Anda di halaman 1dari 14

1

Pendahuluan

Fungi adalah salah satu penyusun keanekaragaman hayati tertinggi di


dunia. Jumlah spesies fungi yang ada di alam diperkirakan mencapai 1.5-1.6 juta
spesies. Dari sekian banyak spesies yang diperkirakan ada, jumlah spesies fungi
laut hanya mencapai 0.6% saja. Meskipun jumlah spesies fungi laut sedikit, fungi
laut memegang peranan penting dalam ekosistem laut. Fungi laut merupakan
organisme saprofitik yang menguraikan bahan-bahan organik dan mengatur siklus
nutrien di laut. Kemampuan fungi dalam menguraikan berbagai macam substrat
kemudian dimanfaatkan untuk mengeliminasi/mendagradasi polutan (minyak,
pestisida, logam berat, lignin, dan pewarna tekstil) dari lingkungan seperti C.
maritima, Lulworthia spp., Asteromyees eruciatus dan Trichosporon penicilatum.
Fungi laut juga menghasilkan berbagai metabolit sekunder yang memiliki
aktivitas antiviral, antibakteri dan antikanker. Sampai dengan tahun 2004, lebih
dari 500 bahan bioaktif yang telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi dari fungi
laut (Bugni and Ireland, 2004; Jones et al., 2011).
Fungi laut dapat dibedakan menjadi fungi laut obligat dan fakultatif. Fungi
obligat menyelesaikan seluruh tahapan hidupnya di laut atau estuari. Sementara
itu, fungi fakultatif adalah fungi terestrial atau air tawar yang juga mampu hidup
dan bereproduksi di laut. Di ekosistem laut, fungi dapat ditemukan di dalam
kolom air (mikoplankton), di sedimen, berasosiasi dengan biota laut (baik sebagai
parasit maupun simbiosis), dan pada sisa bahan-bahan organik yang mengalami
pelapukan. Substrat adalah salah satu faktor yang memengaruhi biodiversitas
fungi di laut (Jones , 2000).
Struktur morfologi merupakan karakter utama yang digunakan untuk
mengklasifikasikan fungi. Akan tetapi cara ini memiliki keterbatasan dalam
mengelompokkan fungi yang berukuran mikroskopik serta secara morfologi
terlihat mirip (criptic species). Oleh sebab itu klasifikasi morfologi biasanya
dibantu dengan melakukan analisis molekular. Secara umum fungi
diklasifikasikan menjadi 3 filum yaitu Ascomycota, Basidiomycota dan
Deuteromycota.
Tulisan ini akan mengkaji fungi laut dari aspek biologi serta potensi-
potensi fungi laut yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
2

manusia. Tujuan pembuatan tulisan ini adalah untuk memberikan pengetahuan


tentang keanekaragaman fungi laut serta perannya bagi kehidupan manusia dan
ekosistem.

Fungi Laut
Ada banyak definisi mengenai fungi laut, beberapa ahli mendefinisikan
fungi laut berdasarkan kemampuannya untuk tumbuh pada berbagai konsentrasi
air laut dan ada pula yang mendefinisikannya berdasarkan kemampuan fisiologis
untuk tumbuh di dalam air laut atau pada konsentrasi garam tertentu (Damare et
al., 2006). Akan tetapi definisi yang paling banyak dipakai adalah definisi dari
Kohlmeyer and Kohlmeyer (dalam Raghukumar, 2012) yang menyatakan bahwa
fungi laut adalah fungi yang menyelesaikan seluruh siklus hidupnya di dalam laut
(tumbuh dan bereproduksi di laut atau estuari).
Fungi laut memiliki karakteristik morfologi dan taksonomi yang berbeda
dengan fungi terestrial (geofungi) maupun air tawar. Selain itu, di laut juga
terdapat organisme menyerupai fungi (fungal like organism) yang disebut dengan
pseudofungi. Klasifikasi sebelumnya mengelompokkan pseudofungi ke dalam
fungi laut akan tetapi belakangan diketahui kelompok ini termasuk dalam
kelompok Straminiphila. Meskipun demikian, sampai saat ini beberapa anggota
pseudofungi masih dikelompokkan bersama-sama dengan fungi. Perbedaan antara
fungi laut, terestrial dan pseudofungi ditunjukkan pada tabel 1.
Fungi laut dapat dibedakan menjadi fungi obligat dan fungi fakultatif.
Fungi laut obligat menghabiskan seluruh tahapan hidupnya di dalam air (Damare
et al., 2006). Fungi obligat yang pertama kali diidentifikasi adalah Spaheria
posidonia yang diisolasi dari rhizoma lamun Posidonia oceanica. Sementara itu,
fungi fakultatif adalah fungi darat maupun fungi air tawar yang mampu tumbuh
dan bereproduksi di laut. Fungi fakultatif yang pertama kali ditemukan adalah
Phaeosphaeria typharum yang sebelumnya dideskripsikan sebagai Sphaeria
scirpicola var. typharum.
3

Tabel 1. Perbedaan karakteristik antara fungi laut, terestrial dan pseudofungi.

