Anda di halaman 1dari 23

WAKTU PELAKSANAAN ZAKAT

A.      Waktu Pelaksanaan Zakat Fitrah


Waktu zakat fitrah ialah sewaktu terbenam matahari pada malam hari raya. Meskipun
demikian, tidak ada halangan bila dibayar sebelumnya, asalkan dalam bulan Ramadhan. Ada
beberapa perbedaan mengenai waktu pengeluaran zakat fitrah.
a.       Menurut Hanafi
Tidak ada batas awal dan batas akhir untuk mengeluarkan zakat fitrah, maksimal 1 Syawal.
b.      Menurut Maliki
Sejak dua hari sebelum hari raya sampai terbenam matahari 1 Syawal.
c.       Menurut Syafi’i
Sejak hari pertama Ramadhan sampai terbenamnya matahari 1 Syawal.
d.      Menurut Hanbali
Dua hari sebelum hari raya idul fitri.

Berikut ini merupakan beberapa waktu dan hukum membayar zakat fitrah pada waktu
itu.[1]
a.       Waktu yang diperbolehkan, yaitu dari awal Ramadhan sampai hari penghabisan Ramadhan.
b.      Waktu wajib, yaitu mulai terbenam matahari penghabisan Ramadhan.
c.       Waktu yang lebih baik (sunnah),  yaitu dibayar sesudah shalat subuh sebelum shalat hari
raya.
d.      Waktu makruh, yaitu membayar zakat fitrah setelah shalat ied, tetapi sebelum terbenam
matahari pada hari raya.
e.       Waktu haram, yaitu waktu yang dilarang untuk menunda-nunda pembayaran zakat fitrah,
yaitu akhir hari raya idul fitri ketika matahari telah terbenam. Hal itu diharamkan karena
tujuan dari zakat fitrah adalah untuk mencukupi kebutuhan golongan mustahiq zakat pada hai
idul fitri, karena hari itu adalah hari gembira ria.
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus apakah seseorang wajib menunaikan zakat
fitrah atau tidak.
a.       Bila seseorang meninggal dunia sebelum tenggelam matahari dihari ke-30 Ramadhan, maka
ia tidak diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. Namun bila dia meninggal dunia setelah
tenggelamnya matahari dihari itu maka diewajibkan baginya membayar zakat fitrah.
b.      Bila lahir seorang bayi sebelum tenggelamnya matahari dihari ke-30 Ramadhan, maka wajib
dikeluarkan zakat fitri baginya. Namun jika lahir setelah tenggelamnya matahari pada hari
itu, maka tidak diwajibkan membayar zakat fitrah.

B.       Waktu Pelaksanaan Zakat Maal


Diwajibkan membayar zakat segera, setelah datang saat wajibnya. Dan haram
menangguhkan dari saat tersebut, kecuali jika tak mungkin, maka boleh mengundurkan
pembayaran sampai ada kesempatan.[2]
Dasarnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dari “Uqbah bin
Harits, katanya: “Saya bershalat ‘ashar bersama Rasulullah saw. tatkala selesai memberi
salam, Nabi segera berdiri dan pergi mendapatkan isteri-isteri beliau, lalu keluar kembali.
Tampak oleh Nabi wajah orang-orang itu keseranan karena lekas kembalinya, maka beliau
bersabda:
َ ‫ت َأ ْن يُّ ْم ِس َى اَ ْويضبشي‬
،‫ْت ِع ْن َدنَا‬ ُ ‫ فَ َك ِر ْه‬،‫ًاع ْن َد نَا‬ َّ ‫ت َواَ نَافِى ال‬
ِ ‫صاَل ِة تِ ْبر‬ ُ ْ‫َذ َكر‬
ُ ْ‫فََأ َمر‬.
‫ت بِقِ ْس َمتِ ِه‬
“Diwaktu shalat, saya terinat bahwa pada kami ada emas, maka saya tak ingin ia
tersimpan pada kami sampai sore atau malam, maka saya suruh membagi-bagikannya.”
Harta benda yang dikenakan wajib zakat itu tidak semuanya disyaratkan cukup haul,
karena ada harta benda yang walaupun baru didapatkan hasilnya, tapi sudah wajib zakat
misalnya tanaman, barang logam yang ditemukan dari galian. Harta-harta yang jumlahnya
cukup senishab dan harus pula cukup haul adalah seperti binatang ternak, harta perniagaan,
emas dan perak.
Berikut adalah jenis harta yang wajib dizakatkan.
1.      Zakat Nuqud (Emas Dan Perak)
Perhiasan wajib dizakati jika telah mencapai haul (satu tahun penuh) dan nishab. Jika
perhiasan tersebut dipakai oleh istri atau anaknya yang masih kecil atau dengan maksud
disimpan, maka perhiasan tersebut wajib dizakati.[3]
Nishab emas adalah 20 misqal, yaitu sama dengan 85 gram. Sedangkan nishab perak
sebesar 200 dirham, yaitu sama dengan 624 gram.[4]

2.      Zakat Uang Kertas


Uang kertas belum pernah ada pada zaman Nabi, yang ada pada waktu itu adalah emas
dan perak. Nishab emas yng wajib dizakati adalah dua puluh dinar. Sementara nishab perak
yang wajib dizakati adalah dua rarus dirham. Sementara jumlah zakat yang wajib dikeluarkan
zakat adalah 2,5%. Para ulama berbeda pendapat tenang cara menghitung batas minimal uang
yang wajib dizakati. Sebagian ulama menyatakan dihitung berdasarkna jumlah nishab
terendah antara perak dan emas. Karena itulah yang lebih mengntungkan bagi kaum fakir
miskin. Ada juga sebagian ulama mengatakan dihitung berdasarkan nishab emas, karena
emas adalah hasil dari mata uang.
Sementara lembaga pengkajian islam memilih pembatasan nishab berdasarkan nishab
emas, karena jauh lebih stabil. Jika uang yang dimiliki seseorang sudah mencapai harga 20
dinar emas, maka telah mencapai nishabnya dan telah memiliki jumlah yang ditetapkan untuk
dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai haul yakni sekali putaran dalam satu tahun. Karena
satu dinar emas sama nilainya dengan 4,25 gram emas, maka jumlah nishab yang harus
dikeluarkan zakatnya adalah: 20 × 4,25 = 85 gram emas.[5]
Berdasarkan ketetapan ini, apabila uang seseorag telah mencapai nilai tersebut, berarti
telah mencapai nishab dan wajib dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai haul atau bertahan
selama satu tahun penuh. Berarti jalas bahwa ukuran nishab itu bisa berubah-ubah sesuai
dengan perubahan harga emas.[6]

3.      Zakat Peternakan


Waktu pelaksanaan zakat untuk hewan ternak adalah ketika telah dimiliki selama satu
tahun penuh.[7]
Sebagaimana diterangkan dalam hadis Abu Dawud:
‫ُول َعلَ ْي ِه ْال َحوْ ُل‬ ِ ‫الَ َزكاَةَفِي ْال َم‬
َ ‫ال َحتَّى يَح‬
“Tidak ada zakat pada harta sampai ia mencapai satu haul.”
Terpenuhinya satu tahun (haul) merupakan syarat yang sangat adil. Seandainya
diwajibkan zakat dalam rentang waktu yang sangat singkat, satu bulan misalnya, niscaya hal
itu sangat memberatkan pemilik harta. Sedangkan jika diwajibkan zakat sekali dalam seumur
hidup, maka hal itu kan sangat memberatkan orang-orang miskin. Oleh karena itu,
diwajibkan setiap tahun adalah syarat yang adil baik bagi pemilik harta ataupun bagi orang-
orang yang membutuhkan.
Selain telah mencapai satu tahun penuh, pelaksanaan zakat dilakukan apabila telah
mencapai nishab.

