Seperti kita ketahui, dalam Alquran hanya surah at-Taubah yang tanpa diawali dengan
bacaan Basmalah. Alhasil, kita bila ingin membaca surah tersebut hanya perlu
membaca ta'awwuz--"audzubillah himinasyaitonirrajim."
Mengapa demikian?
Adapun basmalah, memang hanya surah at-Taubah (sering pula disebut sebagai surat Bara'ah)
yang tak diawali dengan "Bismillahirrahmanirrahim."
Karena itu, para ulama qira'at umumnya bersepakat, tidak membaca basmalah pada awal surah
tersebut. Memang, ada juga yang membolehkannya, setelah menganalisis sebab tidak
dicantumkannya basmalah pada surah at-Taubah.
Kedua, tidak dicantumkannya basmalah pada awal surah kesembilan itu adalah karena at-Taubah
diduga sebagai kelanjutan daripada surah al-Anfaal (surat kedelapan).
Jika memang surah Bara'ah merupakan lanjutan surat sebelumnya, maka tidak ada alasan untuk
melarang membaca basmalah pada awal surah Bara'ah. Sebab, tidak ada halangan atau larangan
membaca basmalah pada awal setiap juz yang biasanya merupakan pertengahan (lanjutan) dari
satu surah. Akan tetapi, pendapat ini tidak didukung oleh banyak ulama.
Atas dasar itu, membaca Basmalah pada pertengahan surah at-Taubah diperbolehkan. Ini bukan
dalam konteks semata-mata membaca surah tersebut, melainkan dalam konteks memenuhi
anjuran Nabi Muhammad SAW. Yakni, memulai setiap pekerjaan dengan basmalah. Sabda beliau:
''Setiap persoalan penting yang tidak dimulai dengan Bismillahirahmanirrahim, maka persoalan
tersebut cacat."
Hal demikian menimbulkan pertanyaan banyak kalangan: kenapa hanya surat at-Taubah yang
tidak dicantumkan basmalah?
Sejarah penulisan Al-Quran berawal sejak turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad. Namun
penulisan Al-Quran pada saat itu dalam kondisi yang sangat terbatas. Nabi setiap kali menerima
wahyu, beliau memanggil sekretaris (katib resmi) untuk mendokumentasi wahyu tersebut ke
dalam bentuk tulisan. Dukomentasi wahyu ini kemudian dikenal dengan nama mushaf (penulis
akan menggunakan kata mushaf).
Pada masa Utsman bin Affan, mushaf ini kemudian ditulis kembali dalam rangka menjaga dari
kesalahan sekaligus menjaga otentesitas variasi bacaan Al-Quran (qira'at Al-Quran). Penulisan
masa ini, dilaksanakan oleh tim yang telah mendapatkan rekomendasi dari khalifah Utsman dan
persetujuan para pembesar sahabat. Direktur utama dalam penulisan mushaf ini adalah Zaid bin
Tsabit. Secara teknis pelaksanaan penulisan ini dilakukan secara selektif dan ketat. Setiap ayat
yang hendak ditulis harus melalui persaksian dua orang yang mendengar langsung dari Nabi.
Tidak hanya itu saja, Sayyidina Utsman mengeluarkan kebijakan yang luar biasa, yaitu
memerintahkan untuk membakar semua mushaf selain mushaf yang ditulis oleh tim. Hal ini
dilakukan dalam rangka menyatukan persepsi tentang bacaan Al-Quran yang sesuai bacaan Nabi
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa penulisan Al-Quran ini telah tuntas tanpa problem yang
berarti. Kembali pada pertanyaan di atas: kenapa dalam surat at-Taubah tidak dicantumkan
basmalah, apakah hal ini sesuai petunjuk Nabi, sahabat atau tim penulis mushaf lupa
mencantumkannya?. Dalam banyak kesempatan, penulis sering mendapat pertanyaan, baik dari
kalangan mahasiswa/mahasiswi maupun dari kalangan masyarakat biasa, yang kira-kira hampir
sama dengan di atas, yaitu kenapa dalam surat at-Taubah tidak dicantumkan basmalah bahkan
tidak diperkenankan membacanya, baik di awal surat maupun di tengah-tengah surat?
Dalam rangka menjawab pertanyaan di atas, penulis perlu menjelaskan terlebih dahulu kronologi
tidak dicantumkannya basmalah dalam surat at-Taubah.
Ada beberapa sebab yang melatarbelakangi tidak dicantumkannya basmalah dalam surat di atas.
