Disusun Oleh:
Kelompok V A
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS JANABADRA
YOGYAKARTA
2023
i
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN
Universitas Janabadra
Disusun Oleh:
Kelompok V A
Dosen Pembimbing
iii
LEMBAR ASISTENSI
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga Tugas Perancangan Geometrik Jalan dapat kami selesaikan dan dapat kami susun
dengan lancar. Tugas ini disusun untuk memenuhi persyaratan Tugas Perancangan
Geometrik Jalan Program Strata Satu (S1) Universitas Janabadra. Tujuan penyusunan Tugas
Geometrik Jalan adalah untuk melatih mahasiswa agar lebih memahami prosedur
perancangan geometrik jalan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam kesempatan ini
penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga
Penyusun dapat menyelesaikan Tugas Perancangan Geometrik Jalan.
2. Risdiyanto, S.T., M. T. sebagai dosen mata kuliah Geometrik Jalan.
3. Nur Ayu Diana Citra Dewi S.P., S.ST., M.T. selaku dosen pembimbing Tugas
Perancangan Geometrik Jalan.
4. Orang Tua, Teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung
kami sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk kesempurnaan laporan ini.
Semoga setiap data dari tugas ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca laporan
ini.
Kelompok V A
iv
DAFTAR ISI
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
Jalan merupakan bagian dari kegiatan masyarakat yang sangat penting. Jalan secara
umum diartikan sebagai suatu prasarana pergerakan darat dalam bentuk yang berada di atas
permukaan tanah, melintasi sungai/danau/laut, di bawah permukaan atau di atas permukaan
tanah, terowongan dan sebagainya, meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas kendaraan, orang dan
hewan.
Jalan yang sering dilewati untuk lalu lintas tersebut merupakan perwujudan dari ide
tentang kebutuhan jalan, ide tersebut selanjutnya dilanjutkan melalui survei pendahuluan,
studi kelayakan, survei data penunjang, lalu dikembangkan melalui perencanaan,
pelaksanaan, pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaannya.
Perancangan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang bertujuan
untuk menentukan dimensi yang nyata dari suatu jalan beserta bagian-bagiannya yang
disesuaikan dengan tuntutan lalu lintas. Hasil perancangan yang diharapkan adalah: Fisik
jalan, yaitu pemilihan lokasi yang tepat, syarat perancangan yang paling sesuai, tipe jalan
yang sesuai dengan tuntutan lalu lintasnya; Pemakai jalan, yaitu dipenuhinya kebutuhan
akan efisiensi, kemananan, dan kenyamanan dalam batas-batas pertimbangan ekonomi yang
layak.
B. PERSYARATAN PERANCANGAN
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang
berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).
1
b. Klasifikasi Jalan
Klasifikasi jalan sangat penting dilakukan di suatu kota karena jalan-jalan di kota
merupakan sistem jaringan jalan yang bermanfaat untuk menampung arus pergerakan
orang atau barang dengan kendaraan. Jaringan jalan ini harus saling berhubungan satu
sama lainnya untuk membentuk link atau connectivity. Dari sudut pengelolaan
transportasi perlu dibuat klasifikasi jalan sesuai dengan hierarki dan fungsinya agar
dalam penanganannya lebih mudah dan efisien. Klasifikasi jalan yang sudah umum
dikenal adalah sebagai berikut:
a) Jalan umum adalah Jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam
rangka distribusi barang dan jasa,
b) Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha,
perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri, antara lain
jalan di dalam kawasan pelabuhan, jalan kehutanan, jalan perkebunan, jalan
inspeksi pengairan, jalan di kawasan industri, dan jalan di kawasan permukiman
yang belum diserahkan kepada pemerintah.
a) Sistem jaringan jalan primer, sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat
nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud
pusat-pusat kegiatan.
b) Sistem jaringan jalan sekunder, sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
2
a) Jalan arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna,
b) Jalan kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi,
c) Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
d) Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
3
g) Jalan lokal sekunder, menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder
ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan,
h) Jalan lingkungan sekunder, menghubungkan antarpersil dalam kawasan
perkotaan.
a) Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategis
nasional, serta jalan tol.
b) Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau
antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
c) Jalan kabupatenmerupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang
tidak termasuk jalan nasional dan provinsi, yang menghubungkan ibukota
kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota
kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan
umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan
strategis kabupaten.
d) Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan
antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.
e) Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar
permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
a) Jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
4
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu
terberat 10 (sepuluh) ton;
b) Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu
lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c) Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu
seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
d) Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran
panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10
(sepuluh) ton.