Organisme Karakteristik
Fungi laut Spora tidak berflagel, sebagian besar berukuran mikroskopik,
menghasilkan enzim nitrat reduktase, toleran terhadap salinitas
tinggi, menghasilkan spora yang mampu mengapung dan dapat
melekat pada substrat, protein dinding sel prolin.
Fungi terestrial Spora tidak berflagel, sebagian besar filum Basidiomycota
berukuran makroskopik, tidak menghasilkan enzim nitrat
reduktase, tidak toleran terhadap salinitas tinggi, protein dinding sel
prolin
Pseudofungi Spora berflagel, dinding sel dari selulosa, pada dinding sel sel
terdapat protein hidroksiprolin.

Klasifikasi Fungi

Selama ini morfologi alat reproduksi merupakan ciri utama yang


digunakan dalam pengelompokan fungi. Akan tetapi metode ini memiliki
keterbatasan dalam mengelompokkan fungi berukuran mikroskopik yang secara
morfologi sulit untuk dibedakan (criptic species) (Raghukumar, 2012). Oleh
sebab itu, analisis molekuler adalah salah satu alternatif yang dapat digunakan
untuk melengkapi kekurangan dari klasifikasi secara morfologi. Analisis
molekuler yang umum digunakan yaitu analisis DNA ribosom (rDNA) dan RNA
ribosom (rRNA) atau DNA nukleus seperti internal transcribed spacer (ITS) dan
mikrosatelit.

Fungi laut diklasifikasikan menjadi 3 filum yaitu Ascomycota,


Basidiomycota, dan Deuteromycota (fungi anamorfik) (Jones et al., 2009). Fungi
ini dibedakan berdasarkan cara perkembangbiakan seksualnya. Reproduksi
seksual Ascomycota dilakukan dengan membentuk spora dalam askus. Pada
Basidiomycota reproduksi seksual dilakukan dengan membentuk spora di dalam
basidium. Sementara itu Deuteromycota belum diketahui mekanisme reproduksi
seksualnya.
4

Pendapat lain mengatakan bahwa filum Deuteromycota adalah filum yang


tidak formal sehingga fungi dibagi menjadi 5 filum yaitu Chytridiomycota,
Zygomycota, Ascomycota, Glomeromycota dan Basidiomycota (Bugni and
Ireland, 2004; Campbell et al., 2008). Perbedaan antara kelima filum tersebut
disajikan seperti pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Perbedaan antara kelima filum fungi. Sumber: Campbell et al., 2008

Filum fungi Ciri pembeda


Chytridiomycota Spora berflagel
Zygomycota Zigosporangium yang resisten sebagai tahap seksual
Glomeromycota Membentuk mikorhiza arbuskular dengan tumbuhan
Ascomycota Spora seksual (askospora) dihasilkan secara internal di
dalam kantong yang disebut dengan askus. Spora aseksual
dihasilkan dari konidia
Basidiomycota Spora seksual (basidiospora) dihasilkan dalam basidium
secara eksternal. Membentuk tubuh buah yang rumit
(basidiokarpus).

Biodiversitas Fungi Laut

Menurut Jones et al. (2009), jumlah spesies fungi laut yang telah berhasil
diidentifikasi sebanyak 530 spesies (dari 321 genus). Jumlah spesies tersebut pada
masing-masing filum yaitu Ascomycota 424 species (dari 251 genus), fungi
anamorphic 94 spesies (dari 61 genus) dan Basidiomycota 12 species (dari 9
genus). Ordo terbesar dari Ascomycota adalah Halosphaeriales dengan 45 genus
dan 119 spesies. Perkembangan penemuan spesies-spesies tersebut ditunjukkan
pada gambar 1 berikut.
5

