Balaghah
Balaghah
Oleh:
Muhammad Rizqy Nawwari (22/500561/PSA/20178)
Dosen Pengampu:
Dr. Hindun, M.Hum.
ضا
ً ّٰللا َم َر ٌۙ ي قُلُ ْو ِب ِه ْم َّم َر
ُ ض فَزَ ا َدهُ ُم ه ْ ِ فKata Maradh (sakit) dipinjam atas
hubungannya dengan nifaaq (kemunafikan). Keduanya berhubungan
karean keduanya merusak apa yang berhubungan dengannya, maradh
sakit secara badan, nifaaq juga merupakan sakit secara hati. Hubungan
antara kedua kata ini karena keduanya memiliki makna yang serupa.
Dengan demikian, dapat diapahami dari ayat tersebut, sakit yang
dimaksud dari ayat tersebut merupakan kemunafikan, yaitu mereka
yang menyembunyikan kekafirannya, dengan menunjukkan
keislamnannya secara dzahir, Isti’arah berbeda dengan Tasybih,
Tasybih memiliki komponen khusus dalam rukun rukunnya, jika tanpa
menyebut adaatu tasybih atau huruf penyembung sebagai alat tasybih
dan juga bersamaan dengan tidak menyebutkan wajh syibh atau hal
yang diumpakan, maka disebut dengan tasybih baaligh. Tasybih Baaligh
bukanlah Isti’arah.
ً ِسب
يل َ سو ِل َّ ع َل ٰى يَ َد ْي ِه يَقُو ُل يَا َل ْيتَنِي اتَّ َخ ْذتُ َم َع
ُ الر َّ ض ال
َ ظا ِل ُم ُّ ََويَ ْو َم يَع
II. PEMBAHASAN
Ahmad Syauqi merupakan sastrawan Arab yang mendapat
julukan Amiruu-Syu’araa atau pengeran para sastrawan, karyanya yang
fenomenal membuatnya masyhur dalam bidang sastra. (Juwariyah,
2007: 4)) Karya Ahmad Syauqi yang juga terkenal yaitu pujiannya
terhadap Nabi Muhammad SAW, dalam bait bait puisinya Nahju-l-
Burdah. Nahju burdah juga merupakan turunan dari apa yang
disampaikan pendahulunya Imam Al Bushiri dan Kaab, yang juga
menuliskan Qasidah Burdah yang masyhur, kemudia syauqi memberi
judul tulisannya ini dengan burdah juga sebagai bentuk ke-
tawadhuannya atas pendahulunya. Ekspresi Ahmad Syauqi dituliskan
dalam puisi ini, atas perasaan hatinya yang merindukan dan mencintai
Nabi Muhammad SAW.
َ أَ َح َّل- البان َوال َع َل ِم
سفكَ َدمي في األَش ُه ِر ال ُح ُر ِم ِ َالقاع بَين
ِ على
َ ريم
ِ َالقاع أ
درك ساكِنَ األ َ َج ِم ِ َ ََرمى القَضا ُء ِب َعينَي ُجؤذَ ٍر أ
َ يا ساكِن- ًسدا
ب ُرمي
ِ هم ال ُمصي
ِ سَ يا َوي َح َجنبِكَ بِال- ًَفس قائِ َلة
ُ لَم ّا َرنا َح َّدثَتني الن
َير ذي أَ َل ِم
ُ ح األ َ ِحبَّ ِة ِعندي غ
ُ ُجر- هم في َكبِدي
َ سَ َج َحدتُها َو َكتَمتُ ال
Ketika akus terus melihatnya dan kutemui diriku telah mati terbunuh –
tertusuk dengan anak panah yang mengenai (hati) ku.
Aku sudah menepisnya dan menyembunyikan panah itu dihatiku –
Bagiku, luka dalam perasaan cinta tidak mempunyai rasa sakit.
