerintah daerah untuk mengatur dan menetapkannya dalam
bentuk Perda.
Aspirasi Masyarakat Salah satu poin yang menjadi polemik dari pemekaran provinsi Papua
Papua adalah pemekaran daerah murni bukan merupakan aspirasi atau
tuntutan murni orang asli Papua, hal ini disampaikan secara langsung
oleh ketua DPD RI ketika melakukan kunjungan kerja di Jayapura,
selain itu dalam pasal 76 ayat (2) UU Otsus Papua menyatakan bahwa
pemerintah dan DPD RI dapat melakukan pemekaran daerah, dari
sinilah dapat diketahui bahwa konsep pemekaran daerah di Papua
dilakukan secara “Top Down” atau murni dilakukan oleh pemerintahan
pusat, dan tidak secara “Bottom Up”. Dalah hal ini harusnya pemerintah
melakukan sosialisasi secara menyeluruh sepertihalnya pada masa
pemerintahan presiden Habibie dilaksanakan kongres rakyat Papua
hingga musyawarah bersama. Dalam hal ini kedua konsep tersebut
mesti dilakukan dalam pemekaran daerah bukan dengan
memprioritaskan salah satunya, kedua konsep tersebut harus
bersanding. Dengan kata lain laksanakan dulu pemekeran tersebut
dengan melakukan partisipasi langsung ke masyarakat, meminta
keterangan resmi dari pemerintahan daerah lainnya dalam hal ini DPRD
Provinsi/kab.kota, Gubernur/Bupati.Walikota barulah ketika semua itu
selesai barulah menggunakan mekanisme “Top down” secara politis
dalam pembahasan RUU di DPR RI.