180

160 156

140 135

120

100

80 75

60
43 43
40 30
18
20 11 10 10
4 3 2 5 4
1 1
0

Gambar 1. Perkembangan penemuan spesies-spesis fungi laut dari


tahun 1840-2009 dengan total jumlah spesies yang berhasil
didentifikasi sejumlah 530 spesies. Sumber: Jones et al., 2009

Di laut, fungi dapat ditemukan di dalam kolom air (mikoplankton), dalam


sedimen, detritus, pasir, atau dapat juga hidup sebagai endofit maupun parasit
pada tubuh organisme (Raghukumar, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Alias
et al. (2010), menemukan 139 spesies fungi laut yang diisolasi dari hutan
mangrove Malaysia yang terdiri dari 115 Ascomycota, 2 Basidiomycota, dan 22
fungi anamorphic. Spesies-spesies yang umum ditemukan yaitu Lignincola laevis
(16.8%), Verruculina enalia (13.3%), Trichocladium achrasporum (12.1%),
Savoryella lignicola (11.8%), Dictyosporium pelagicum (11.2%), Halocyphina
villosa (11.0%) dan Lulworthia grandispora (10.9%). Adapun jumlah spesies
fungi laut yang ditemukan di hutan mangrove di dunia terangkum dalam Torres et
al. (2011) seperti pada Tabel 3 berikut.
6

Tabel 3. Jumlah spesies fungi pada hutan mangrove.

Negara Jumlah spesies Sumber


Thailand 154 Jones et al., 2006
Hongkong 128 Jones and Vrijmoed, 2003
Brunei 95 Hyde, 1988
India 91 Maria & Sridhar, 2003
Malaysia 82 Jones & Kuthubutheen, 1989
Seychelles 63 Hyde & Jones, 1989
Belize 46 Kohimeyer & Volkmann-Kohimeyer, 1987
Singapore 41 Tan & Leong, 1990

Sementara itu, Menezes et al. (2009) menemukan 256 strain fungi laut
yang berasosiasi dengan avertebrata yaitu A. viridis, Didemnum sp., D. reticulata
dan M. laxissima. Mayoritas spesies yang ditemukan termasuk ke dalam filum
Ascomycota yaitu sebanyak 230 spesies dan 18 genus. Trichoderma adalah genus
yang jumlahnya paling banyak ditemukan disusul dengan Penicillium, Aspergilus,
dan Fusarium (Menezes et al., 2009) (Gambar 2).
Jones (2000) menyatakan bahwa keanekaragaman fungi dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti (1) katersediaaan substrat; (2) kompetisi; (3) temperatur; (4)
salinitas. Ketersediaan substrat sangat mempengaruhi keanekaraman fungi karena
substrat merupakan medium bagi proses kolonisasi fungi laut. Substrat yang
mengandung lignin memiliki keanekaraman spesies yang tinggi. Sementara itu
susbtrat berkapur (calcareous) memiliki keanekaraman spesies yang lebih rendah
(Jones, 2000).
Kompetisi antar fungi memengaruhi keanekaraman serta komposisi
spesies fungi. Fungi menghasilkan suatu metabolit tertentu yang menghambat
fungi lain untuk tumbuh dan berspora. Fungi yang dominan akan menghambat
pertumbuhan fungi lain sehingga terjadi dominasi. Contohnya adalah
Ceriosporopsis halima yang menghambat pertumbuhan Lulworthia perithecia.
Kompetisi bisa juga terjadi antara fungi dengan biota laut lainnya baik hewan
maupun tumbuhan. Hal ini karena hewan atau tumbuhan tertentu menghasilkan
7

suatu senyawa antifungal yang mampu menghambat pertumbuhan atau


membunuh fungi.

Gambar 2. Fungi laut yang diisolasi dari ascidian Didemnum sp.;


sponge Mycale laxissima; sponge Amphimedon viridis; dan sponge
Dragmacidum reticulata. Sumber: Menezes et al., 2009

Temperatur memengaruhi distribusi fungi di dunia. Beberapa fungi


ditemukan mampu hidup di laut Antartika seperti Thraustochytrium antarticum,
Leucosporidium anatartica dan Spathulospora antartica. Sebagian besar fungi
eksklusif ditemukan di perairan tropis seperti Adomia avicenniae, Antenospora
quadricornuata dan Massarina acrostichi. Selain itu, fungi lainnya hanya
ditemukan di daerah temperat seperti Ceriosporopsis trullifera dan Lindra inflata.
Akan tetapi sebagian fungi juga bersifat kosmopolitan (ada dimana-mana)
contohnya adalah Arenariomyces trifurcatus, Corollospora maritima dan
Torpedospora radiata.
Tiap-tiap fungi memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas.
Fungi air tawar tidak dapat tumbuh pada salinitas 10.5 0/00. Sementara itu fungi
8

laut juga memiliki kisaran salinitas tertentu. Oleh sebab itu, perairan dengan
salinitas berbeda memiliki komposisi fungi yang berbeda.