Dalam Bait Ketika Tasybih kalimat sahmu-l-qaatil (busur panah
yang membunuh), menggambarkan penglihatan. Seperti yang
dirasakan penyair, bahwa apa yang dilihatnya dari pujaannya, sudah
menusuk dalam penglihatannya. seperti tanpa sadar bahwa dirinya
telah mati karena tertusuk panah yang tertusuk dihatinya. Hati yang
sudah tertusuk dan cinta itu tidak bisa keluar kembali. Dipilihnya Hati,
karena hati merupakan organ tubuh yang sulit untuk diobati, sehingga
jika ia sudah tertusuk tidak mungkin selamat. Dibait ke-empat, penyair
menggambarkan dengan majaz mursal pada penderitaan yang tidak
dirasakannya, meski ia terluka, karena kekuatan cinta kepada
pujaannya. . Namun sebagaimana seseorang yang menyembunyikan
lukanya, bak tanpa rasa sakit. Dia yakin bahwa sakit yang dirasakan
dari apa yang dicinta tidak akan berpengaruh apapun pada dirinya dan
hatinya, terlepas dari rasa sakit dan penderitaannya, cinta kepada
kekasih ini, yang sebanding keindahan dari apa yang dipujinya. Majaz
mursal pada bait ini dikarenakan hubungan sebab akibat. Alaqah
sababiyyah.
Kau telah membenarkan dari Tuhan apa yang ada di dalam diri
manusia.- Jika engkau adalah orang yang mencari alasan untuk dosa
orang lain.
Wahai engkau yang menyalahkanku atas cinta ini, sebab cinta adalah
takdir – Jika kau salahkan wujud cintaku padamu, itu takkan membuatku
terjatuh.
Pada Bait ke-lima, Kinayah atas sifat, sebagaimana penyair
mensifati pujaannya dengan sifat terbaik. Akhlak terpuji digambarkan
pemberian Tuhan yang ada pada didalam diri manusia, yang dimiliki
seorang Rasulullah, bahkan Beliau akan berdoa kepada Allah dan
memohon ampunan dan memberikan pertolongan pada umat-Nya di
hati kiamat atas dosa-dosanya, dan bait ke-enam, majaz mursal
penyair menggunakan majaz mursal wa alaqatihi musabbabiyah, yakni
majaz mursal dan hubungannya pada akibat dari sebab yang ada.
Penyair mengungkapkan cintanya yang meluap-luap pada Rasulullah,
dan ia mempertanyakan kepada orang orang yang menyalahkan
cintanya kepada Nabi Muhammad SAW. Majaz Mursal dalam hal ini
menggambarkan bahwa celaan padanya adalah akibat dari
kecintaannya yang meluap pada Rasulullah.
Kau Telah membuatku tak mendengar – dan Aku tak dapat mendengar
karena hatikupun telah tuli.
Wahai engkau yang telah membuatku tak dapat tidur karena terus
merasakan cinta padamu – kutelah bangun disetiap malamku yang
melelahkan untuk menjaga cintaku, maka tidurlah.
Dalam bait ini penyair menuliskan dengan Isti’arah Makniyyah
dalam kalimat qalbu sebagai pengganti kata manusia yang tak
mendengar. Istiarah Makniyyah ini mendatangkan dari hal yang yang
ada dilam kalimat yang dimaksud. Qalb merupakan bagian yang
menjadi bagian penting dari manusia. Tanpa menyebutkan kata Insaan
atau manusia penyair bermaksud untuk menyampaikan bahwa yang
tidak mendengar sebenarnya bukanlah qalb melainkan manusia. Bait ini
menyampaikan bentuk cinta yang sudah sangat berlebihan, meluap,
hingga digambarkan dengan apa yang diberi oleh Tuhan, yaitu
pendengaran, tak mampu mendengarkan hal lain selain keindahan
yang datang dari sang pujaan. Pendengaran itu tak berfungsi, Udzunan
Ghaira Waa’iyah, pemuja itu tak mampu berkata-kata dan merasa
sudah tuli atas semua, selain keindahan atas sang Pujaan. Kemudian
di bait selanjutnya penyair mentasybih dengan mengaitkan
kecintaannya dengan sakit parah, yang membuatnya tak dapat tidur
karena pedihnya sakit yang dirasakan. Tasybih Tamsil dalam
memisalkan wujud cintanya bak penyakit yang membuatnya terus
bangu disetiap malamnya. Menggunakan permisalan dalam
penggambaran cinta kepada pujaannya, gambaran sakit yang parah
sebagaiman cintanya yang sudah sangat melampaui batas.
DAFTAR PUSTAKA