Anda di halaman 1dari 13

Analisis Nahju-l-Burdah Dalam Ilmu Bayan

Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Ilm Balaghah Wa Dalalah

Oleh:
Muhammad Rizqy Nawwari (22/500561/PSA/20178)

Dosen Pengampu:
Dr. Hindun, M.Hum.

Program Studi Magister Kajian Budaya Timur Tengah


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
2022
I. PENDAHULUAN

Dalam ilmu Balaghah kita ketahui ada beberapa pembagian


tahap pembahasannya, al-bayan, ma’any, dan badi’. Al bayan secara
Bahasa diartikan sebagai kejelasan, dan yang tampak. Al Bayan
diartikan sebagai ungkapan yang menunjukkan maksud dengan kata
terpilih yang berdasarkan pemahaman. Al bayan dimaksudkan sebagai
suatu ungkapan untuk memahami sesuatu dari apa yang disampaikan.
Secara istilah, al bayan menurut para ulama adalah ilmu yang
mempelajari penyampaian suatu hal dengan cara yang berbeda beda
untuk menjelaskan apa yang dimaksud. (Fayyud, 2015, 16).

Ilm bayan, berbeda dengan ma’aany maupun badi’, didalam


ma’aany berfokus kepada struktur kalimat, sedangkan badi’ berfokus
kepada tahsinu-l-kalam, atau pengindahan dalam pengucapan dan
penyusunan kalimat. Ilmu bayan merupakan suatu aturan dan tata cara
yang menunjukkan maksud tertentu dari berbagai cara pengungkapan.
Didalamnya ada tasybih, isti’arah, dan majaz, dan juga kinayah.
Sebagai contoh dan sering digunakan dalam mengungkapkan makna
syaja’ah pemberani dengan meminjam kata yang memiliki sifat tersebut
yakni asad, singa. Ilmu bayan merupakan penggunaan makna majazi
dari makna hakiki. (Fayyud, 2015, 16).

Tasybih didalam ilm Bayan dijelaskan sebagai pemberian makna


kalimat dengan kalimat lain dengan salah satu alat/tanda tasybih, para
ahli balaghah menyebutkan bahwa tasybih adalah bentuk
pengungkapan suatu makna terhadap lainnya dengan alat khusus
dalam tasybih, disebutkan bahwa tasybih tidak serupa dengan isti’arah,
baik tahqiqiyyah, makniyyah, maupun tajrid. Isti’arah adalah wujud yang
sama dengan cara yang berbeda dengan tasybih.
Tasybih memiliki empat rukun yang harus ada didalam
kalimatnya. Musyabbah, hal yang diumpamakan, Musyabbah Bihi,
perumpamaan kata, wajh syibhu, hal yang mengaitkan antara
musyabbah dan musyabbah bihi, dan yang terakhir Adaatu Syibh, alat
atau kalimat yuang digunakan untuk menyambung perumpamaan dan
yang diperumpamakan. Dan setiap kalimat dengan tasybih memiliki
tujuan tertentu yang diharapkan pembicara pada ungkapannya. Dalam
aplikasinya, rukun-rukun ini diperbolehkan untuk disembunyikan dari
kalimat yang jelas, akan tetapi bukan dihilangkan. Meski tak tertulis
rukun rukun ini harus ada dari komponen kalimat tasybih. Jika kita
ucapkan secara lengkap seperti; ‫ محمد كالبحر كرما‬Dalam kalimat
tersebut, secara lengkap semua rukun tasybih disebutkan, muhammad
sebagai musyabbah, dan huruf kaa sebagai adaatu syibh, alat yang
mengaitkan kata perumpamaan, Bahr sebagai Musyabbah bihi, bentuk
perumpamaan, dan Karam sebagai Wajh Syibh, yakni hal yang
berkaitan antara musyabbah dan musyabbah bihi. Dengan demikian
dapat diartikan “Muhammad bagaikan Lautan dalam kebaikannya”.
Luasnya kebaikan Muhammad digambarkan dengan lautan yang begitu
luas. Dan beberapa kali kalimat tidak menyebutkan salah satu dari
rukun yang ada didalam kalimatnya meskipun tetap tersirat maknanya,
dengan tujuan tertentu. (Fayyud, 2015, 24).