5
8) Klasifikasi Menurut Medan Jalan
Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No.
038/T/BM/1997 (Bina Marga, 1997), medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi
sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman
kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi
medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada
bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.
a. Kendaraan Rencana
Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai
acuan dalam perencanaan geometrik. Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3
kategori:
6
Tabel 3. Dimensi Kendaraan Rencana
7
Gambar 3. Dimensi Kendaraan Besar
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
b. Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana(VR) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai
dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak
dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan
pengaruh samping jalan yang tidak berarti.
Tabel 4. Kecepatan Rencana (VR) sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan
Kecepatan Rencana(VR) (km/jam)
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melintas satu titik pengamatan dalam
satu satuan waktu (hari, jam, menit). Volume lalu lintas digunakan untuk menentukan jumlah
dan lebar lajur jalan. Istilah-istilah yang berkaitan dengan volume lalu lintas adalah lalu
lintas harian rata-rata, volume jam perencanaan (VJP), dan kapasitas.Menurut cara
memperoleh datanya LHR dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1) Lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT): jumlah lalu lintas rata-rata yang
melewati suatu jalan selama 24 jam yang dihitung dari data selama satu tahun.
LHRT = jumlah lalu lintas dalam satu tahun dibagi 365 hari.
8
2) Lalu lintas harian rata-rata (LHR): jumlah lalu lintas yang diperoleh selama
pengamatan dibagi lamanya pengamatan (data tidak tersedia).
Volume Jam Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun
rencana lalu lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus:
K
VJR=VLHR x
F
Keterangan:
K (disebut faktor K), adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk,
F (disebut faktor F), adalah faktor variasi tingkat lalu lintas perseperempat jam dalam satu
jam.
Tabel 5. Penentuan Faktor K dan Faktor F berdasarkan Volume Lalu Lintas Harian Rata-
Rata (VLHR)
VLHR Faktor-K (%) Faktor-F (%)
> 50.000 4–6 0,9 – 1
30.000 – 50.000 6–8 0,8 – 1
10.000 – 30.000 6–8 0,8 – 1
5.000 – 10.000 8 – 10 0,6 – 0,8
1.000 – 5.000 10 – 12 0,6 – 0,8
< 1.000 12 - 16 < 0,6
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
Jarak Pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat
mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang
membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghidari bahaya tersebut
dengan aman. Dibedakan dua Jarak Pandang, yaitu Jarak Pandang Henti (Jh) dan Jarak
Pandang Mendahului (Jd).
9
Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi Jh. Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa
tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan
jalan.Jh terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu:
a) Jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai
saat pengemudi menginjak rem; dan
b) Jarak pengereman (Jhr) adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.
Jh = Jht + Jhr
V 2
VR (3,6R)
Jh= .T+
3,6 2gf
Keterangan:
Jd =dl+d2+d3+d4
Keterangan:
10
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur semula
(m),
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang dari arah
berlawanan setelah proses mendahului selesai (m),
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan, yang
besarnya diambil sama dengan 2/3 d2 (m).
Deskripsi jarak pandang mendahului dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
11
memberikan kemudahan pandangan di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek
penghalang sejauh E (m), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai obyek penghalang
pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi (Gambar 5 dan Gambar 6).
Jika Jh<Lt:
90° Jh
E=R {1- Cos ( )}
πR
12
Jika Jh>Lt:
90° Jh 1 90° Jh
E=R {1- Cos ( )} + (Jh-Lt) Sin ( )
πR 2 πR
3. Bagian-Bagian Jalan
a. Daerah Manfaat Jalan
Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA) dibatasi oleh: lebar antara batas ambang pengaman
konstruksi jalan di kedua sisi jalan,tinggi 5 meter di atas permukaan perkerasan pada sumbu
jalan,kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka jalan.