4.      Zakat Rikaz dan Barang Tambang


Rikaz adalah emas atau perak yang ditanam kaum jahiliyah. Apabila kita mendapatkan
emas atau perak, yang ditanam oleh kaum jahiliyah itu, wajib kita mengeluarkan zakat
sebanyak 1/5 (20%).
Sabda Rasulullah Saw.:
)‫ (رواه البخارى مسلم‬. ُ‫صلَّى ا هللُ عَل ْي ِه َو َسلَّ َم َوفِى ا لرِّ َكا ِز ْال ُخ ُمس‬
َ ِ‫ع َْن اَ بِى هُ َر ْي َرةَ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬
Dari Abu Hurairah, “Rasulullah Saw telah bersabda, ‘Zakat rikaz itu seperlima’.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Namun dalam hadis ini tidak disebutkan ketentuan tentang nisab dan haulnya. Sedangkan
yang berkenaan dengan barang tambang terdapat dalam hadis dari Bilal ibn Haris menurut
riwayat Abu daud yang bunyinya:
‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أخذ من المعدن القبلية الصدقة‬
“Sesungguhnya Rasul Allah SAW mengambil shadaqah (zakat) dari ma’din qabaliyah.”
Namun dalam hadis ini tidak dijelaskan ketentuan tentang nisab, haul, dan kadar yang
diwajibkan untuk dizakatkan sehingga ulama ada yang menyamakannya dengan rikaz dan
ada yang menyamakannya dengan emas dan perak.[8]
Rikaz tidak disyariatkan sampai satu tahun. Tetapi bila didapat, wajib dikeluarkan
zakatnya pada waktu itu juga. Adapun nishabnya, sebagian ulama berpendapat bahwa
disyaratkan sampai satu nishab. Pendapat ini menurut mazhab Syafi’i. Menurut pendapat
yang lain, seperti pendapat Imam Maliki, Imam Abu Hanifah Serta Imam Ahmad dan
pengikut-pengikut merek, nishab itu tidak menjadi syarat.[9]

5.      Zakat Pertanian


Zakat pertanian berupa palawija, buah-buahan dan biji-bijian. Kadar zakat pertanian
adalah 10% jika diairi dengan air sungai atau air hujan. Sedangkan yang mengeluarkan biaya
atau menggunakan irigasi maka kadar zakatnya 5%. Kewajiban dikeluarkannya zakat pada
zakat pertanian adalah ketika sudah panen.[10]
Walaupun secara umum kewajiban zakat atas harta bila tlah dimiliki satu haul, namun
untuk hasil pertanian kewajiban mengeluarkan zakat ini adalah waktu panen. Dengan
demikian tidak perlu menunggu sampai satu haul.[11]

6.      Zakat Perniagaan


Harta perniagaan wajib dizakati, dengan syarat-syarat seperti pada zakat emas dan perak.
Sabda Rasuluuah Saw.:
َ ‫فِى ْالبَ ِّز‬
)‫ (رواه الحاكم‬.‫ص َدقَتُهَا‬
“Kain-kain yang disediakan untuk dijual, wajib dikeluarkan zakatnya.” (Riwayat Hakim)
Tahun perniagaan dihitung mulai berniaga. Pada tiap-tiap akhir tahun perniagaan
dihitunglah harta perniagaan itu; apabila cukup satu nishab, maka wajib dibayarkan zakatnya,
meskipun di pangkal tahun atau di tengah tahun tidak cukup satu nishab. Sebaliknya kalau di
pangkal tahun cukup satu nishab, tetapi karena rugi di akhir tahun tidak cukup lagi satu
nishab, tidak wajib zakat. Jadi, perhitungan akhir tahun perniagaan itulah yang menjadi
ukuran sampai atau tidaknya satu nishab.[12]
7.      Zakat Profesi
Zakat profesi mengambil rujukan zakat tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Berikut adalah
perbedaan pendapat ulama mengenai waktu pengeluaran dari zakat profesi.
a.       Pendapat Asy-Syafi’i dan Ahmad mensyaratkan haul terhitung dari kekayaan itu didapat.
b.      Penddapat Abu Hanifah, Malik, dan ulama modern seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul
Wahab Khalaf mensyaratkan haul, tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu
diperoleh,kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan jika sudah sampai
nishabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
c.       Pendapat ulama modern seperti Yusuf Qadhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat
dikeluarkan langsung ketika mendapaikan harta tersebut.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Perhitungan waktu pengeluaran zakat mengikuti perhitungan islam, yaitu perhitungan
Hijriyah, bukan perhitungan  Masehi. Waktu pelaksanaan zakat fitrah adalah sewaktu
terbenamnya matahari pada malam hari raya sampai sebelum shalat idul fitri. Ada beberapa
waktu dan hukum mengeluarkan zakat fitrah, diantaranya waktu diperbolehkan, waktu wajib,
waktu utama, waktu makruh dan waktu haram.
Kewajiban mengeluarkan zakat nuqud (emas dan perak) adalah apabila telah
mencapai nishap dan telah mencapai haul (satu tahu penuh). Sedangkan zakat pertanian
dikeluarkan apabila telah mencapai nishab dan telah panen. Sedangkan zakat peternakan dan
perniagaan dikeluarkan apabila telah mencapai nishab dan telah mencapai haul. Sedangkan
zakat rikaz dan barang tambang dikeluarkan pada saat menemukan harta tersebut. Sebagian
ulama berpandapat bahwa zakat profesi dikeluarkan setelah mencapai haul, tetapi ada juga
yang berpendapat bahwa zakat profesi dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh Ibadah.
Jakarta:Amzah
Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shahwi. 2004. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Darul Haq
Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana.
Saleh Al-Fauzan. 2006. Fiqh Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani
Sayyid Sabiq. 1978. Fikih Sunnah 3. Bandung:PT Alma’arif
Sulaiman Rasjid. 2010. Fiqh Islam.Bandung: Sinar Baru Algensindo
Asmaji Muchtar. 2014. Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi’i. Jakarta. Amzah

[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h. 209
[2]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah3, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1978), h. 30
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam Dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Ibadah, (Jakarta: Amzah,2009), h.362
[4] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2010), h. 202
[5] Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Syariah,
(Jakarta: Darul Haq, 2004), h.458
[6] Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Syariah,
(Jakarta: Darul Haq, 2004), h.459
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam Dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009), h.352
[8] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), h.47
[9] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h. 206
[10] Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 261
[11] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), h.
[12] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2010), h. 197

