Anda di halaman 1dari 20

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN

KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN PARKINSON DI

POLI SARAF RS WAVA HUSADA

MALANG TAHUN 2022

Oleh :

LINGGA DEWI SARASWATI


NIM. 212102245

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN MALANG


WIDYA CIPTA HUSADA
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
DESEMBER 2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Parkinson termasuk ke dalam salah satu penyakit saraf neurodegenerative

yang jumlah populasi dan insidennya akan meningkat seiring bertambahnya

usia, biasanya insiden penyakit ini terjadi pada pasien yang berusia 65 sampai

70 tahun. Terkadang dapat ditemukan kasus sekitar 5% sampai dengan 10%

pada pasien Parkinson berusia sebelum 40 tahun yang mana disebabkan oleh

faktor genetik dengan onset yang lebih awal (Suharti, 2020).

Pada umumnya penyakit Parkinson muncul pada usia 40-70 tahun, rata-

rata di atas usia 55 tahun, lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding

perempuan dengan rasio 3:2. Prevalensi tertinggi penyakit Parkinson terjadi

pada ras Kaukasian di Amerika Utara dan ras Eropa (0,98% hingga 1,94%);

menengah terdapat pada ras Asia (0,018%) dan prevalensi terendah terdapat

pada ras kulit hitam di Afrika (0,01%) (Sjahrir H, 2007; Locascio et al., 2003).

Data menunjukkan bahwa total penduduk Indonesia yang berjumlah

238.452.952 jiwa, terdapat 876.665 jiwa yang terkena penyakit Parkinson

(Noviani et al., 2010). Total kejadian yang mampu menewaskan pasien

Parkinson di Indonesia menduduki urutan ke-5 di Asia pada tahun 2002 dengan

ditunjukkan kejadian kematian sebanyak 110 jiwa serta urutan ke-12 di dunia.

1
3

Berdasarkan data WHO, insidensi penyakit Parkinson di Asia

menunjukkan 1,5 sampai 8,7 kasus per tahun di China dan Taiwan, sedangkan

di Singapura, Wayakama dan Jepang, terdapat 6,7 sampai 8,3 kasus per tahun,

dengan kisaran umur 60 sampai 96 tahun dan jarang ditemukan pada umur <

50 tahun (Kasandra, 2017; Muangpaisan, 2009).

Di Indonesia, diperkirakan 10 orang dari setiap tahunnya mengalami

penyakit Parkinson. Penderita Parkinson sampai saat ini sekitar 200.000-

400.000 (Kasandra, 2017; Piazon & Adnyana, 2015). Penyakit Parkinson

diperkirakan menyerang 876.665 orang di Indonesia dari total jumlah

penduduk sebesar 238.452.952. Total kasus kematian akibat penyakit

Parkinson di Indonesia menempati peringkat ke-12 di dunia atau peringkat ke-5

di Asia dengan prevalensi mencapai 1100 kematian pada tahun 2002 (WHO,

2004).

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan

dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien Parkinson di

poli saraf RS Wava Husada Malang?


4

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan umum penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengetahui hubungan

dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien

Parkinson di poli saraf RS Wava Husada Malang.

1.3.2. Tujuan khusus penelitian

1. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum

obat pada pasien Parkinson di poli saraf RS Wava Husada Malang .

2. Untuk menghitung gambaran kejadian penyakit parkinson di RS Wava

Husada periode Juli 2022 – Desember 2022 berdasarkan umur.

3. Untuk menghitung gambaran kejadian penyakit parkinson di RS Wava

Husada periode Juli 2022 – Desember 2022 berdasarkan jenis kelamin

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan

pengetahuan pembaca tentang hubungan dukungan keluarga dengan

kepatuhan minum obat pada pasien Parkinson di poli saraf RS Wava

Husada Malang.

1.4.2. Manfaat praktis


1. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dipublikasikan kepada mahasiswa

sehingga dapat menambah referensi dan pengetahuan mahasiswa

tentang hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum

obat pada pasien Parkinson di poli saraf RS Wava Husada Malang.


5

2. Bagi responden

Keluarga mendapatkan informasi mengenai hubungan dukungan

keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien Parkinson di

poli saraf RS Wava Husada Malang..

3. Bagi Peneliti

Memberikan kesempatan bagi penulis untuk menerapkan

pengetahuan yang diperoleh dari bangku perkuliahan serta

menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan tentang hubungan

dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien

Parkinson, serta menambah wawasan pemahaman peneliti dalam

mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, dan

menyajikan data.