Peran Fungi Bagi Lingkungan dan Kehidupan Manusia

Sumber senyawa-senyawa bioaktif

Bahan bioaktif adalah senyawa alami yang dihasilkan oleh suatu makhluk
hidup yang memengaruhi proses pertumbuhan, metabolisme, reproduksi, dan
ketahanan hidup makhluk hidup tersebut. Bahan-bahan bioaktif ini sangat
potensial dimanfaatkan untuk senyawa-senyawa antiviral, antibakteri, dan
antitumor. Fungi laut menghasilkan berbagai macam senyawa bioaktif yang
potensial sebagai obat-obatan contohnya Penicillin.
Sejalan dengan meningkatnya eksplorasi terhadap habitat-habitat fungi
laut maka semakin banyak spesies fungi yang ditemukan. Peningkatan jumlah
spesies fungi yang ditemukan memacu upaya untuk menemukan bahan-bahan
bioaktif baru dari fungi laut karena bahan bioaktif yang dihasilkan fungi laut
berbeda dengan fungi terestrial (geofungi). Oleh sebab itu, jumlah senyawa
bioaktif yang ditemukan dari fungi laut terus meningkat. Perkembangan
penemuan senyawa-senyawa bioaktif fungi laut ditunjukkan pada gambar 3.
Berdasarkan gambar terlihat bahwa jumlah total senyawa bioaktif yang berhasil
diisolasi dari fungi mencapai 272 senyawa (Bugni and Ireland, 2004). Akan tetapi
Samuel et al. (2011) menyatakan bahwa antara tahun 2002-2004 ditemukan lagi
sebanyak 240 senyawa bioaktif baru dari fungi laut.
Fungi penghasil senyawa bioaktif sebagian besar merupakan fungi yang
hidup berasosiasi dengan biota-biota laut contohnya spons dan alga. Sintesis
senyawa bioaktif ini kemungkinan disebabkan oleh senyawa-senyawa antifungal
yang dihasilkan oleh inang yang menyebabkan fungi menghasilkan senyawa
bioaktif tertentu untuk bertahan hidup dalam tubuh inang (Raghukumar et al.,
2012).
9

Gambar 3. Jumlah senyawa-senyawa bioaktif yang dilaporkan tiap tahun.


Sumber : Bugni and Ireland, 2004

Senyawa bioaktif yang dihasilkan fungi laut memiliki aktivitas yang


berbeda-beda terhadap organisme target. Sebagain besar senyawa-senyawa ini
memiliki aktivitas antimikroba dan antikanker. Cladosporium herbarum yang
diisolasi dari spons Callyspongia aerizusa menghasilkan asam asetil sumiki yang
memiliki aktivitas antibakteri terhadap Basillus subtilis dan Streptococcus aureus
(Bugni and Ireland, 2004). Contoh-contoh senyawa bioaktif yang dihasilkan fungi
laut serta aktivitasnya diperlihatkan pada tabel dibawah ini.

Tabel 4. Metabolit sekunder, spesies fungi, tipe senyawa serta aktivitas dari metabolit
sekunder beberapa spesies fungi laut. Sumber: Raghukumar, 2012

Metabolit sekunder Spesies fungi Tipe senyawa Aktivitas


Asam fusidic Stilbella aciculosa steroid antibakteri
Aspergilitinae Aspergilus Turunan Antibakteri
vesicolor chromone
Guisinol Emericella unguis Depsid Antibakteri
Mikrosphaeropsin Microsphaeropsis Turunan antifungal
sp. eremophilane
Penisitida A Penicillium Turunan Menghambat fungi
chrysogenum poliketida patogenik seperti
10