BAB II
PEMBAHASAN
A.    WAKTU WAJIB ZAKAT DAN PELAKSANAAN ZAKAT
1.      Waktu Wajib Zakat
Para fuqaha sepakat bahwa zakat wajib dikeluarkan segera setelah terpenuhi syarat-
syaratnya, baik nisab, hawl, maupun yang lainnya. Pendapat ini difatwakan oleh mazhab
Hanafi. Dengan demikian, barang siapa yang berkewajiban mengeluarkan zakat dan mampu
mengeluarkannya, dia tidak boleh menangguhkannya. Dia akan berdosa jika mengakhirkan
pengeluaran zakatnya tanpa ada uzur. Lebih dari itu, menurut mazhab Hanafi, kesaksiannya
tidak akan diterima karena zakat merupakan hak yang wajib diserahkan kepada manusia. Ia
mesti dibayarkan dan diperintahkan untuk diberikan kepada kaum fakir dan yang lainnya
dengan segera sebab zakat dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena
itu, jika zakat tidak wajib dikeluarkan dengan segera, maksud pewajiban itu tidak sempurna.
1
[1]
Zakat wajib segera dikeluarkan ketika sudah terpenuhi syarat-syaratnya.
Mengakhirkannya dari waktu wajib adalah haram, kecuali jika seseorang tidak mungkin
membayarnya pada waktu tersebut. Ketika ia mengalami hal tersebut, ia boleh
mengakhirkannya sampai sempat membayarnya. 2[2] Seperti dalam hadist :
“Tidaklah zakat itu bercampur dengan harta (selain harta zakat) kecuali merusaknya. ” (HR.
Bazzar, Baihaqi, Ahmad, Nasa’i, dan Abu Daud).
Zakat hukumnya wajib, dan apabila zakat tersebut telah memenuhi syarat serta ketentuan-
ketentuan lainnya, kemudian yang berkewajiban mengeluarkan zakat telah mampu, maka
waktu wajib zakat itu disegerakan pelaksanaannya tanpa menangguhkannya atau
menundanya. Apabila seseorang mengakhirkan pengeluaran zakatnya padahal telah mampu,
dia akan menanggungnya. Alasannya, karena dia mengakhirkan sesuatu yang wajib
dikeluarkan ketika dia mampu menyegerakannya.
Zakat dikeluarkan setelah dia diwajibkan dengan adanya hawl, atau harta tersebut harta
yang baik (thayyib), atau telah ada ditangan. Dengan demikian, jika zakat dikeluarkan
sebelum waktu wajibnya tiba, zakat tersebut tidak sahih. Dan mengakhirkan zakat sesudah
waktu wajibnya tiba, padahal ada kemampuan untuk mengeluarkannya secara cepat menjadi
sebab adanya tanggungan. Dan hal itu merupakan suatu kemaksiatan.
Waktu wajib zakat atau waktu yang khusus ialah sempurnanya kepemilikan selama
setahun (hawl), baik dalam binatang ternak, uang, maupun barang dagangan, yakni sewaktu
dituainya biji-bijian, dipetiknya buah-buahan, dikumpulkannya madu, atau digalinya barang
tambang, yang semuanya wajib dizakati. Maksud lain dari waktu yang khusus ialah sewaktu
terbenamnya matahari pada malam hari raya karena pada saat itu diwajibkan zakat fitrah. 3[3]

2.      Hawl ( Kepemilikan Harta yang Mencapai Setahun)


Zakat dikeluarkan setelah diwajibkan dengan adanya hawl atau kepemilikan hartanya telah
mencapai setahun. Dalam hadist Nabi Saw. :
‫ُول َعلَ ْي ِه ْال َحوْ ُل‬
َ ‫ْس فِي َما ٍل زَ َكاةٌ َحتَّى يَح‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ ‫ال لَي‬ َ ‫ع َْن النَّبِ ِّي‬