4. Bagi Institusi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi tenaga

kesehatan yang terkait khususnya perawat yang bertugas di RS

Wava Husada Kepanjen Malang untuk lebih memperhatikan

dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien

parkinson

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi

peneliti selanjutnya yang meneliti tentang hubungan dukungan

keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien Parkinson

6. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini dapat menjadi intervensi peran perawat sebagai

educator dalam memberi edukasi kepada pasien dan keluarga


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Parkinson
2.1.1. Pengertian Parkinson
Penyakit Parkinson adalah salah satu penyakit

neurodegeneratif yang menyebabkan penderitanya mengalami

gangguan fungsi otak dan menurunnya kontrol otak. Penyakit ini

merupakan kelainan neurologis kronis dan progresif yang ditandai

dengan tremor, rigiditas, bradikinesia, dan kehilangan refleks postural

yang menyerang individu diatas 65 tahun (Oczkowska, et al, 2014) .

Gangguan neurodegenerative otak pada penyakit Parkinson

berlangsung lambat pada kebanyakan orang dan membutuhkan waktu

bertahun-tahun untuk berkembang yang mana tidak hanya muncul

gejala motorik namun gejala non motorik juga kerapkali muncul

yakni gangguan tidur (RBD), gangguan kognitif (demensia), defisit

olfaktori, kelainan mood (depresi dan cemas), nyeri, hiposmia,

konstipasi dan dysautonomia (Kouli et al., 2018).

Parkinsonisme termasuk ke dalam sindrom gangguan

neurologi yang menyebabkan pergerakan menjadi bermasalah,

memiliki gejala motorik yang menyerupai penyakit Parkinson seperti

tremor, gerakan melamban (akinesia/bradykinesia-hipokinesia),

rigiditas, dan hilangnya refleks postural yang dikarenakan berbagai

macam sebab yang dapat mengakibatkan kadar dopamin menjadi

menurun (Bahrudin, 2019). Parkinsonisme juga dikenal sebagai

penyakit Parkinson atypical atau Parkinson plus atau Parkinsonian

syndromes mewakili sekitar 10-15% dari seluruh kasus

Parkinsonisme yang telah ditegakkan diagnosisnya (Parkinson’s


Foundation, 2018).

2.1.2. Faktor Resiko Parkinson

a. Usia

Bertambahnya usia berpengaruh penting sebagai faktor risiko yang

paling konsisten dalam perkembangan PD. Hal ini ditemukan dalam

studi epidemiologi deskriptif dan cohort prospective dari berbagai

belahan dunia bahwa sekitar 5% pasien PD memiliki onset sebelum

usia 50 tahun sehingga prevalensi PD meningkat seiring

bertambahnya usia mempengaruhi sekitar 2% dari orang yang berusia

65 tahun ke atas (Tan, 2013).

b. Jenis kelamin

Pria memiki peningkatan risiko terkena PD sebanyak 1,5 hingga 2

kali lipat (Tan, 2013). Hal tersebut dikarenakan hormon pada pria

tidak ada hubungannya dengan fungsi protektif yang dimiliki oleh

hormon wanita premenopause yaitu estrogen (Georgiev et al., 2017).

Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Rajsombath Molly tahun

2019, menjelaskan bahwa hormon estrogen yang dimiliki wanita

dapat berguna untuk mengatur sintesis dopamin dan melepaskan

hormon dopamin yang berada di wilayah jalur nigrostriatal serta

hormon estrogen sebagai antioksidan memberikan efek penurunan

pembentukan neurotoxin hidrogen peroksida dan nitrat oksida radikal

bebas pada neuron yang mengalami stres oksidatif. Tetapi, masih

belum diketahui dengan jelas mekanisme estrogen yang berkaitan

dengan penyakit ini (Rajsombath et al., 2019).


c. Pekerjaan

Pekerjaan berisiko terhadap munculnya dan meningkatnya

progresivitas PD adalah petani kebun, petani sayur dan pekerja

industri. Beberapa penelitian dari berbagai negara menunjukkan

orang-orang dengan paparan tinggi pestisida, insektisida, herbisida,

1-methyl-4-phenyl1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP), timah,

mangan, magnesium, besi, dan logam berat lainnya yang

terakumulasi menjadi potensi neurotoxin pada neuron dopaminergic

di substantia nigra disertai peningkatan oksidatif stres. Disfungsi

neuron dan mitokondria dapat terjadi karena neuroinflamasi pada

otak yang terus-menerus menimbulkan patogenesis dari penyakit

Parkinson (Tan, 2013 dan Cerri et al., 2019).