Bioremediasi

Perkembangan industri yang cepat seiring dengan meningkatnya populasi


menimbulkan pencemaran dan akumulasi berbagai macam zat kimia. Pencemaran
ini memicu upaya-upaya dalam penerapan teknologi-teknologi baru untuk
mengurangi atau menghilangkan bahan pencemar dari lingkungan. Metode-
metode penanganan pencemaran yang saat ini digunakan seperti land filling,
recycling, pyrolysis, dan incineration untuk meremediasi lahan-lahan yang
terkontaminasi ternyata menimbulkan dampak-dampak merugikan terhadap
lingkungan seperti menimbulkan senyawa-senyawa intermediate beracun. Selain
itu, metode-metode ini lebih mahal dan kadang-kadang sulit untuk dilaksanakan,
terutama dalam areal yang luas. Bioremediasi adalah suatu metode penangananan
bahan pencemar dengan menggunakan kemampuan alami maupun kemampuan
hasil rekayasa genetika dari suatu organisme. Bioremediasi merupakan suatu
strategi alternatif yang efektif, ekonomis, serbaguna, dan ramah lingkungan.
Organisme yang dimanfaatkan dalam bioremediasi bisa berupa tumbuhan
(fitoremediasi), bakteri, alga serta fungi (mikoremediasi). Masing-masing
organisme memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam melakukan remediasi
terhadap bahan-bahan pencemar. Fungi merupakan agen bioremediasi yang sering
dimanfaatkan dalam meremediasi limbah-limbah yang mengandung lignin dan
kayu. Fungi menghasilkan enzim-enzim lignoselulitik yang potensial
dimanfaatkan dalam remediasi limbah lignin dan kayu. Fungi laut juga sudah diuji
kemampuannya dalam meremediasi polutan-polutan seperti limbah-limbah tekstil,
hidrokarbon, dan pestisida. Beberapa hasil penelitian tersebut ditunjukkan pada
tabel 5.
11

Tabel 5. Jenis limbah, fungi laut, aktivitas serta sumber literatur yang menguji tentang
aktivitas bioremediasi fungi laut.

Jenis Limbah Jenis fungi Aktivitas Literatur

Limbah tekstil Ascomycetes dan Ascomycetes mengurangi Verma et al.,


(pewarna) Basidiomycetes kandungan warna pada tekstil 2010
dengan cara mengadsorpsi
warna sedangkan
basidiomimycetes menghasilkan
enzim laccase yang berfungsi
untuk mendegradasi zat warna

Cerrena unicolor Menghasilkan enzim laccase D’Souza-Ticlo


yang toleran terhadap kehadiran et al. , 2009
logam berat dan suhu tinggi
(optimum pada suhu 700C)
Hidrokarbon C. maritima, Menggunakan salah satu jenis Kirk et al.,
Lulworthia spp., hidrokarbon yaitu hexadecane 1991
Asteromyees sebagai sumber karbon
eruciatus

Trichosporon Mampu menggunakan MacGillivray


penicilatum polycyclic aromatic and Shiaris ,
hydrocarbons (PAHs) jenis 1993
phenanthrene sebagai sumber
karbon
Pestisida Trichoderma sp. Mendegradasi DDD yang Ortega et al.,
merupakan hasil penguraian dari 2011
DDT.

Ekosistem

Menurut Nakagiri et al., (1996) dalam Halophytophthora adalah jenis fungi


zoosporik yang hidup terutama di air payau mangrove dan mengkolonisasi serasah
daun mangrove yang terdapat di bawah permukaan air. Halophytophtora dapat
12

tumbuh dan bereproduksi pada kisaran salinitas dan suhu yang luas, tetapi kondisi
optimumnya untuk tumbuh berbeda antara satu jenis dengan jenis lainnya. Jenis
fungi ini paling sering didapatkan pada serasah daun berbagai macam jenis
mangrove yang terdapat di bawah permukaan air di kawasan Asia-Pasifik. Fungi-
fungi ini dengan keanekaragaman jenis, bentuk morfologi, dan sifat fisiologi
selama siklus hidupnya diperkirakan ikut berperan dalam proses dekomposisi
serasah daun mangrove dan kelangsungan ekosistem mangrove. Fungi memainkan
peran penting dalam ekosistem mangrove terutama dalam hubungannya dengan
bakteri untuk mempercepat dekomposisi serasah daun (Fell et al., 1975).
Fungi laut merupakan ekologi daripada kelompok taksonomi dan terdiri dari
kira-kira 1.500 spesies, termasuk mereka yang membentuk lumut. Fungi laut
adalah dekomposer utama kayu dan substrat di ekosistem laut. Fungi laut juga
berperan penting dan memiliki kemampuan secara agresif menurunkan
lignoselulosa dan mendegradasi hewan yang telah mati. Fungi laut merupakan
patogen terhadap tanaman dan hewan, juga membentuk hubungan simbiosis
mutualisme dengan organisme lain.