3
Diriwayatkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Tidak ada
zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya”. (HR. Abu Daud no. 1571 dan
dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud 1/346).
Demikian pula dalam hadis Nabi Muhammad Saw. Berikut :
‫ُول َعلَ ْي ِه ْال َحوْ ُل‬ ِ ‫الَزَكاَةَفِي ْال َم‬
َ ‫ال َحتَّى يَح‬
Artinya : “Tidak ada zakat dalam suatu harta sampai umur kepemilikannya mencapai
setahun”.
Pendapat di atas juga berdasarkan ijma’ para tabi’in dan fuqaha. Tahun yang dihitung
adalah tahun qamariyah (Muharram, Shafar, Rabiu’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal,
Jumadi Akhir, Rajab, Syaban, Ramadhan, Syawal, Zulqaidah, Zulhijjah), bukan dengan tahun
syamsiyah. Pendapat ini disepakati.
Mengenai tercapainya masa setahun ini, para fuqaha memiliki beberapa pendapat yang
saling mendekati.
a.      Menurut mazhab Hanafi
Nisab disyaratkan harus sempurna antar dua sisi tahun, baik pada pertengahan tahun
tersebut terdapat bulan yang nisab hartanya sempurna maupun tidak. Dengan demikian,
apabila seseorang memiliki harta yang telah mencapai nisab pada permulaan tahun, kemudian
harta tersebut tetap utuh sampai berakhirnya tahun tersebut, dia wajib mengeluarkan
zakatnya. Dengan catatan bahwa selama setahun tersebut, harta tersebut tidak mengalami
penyusutan secara penuh, apalagi lenyap semuanya. Zakat juga diwajibkan ketika harta
tersebut berkurang pada pertengahan tahun tetapi kemudian utuh kembali pada akhir tahun.
Atas dasar ini, berkurangnya harta pada pertengahan tahun tidak berpengaruh jika pada awal
dan akhirnya utuh kembali.
Harta yang dimanfaatkan, meskipun berupa hibah atau warisan pada pertengahan tahun
dipandang sebagai harta asli. Ia wajib dikeluarkan zakatnya karena pemeliharaan terhadap
harta yang dimanfaatkan tersebut dan pencocokan tahunya sulit dilakukan, apalagi jika harta
yang telah mencapai nisab itu berupa beberapa dirham yang setiap harinya diambil satu atau
dua dirham. Pada dasarnya, hawl disyaratkan sebagai kemudahan untuk orang yang
mengeluarkan zakat.
Hawl dijadikan sebagai syarat dalam zakat, selain zakat tanaman dan buah-buahan.
Adapun untuk kedua hal tersebut, zakatnya diwajibkan pada setiap munculnya buah-buahan
selama aman dari pembusukan dan sudah bisa dimanfaatkan meskipun belum dipanen.
b.      Menurut mazhab Maliki
Tibanya masa setahun menjadi syarat untuk zakat emas, perak, perdagangan, dan
binatang ternak. Tetapi, ia tidak menjadi syarat untuk zakat barang tambang, barang temuan,
harts (tanaman biji-bijian dan tanaman yang menghasilkan minyak nabati). Harta-harta yang
disebutkan terakhir ini hanya disyaratkan agar berupa harta-harta yang baik kendatipun tidak
mencapai setahun.
Adapun harta yang dimanfaatkan selama perjalanan masa setahun, padahal harta tersebut
berupa hibah, warisan, jual-beli, atau yang lainnya, maka zakat tidak wajib sampai mencapai
masa setahun. Akan tetapi, jika harta yang dimanfaatkan tersebut menghasilkan laba atau
diperdagangkan, harta yang asli yang telah mencapai setahun itu wajib dizakati, baik harta
yang asli tersebut telah mencapai nisab maupun belum, dan baru mencapai nisab setelah
mendapatkan keuntungan karena keuntungan harta termasuk bagian harta yang asli.
Dengan demikian, jika jumlah nisab emas atau perak berkurang pada waktu perjalanan
setahun, kemudian keduanya mengalami keuntungan, keduanya wajib dizakati. Kesimpulan
yang prinsip dalam hal ini adalah, menurut mazhab Maliki, bahwa keuntungan yang
mencapai masa setahun berarti harta yang asli itu sendiri yang mencapai masa setahun.
Begitu juga keturunan binatang ternak yang telah mencapai masa setahun berarti induk-
induknya itu sendiri yang mencapai masa setahun.
Untuk zakat binatang ternak, juga disyaratkan agar binatang tersebut telah berada di
tempat pemiliknya. Dengan demikian, jika binatang itu belum ada di tempat pemiliknya, ia
belum wajib mengeluarkan zakat dari binatang tersebut.
c.       Menurut mazhab Syafi’i
Seperti halnya mazhab Maliki, sampainya masa setahun (hawl) menjadi syarat dalam
zakat uang, perdagangan dan binatang. Tetapi dia tidak menjadi syarat bagi zakat buah-
buahan, tanaman, barang tambang, dan barang temuan.
Masa setahun yang sempurna yang berturut-turut juga menjadi syarat dalam zakat.
Dengan demikian, jika harta yang telah mencapai nisab dan berkurang pada masa perjalanan
setahun, kendatipun sebentar, zakat tidak wajib, kecuali keturunan binatang ternak. Mengenai
sampainya masa setahun, keturunan binatang ternak mengikuti induknya. Begitu juga
termasuk yang dikecualikan ialah laba perdagangan. Laba perdagangan dizakati sesuai
dengan masa setahun penanaman modal yang telah mencapai nisab.
Atas dasar ini, apabila harta yang telah dimiliki itu berkurang pada masa setahun, baik
dengan proses tukar-menukar maupun yang lainnya, seperti jual-beli dan hibah, maka masa
hawlnya dimulai lagi. Apabila harta telah mencapai nisab secara utuh pada awal hawl,
kemudian pada pertengahannya mengalami kekurangan dan setelah itu baru bisa utuh
kembali, zakat tidak wajib, kecuali dengan lewatnya masa setahun yang sempurna dari hari
yang sempurna pula.
Adapun harta yang selama perjalanan hawl dimanfaatkan dengan diperjual-belikan,
hibah, warisan, wakaf, atau pemanfaatan lainnya yang bukan dari harta itu sendiri, maka
baginya berlaku hawl yang baru yang tidak terikat dengan harta yang asli, yakni sebagaimana
yang telah penulis jelaskan mengenai keturunan binatang ternak atau laba perdagangan.
Dengan demikian, untuk harta di atas, hawl-nya dimulai dari awal karena kepemilikan
terhadap harta tersebut mengalami pembaruan. Dan untuk menghitung hawl, harta tadi tidak
boleh digabungkan dengan harta yang telah dimiliki sebelumnya.
Menghilangkan harta yang wajib dizakati, dengan tujuan untuk menghindar dari
kewajiban zakat, hukumnya makruh. Bahkan, menurut pendapat yang penganutnya lebih
banyak, hukumnya haram sebab tindakan tersebut berarti melarikan diri dari qurbah.
d.      Menurut mazhab Hanbali
Tibanya masa hawl menjadi syarat dalam zakat emas, perak, binatang ternak, dan barang
dagangan, sedangkan dalam zakat harta selainnya, seperti buah-buahan, tanaman, barang
tambang, barang temuan, hawl tidak menjadi syarat. Menurut pendapat yang diakui
kebenarannya. , sampai nisab harta yang dizakati harus selalu ada sepanjang satu tahun.
Kekurangan yang sedikit tidak memberikan pengaruh apa pun. Seperti setengah hari atau
beberapa jam.
Dengan demikian, seandainya nisab berkurang pada pertengahan hawl, hawl yang baru
wajib dimulai kecuali dalam harta yang berupa keturunan binatang ternak dan laba
perdagangan. Kedua harta yang disebutkan terakhir ini termasuk harta aslinya karena
keturunan binatang ternak mengikuti induknya dan lahir darinya, dan laba perdagangan
bertambah banyak dan berulang pada beberapa hari dan jam sehingga sulit diketahui, seperti
keturunan binatang ternak. Adakalanya, keturunan itu lahir tanpa diketahui. Oleh karena itu,
kesulitan dalam hal ini lebih sempurna karena sering terulang.
Adapun harta yang selama hawl yang dimanfaatkan dengan cara jual beli, hibah, warisan,
penyempatan, atau yang lainnya, maka hawl-nya tidak terikat dengan harta yang asli.
Zakatnya tidak wajib dikeluarkan kecuali setelah lewat masa setahun yang sempurna karena
harta tersebut jarang dan tidak berulang. Oleh karena itu, pencocokan hawl tidak akan
mengalami kesulitan. Kendatipun kesulitan itu ada, berada di bawah kesulitan yang terdapat
dalam zakat binatang ternak dan laba perdagangan.
Kesimpulannya ialah bahwa sampainya masa hawl merupakan syarat yang disepakati.
Keturunan binatang ternak, laba, dan perdagangan dipandang termasuk harta asli yang telah
mencapai nisab. Ini pun disepakati. Adapun harta yang dimanfaatkan selama perjalanan
masa hawl, selain harta berupa keturunan binatang dan laba perdagangan, dipandang
termasuk harta asli. Harta tersebut, menurut mazhab Hanafi, wajib dizakati bersamaan
dengan harta yang asli. Hal ini dimaksudkan sebagai kemudahan untuk muzakki (orang yang
mengeluarkan zakat) dan untuk menghindari kesulitan yang akan timbul darinya, sebab
menghitung masa hawl untuk setiap harta yang dimanfaatkan merupakan kesulitan. Hawl
tidak dijadikan sebagai syarat kecuali untuk kemudahan manusia dalam mengeluarkan zakat.
Jumhur berpendapat bahwa hawl yang baru harus dihitung untuk setiap harta yang
dimanfaatkan karena tindakan seperti ini lebih menimbulkan keadilan. Lebih-lebih,
kepemilikan terhadap harta itu adalah baru. Dengan demikian, hawl disyaratkan seperti
halnya harta yang dimanfaatkan selain jenis harta asli yang telah mencapai nisab.4[4]
Pendapat empat mazhab tersebut pada dasarnya memiliki persamaan dan perbedaan
kesepakatan. Persamaan terletak pada kesepakatan bahwa, tibanya masa setahun (hawl)
menjadi syarat untuk zakat emas, perak, uang, perdagangan, dan binatang ternak. Tetapi dia
tidak menjadi syarat bagi zakat buah-buahan, tanaman, barang tambang, dan barang temuan.
Harta-harta yang disebutkan terakhir ini hanya disyaratkan agar berupa harta-harta yang baik
kendatipun tidak mencapai setahun. Sedangkan perbedaan kesepakatan terdapat pada
pembahasan mengenai penentuan waktu hawl untuk mengeluarkan zakat emas, perak, uang,
perdagangan, dan binatang ternak.
Apabila sabagian barang senisab itu rusak atau dirusak sebelum genap setahun, maka
hitungan hawl-nya gugur. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Sementara itu, Maliki dan
Hanbali berpendapat, jika perusakannya dimaksudkan untuk menhindari kewajiban zakat,
maka hitungan hawl-nya tidak gugur dan tetap wajib dikeluarkan zakatnya kalau sudah genap
satu tahun. Sedangkan harta kekayaan yang dirampas, dihilangkan, dan digelapkan orang
lain, jika dikembalikan dalam jumlah yang sama dan telah genap satu tahun, menurut Syafi’i
mempunyai dua pendapat. Pertama, dalam qaul jadid dan yang paling kuat adalah wajib.
Kedua, dalam qaul qadim dimulai lagi perhitungan hawl sejak barang itu dikembalikan, dan
utuk masa yang telah lalu tidak dikenai zakat. Pendapat kedua ini juga dianut Hanafi beserta
para sahabatnya dan sesuai dengan pendapat Hanbali dalam salah satu riwayatnya. Menurut
Maliki, jika brang itu dikembalikan kepadanya, hendaklah dizakati untuk satu tahun saja.5[5]
4