Ruang Daerah Milik Jalan (Damija) dibatasi oleh lebar yang sama dengan Damaja ditambah
ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1.5 meter
Ruang Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja) adalah ruang sepanjang jalan di luar
Damaja yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan sebagai berikut:
jalan Arteri minimum 20 meter, jalan Kolektor minimum 15 meter, jalan Lokal minimum
10 meter. Untuk keselamatan pemakai jalan, Dawasja di daerah tikungan ditentukan oleh
jarak pandang bebas.
13
4. Penampang Melintang Jalan
a. Komposisi Penampang Melintang
Penampang melintang jalan terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut: Jalur lalu lintas,
median, bahu jalan, jalur pejalan kaki, selokan, lereng.
Jalur lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang
secara fisik berupa perkerasan jalan. Batas jalur lalu lintas dapat berupa: median, bahu,
trotoar, pulau jalan, separator. Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur. Jalur lalu
lintas dapat terdiri atas beberapa tipe:
n = jumlah lajur.
Keterangan:
TB = tidak terbagi.
B = terbagi
14
Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur peruntukannya. Tabel 8
menunjukkan lebar jalur dan bahu jalan sesuai VLHR-nya. Lebar jalur minimum adalah 4.5
meter, memungkinkan 2 kendaraan kecil saling berpapasan. Papasan dua kendaraan besar
yang terjadi sewaktu-waktu dapat menggunakan bahu jalan.
< 3.000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3.000 –
7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0
10.000
10.000 –
7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -
25.000
2n x 2x 2n x
>25.000 2,5 2,0 2,0 **) **) - - - -
3,5 *) 7,0 *) 3,5 *)
Keterangan:
- = Tidak ditentukan
c. Lajur
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan,
memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan
rencana.Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang dalam hal ini
dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti ditetapkan dalam Tabel 9. Jumlah lajur
ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan,
15
di mana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas
yang nilainya tidak lebih dari 0.80.Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas
pada alinemen lurus memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut (Gambar
9):(2-3)% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton, (4-5)% untuk perkerasan kerikil.
Jumlah lajur lalu lintas yang dibutuhkan sangat tergantung dari volume lalu lintas yang akan
memakai jalan tersebut dan tingkat pelayanan jalan yang diharapkan.
d. Bahu Jalan
Bahu Jalan adalah bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas dan harus diperkeras
(Gambar 10). Fungsi bahu jalan adalah sebagai berikut:
1) Lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, dan atau tempat parkir darurat,
2) Memberikan kelegaan pada pengemudi, dengan demikian dapat meningkatkan
kapasitas jalan yang bersangkutan,
3) Ruang bebas samping bagi lalu lintas,
16
Kemiringan bahu jalan normal antara (3-5)%. Besarnya lebar bahu jalan sangat dipengaruhi
oleh:
1) Fungsi jalan
Jalan arteri direncanakan untuk kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jalan
lokal. Dengandemikian jalan arteri membutuhkan kebebasan samping, keamanan, dan
kenyamanan yang lebih besar, atau menuntut lebar bahu yang lebih besar dari jalan
lokal.
Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar bahu yang lebih besar dibandingkan
dengan volume lalu lintas yang lebih rendah.
Jalan yang melintasi daerah perkotaan, pasar, sekolah, membutuhkan lebar bahu jalan
yang lebih lebar daripada jalan yang melintasi daerah rural, karena bahu jalan tersebut
akan dipergunakan pula sebagai tempat parkir dan pejalan kaki.
Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur lalu lintas
yang berlawanan arah. Fungsi median adalah untuk:
1) Menyediakan daerah netral yang cukup lebar dimana pengemudi masih dapat
mengontrol kendaraannya pada saat-saat darurat,
2) Menyediakan jarak yang cukup untuk membatasi/mengurangi kesilauan terhadap
lampu besar dari kendaraan yang berlawanan,
3) Menambah rasa kelegaan, kenyamanan dan keindahan bagi setiap pengemudi,
4) Mengamankan kebebasan samping dari masing-masing arah lalu lintas,
5) Penghijauan,
6) Cadangan lajur
Jalan 2 arah dengan 4 lajur atau lebih perlu dilengkapi median. Median dapat dibedakan atas:
1) Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur yang
direndahkan.
2) Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur yang
ditinggikan.
Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar (0,25-0,50) meter dan bangunan
pemisah jalur. Perencanaan median yang lebih rinci mengacu pada Standar Perencanaan
Geometrik untuk Jalan Perkotaan. Lebar minimum berdasarkan tabel di bawah ini:
18
Gambar 11. Median Direndahkan dan Ditinggikan
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
5. Alinemen Horizontal
Alinemen horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga
tikungan). Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi
gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan VR. Untuk
keselamatan pemakai jalan, jarak pandang dan daerah bebas samping jalan harus
diperhitungkan.
19
Panjang Bagian Lurus Maximum (m)
Fungsi
Datar Perbukitan Pegunungan
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
b. Tikungan
1) Derajat Lengkung
Derajat lengkung (°) adalah besarnya sudut lengkung yang menghasilkan panjang
busur 25 m. Dalam perencanaan apabila semakin besar nilai R maka semakin kecil nilai
D dan semakin tumpul lengkung horizontal rencana. Sebaliknya, semakin kecil nilai R
maka nilai D akan semakin besar dan semakin tajam lengkung horizontal yang
direncanakan.
Gambar 12. Korelasi antara Derajat Lengkung (D°) dan radius lengkung (R)
25
D= x 360
2.π. R
1432,39
D=
R
2) Jari-jari tikungan
Dalam perencanaan alinemen horizontal radius tikungan dipengaruhi oleh nilai e dan
f serta nilai kecepatan rencana yang ditetapkan. Ini berarti terdapat nilai radius minimum
untuk nilai superelevasi maksimum dan koefisien gesekan melintang maksimum.
Dengan pertimbangan tersebut maka dapat ditentukan besarnya radius minimum tersebut
dengan rumus:
20
V2
Rmin=
127.(emaks +fmaks )
Keterangan:
Lengkung dengan R lebih besar atau sama dengan yang ditunjukkan pada Tabel 13,
tidak memerlukan lengkung peralihan.
Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian lurus jalan dan
bagian lengkung jalan berjari jari tetap R, berfungsi mengantisipasi perubahan alinemen
jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari-jari tetap
R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan
berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun
meninggalkan tikungan. Beberapa fungsi lengkung peralihan adalah sebagai
berikut(Suwardo dan Haryanto, 2018):
a) Membuat gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat berubah secara
berangsur-angsur,
21
b) Tempat berubahnya kemiringan perkerasan untuk mengimbangi gaya
sentrifugal,
c) Tempat mulainya perubahan lebar perkerasan untuk mengakomodasi radius
putar kendaraan,
d) Memudahkan pengemudi agar tetap pada lajurnya saat menikung.
4) Bentuk Lengkung Horizontal dan Diagram Superelevasi
Lengkung busur lingkaran, digunakan pada kondisi lahan yang luas dan
kecepatan desain tinggi.