Majaz dalam ilmu Balaghah adalah lawan dari haqiqah, majaz


didefinisikan sebagai kata yang digunakan bukan pada posisi
seharusnya, dengan tujuan untuk memberikan makna yang dimaksud.
Tidak semua kalimat atau kata adalah apa yang tertulis secara haqiqah,
melainkan juga dengan cara majaz, dalam contohnya “‫”ضربت زيدا‬, ini
merupakan kalimat majaz, karena pada aslinya pelaku tidak memukul
zaidan seluruh tubuhnya, melainkan hanya beberapa sisi saja. Begitu
juga dalam contoh contoh yang lain. Majaz dengan hubungannya atas
makna asli yang diungkapkan dengan makna yang dimaksud dibagi
menjadi dua; Majaz Isti’arah, dan Majaz Mursal. Isti’arah, hubungannya
dengan hal yang serupa dari perumpamaan makna majaz, dan Majaz
Mursal, adalah jika hubungannya bukan dengan hal yang serupa dari
makna perumpamaannya. Contohnya dalam Majaz Isti’arah ‫رأيت بحرا‬,
diartikan dengan “saya melihat laut”, laut yang dimaksud memliki
persamaan dan hubungan dengan makna yang dimaksud yaitu Orang
Baik, hubungannya dengan luasnya pemberiannya. Jika dalam majaz
mursal tidak memiliki hubungan antara kedua kata, makna asli dengan
makna yang dimaksud.‫أمطرت السماء نباتا‬ Langit menurunkan hujan
tumbuhan, hubungan antara tumbuhan dengan yang dimaksud yaitu
hujan deras adalah hubungan sebab akibat, bukan hubungan secara
makna langsung. Majaz Mursal merupakan kata yang digunakan bukan
pada posisi aslinya atas hubungannya yang tidak menyerupai antara
makna asli dan makna yang dimaksud, melainkan menghubungkan dua
hal yang berbeda dengan tujuan tertentu dan dimaksudkan. (Fayyud,
2015, 127).

Berbeda dengan Majaz Mursal, Isti’arah sebagaiman yang


disebutkan diatas, bahwa penggunaan isti’arah atas hubungan antara
dua makna, makna asli dari kata tersebut, dengan makna majazy atau
makna yang dimaksud dari penggunaan kata tersebut. Digunakannya
kata bukan pada posisi seharusnya dengan landasan makna yang
menyerupai antara keduanya disebut dengan Isti’arah.

‫ضا‬
ً ‫ّٰللا َم َر‬ ٌۙ ‫ي قُلُ ْو ِب ِه ْم َّم َر‬
ُ ‫ض فَزَ ا َدهُ ُم ه‬ ْ ِ‫ ف‬Kata Maradh (sakit) dipinjam atas
hubungannya dengan nifaaq (kemunafikan). Keduanya berhubungan
karean keduanya merusak apa yang berhubungan dengannya, maradh
sakit secara badan, nifaaq juga merupakan sakit secara hati. Hubungan
antara kedua kata ini karena keduanya memiliki makna yang serupa.
Dengan demikian, dapat diapahami dari ayat tersebut, sakit yang
dimaksud dari ayat tersebut merupakan kemunafikan, yaitu mereka
yang menyembunyikan kekafirannya, dengan menunjukkan
keislamnannya secara dzahir, Isti’arah berbeda dengan Tasybih,
Tasybih memiliki komponen khusus dalam rukun rukunnya, jika tanpa
menyebut adaatu tasybih atau huruf penyembung sebagai alat tasybih
dan juga bersamaan dengan tidak menyebutkan wajh syibh atau hal
yang diumpakan, maka disebut dengan tasybih baaligh. Tasybih Baaligh
bukanlah Isti’arah.

Perbedaan antara Isti’arah dengan tasybih baligh, menurut para


ahli balaghah, dengan beberapa aspek kalimat itu disebut isti’arah.
Dalam Isyi’arah Muyabbah bihi sebagai subjeknya, sebagaimana
dalam kalimat ‫محمد أسد‬, Asad (Singa) menjadi perumpaan Muhammad
atas serupanya dengan sifatnya, menempelkan sifat singa pada
perumpamaan kepada Muhammad. Tasybih Baligh memiliki tujuan
untuk menyampaikan kepada hal yang lebih, sedangkan dalam isti’arah,
taysbih bukan poin utama dalam penyampaiannya, tetapi yang
mengikuti dari apa yang disampaikan. Didalam Tasybih Baligh kata
musyabbah disampaikan secara langsung maupun tidak, berbeda
dengan isti’arah yang mewajibkan untuk menyembunyikan musyabbah
yang dimaksudkan dalam kalimat. Musyabbah bihi bukanlah suatu
khabar dari musyabbahnya sebagaimana tasybih dhimniy. (Fayyud,
2015, 155).