5
3.        Harta Yang Tidak Disyaratkan Hawl
Ada harta zakat yang tidak disyaratkan sempurna setahun , yaitu:
a.       Al-Mu’asyar yaitu harta yang diwajibkan padanya 10 % pada suatu pertanian yang
mendapat siraman air tanpa menggunakan alat, misalnya kincir air. Atau 5 % untuk pertanian
yang mendapatkan siraman air dengn bantuan alat atau dengan air yang dibeli 6[6]. Ini zakat
pada hasil pertanian dan perkebunan, karena zakat ini diwajibkan ketika panen walaupun
belum sampai setahun. Ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
َ ‫ُكلُوا ِم ْن ثَ َم ِر ِه ِإ َذا َأ ْث َم َر َوآتُو̃ا َحقَّهُ يَوْ َم َح‬
‫صا ِد ِه‬
Artinya : “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)”.
(al-‘An’am/6:141).
b.      Anak hewan ternak karena hawl (ukuran setahun) bagi anak-anak hewan ternak itu
mengikuti hitungan hawl induknya. Anak hewan ternak ini dihitung dalam zakat walaupun
belum mencapai usia setahun apabila induknya telah mencapai nishab.
Contohnya: seseorang memiliki 40 ekor kambing. Lalu dalam setahun, masing-masing
kambing tersebut melahirkan 2 ekor kecuali seekor saja yang melahirkan 3 ekor. Dengan
demikian, jumlah keseluruhannya adalah 121 ekor yang terdiri dari 40 ekor induk ditambah
81 ekor anak kambing. Berarti zakat yang harus dikeluarkan adalah dua ekor kambing,
walaupun 81 kambing tersebut belum genap satu tahun.
Contoh lain : seorang memiliki 120 ekor kambing, seharusnya zakat yang wajib
dikeluarkan adalah 2 ekor kambing, namun sebulan sebelum sempurna hawlnya, lahir 100
ekor kambing sehingga di akhir tahun (waktu sempurnanya haul) berjumlah 220 ekor. Dalam
hal ini ia wajib mengeluarkan 3 ekor kambing walaupun yang 100 ekor belum mencapai usia
setahun.
Apabila induk-induknya belum mencapai nishab, lalu induk-induk itu melahirkan anak-
anaknya sehingga mencapai nisab. Saat mencapai nisab itulah permulaan haulnya.
Contohnya, seorang memiliki tiga puluh ekor kambing lalu kambing-kambing itu melahirkan
sepuluh ekor, maka hawl kambing-kambing tersebut dihitung sejak genap empat puluh ekor
kambing.
c.       Keuntungan perniagaan dari modal yang telah mencapai nisab dan berlalu satu tahun.
Seandainya, seorang memiliki uang mencapai nisab dan digunakan untuk berdagang lalu

6
mendapatkan keuntungan. Maka seluruh harta itu, modal dan keuntungannya terkena wajib
zakat, meskipun keuntungannya belum mencapai setahun.
Contohnya: seorang memulai bisnis dengan modal 30 juta dibulan Muharram 1431 H ,
sementara nisab untuk harta perniagaan adalah 85 gr emas dan harga emas 1 gramnya adalah
Rp 350.000; sehingga 85 X 350.000 = 29.750.000. Kemudian di bulan Muharam tersebut, ia
mendapat keuntungan Rp 3.000.000, di bulan Shafar Rp 2.000.000, dan seterusnya, sehingga
di bulan Muharram 1432 H jumlah modal plus keuntungannya adalah Rp 75.000.000. Maka
zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 % dari Rp 75. 000. 000; yaitu Rp 1. 875. 000.
Apabila modalnya belum mencapai nisab kemudian mendapatkan keuntungan sampai
mencapai nisab, maka hitungan hawl-nya mulai dihitung sejak nisab sempurna. Jadi
perhitungan akhir tahun perniagaan yang menjadi ukuran sampai atau tidaknya satu nisab.7[7]
d.       Rikaz atau harta karun adalah harta terpendam yang merupakan peninggalan jahiliyah
atau zaman dahulu kala. Harta ini dikeluarkan zakatnya ketika barang itu ditemukan, dan
zakat rikaz dikeluarkan sebanyak 20%, sebab dalam mendapatkan harta rikaz tidak seberat
atau sesukar mendapatkan barang tambang.8[8] Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
َ ‫از ْال ُخ ُم‬
‫س‬ ِ ‫فِي ال ِّر َك‬
Artinya: “Pada harta karun ada zakat seperlima (20 %). (Muttafaqun ‘Alaihi).
Juga karena keberadaannya menyerupai buah-buahan dan biji-bijian yang keluar dari tanah.
Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya.
e.         Tambang (al-mi’dan) yaitu semua yang dikeluarkan dari bumi berupa barang-barang
selain tanah yang dibuat di dalam tanah dan bernilai, seperti besi, batu permata (al-yaqut),
batu aqiq, aspal, minyak bumi dan lain-lainnya yang dinamakan barang tambang. Apabila
seorang mendapatkan barang tambang itu dan mencapai nisab, maka wajib ditunaikan
zakatnya secara langsung ketika mendapatkannya. Tidak dikeluarkan zakatnya sampai diolah
dan dibersihkan. Zakatnya adalah 2,5 %. Imam al-Khiraqi menyatakan, “Apabila
dikeluarkan dari bahan tambang berupa emas dua puluh mitsqal atau perak sejumlah duaratus
dirham atau senilai tersebut dari seng (zenk), timbal, kuningan atau selainnya dari yang digali
(ekploitasi) dari dalam bumi, maka diwajibkan zakat diwaktunya”.