∆
Tc = R tan 2
22
R
Ec = ∆ -R
Cos
2
Superlevasi tidak diperlukan apabila nilai R lebih besar atau sama dengan yang
ditunjukkan dalam tabel:
60 700
80 1.250
100 2.000
120 5.000
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
23
Gambar 14. Tikungan SCS
Δc =Δ-2Δs
Δc
Lc =360 2πR
Ls2
Ys = 6R
Ls3
Xs =Ls-
40R2
k =Xs-R sin Δ s
p =Ys-R(1- cos Δ s)
Δ
Ts =(R+p) tan 2 +k
(R+p)
Es = Δ -R
cos
2
L =Lc+2Ls
24
b) Lengkung Berbentuk Spiral-Spiral atau SS
Δc =0
Lc =0
2πR
Ls = 360 x2θs
Ls2
Yc = 6R
Ls3
Xc =Ls-
40R2
k =Xc-R sin Δ s
p =Yc-R(1- cos Δ s)
Δ
Ts =(R+p) tan 2 +k
(R+p)
Es = Δ -R
cos
2
L =Lc+2Ls
25
c. Pelebaran Tikungan
Di lapangan secara nyata dijumpai jumlah tikungan relatif banyak, terutama di daerah
pegunungan sehingga jalan tampak berkelok-kelok. Tikungan yang berdekatan satu dengan
berikutnya harus didesain dengan tepat untuk menyediakan keamanan dan kenyamanan bagi
pengendara. Ada dua macam tikungan gabungan, sebagai berikut:
1) Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan dengan arah
putaran yang sama tetapi dengan jari jari yang berbeda (lihat Gambar 16),
26
2) Tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah putaran
yang berbeda (Gambar 17).
𝑅1 2
b) Apabila < 3 , maka tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau
𝑅2
27
Gambar 18. Tikungan Gabungan Searah dengan Sisipan Bagian Lurus Minimum
Sepanjang 20 meter.
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
Setiap tikungan gabungan balik arah harus dilengkapi dengan bagian lurus di antara
kedua tikungan tersebut sepanjang paling tidak 20 m (Gambar 19).
Gambar 19. Tikungan Gabungan Balik dengan Sisipan Bagian Lurus Minimum
Sepanjang 20 meter.
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
6. Alinemen Vertikal
Alinemen vertikal didefinisikan sebagai proyeksi sumbu jalan pada bidang vertikal,
berbentuk penampang memanjang jalan. Tujuan perancangan alinemen vertikal adalah
untuk menentukan elevasi titik-titik penting jalan untuk dapat menjamin drainase jalan
secara tepat dan tingkat keselamatan yang dapat diterima (Suwardo dan Haryanto, 2018:
109). Kendala utama dalam perancangan alinemen vertikal adalah transisi antara elevasi
jalan di antara dua buah kelandaian. Transisi ini dicapai dengan menggunakan lengkung
vertikal. Lengkung vertikal secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu lengkung vertikal
cembung dan lengkung vertikal cekung. Faktor-faktor yang mempengaruhi perancangan
alinemen vertikal adalah: kondisi kemampuan tanah dasar, keadaan topografi medan, fungsi
jalan, muka air banjir, muka air tanah, kelandaian.
28
a. Kelandaian Maksimum
b. Panjang Kritis
Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus ada untuk mempertahankan
kecepatan sehingga penurunan kecepatan kurang dari atau sama dengan 50% dari kecepatan
rencana dengan lama satu menit. Panjang kritis memungkinkan truk masih dapat bergerak
dengan kecepatan mencapai 15 km/jam – 20 km/jam. Bina Marga memberikan ketentuan
panjang kritis harus dipenuhi untuk jalan antarkota seperti pada tabel di bawah ini:
1) Lengkung vertikal cembung (crest vertical curves), titik potong antara dua landai
berada di atas muka sumbu atau as jalan,
29
Gambar 20. Lengkung Vertikal Cembung
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
a) Apabila jarak pandang henti kurang dari panjang lengkung vertikal (S < Lv),
maka rumus yang digunakan:
A.S2
L=
399
b) Apabila jarak pandang henti lebih dari panjang lengkung vertikal (S > Lv),
maka rumus yang digunakan:
399
L=2S-
A
2) Lengkung vertikal cekung (sag vertical curves), titik potong antara dua landai
berada di bawah muka sumbu atau as jalan,
30
Asumsi yang digunakan:
Apabila S < Lv
A.S2
L=
120+3,5.S
Apabila S > Lv
120+3,5.S
L=2S-
A
Apabila S < Lv
A.S2
L=
3480
Apabila S > Lv
3480
L=2S-
A
d. Lajur Pendakian
Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk yang bermuatan berat atau
kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan-kendaraan lain pada umumnya,
agar kendaraan-kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus
berpindah lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan.Lajur pendakian harus disediakan
pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya
relatif padat.Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
31
berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter,
lihat gambar di bawah ini:
Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5 km (lihat gambar di bawah ini)
32
e. Koordinasi Alinemen
Alinemen vertikal, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah elemen-
elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan sedemikian hingga
menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti memudahkan pengemudi
mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen
jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan
bentuk jalan yang akan dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi
lebih awal.Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1. Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal, dan secara ideal
alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinemen vertikal,
2. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada
bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan,
3. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan,
4. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus dihindarkan,
5. Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.