Selanjutnya didalam ilmu bayan, bagian terakhir yakni kinayah.


Yaitu kata yang disampaikan atas makna dan tujuan tertentu. Dengan
meninggalkan makna asli untuk mencapai makna yang dimaksudkan
dan menggantinya dengan kalimat atau kata lain. Kinayah bermaksud
untuk memahami kalimat dari makna tersirat, bukan hanya dengan kata
yang tersurat. Dalam Al Qur’an disebutkan :

ً ِ‫سب‬
‫يل‬ َ ‫سو ِل‬ َّ ‫ع َل ٰى يَ َد ْي ِه يَقُو ُل يَا َل ْيتَنِي اتَّ َخ ْذتُ َم َع‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫ض ال‬
َ ‫ظا ِل ُم‬ ُّ َ‫َويَ ْو َم يَع‬

Dalam ayat ini dimaksudkan yaitu perasaan kecewa dan


penyesalan atas apa yang ditinggalkan, sehingga apa yang tertulis
memiliki makna khusus dengan menyebutkan kata ya’uddhu yadaini
(menggigit jari), hal ini disesuaikan dengan kebiasaan manusia, bahwa
gigitan tangan adalah gambaran dari penyesalan atas apa yang
dilakukannya lalu. Kinayah tentu berbeda dengan majaz, kalimat dalam
majaz menggunakan kalimat lain sebagai perantara untuk menunjukkan
makna asli. Sedangkan dalam kinayah perantara yang digunakan, tidak
melarang atas pengartian makna asli dari kalimat yang diungkapkan.
(Fayyud, 2015, 224).

II. PEMBAHASAN
Ahmad Syauqi merupakan sastrawan Arab yang mendapat
julukan Amiruu-Syu’araa atau pengeran para sastrawan, karyanya yang
fenomenal membuatnya masyhur dalam bidang sastra. (Juwariyah,
2007: 4)) Karya Ahmad Syauqi yang juga terkenal yaitu pujiannya
terhadap Nabi Muhammad SAW, dalam bait bait puisinya Nahju-l-
Burdah. Nahju burdah juga merupakan turunan dari apa yang
disampaikan pendahulunya Imam Al Bushiri dan Kaab, yang juga
menuliskan Qasidah Burdah yang masyhur, kemudia syauqi memberi
judul tulisannya ini dengan burdah juga sebagai bentuk ke-
tawadhuannya atas pendahulunya. Ekspresi Ahmad Syauqi dituliskan
dalam puisi ini, atas perasaan hatinya yang merindukan dan mencintai
Nabi Muhammad SAW.
َ ‫ أَ َح َّل‬- ‫البان َوال َع َل ِم‬
‫سفكَ َدمي في األَش ُه ِر ال ُح ُر ِم‬ ِ َ‫القاع بَين‬
ِ ‫على‬
َ ‫ريم‬

ِ َ‫القاع أ‬
‫درك ساكِنَ األ َ َج ِم‬ ِ َ َ‫َرمى القَضا ُء ِب َعينَي ُجؤذَ ٍر أ‬
َ‫ يا ساكِن‬- ً‫سدا‬