4.      Terputusnya Hawl

8
Haul terputus atau dianggap gagal dengan sebab-sebab berikut:
a.      Apabila nisab berkurang ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka
terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna
setahun berkurang seekor, maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nisab
dalam setahun adalah syarat wajib zakat.
b.               Apabila menjual sebagian dari nishabnya dengan syarat:
1)      Pembayarnya tidak sejenis
2)      Bukan karena takut terkena zakat
3)      Harta tersebut bukan termasuk barang yang diperdagangkan.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka dia tidak diwajibkan zakat. Cotohnya, seorang
memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum sempurna setahun ia jual dua ekor kambing dengan
uang seharga 2 juta Rupiah bukan karena takut mengeluarkan zakat. Juga kambing tersebut
bukan disiapkan untuk diperdagangkan. Maka terputuslah haulnya.
c.       Apabila harta yang sudah masuk nisab diganti dengan jenis lain ditengah-tengah haul
bukan untuk menghindari kewajiban zakat maka terputuslah haul. Contohnya, seorang
memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum setahun masa nisab tersebut ia ganti dengan onta atau
sapi. Maka haul zakatnya terputus dan mulai baru lagi dengan haul onta atau sapi itu dimulai
pada hari pergantian bila onta dan sapi itu mencapai nisab.
Namun bila ia menjual sebagian nishabnya dengan yang sejenis maka haulnya tidak
terputus. Contohnya, seorang memiliki emas berupa kalung sebesar nisab (85 gram)
berjumlah 5 buah lalu dijual dua buah dan ditukar dengan gelang emas dan berat
keseluruhannya masih 85 gram maka haul gelang emas tersebut ikut haul kalung emas.
Sehingga bila ia memiliki emas senishab tersebut pada 1 Ramadhan 1431 H, lalu ia tukar
dengan gelang tersebut pada tanggal 6 Rajab 1432 H. Maka tetap membayar zakatnya secara
keseluruhan pada tanggal 1 Ramadhan 1432 H. Memang dalam permasalahan pertukaran
harta zakat yang sudah mencapai nisab dengan harta zakat lainnya yang juga senishab baik
pertukaran biasa atau jual beli ada perbedaan pendapat para Ulama.

5.      Waktu Pelaksanaan Zakat


Zakat ditunaikan sesuai dengan jenis harta yang wajib dikeluarkaan zakatnya.
Pertama, zakat harta berupa emas, perak, barang dagangan, dan binatang ternak yang
digembalakan dibayarkan setelah sempurnanya hawl satu kali dalam setahun.
Kedua, zakat tanaman dan buah-buahan dibayarkan ketika berulangnya masa panen,
kendatipun masa panen tersebut terjadi berulang kali dalam setahun. Dengan demikian,
untuk harta jenis yang kedua ini tikdak disyaratkan harus mencapai masa hawl. Juga,
menurut mazhab Hanafi, harta jenis yang kedua ini tidak disyaratkan harus mencapai nisab,
sedangkan menurut Jumhur, harta tersebut harus mencapai nisab.
Mengenai waktu wajib dikeluarkannya sepersepuluh dari tanaman dan buah-buahan
terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah dan Zafar berpendapat bahwa zakat harta tersebut
wajib dikeluarkan ketika muncunya buah-buahan dan selamat dari pembusukan walaupun
buah-buahan tersebut belum layak dipanen. Degan catatan, jumlahnya mencapai batas yang
bisa dimanfaatkan. Adapun menurut al-Dardir al-Maliki , zakat buah-buahan wajib
dikeluarkan ketika ia telah baik, sudah layak dimakan, dan tidak memerlukan pengairan lagi,
tidak dikeringkan, tidak dipanen, dan tidak dibersihkan. Yang dimaksud dengan buah-
buahan yang telah baik adaah tumbuhnya bunga pada kurma muda dan munculnya rasa manis
pada buah anggur.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa zakat buah-buahan wajib dikeluarkan ketika ia telah
layak dan bijinya telah padat karena pada saat itu, buah-buahan tersebut telah tumbuh dengan
sempurna, sedangkan sebelumnya ia masih berupa bunga dan bijinya sudah bisa dimakan,
sebelumnya ia masih berupa sayur-mayur lunak. Maksud pewajiban zakat yang telah disebut
di atas tidak berarti bahwa ia ajib dikeluarkan dengan segera seketika. Akan tetapi,
maksudnya ialah bahwa hal-hal yang telah disebutkan di atas merupakan sebab wajib
dikeluarkannya kurma, anggur, dan biji-bijian. Pendapat ini dikemukakan mengingat bahwa
makanan yang dikeringkan, dibersihkann, dipecahkan, diinjak-injak di bawah, dan keperluan-
keperluan yang lainnya tidak termasuk harta yang wajib dizakati.
Waktu wajib zakat pertanian adalah ketika sudah layak dipanen menurut kebiasaan,
misalnya diketahui dengan mengerasnya biji-bijian, warna merahnya kurma, dan rasa
manisnya buah anggur. Zakat tidak dikeluarkan, kecuali biji telah dikuliti dan buah (krma
dan anggur) telah mengering. Apabila penanam menjual tanamannya setelah bijibijiannya
mengeras dan buah-buahannya masak, zakatnya diwajibkan kepadanya bukankepada
pembelinya karena ketika akad, dialah yang memiliki. 9[9]
Mazhab Hanbali berpendapat, seperti halnya mazhab Syafi’i, bahwa zakat wajib
dikeluarkan ketika biji-bijian telah gemuk, jika tanaman itu berupa biji-bijian dan jika
tanaman tersebut beruapa buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya, ketika buah-buahan
tersebut telah layak dimakan.
Ketiga, dalam pandangan mazhab Hanafi dan Hanbali, madu wajib dikeluarkan zakatnya
ketika ia telah wajib untuk dizakati. Zakat barang tambang dikeluarkan ketika harta tersebut
9
dikeluarkandari bumi. Dan zakat fitrah, menurut selain mazhab Hanafi, dikeluarkan ketika
matahari terbenam padamalam Hari Raya Fitri.
Mengenai zakat madu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat
madu. Syafi’i berkata, “menurut pendapatku, tidak ada zakat madu karen sunnah-sunnah dan
atsar-atsar telah menjelaskan harta-harta yang wajib dizakati dan tidak ada satu pun madu
yang disinggung di dalamnya. Dengan demikian, madu tidak ada zakatnya”. Namun
Hanafiyah dan Ahmad berpendapatbahwa madu ada zakatnya karena walaupun tidak ada
hadist sahih yang menjelaskan kewajibannya, tapi ada atsar-atsar yang saling memperkuat
antara satu dengan yang lainnya. Di samping itu, madu berasal dari bunga pepohonan, dapat
ditakar, dan dapat disimpan sehingga ada zakatnya, seperti zakat biji-bijian dan kurma. 10[10]

6.      Takjil ( Mempercepat Pembayaran ) Zakat


Para ulama sepakat bahwa menyegerakan zakat sebelum sampainya nisab hukumnya tidak
boleh karena pada waktu itu, sebab wajibnya zakat belum ada. Dengan demikian,
menyegerakan zakat hukumnya tidak boleh. Sama halnya dengan tidak bolehnya
membayarkan harga suatu barang sebelum jual beli terjadi atau sama dengan dilakukannya
diyat sebelum terjadinya pembunuhan.11[11]
Adapun menyegerakan zakat ketika sebabnya telah ada, yakni nisab yang sempurna maka
ada dua pendapat di kalangan para fuqaha.
Pertama, Jumhur berpendapat bahwa menyegerakan zakat sebelum tibanya hawl,
hukumnya boleh secara tathawwu’. Dengan catatan, harta yang dizakati telah mencapai nisab.
Dibolehkannya hal inikarena sebab wajibnya zakat telah ada. Lagi pula, hal ini berdasarkan
hadist yang diriwayatkan Ali r.a. Beliau menyatakan bahwa Abbas meminta kepada
Rasulullah Saw. untuk menyegerakan zakat hartanya sebelum saatnya. Lalu Rasulullah Saw.
memberikan keringanan baginya.
Takjil atau mempercepat pembayaran zakat sebelum waktunya adalah boleh. Termasuk
juga membayarnya sebelum satu hawl maupun dua hawl. Sebuah riwayat menyebutkan
bahwa az-Zuhri memandang boleh takjil zakat sebelum waktu hawl tiba. Hasan ditanya
tentang seseorang yang mengeluarkan zakat untuk tiga tahun kedepan, apakah ini sudah
mencukupinya? Ia menjawab, “mencukupinya”. Demikian juga pendapat Syafi’i, Ahmad,