Gambar 24. Koordinasi Ideal (Alinemen Horizontal dan Alinemen Vertikal Satu Fase)
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
33
Gambar 25. Koordinasi Dihindarkan (Alinemen Vertikal Menghalangi Pandangan ketika
Masuk Alinemen Horizontal)
Sumber: TCPGJAK, No. 038/T/BM/1997
(Bina Marga, 1997)
34
Penomoran (Stationing)
Penomoran (stationing) panjang jalan pada tikungan jalan adalah mencari nomor pada
interval-interval tertentu dari awal dimulainya tikungan. Penomeran jalan (stationing)
dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk dengan cepat mengenal lokasi yang sedang
dibicarakan,selanjutnya menjadi panduan untuk mencari lokasi suatu tempat. Disamping itu
dari penomoran (stationing) jalan tersebut diperoleh informasi tentang panjang tikungan
jalan secara keseluruhan.
35
BAB II
PERHITUNGAN KOORDINAT, JARAK DAN SUDUT
A. KOORDINAT
Penentuan Koordinat titik A
X (Absis) = 900 (Sudah Ditentukan)
Y (Ordinat) = 1700 (Sudah Ditentukan)
Koordinat titik A (X, Y) = ( 900 ; 1700 ) (Sudah Ditentukan)
Koordinat titik PPI (X, Y) = ( 1244,758 ; 1760,349 )
Koordinat titik PPII (X, Y) = ( 1372,882 ; 1380,032 )
Koordinat titik B (X, Y) = ( 1612,903 ; 1449,962 )
B. HITUNGAN JARAK
1. Jarak titik A – PP I = √(xPP I -xA)2 + (yPP I -yA)2
36
2. Jarak titik PP I – PP II = √(xPP II -xPP I)2 + (yPP II -yPP I)2
KOORDINAT
TITIK JARAK (m) Δ (°)
x (m) y (m)
B 1612,903 1449,962 - -
37
BAB III
Diketahui :
Δ1 = 81°
Vr = 80 km/jam
R min = 210 m
D = 6,00°
ep = 0,098
Ls 1 = 70 m
Hitungan:
180 . LS 180 . 70
Δs1 = = = 8,394°
2π.Rrencana 2π.239
Δc1 = 𝛥1 − 2 ⋅ 𝛥𝑠
= 81° − 2 𝑥 8,394°
= 64,212 m
𝛥𝑐1
Lc1 = 36002.π.Rrencana
64,212°
= . 2π . 239
3600
= 267,8499 m
Karena Lc1> 25 meter, maka digunakan tikungan tipe S-C-S
Ls13
Xs1 = Ls1 - (40 . Rr2)
703
= 70 - ( )
40 . 2392
= 69,849 m
Ls12
Ys1 = 6 . Rr
702
=
6 . 239
= 3,417 m
= 34,959 m
= 0,856 m
𝑅 +𝑝1
Es1 = cos𝑟 𝛥⁄ − 𝑅𝑟
2
239 +0,856
= 81° − 239
𝑐𝑜𝑠
2
= 76,431 m
𝛥
Ts1 = (𝑅𝑟 + 𝑝1) tan 2 + 𝑘1
81°
= (239 + 0.856 ) tan + 34,959
2
= 239,815 m
L = Lc1 + 2.Ls1
= 267,8499 + (2 x 70)
= 407,8499 m
Tabel 2. Data Tikungan A-PPI-PPII Tipe S-CS
DATA TIKUNGAN
1 81 ° Sudut pusat
Vr 80 km/jam Kecepatan rencana
Rmin 210 meter jari-jari minimum
Rr 239 meter jari-jari rencana
Ls1 70 meter lengkung spiral
Lc1 267,8499 meter lengkung circle
ep 0,098 % Kemiringan melintang maksimun
D 6,00° ° Derajat lengkung
en 2 % Kemiringan melintang perkerasan