Seekor Kijang yang berdiri di savana diantara pemandangan indah dan


pepohonan Boswellia – Keindahannya membuatku ingin menumpahkan
darah meski dibulan haram.
Mata terpana pada keindahan mata anak sapi, dan aku bagai seekor
singa yang terpana kepada keindahan itu – wahai Penduduk Savana
atas keberadaaan sang penguasa hutan.
Didalam bait pertama penulis menggunakan Tasybih Baligh
untuk menyampaikan kepada pujaannya bahwa keindahannya
bagaikan seekor rusa yang indah, Keindangan rusa membuatnya
terpana meskipun berdiri diantara pemandangan indah dan
pegunungan lainnya, tak membuat terpesona kepada keindahan alam
lainnya, sampai sampai jika perlu, keindahannya membuatnya
meneteskan darah meski dibulan haram. Tasybih Baligh disini berfungsi
dalam menggambarkan keindahan pujaannya (Rasulullah), yang mana
digambarkan dengan sangat indah, badannya digambarkan dengan
meminjam kata aalam dimaksud sebagai jabal atau gunung, yang tinggi
dan gagah, Matanya indah dan lebar digambarkan dengan mata anak
sapi yang indah, dan penyair menggambarkan dirinya seperti singa
yang terpana kepada apa yang didambakannya, keindahan dan
kesempurnaannya mengalahkan segala keindahan yang ada. Bahkan
keindahannya membuat tak sadar, sehingga membuatnya melakukan
apa yang dilarang. Sedangkan di bait kedua, penyair menggambarkan
keindahan pujaannya terus terlihat jelas dalam matanya, bagaikan
singa yang melihat mangsanya tak beralih kepada yang lain. Dalam bait
ini penyair menggunakan majaz mursal pada kalimat saakinal ajami
untuk menggambarkan keadaaan hutan.

‫ب ُرمي‬
ِ ‫هم ال ُمصي‬
ِ ‫س‬َ ‫ يا َوي َح َجنبِكَ بِال‬- ً‫َفس قائِ َلة‬
ُ ‫لَم ّا َرنا َح َّدثَتني الن‬

‫َير ذي أَ َل ِم‬
ُ ‫ح األ َ ِحبَّ ِة ِعندي غ‬
ُ ‫ ُجر‬- ‫هم في َكبِدي‬
َ ‫س‬َ ‫َج َحدتُها َو َكتَمتُ ال‬

Ketika akus terus melihatnya dan kutemui diriku telah mati terbunuh –
tertusuk dengan anak panah yang mengenai (hati) ku.
Aku sudah menepisnya dan menyembunyikan panah itu dihatiku –
Bagiku, luka dalam perasaan cinta tidak mempunyai rasa sakit.
Dalam Bait Ketika Tasybih kalimat sahmu-l-qaatil (busur panah
yang membunuh), menggambarkan penglihatan. Seperti yang
dirasakan penyair, bahwa apa yang dilihatnya dari pujaannya, sudah
menusuk dalam penglihatannya. seperti tanpa sadar bahwa dirinya
telah mati karena tertusuk panah yang tertusuk dihatinya. Hati yang
sudah tertusuk dan cinta itu tidak bisa keluar kembali. Dipilihnya Hati,
karena hati merupakan organ tubuh yang sulit untuk diobati, sehingga
jika ia sudah tertusuk tidak mungkin selamat. Dibait ke-empat, penyair
menggambarkan dengan majaz mursal pada penderitaan yang tidak
dirasakannya, meski ia terluka, karena kekuatan cinta kepada
pujaannya. . Namun sebagaimana seseorang yang menyembunyikan
lukanya, bak tanpa rasa sakit. Dia yakin bahwa sakit yang dirasakan
dari apa yang dicinta tidak akan berpengaruh apapun pada dirinya dan
hatinya, terlepas dari rasa sakit dan penderitaannya, cinta kepada
kekasih ini, yang sebanding keindahan dari apa yang dipujinya. Majaz
mursal pada bait ini dikarenakan hubungan sebab akibat. Alaqah
sababiyyah.

‫ذر في ال ِشيَ ِم‬


ِ ُ‫ماس الع‬ ٍ ُ‫الناس ِمن ُخل‬
َ ِ‫ ِإذا ُر ِزقتَ اِلت‬- ‫ق‬ ِ ‫ُر ِزقتَ أَس َم َح ما في‬
‫الوج ُد َلم تَعذِل َو َلم تَ ُل ِم‬
َ َ‫شفَّك‬
َ ‫ َلو‬- ‫يا الئِمي في هَواهُ َوال َهوى قَ َدر‬