d. Obat-obatan

Parkinsonisme yang diinduksi oleh obat antipsikotik terutama

antipsikotik tipikal berupa haloperidol dan chlorpromazine

memberikan efek pada reseptor dopaminergic di sistem saraf pusat

sehingga dapat menyebabkan Parkinsonisme dengan gejala tardive

dyskinesia, akathisia dan distonia. Obat antipsikotik atypical seperti

risperidone dan olanzapine juga berpengaruh pada extrapyramidal

sehingga menjadi efek extrapyramidal yang memicu munculnya

Parkinsonisme (Greenland J., 2018). Obat lain yang memicu

Parkinsonisme juga didapatkan pada obat golongan antiemetik yaitu

metoklopramid dan domperidone, golongan calcium channel blockers

yaitu flunarizine dan cinnarizine, golongan antiepileptik yaitu sodium

valproate dan fenitoin, golongan deplesi dopamin yaitu tetrabenazine


serta golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)

antidepresan (Greenland J., 2018).


10

2.1.3. Klasifikasi Parkinson

Menurut PERDOSSI tahun 2015, penyakit Parkinson dibagi menjadi 4

klasifikasi yaitu:

a. Idiopathic atau Primer Parkinsonism adalah penyakit Parkinson yang

diakibatkan oleh genetik.

b. Simtomatik atau Secondary Parkinsonism adalah penyakit Parkinson

yang diakibatkan oleh toksin (paparan timah, mangan, magnesium, kobalt,

sianida, MPTP, etanol, metanol dll) infeksi (pasca ensefalitis), obat-obatan

(neuroleptik atau antipsikotik, antiemetik, reserpine, litium dll), trauma

craniocerebral, tumor otak, vaskular (cerebral multi-infarct), hipotiroid,

obstructive hydrocephalus, hydrocephalus tekanan normal.

c. Parkinson plus syndrome (multiple system degeneration) adalah primer

Parkinsonism disertai gejala-gejala tambahan. Termasuk demensia DLB,

progressive supranuclear palsy, atrofi striatonigral, atrofi

olivopontocerebelar, corticobasal degeneration, Parkinsonism-

dementiaALS complex of Guam (PDACG), dan atrofi pallidal progresif,.

d. Parkinsonisme herediter adalah penyakit Parkinson yang diakibatkan

dari Hereditary juvenile dystonia Parkinsonism, penyakit Lewy bodies,

penyakit Huntington, dan penyakit Wilson.

2.1.4. Manifestasi Klinis Parkinson

Anamnesis dan pemeriksaan umum pada pasien Parkinson yang

telah terdiagnosis menunjukkan gejala non spesifik berupa merasa kurang

sehat disertai kecemasan, kelemahan ekstremitas, kekakuan pada otot,

kram otot atau pegalpegal, ketidakstabilan postur tubuh, distonia fokal,

dan gejala prodromal yaitu penurunan fungsi penghidu, kantuk luar biasa
11
pada siang hari, gangguan perilaku saat tidur, konstipasi, hipotensi

ortostatik, dan gejala psikiatrik (ansietas atau depresi) (Armstrong M.,

2020). Pasien Parkinson bermanifestasi klinis baik motorik atau

karakteristik cardinal. Parkinson diikuti dengan gejala non motorik

sebagai berikut:

1. Motorik:

a. Tremor

17 Gejala primer motorik pertama yang paling mudah dikenali pada

penyakit Parkinson yaitu tremor khas “pill-rolling” (pronasi atau supinasi).

Dimulai pada salah satu ekstremitas tangan lalu berkembang meluas pada

tungkai sisi yang sama hingga sisi yang normal akan turut terkena.