d A – P1 150 meter jarak A – P1
d P1 – P2 500 meter jarak P1 – P2
p1 0,856 meter Pergeseran busur terhadap tangent asli
k1 34,959 meter Koreksi
Δs1 8,394 ° Sudut apit busur spiral
Δc1 64,212 ° Sudut apit busur circle
Es1 76,431 Meter Jarak pertemuan tangent sampai
Ts1 239,815 Meter Panjang
lengkungtangen
Absis titik SC pada garis tangen, jarak
Xs1 69,849 Meter dari titik TS ke SC (jarak tegak lurus
lengkung peralihan)
Ordinat titik SC pada garis tegak lurus
Ys1 3,417 Meter
garis tangen,(jarak tegak lurus ke titik
SC) )pada lengkung peralihan)
(jarakluruslengkungperalihan)
Δ2 = 88°
Vr = 80 km/jam
R min = 210 m
D = 6,00°
ep = 0,098°
Ls 2 = 70 m
Hitungan :
180 . LS 180 . 70
Δs2 = 2π.Rrencana= = 8,394°
2π.239
Δc2 = 𝛥2 − 2 ⋅ 𝛥𝑆2
= 88° − 2 × 8,394°
= 71,212°
𝛥𝑐
Lc2 = 360202.π.Rrencana
71,212°
= . 2π . 239
3600
= 297,04924 m
703
= 70 - (40 . )
2392
= 69,99786m
Ls12 702
Ys2 = 6 . Rr = 6 . 239
= 3,4170 m
= 35,00592 m
= 0,856742 m
Karena p1> 0,25 meter maka digunakan tikungan tipe S-C-S
1
Ts2 = (𝑅𝑟 + 𝑝2 ) tan 2 𝛥2 + 𝑘2
1
= (239 + 0,856742) tan 2 (88°) + 35,00592
= 236,26021 m
(Rr + p2 )
Es2 = ∆ - Rr
cos 22
(239+ 0,856742 )
= 88° - 239
cos
2
= 94,44011 m
L2 = Lc + 2.Ls2
= 297,04924 + 2. (70)
= 437,04924 m
Tabel 3. Data Tikungan II
DATA TIKUNGAN
2 88 ° Sudut pusat
Vr 80 km/jam Kecepatan rencana
Rmin 210 meter jari-jari minimum
Rr 286 meter jari-jari rencana
Ls2 70 meter lengkung spiral
Lc2 369,27167 meter lengkung circle
ep 0,093 % Kemiringan melintang maksimun
D 5 ° Derajat lengkung
en 2 % Kemiringan melintang perkerasan
d P1 – P2 500 meter jarak A – P1
d P1 – B 850 meter jarak P1 – P2
P2 0,716 meter Pergeseran busur terhadap tangent asli
K2 34, 985 meter Koreksi
Δs2 8,394 ° Sudut apit busur spiral
Δc2 71,212 ° Sudut apit busur circle
Es2 94,44011 Meter Jarak pertemuan tangent sampai lengkung
Ts2 236,26021 Meter Panjang tangen
Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari
Xs2 69,99786 Meter titik TS ke SC (jarak tegak lurus lengkung
peralihan)
D. Perhitungan Stationing
Stationing atau penomoran panjang jalan pada tahap desain adalah pemberian
nomor pada jarak-jarak tertentu dari awal proyek. Penomoran ini atau Dasar-dasar
Perencanaan Geometrik Ruas Jalan 53 stationing dengan simbol Sta, dibutuhkansebagai
prasarana komunikasi bagi pengguna jalan dari tahap desain sampai dengan jalan
tersebut terbangun. Oleh sebab itu, Sta jalan berguna untuk :
Gambar 29. Sket Titik Stationing