Kau telah membenarkan dari Tuhan apa yang ada di dalam diri
manusia.- Jika engkau adalah orang yang mencari alasan untuk dosa
orang lain.
Wahai engkau yang menyalahkanku atas cinta ini, sebab cinta adalah
takdir – Jika kau salahkan wujud cintaku padamu, itu takkan membuatku
terjatuh.
Pada Bait ke-lima, Kinayah atas sifat, sebagaimana penyair
mensifati pujaannya dengan sifat terbaik. Akhlak terpuji digambarkan
pemberian Tuhan yang ada pada didalam diri manusia, yang dimiliki
seorang Rasulullah, bahkan Beliau akan berdoa kepada Allah dan
memohon ampunan dan memberikan pertolongan pada umat-Nya di
hati kiamat atas dosa-dosanya, dan bait ke-enam, majaz mursal
penyair menggunakan majaz mursal wa alaqatihi musabbabiyah, yakni
majaz mursal dan hubungannya pada akibat dari sebab yang ada.
Penyair mengungkapkan cintanya yang meluap-luap pada Rasulullah,
dan ia mempertanyakan kepada orang orang yang menyalahkan
cintanya kepada Nabi Muhammad SAW. Majaz Mursal dalam hal ini
menggambarkan bahwa celaan padanya adalah akibat dari
kecintaannya yang meluap pada Rasulullah.

‫ص َم ِم‬ ُ َ‫ت َوالق‬


َ ‫لب في‬ ٍ ‫َص‬ َ ‫َلقَد أَنَلتُكَ أُذنا ً غ‬
ِ ‫ َو ُربَّ ُمنت‬- ‫َير وا ِعيَ ٍة‬

ِ ‫ أَس َهرتَ ُمضناكَ في ِح‬- ً‫رف ال ذُقتَ ال َهوى أَبَدا‬


‫فظ ال َهوى فَن َِم‬ ِ ‫ط‬َ ‫س ال‬
َ ‫يا نا ِع‬

Kau Telah membuatku tak mendengar – dan Aku tak dapat mendengar
karena hatikupun telah tuli.
Wahai engkau yang telah membuatku tak dapat tidur karena terus
merasakan cinta padamu – kutelah bangun disetiap malamku yang
melelahkan untuk menjaga cintaku, maka tidurlah.
Dalam bait ini penyair menuliskan dengan Isti’arah Makniyyah
dalam kalimat qalbu sebagai pengganti kata manusia yang tak
mendengar. Istiarah Makniyyah ini mendatangkan dari hal yang yang
ada dilam kalimat yang dimaksud. Qalb merupakan bagian yang
menjadi bagian penting dari manusia. Tanpa menyebutkan kata Insaan
atau manusia penyair bermaksud untuk menyampaikan bahwa yang
tidak mendengar sebenarnya bukanlah qalb melainkan manusia. Bait ini
menyampaikan bentuk cinta yang sudah sangat berlebihan, meluap,
hingga digambarkan dengan apa yang diberi oleh Tuhan, yaitu
pendengaran, tak mampu mendengarkan hal lain selain keindahan
yang datang dari sang pujaan. Pendengaran itu tak berfungsi, Udzunan
Ghaira Waa’iyah, pemuja itu tak mampu berkata-kata dan merasa
sudah tuli atas semua, selain keindahan atas sang Pujaan. Kemudian
di bait selanjutnya penyair mentasybih dengan mengaitkan
kecintaannya dengan sakit parah, yang membuatnya tak dapat tidur
karena pedihnya sakit yang dirasakan. Tasybih Tamsil dalam
memisalkan wujud cintanya bak penyakit yang membuatnya terus
bangu disetiap malamnya. Menggunakan permisalan dalam
penggambaran cinta kepada pujaannya, gambaran sakit yang parah
sebagaiman cintanya yang sudah sangat melampaui batas.