Stadium awal terkadang pasien sering melihat kejadian tremor saat sedang

berisitirahat seperti melihat televisi bahkan sepanjang konsultasi ke

dokter. Tremor akan terlihat menonjol bila pasien sibuk beraktivitas

(Greenland J., 2018). Karakteristik frekuensi rendah pada tremor

Parkinson sebesar 4-7 gerakan per detik dan timbul saat istirahat dan

berkurang jika ekstremitas digerakan. Tremor akan meningkat pada

keadaan emosi dan menghilang pada waktu tidur (PERDOSSI, 2015).

b. Rigiditas

Pasien biasanya mengeluh terjadi nyeri punggung dan atau bahu sebagai

akibat dari tonus otot yang asimetris, kekakuan unilateral rigiditas terbatas

pada ekstremitas atas, dan terdeteksi ada gerakan pasif. Rigiditas muncul

disebabkan oleh motor neuron alfa mengalami peningkatan aktivitas,

sehingga rigiditas yang lebih berat dan menyeluruh bila digerakkan secara

pasif, akan timbul tahanan pada persendian pasien Parkinson stadium

lanjut (PERDOSSI, 2015). Rigiditas terpicu apabila ada regangan pada

otot agonis (fleksor) dan antagonis (ekstensor), dimana saat pasien dalam

kondisi rileks diminta untuk melakukan gerakan mengangkat lengan ke


12
atas lalu ke bawah, maka akan didapatkan tahanan di sepanjang gerakan

“Fenomena Pipa 18 Timah (Lead pipe)” bahkan tahanan yang bergantian

tiap geraknya “Fenomena Roda Gigi (Cogwheel phenomenon)”

(Greenland J., 2018). Oleh karena itu, rigiditas termasuk ke dalam gejala

motorik primer yang sering ditemui kedua setelah tremor (Varadi C.,

2020).

c. Bradykinesia

Adanya kerusakan pada sirkuit neuron motorik berpengaruh terhadap

kontrol motorik (Oroz et al., 2009). Kecepatan gerak spontan menjadi

sangat berkurang. Dimana, terdapat perlambatan gerak volunter yang

menyulitkan permulaan gerakan sehingga gerak semakin kecil

(hipokinesia) yang dapat ditunjukkan dalam perubahan penulisan tangan

dan langkah kaki yang mengecil atau sikap Parkinson (Armstrong M.,

2020). Tampilan tulisan tangan yang kecil dan semakin mengecil,

cenderung melewati garis pembatas kalimat (micrographia). Sikap pasien

Parkinson stadium lanjut terlihat sikap posisi kepala fleksi ke arah dada,

bahu condong (bungkuk) ke depan diikuti dengan punggung yang

melengkung ke depan, dan lengan tidak melenggang bila berjalan bicara

juga ikut melambat, monoton dengan berkurangnya volume suara (seperti

suara berbisik) termasuk halangan besar yang dialami oleh pasien karena

kesulitan saat diajak berbicara (hipofonia) atau pasien mengalami keadaan

jarang menelan sehingga air liur meningkat dan keluar dari mulut.

Penurunan gerak mimik wajah atau ekspresi muka (hipomimia atau muka

topeng) diikuti penurunan frekuensi kedipan mata (Greenland J., 2018). 19

d. Ketidakstabilan refleks postural

Gejala utama dari hilangnya refleks postural biasanya hanya

bermanifestasi pada penyakit Parkinson stadium lanjut, bukan pada

stadium awal. Pasien dengan penyakit Parkinson stadium lanjut selama 5


13
tahun hanya 37% yang mengalami gejala ini. Terganggunya posisi tubuh

menjadi waspada disebabkan oleh kegagalan integrasi dari saraf

proprioseptif, labirin dan sebagian kecil impuls mata pada level thalamus

dan basal ganglia. Akibat dari gejala ini memberikan tanggung jawab pada

kejadian patah tulang pinggul pasien penyakit Parkinson dikarenakan

tubuh tidak stabil dan mudah terjatuh (Varadi C., 2020).

2. Non Motorik:

a. Disfungsi otonom

Progresivitas neurodegenerasi pasien penyakit Parkinson dalam

menjalankan fungsi pengaturan sistem otonom pada nucleus dorsalis

vagus, nucleus ambiguus dan pusat medullary lainnya seperti medulla

ventrolateral, rostral medulla, medulla ventromedial, dan caudal nucleus

raphe akan menghilang fungsinya dan berdampak pada sistem saraf

otonom postganglion sentral dan perifer yang menunjukkan beberapa

gejala disfungsi otonom di sistem kardiovaskular (hipotensi ortostatik dan

aritmia jantung), sistem gastrointestinal (konstipasi, kegagalan fungsi

menelan karena disfagia atau sialorrhea, penurunan berat badan, air liur

yang menetes di malam hari atau drooling dan disfungsi defekasi), sistem

urogenital (disfungsi urine seperti retensi 20 urine, disfungsi seksual

seperti impoten dan penurunan hasrat seksual, disfungsi thermoregulator

seperti hiperhidrosis nocturnal sweating dan intoleran suhu dingin atau

panas) (Chen et al., 2020).

