Anda di halaman 1dari 6

DERMATITIS KONTAK IRITAN

No. Dokumen :
SOP No. Revisi : 00
TanggalTerbit :
Halaman : 1/5

UPT
PUSKESMAS dr.Hj.Iyen Ganefianti
NIP. 196311101989032011
CIPELANG

1. Pengertian Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi peradangan kulit non-imunologik,
disebabkan oleh bahan yang bersifat iritan.
2. Tujuan Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk mendiagnosa dan melakukan
terapi pada DKI
3. Kebijakan Keputusan Kepala UPT Puskesmas Cipelang Nomor 45 Tahun 2016 tentang
Pelayanan Klinis
4. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2016 tentang
Pelayanan Klinis
5. Prosedur a. Anamnesis:
1. Keluhan utama: pasien datang umumnya dengan keluhan gatal/pedih/rasa
terbakar yang dapat disertai dengan bercak/ruam kemerahan pada kulit.
2. Etiologi: bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak
pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang biasanya berhubungan dengan
pekerjaan.
3. Faktor risiko:
− Ditemukan pada orang-orang yang terpajan oleh bahan iritan
− Riwayat kontak dengan bahan iritan pada waktu tertentu
− Pasien bekerja sebagai tukang cuci, juru masak, kuli bangunan, montir,
penata rambut
− Riwayat dermatitis atopik
− Dapat dialami oleh semua orang tanpa memandang usia, jenis kelamin,
dan ras

b. Pemeriksaan Fisik:
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tertentu, DKI dibagi menjadi:
1. DKI akut:
− Bahan iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat (H 2SO4) atau asam
klorida (HCl), termasuk luka bakar oleh bahan kimia.
− Lesi berupa: eritema, edema, bula, kadang disertai nekrosis.
− Tepi kelainan kulit berbatas tegas dan pada umumnya asimetris.
2. DKI akut lambat:
− Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24 jam atau lebih setelah kontak.
− Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI tipe ini diantaranya adalah
podofilin, antralin, tretionin, etilen oksida, benzalkonium klorida, dan
asam hidrofluorat.
− Kadang-kadang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada
malam hari (dermatitis venenata), penderita baru merasa pedih keesokan
harinya, pada awalnya terlihat eritema, dan pada sore harinya sudah
menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
3. DKI kumulatif/ DKI kronis:
− Penyebabnya adalah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor
fisis misalnya gesekan, trauma minor, kelembaban rendah, panas atau
dingin, faktor kimia seperti deterjen, sabun, pelarut, tanah dan bahkan
air).
− Umumnya predileksi ditemukan di tangan terutama pada pekerja.
− Kelainan baru muncul setelah kontak dengan bahan iritan berminggu-
minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian sehingga
waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting.
− Kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit
tukang cuci yang mengalami kontak terus-menerus dengan deterjen.
Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak
(fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama
tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita.
4. Reaksi iritan:
− Merupakan dermatitis subklinis pada seseorang yang terpajan dengan
pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan pekerja logam dalam
beberapa bulan pertama, kelainan kulit monomorfik (efloresensi
tunggal) dapat berupa eritema, skuama, vesikel, pustul, dan erosi.
− Umumnya dapat sembuh sendiri, namun menimbulkan penebalan kulit,
dan kadang-kadang berlanjut menjadi DKI kumulatif.
5. DKI traumatik:
− Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi.
− Gejala seperti dermatitis numularis (lesi akut dan basah).
− Penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu.
− Lokasi predileksi paling sering terjadi di tangan.
6. DKI non eritematosa:
− Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai dengan perubahan fungsi
sawar stratum korneum, hanya ditandai oleh skuamasi ringan tanpa

2/5
disertai kelainan klinis lain.
7. DKI subyektif/ DKI sensori:

Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa seperti tersengat (pedih)
atau terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya
asam laktat.
c. Diagnosis: diagnosis ditegakkan secara klinis
d. Pemeriksaan Penunjang: dapat dilakukan pemeriksaan tes prick untuk
menentukan penyebab dermatitis.
e. Penatalaksanaan:
1. Stop kontak dengan bahan penyebab
2. Memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab, serta
memakai alat pelindung diri untuk menghindari kontak iritan saat bekerja
3. Membutuhkan pemberian farmakologis:
a. Topikal (2 kali sehari)
− Pada kasus akut, kompres larutan garam fisiologis atau larutan kalium
permanganas 1/10.000 selama 2-3 hari.
− Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
− Kortikosteroid: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat
digunakan fluosinolon asetonid krim 0,025%).
− Pada kasus DKI kumulatif dengan manifestasi klinis likenifikasi dan
hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan betametason valerat krim
0,1% atau mometason furoat krim 0,1%).
− Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian
antibiotik topikal.
b. Oral sistemik
− Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg per hari selama maksimal 2 minggu,
atau
− Loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.
f. Konseling dan Edukasi
1. Konseling untuk menghindari bahan iritan di rumah saat mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
2. Edukasi untuk menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan
sepatu boot.
3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
g. Kriteria Rujukan
Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan standar dan sudah
menghindari kontak.

3/5
4/5
h. Diagram
Alir Keluhan
gatal/panas/terbakar pada
kulit disertai kelainan kulit

Tidak Pikirkan kemungkinan


Kontak dengan
lain:
bahan iritan? - Dermatitis kontak
alergika
- Dermatitis Atopi

Ya

Dermatitis Kontak
Iritan

Identifikasi penyebab
iritan

STOP kontak

Lakukan terapi
farmakologis

Tidak

Ya Ya

− Pelembab krim hidrofilik urea 10%. kompres larutan


− Kortikosteroid: garam fisiologis atau
Desonid krim 0,05% atau larutan kalium
Betametason valerat krim 0,1% atau permanganas
Mometason furoat krim 0,1%). 1/10.000 selama 2-3
hari.

Tidak
Kering

Ya

Antibiotik topikal

5/5
i. Unit Pendaftaran
Terkait Rawat Jalan ( poli umum, apotik)
IGD

6/5

Anda mungkin juga menyukai