10

11
Abu Hanifah, Hadi dan Qasim. Al-Muayyid Billah mengatakan bahwa hal tersebut adalah
afdal (lebih utama).12[12]
Diperbolehkan bagi pemilik harta untuk menyegerakan pembayaran zakat mal yang
bersifat hauli (tahunan) sebelum jatuh tempo jika memang harta tersebut telah mencapai
nisab sebelum akhir tahun, misalnya hewan ternak, mata uang, dan komoditas perdagangan.
Disini para ulama tidak memberikan komentar apa-apa soal barang tambang. Hal ii
barangkali karena pembayaran zakatnya tidak boleh disegerakan, mengingat kewajiban
mengeluarkan zakatnya adalah ketika mendapatkannya, sedangkan menyegerakan zakat
buah-buahan dan biji-bijian hanya diperbolehkan setelah tampak tanda-tanda siap panen dan
tidak boleh sebelum itu.13[13]
Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa syarat sahnya penyegeraan pengeluaran zakat ialah,
pemilik harta harus merupakan orang yang tetap berkewajiban mengeluarkan zakat sampai
akhir hawl, atau memasuki bulan Syawal untuk zakat fitrah. Dan syarat yang lain ialah, orang
yang menerima zakat itu tetap merupakan mustahiqq sampai akhir hawl dan harta yang
disegerakan zakatnya tetap utuh. Jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, harta yang telah
diberikan tersebut harus dikembalikan lagi. Dengan catatan, orang yang telah menerima harta
zakat tersebut mengetahui bahwa harta yang diterimanya merupakan zakat harta yang
disegerakan. Namun, apabila orang yang membayar zakat tersebut tidak menjelaskan dan
orang yang menerima tidak mengetahui bahwa harta itu adalah zakat yang disegerakan maka
ia tidak dapat diminta kembali, dan harta tersebut menjadi shadaqah tathawwu’ karena
kebiasaan yang berlaku bahwa harta yang dibayarkan kepada orang fakir tidak bisa ditarik
kembali, seolah-olah ia berkata: “Ini adalah zakat mal (harta) saya jika terpenuhi syaratnya,
dan jika tidak, maka anggap saja sedekah sunnah!” Inilah pendapat yang lebih paling benar.
Apabila pemilik harta atau penerimanya meninggal sebelum itu, penerimanya murtad,
hilang, tidak membutuhkan zakat yang disegerakan (atau zakat yang lainnya), nisab hartanya
berkurang, hartanya hilang dari kepemilikannya, dan bukan harta perdagangan, zakat tidak
boleh disegerakan. Alasannya, karena pada saat itu zakat tidak wajib.
Jika seseorang menyegerakan pembayaran zakat dan memberikannya kepada seorang
fakir, kemudian orang fakir itu meninggal atau menjadi kaya bukan karena zakat yang
diterimanya, sebelum mencapai hawl, maka zakat tersebut ditarik kembali. Namun, Hanafi
berpendapat bahwa zakat it tidak perlu diminta kembali.14[14]

12

13
Kedua, mazhab Zahiri dan Maliki berpendapat bahwa zakat tidak boleh dikeluarkan
sebelum hawl-nya tiba karena merupakan ibadah yang menyerupai shalat, sehingga ia tidak
boleh dikeluarkan sebelum waktunya. Lagi pula, hawl merupakan salah satu syarat zakat,
oleh karena itu, menyegerakan zakat hukumnya tidak boleh.
Malik, Rabi’ah, Sufyan ats-Tsauri, Dawud, Abu Ubaid bin Harits, dan Nashir dari
kalangan Ahlul Bait berpendapat bahwa takjil zakat tidak boleh hingga waktu hawl telah
dating. Mereka berargumen dengan hadist-hadist yang mengaitkan kewajiban zakat dengan
adanya hawl.
Argument tersebut tidak bertentangan dengan orang yang berpendapat sahnya takjil zakat
karena memang kewajiban zakat berkaitan dengan hawl, dan hal ini bukan masalah yang
dipertentangkan. Masalah yang dipertentangkan adalah sah atau tidaknya pelaksanaan zakat
sebelum hawl.
Ibnu Rusyd berkata, “Akar perselisihan tersebut adalah perbedaan penilaian apakah zakat
itu ibadah atau hak yang wajib diberikan kepada orang-orang tidak mampu? Orang yang
mengatakan bahwa zakat adalah ibadah dan menyamakan dengan shalat tidak
memperbolehkan pengeluran zakat sebelum waktunya tiba. Adapun orang mengatakan bahwa
zakat itu hak orang miskin dan menyerupakannya dengan hak-hak yang diberikan sebelum
waktunya memperbolehkan pengeluarannya sebelum waktunya tiba layaknya bentuk amal
sukarela.

7.      Waktu Pembayaran Zakat Fitrah


Zakat fitrah adalah zakat yang secara khusus diwajibkan pada akhir Ramadhan dan
dilaksanakan paling lambat sampai pelaksanaan shalat Idul Fitri.15[15]
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan atas setiap muslim laki-laki maupun
perempuan, besar maupun kecil, tua maupun muda ketika bulan Ramadhan berakhir. Namun,
para ahli fiqih berselisih mengenai batas waktunya. Tsauri, Ahmad, Ishaq, Syafi’i dalam
mazhab jadid-nya, dan Malik dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa waktu wajib zakat
fitrah dimulai dari tenggelamnya matahari pada malam Idul Fitri karena waktu tersebut
adalah waktu berbuka puasa. Abu Hanifah, Laits, Syafi’i di dalam mazhab qadim-nya, dan
Maliki di dalam riwayatnya yang kedua berpendapat bahwa waktu wajibnya mulai saat
terrbitnya fajar pada hari Idul Fitri.16[16]

14

15
Faedah perselisihan ini tampak ketika seorang bayi dilahirkan sebelum fajar hari Idul Fitri
dan setelah matahari tenggelam. Apakah bayi tersebut dikenai zakat fitrah atau tidak?
Menurut pendapat pertama, ia tidak dikenakan zakat fitrah karena ia dilahirkan setelah waktu
wajib. Menurut pendapat kedua, bayi tersebut dikenai zakat fitrah karena lahir sebelum waktu
wajib.
Empat imam mazhab berbeda pendapat mengenai waktu yang diwajibkan dalam
membayar zakat fitrah. Hanafi: Zakat fitrah wajib dibayarkan ketika terbit fajar pada hari
pertama bulan Syawal. Hanbali: Pada waktu terbenamnya matahari pada malam hari raya
Idul Fitri. Maliki dan Syafi’i: berpendapat seperti kedua imam mazhab di atas. Namun,
menurut qaul jadid dan yang paling kuat dari Syafi’i: pada waktu terbenamnya matahari.
Para imam mazhab sepakatbahwa zakat fitrah tidak gugur lantaran diakhirkan sampai
keluar waktunya, melainkan menjadi utang baginya hingga dibayarkan. Mereka juga sepakat
tentang tidak bolehnya menunda pembayaran zakatfitrah hingga lewat hari raya.17[17]