Simpulan

Jumlah spesies fungi laut lebih rendah dibandingkan dengan fungi


terrestrial tetapi fungi laut memiliki berbagai manfaat yang penting bagi
ekosistem dan manusia. Fungi laut adalah sumber bagi penemuan senyawa-
senyawa bioaktif serta sebagai agen-agen bioremediasi.

Daftar Pustaka

Alias SA, Zainuddin N, Jones EBG. 2010. Biodiversity of marine fungi in


Malaysian mangroves. Botanica Marina. 53:545–554
Bucher, V.V.C., Hyde, K.D., Pointing, S.B. and Reddy, C.A. 2004. Production of
wood decay enzymes, mass loss and lignin solubilization in wood by
marine ascomycetes and their anamorphs. Fungal Diversity.15: 1-14
13

Bugni TS and Ireland CM. 2004. Marine-derived fungi: a chemically and


biologically diverse group of microorganisms [review].
Nat.Prod.Rep.21:143-163
D’Souza-Ticlo D, Sharma D, Raghukumar C. 2009. A thermostable metal-tolerant
laccase with bioremediation potential from a marine-derived fungus. Mar.
Biotechnol.: 11(6):725-737
Damare S, Raghukumar C., Raghukumar S. 2006. Fungi in deep-sea sediments of
the Central Indian Basin. Deep-Sea Research I. 53(1):14–27.
Fell, J.W., R. C. Cefalu, I. M. Masters dan A. S. Tallman. 1975. Microbial
Activities in the Mangrove (Rhizophora mangle L.) Leaf Detrital Systems.
Hlm. 661 – 679 dalam Proceedings of the International Symposiumon
Biology and Management of Mangroves.G.E. Walsh, S. C. Snedaker dan H.
J. Teas (Peny.). Univ. Florida. Gainsville.
Hawksworth, D.L. 2001. The magnitude of fungal diversity : the 1.5 million
species estimate revisited. Mycol. Res. 105(12): 1422–1433.
Hyde, K. D., Gareth, Jones, E.B.G., Leano, E., Pointing, S.B., Poonyth, A.D., and
Vrijmoed, L.P. 1998. Role of fungi in marine ecosystems. Biodiversity and
Conservation. 7: 1147–1161.
Jones EBG. 2000. Marine fungi: some factors influencing biodiversity. Fungal
Diversity 4:
Jones EBG., Sakayaroj J., Suetrong S., Somrithipol S. and Pang KL. 2009.
Classification of marine Ascomycota, anamorphic taxa and
Basidiomycota. Fungal Diversity 35:1-187.
Kirk PW, Dyer BJ, Noe J. 1991. Hydrocarbon utilization by higher marine fungi
from diverse habitats and localities. Mycologia, 83(2):227-230.
MacGillivray AR and Shiaris MP. 1993. Biotransformation of Polycyclic
Aromatic Hydrocarbons by yeasts Isolated from coastal sediments.
Applied and environmental microbiology. 59:1613-1618
Moss ST. 1986. The Biology of Marine Fungi. UK. Cambridge University Press
Nakagiri, A., S.Y. Newell, T. Ito, T.K. Tan dan C. L. Pek. 1996. Biodiversity and
Ecology of the Oomycetous Fungus, Halophytophthora. Diwpa Series 1 :
273-280.
14

Ortega, N.O., Nitschke, M., Mouad, A.M., Landgraf, M.D., Rezende, M.O.O.,
Seleghim, M.H.R., Sette, L. D., Porto, A.L.M.. 2011. Isolation of Brazilian
marine fungi capable of growing on ddd pesticide. Biodegradation. 22:43-
50
Raghukumar C. 2012. Biology of Marine Fungi. New York. Springer-Verlag
Samuel P, Prince L, Prabakaran P. 2011. Antibacterial Activity of Marine derived
Fungi Collected from South East Coast of Tamilnadu, India. J. Microbiol.
Biotech. Res. 1(4):86-94
Torres JMO, Ramirez CSP, dela Cruz TEE. 2011. Occurence and distribution of
marine fungi associated with living and decaying mangrove leaves.
International Conference on Biodiversity and Climate Change 1-3
February 2011, Philipines. Graduate School and Research Cluster for the
Natural and Applied Sciences University of Santo Tomas
Verma AK, Raghukumar C, Verma P, Shouche YS, Naik CG. 2010. Four marine-
derived fungi for bioremediation of raw textile mill effluents.
Biodegradation. 21:217-233

Anda mungkin juga menyukai