A → P1 d1 : 350,00011 m
P1 → P2 d2 : 401,3188 m
P2 → B d3 : 270,00057 m
1. Tikungan I
Sta A = sta 7 + 000
Sta TS1 = sta A + (jarak A − P1 − Ts1)
= sta 7 + 000 + 350 − 239,815
= sta 7 + 110,185
Sta SC1 = sta TS1 + Ls1
= (sta 7 + 110,185) + 70
= sta 7 + 180,185
Sta PP1 = sta SC1 + 0,5 x Lc1
= sta 7 + 180,185+ 0,5 x 267,850
= sta 7 + 314,110
Sta CS1 = sta SC1 + Lc1
= (sta 7 + 314,110) + 267,850
= sta 7 + 581,960
Sta ST1 = sta CS1 + Ls1
= (sta 7 + 581,960) + 70
= sta 7 + 651,960
Tikungan II
Sta TS2 = sta ST1 + (jarak P1-P2 − Ts2 )
= (sta 7 +651,960) + (401,3188 – 264,93199)
= sta 7 + 788,34681
Sta SC2 = sta TS2 + Ls2
= (sta 7 + 788,34681) + 70
= sta 7 + 858,34681
Sta PP2 = sta SC2 + 0,5 x Lc2
= (sta 7 + 858,34681) + 0,5 x 297,04924
= sta 7 + 1006,847143 - 1000
= sta 8 + 6,847143
Sta CS2 = sta PP2 + 0,5 x Lc2
= (sta 8 + 6,847143) + 0,5 x 297,04924
= sta 8 + 155,37176
Sta ST2 = sta Cs2+ Ls2
= (sta 8 + 155,37176) + 70
= sta 8 + 225,37176
Sta B = sta ST2 + ((jarak PP2−B) − Ts2 )
= (sta 8 + 225,37176) + (270,00057 - 236,021)
= sta 8 + 259,29717
Tabel titik stationing (tiap 50 m lurus dan 25 m lengkung)
Tabel 4. Titik Stationing
1 A STA 7 000.000 0
2 1 STA 7 50.000 50
3 2 STA 7 100.000 50
4 TS1 STA 7 110,185 10,185
5 3 STA 7 135,185 25
6 4 STA 7 160,185 25
7 SC1 STA 7 180,185 20,000
8 5 STA 7 205,185 25
9 6 STA 7 230.185 25
10 7 STA 7 160,1857 25
11 8 STA 7 280,185 25
12 9 STA 7 305,185 25
13 PP1 STA 7 314,110 8,925
14 10 STA 7 339,110 25
15 11 STA 7 364,110 25
16 12 STA 7 389,110 25
17 13 STA 7 414,110 25
18 14 STA 7 439,110 25
19 15 STA 7 464,110 25
20 16 STA 7 489,110 25
21 17 STA 7 514,110 25
22 18 STA 7 539,110 25
23 19 STA 7 564,110 25
24 CS1 STA 7 581,960 17,85
25 20 STA 7 606,960 25
26 21 STA 7 631,960 25
27 ST1 STA 7 651,960 20,000
28 22 STA 7 701,960 50
29 23 STA 7 751,960 50
30 TS2 STA 7 788,34681 36,38681
31 24 STA 7 813,34681 25
NO. TITIK STA KET
32 25 STA 7 838,34681 25
33 SC2 STA 7 858,34681 20
34 26 STA 7 883,34681 25
35 27 STA 7 908, 34681 25
36 28 STA 7 933, 34681 25
37 29 STA 7 958, 34681 25
38 30 STA 7 983, 34681 25
39 PP2 STA 8 6, 847143 23,50033
40 31 STA 8 6, 847143 25
41 32 STA 8 31, 847143 25
42 33 STA 8 56, 847143 25
43 34 STA 8 81, 847143 25
44 35 STA 8 106, 847143 25
45 36 STA 8 131, 847143 25
46 CS2 STA 8 155,37176 23,524617
47 37 STA 8 180, 37176 25
48 38 STA 8 205, 37176 25
49 ST2 STA 8 225, 37176 20
50 B STA 8 259,29717 33,92541