‫ أَغراكَ باِلبُخ ِل َمن أَغراهُ بِالك ََر ِم‬- ‫ى‬


ً ‫أَفديكَ ِإلفا ً َوال آلو الخَيا َل فِد‬
‫ق ِلل ُح ُل ِم‬ َ ‫ َو ُربَّ فَض ٍل‬- ‫داميا ً فَأَسا‬
ّ ُ‫على الع‬
ِ ‫شا‬ ِ ً ‫ف ُجرحا‬
َ ‫سرى فَصا َد‬
َ
Kuberikan semua perhatianku dan khayalanku padamu – Kutunjukkan
padamu dengan kemurahan hati disaat yang lain mengabaikanmu
dengan kepelitan.
Dalam Perjalananku sakit itu terus menerus ketemui – dan tak ada obat
yang tepat selain bertemu denganmu dimimpi.
Tasybih dalam bait kesembilan, mengumpamakan Khayaal
(Khayalan) dengan Karam (Kehormatan), dan tak ada perhatian
padanya dengan Bukhl (Pelit). Diantara orang yang pelit dan tak
mengabaikan sang pujaan, pemuja menyatakan telah memberikan
semua yang dimilikinya untuk menghormati sang pujaan.
Penghormatan itu digambarkan dengan Khayaal terbayang-bayang
atas dirinya terus menerus. Dalam Bait selanjutnya dengan Majaz
Mursal penyair menyampaikan bahwa penderitaan atas cintanya terus
menerus dirasakan, dan tak ada obat yang tepat pada penderitaan itu
selain bertemu sang pujaan didalam mimpinya. Majaz Mursal atas
hubungan dengan akibat dari apa yang dirasakan. Pemuja merasakan
penderitaan atas cintanya yang meluap pada sang Pujaan, dan bertemu
didalam mimpi menjadi akibat dari sembuhnya penderitaan yang
dirasakan. Berkaitan dengan bait sebelumnya sang penyair
menyampaikan cintanya kepada sang Pujaan dengan menyatakan tak
dapat tidur dengan penderitaan yang terus menerus dirasakan, dan
kemudian dibait selanjutnya Ia mengungkapkan bahwa obat dari
penderitaan tersebut ialah bertemu dengan sang pujaan didalam
mimpinya,
Bait-bait dalam qasidah Nahju Burdah karya imam syauqi
menggambarkan kecintaan terhadap Rasulullah. Dari bait pertama
hingga kesepuluh, cinta itu digambarkan denganpersaan yang telah
berlebihan, terus meluap, membuatnya merasa kesakitan. Sakit
disinipun kalimat yang dipilih secara sifat,bukan membuatnya benar
dalam keadaan tersebut. Melainkan untuk menggambarkan cintanya
yang berlebihan kepada sang Pujaan. Bait- bait selanjutnya dalam puisi
ini terus membahas bagaimana perasaan Ahmad Syauqi atas
kerinduannya kepada Nabi Muhammad SAW.
III. KESIMPULAN

Dalam makalah sederhana ini dapat dijelaskan bahwa Ahmad


Syauqi dalam syairnya Nahju-l-Burdah, mengungkapkan rasa cintanya
kepada Rasulullah dengan perumpamaan – perumpamaan. Rasa cinta
Ahmad Syauqi digambarkan telah meluap-luap dan berlebihan, dalam
penulisannya dari bait pertama hingga sepuluh yang dikupas secara
sederhana oleh penulis dengan cara mengungkapkan metode balaghah
yang ada dalam tulisan indah milik ahmad syauqi. Ungkapan cinta ahmad
syauqi dalam syair syairnya baik secara tasybih, isti’arah, maupun kinayah
dalam bait baitnya memiliki arti yang begitu dalam. Apa yang dituliskan tidak
semuanya dapat dimaknai secara Bahasa tertulis, melainkan perlu
pendalaman makna. Pemilihan kata juga merupakan gambaran dari
kebiasaan orang Arab dan budaya Arab, seperti keindahan yang
digambarkan dengan seekor kijang, hal ini merupakan dalalah atas
kebiasaan arab dalam memandang seekor kijang ataupun rusa. Penulis
berusaha mengupas makna-makna yang terkandung dalam qasidah nahju
burdah dalam bait pertama hingga kesepuluh. Jika kita ungkap dalam bait
bait selanjutnya Syauqi mengungkapkan cintanya dengan berbagai cara
yang indah dalam kata-katanya.

DAFTAR PUSTAKA

Fayyūd, Basyuni Abdul Fattāḥ. 2011a. Ilmu al-Bayān: Dirāsatun Taḥlīliyyatun


li Masā`ili al-Bayān. Al-Qāhirah: Mu`assasatu al-Mukhtār.
Syauqi, Ahmad, 2012. Assyauqiyyat, Al Qahirah, Mu’assasatu Hindawi Li
Ta’lim Wa Ats Tsaqafah.

Anda mungkin juga menyukai