Zakat fitrah boleh dikeluarkan di awal malam bulan Ra madhan, namun penundaannya
hingga akhir bulan Ramadhan lebih utama. Dalam hal ini, ada 5 waktu untuk mengeluarkan
zakat fitrah, yaitu :
a.      Waktu boleh, yaitu pada permulaan Ramadhan, mengingat sudah terpenuhinnya sebab
pertama diantara dua sebab diwajibkannya zakat, yaitu Ramadhan dan Idul Fitri. Oleh karena
itu, boleh kiranya mendahulukan salah satunya atas yang lain, bukan mendahului atas kedua-
duanya.
b.      Waktu wajib, yaitu akhir Ramdhan dan awal Syawal.
c.       Waktu utama, yaitu setelah shalat subuh dan sebelum shalat Idul Fitri.
d.      Waktu makruh, setelah shalat Idul Fitri sebelum terbenamnya matahari.
e.     Waktu haram, waktu yang dilarang untuk menunda-nunda pembayaran zakat fitrah yaitu
akhir hari raya Idul Fitri ketika matahari telah terbenam. Hal itu diharamkan karena tujuan
dari zakat fitrah adalah untuk mencukupi kebutuhan golongan mustahiq zakat pada hari raya
Idul Fitri karena merupakan hari gembia.18[18]
8.      Takjil Zakat Fitrah

16

17

18[18] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah. . ., hlm.
402.
Mayoritas pakar fiqih berpendapat bahwa takjil zakat fitrah satu atau dua hari sebelum
hari raya adalah boleh. Ibnu Umar r.a. berkata, “Rasulullah memerintahkan kepada kami agar
kami mengeluarkan zakat fitrah sebelum manusia keluar untuk shalat (Idul Fitri).” Nafi’
berkata,”Ibnu Umar menunaikan zakat fitrah pada waktu satu atau dua hari sebelum hari raya
Idul Fitri.”
Mereka berselisih mengenai takjil zakat pada waktu lebih daripada dua hari. Menurut Abu
Hanifah, takjil zakat sebelum bulan Ramadhan adalah boleh. Syafi’i mengatakan takjil zakat
boleh dilakukan mulai pada awal bulan Ramadhan. Menurut Maliki dan mazhab Ahmad yang
masyur, takjil zakat boleh dilakukan pada waktu 1 atau 2 hari sebelum hari Id.
Para ulama sepakat bahwa mengakhirkan zakat fitrah hingga waktunya habis (setelah
shalat Id) tidak menyebabkan gugurnya kewajiban zakat fitrah. Ia masih tetap menjadi
tanggungan orang yang mengakhirkannya sehingga ia membayarnya walaupun pada akhir
umurnya. Mereka telah sepakat bahwa mengakhirkan zakat fitrah hingga setelah hari Id
adalah tidak boleh. Ibnu Ruslan berkata, “Hal itu adalah haram menurut kesepakatan ulama
karena zakat fitrah adalah kewajiban yang jika diakhirkan dari waktunya menyebabkan dosa,
seperti mengakhirkan shalat dar waktunya.” Barang siapa yang mengeluarkan zakat fitrah
sebelum shalat, apa yang dikeluarkannya itu adalah zakat yang diterima, dan barang siapa
yang mengeluarkannya setelah shalat, apa yang dikeluarkannya itu adalah sedekah biasa. 19
[19]

BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Zakat hukumnya wajib, dan apabila zakat tersebut telah memenuhi syarat serta
ketentuan-ketentuan lainnya, kemudian yang berkewajiban mengeluarkan zakat telah mampu,
maka waktu wajib zakat itu disegerakan pelaksanaannya tanpa menangguhkannya atau
menundanya. Apabila seseorang mengakhirkan pengeluaran zakatnya padahal telah mampu,
dia akan menanggungnya. Alasannya, karena dia mengakhirkan sesuatu yang wajib
dikeluarkan ketika dia mampu menyegerakannya.

19[19] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , hlm. 161-162.


Zakat dikeluarkan setelah diwajibkan dengan adanya hawl atau kepemilikan
hartanya telah mencapai setahun. Dalam hadist Nabi Saw. :
‫ُول َعلَ ْي ِه ْال َحوْ ُل‬
َ ‫ْس فِي َما ٍل زَ َكاةٌ َحتَّى يَح‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ ‫ال لَي‬ َ ‫ع َْن النَّبِ ِّي‬
Diriwayatkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Tidak ada
zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya”. (HR. Abu Daud).
Pendapat empat mazhab mengenai persoalan hawl bahwa, tibanya masa setahun
(hawl) menjadi syarat untuk zakat emas, perak, uang, perdagangan, dan binatang ternak.
Tetapi dia tidak menjadi syarat bagi zakat buah-buahan, tanaman, barang tambang, dan
barang temuan. Harta-harta yang disebutkan terakhir ini hanya disyaratkan agar berupa
harta-harta yang baik kendatipun tidak mencapai setahun.
Empat imam mazhab berbeda pendapat mengenai waktu yang diwajibkan dalam
membayar zakat fitrah. Hanafi: Zakat fitrah wajib dibayarkan ketika terbit fajar pada hari
pertama bulan Syawal. Hanbali: Pada waktu terbenamnya matahari pada malam hari raya
Idul Fitri. Maliki dan Syafi’i: berpendapat seperti kedua imam mazhab di atas. Namun,
menurut qaul jadid dan yang paling kuat dari Syafi’i: pada waktu terbenamnya matahari.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah,
(Jakarta : Amzah, 2009).

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : KENCANA, 2010).

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, ( Jakarta : PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013).

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2012).

Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab,


(Bandung : HASYIMI, 2015).

Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, ( Bandung : PT. Remaja


Rosdakarya, 2008).
20
[1] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, ( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
2008), hlm. 119.
21
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, ( Jakarta : PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013), hlm. 61.
22
[3] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian …,hlm. 85.
23
[4] Ibid,. hlm. 106-110.
24
[5] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab,
(Bandung : HASYIMI, 2015), hlm.119.
25
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , hlm. 84.
26
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2012), hlm.197.
27
[8] Abdul Aziz Muhammad azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, (Jakarta :
Amzah, 2009), hlm. 363.
28
[9] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , hlm. 93.
29
[10] Ibid. , hlm. 94.
30
[11] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian …,hlm. 121.
31
[12] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , hlm. 62.
32
[13] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah. . ., hlm.
388.
33
[14] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab…,
hlm.122.
34
[15] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : KENCANA, 2010), hlm.51.
35
[16] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , hlm. 161.

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34
[17] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab…,
36

hlm.139.

35

36

Anda mungkin juga menyukai