Pertama, dalam tradisi Arab jahiliyah dahulu, jika mereka melakukan perjanjian dengan sebuah
kaum atau kabilah yang lain dan hendak memutuskan perjanjian tersebut, maka mereka
mengirimkan sepucuk surat pemutusan tanpa mencantumkan kalimat basmalah. Pun demikian,
ketika umat Islam memutuskan perjanjian dengan orang-orang musyrik, Nabi mengutus Sayyidina
Ali untuk membacakan surat di atas (at-Taubah) di hadapan mereka tanpa diawali dengan bacaan
basmalah, sesuai adat mereka.
Kedua, Ibnu Abbas bertanya kepada Utsman tentang tidak dicantumkannya basmalah dalam
surat at-Taubah. Utsman menceritakan kronologinya, bahwa pada masa Nabi, ketika wahyu
diturunkan kepadanya, Nabi memanggil salah satu sekretaris beliau untuk mendokumentasinya,
dan beliau mendekte penempatan dan tata letaknya. Perlu diketahui bahwa surat al-Anfal
termasuk surat yang turunnya awal, sedangkan surat at-Taubah termasuk surat yang turunnya
Terakhir, kedua kisah dan penyajiannya kedua surat di atas mirip dan hampir sama. Dalam hal
tersebut, Nabi tidak menjelaskan bahwa surat al-Anfal bagian dari surat at-Taubah. Saya pun
(Utsman bin Affan) berkesimpulan bahwa surat al-Anfal bagian dari surat at-Taubah. Oleh karena
itu, saya urutkan kedua surat tersebut tanpa mencantumkan basmalah.
Ketiga, pada kekhalifahan Utsman, para sahabat berselisih pendapat tentang surat at-Taubah.
Sebagian sahabat menganggap bahwa antara surat at-Taubah dan al-Anfal adalah satu surat yang
tidak terpisahkan. Sebagian sahabat yang lain menganggap bahwa keduanya adalah dua surat
yang mandiri. Untuk mendamaikan kedua perselisihan tersebut, Utsman mengambil sikap tengah,
yaitu tidak mencantumkan basmalah. Tujuannya adalah agar kedua belah pihak yang berselisih
dapat saling menerima. Dari pihak yang menganggap keduanya (al-Anfal dan at-Taubah) satu
surat tidak keberatan, karena tidak dicantumkan basmalah.
Sedangkan dari pihak yang menganggap keduanya adalah dua surat yang mandiri juga dapat
menerima karena beda nama suratnya, meskipun tidak diawali dengan basmalah. Keempat,
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau bertanya kepada Sayyidina Ali tentang tidak
dicantumkannya basmalah dalam surat at-Taubah. Sayyidina Ali menjelaskan bahwa basmalah
adalah kalimat aman sementara surat at-Taubah turun sebab perang, tidak aman.
Oleh karena demikian, antara aman dan perang tidak dapat disatukan. Demikian pula, dalam
basmalah itu terdapat kandungan rahmat, kasih sayang, sedangkan dalam surat at-Taubah
terdapat kemarahan. Oleh karena itu, antara rahmat dan kemarahan tidak bisa disatukan. Senada
dengan pendapat di atas, Imam al-Sufyan mengatakan bahwa basmalah adalah ayat rahmah,
rahmah memiliki arti aman. Sedangkan surat at-Taubah turun kepada orang-orang munafik dan
mengandung perang, sebab itu tidak aman bagi orang-orang munafik.
Dari kronologi di atas dapat disimpulkan bahwa para sahabat sepakat tidak mencantumkan
basmalah dalam surat at-Taubah berdasarkan pada periwayatan yang diterima oleh mereka dari
Nabi. Pun demikian, Nabi ketika menerima ayat tersebut dari Jibril tidak disertai basmalah.
Hal ini juga dibuktikan bahwa tidak ada satu pun ahli qurra’ sab'ah (qira'at tujuh) maupun qurra'
asyrah (qira’at sepuluh) yang meriwayatkan membaca basmalah di awal surat at-Taubah. Artinya,
mereka sepakat meninggalkan membaca basmalah di awal surat at-Taubah.
Dalam ilmu qiraat, dasar utama dalam membaca Al-Quran adalah bersumber dari Nabi dan
transmisi yang berkesinambungan. Sebab dalam membaca Al-Quran tidak ada istilah qiyas.
وال قياس في القراءة، القراءة سنة متبعة يأخذها األخر عن األول
Imam al-Jazariy berkata dalam bentuk gubahan syair:
ألنه به اإلله أنزال *** وهكذا منه الينا وصال
Wallahu A'lam.