b. Demensia

Prevalensi gejala non motorik berupa demensia timbul setelah 20 tahun

mengalami PD berkisar 83% (Kouli et al., 2018). Sindrom kemampuan

intelektual yang menurun secara progresif menyebabkan deteriorasi

kognisi dan fungsional sehingga timbul gangguan fungsi sosial, aktivitas

sehari-hari dan pekerjaan. Konsekuensi patologis dari penyakit Parkinson


14
bersifat kompleks dikarenakan akan berkembang menjadi kompleks

Parkinsonism demensia. Stadium lanjut pada penyakit Parkinson akan

memunculkan gejala neuropsychiatry berupa demensia yang ditandai

defisit fungsi luhur meliputi disfungsi fungsi kognisi di lobus temporalis

dan disfungsi eksekutif di lobus frontalis pada stadium awal. Defisit fungsi

luhur pasien PD ditemukan lebih berat dan sangat berpengaruh

dampaknya terhadap memori jangka panjang pasien, fungsi eksekutif,

fungsi visuospasial dan gangguan bahasa, bila dibandingkan dengan

seseorang dengan proses penuaan yang normal (Oroz et al., 2009).

c. Depresi

Sekitar 40-50% gejala depresi tampak pada pasien penyakit Parkinson

stadium lanjut. Depresi merupakan gangguan mood yang mempengaruhi

perilaku pribadi (Varadi C., 2020). Depresi bersifat 21 endogen, adanya

ketidakseimbangan neurotransmiter pada area otak yang mengalami

degenerasi dalam menghasilkan dopamin, serotonin, dan norepinefrin

berdampak pada perubahan emosi (timbul perasaan sedih, tidak berdaya

dan cemas), motivasi (seperti kehilangan minat), penurunan nafsu makan,

regulasi tidur yang kacau (timbul gangguan tidur) dan kehabisan energi

(Schwarz et al., 2011). Penurunan kualitas hidup muncul seiring perasaan

sedih yang berkepanjangan bagi pasien menyebabkan perbandingan

kondisi fisik pasien dengan orang normal membuat pasien kehilangan

motivasi dalam mengembangkan potensi diri, kehilangan harga diri

dikarenakan selalu bergantung dengan orang lain, bahkan kehilangan

pekerjaan (Menon et al., 2015).


15

2.2. Dukungan Keluarga


2.2.1 Pengertian Keluarga

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang yang hidup dalam satu

rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka

saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing, dan

menciptakan dan mempertahankan suatu budaya (Andarmoyo, 2012)

Keluarga adalah suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar

perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau

seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa

anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga

(Muklisin, 2012)
16
2.2.2 Tipe Keluarga

Menurut Muklisin (2012) tipe keluarga terdiri dari dua yaitu:

1) Tipe keluarga tradisional

a. Nuclear family atau keluarga inti adalah suatu rumah tangga yang terdiri dari suami,

istri dan anak kandung atau anak adopsi.

b. Extended family atau keluarga besar adalah keluarga inti ditambah dengan keluarga

lain yang mempunyai hubungan darah, misalnya kakek, nenek, bibi dan paman.

c. Dyad family adalah keluarga yang terdiri dari suami dan istri yang tinggal dalam satu

rumah tanpa anak.

d. Single parent family adalah suatu keluarga yang terdiri dari satu orang tua dan anak

(kandung atau angkat). Kondisi ini dapat disebabkan oleh perceraian atau kematian.

e. Single adult adalah satu rumah tangga yang terdiri dari satu orang dewasa

f. Keluarga usia lanjut adalah keluarga yang terdiri dari suami dan istri yang sudah lanjut

usia.

2) Tipe keluarga non tradisional

a. Keluarga communy yang terdiri dari satu keluarga tanpa pertalian darah, hidup dalam

satu rumah.

b. Orang tua (ayah, ibu) yang tidak ada ikatan perkawinan dan anak, hidup bersama

dalam satu rumah tangga.

c. Homo seksual dan lesbian adalah dia individu sejenis yang hidup bersama dalam satu

rumah dan berperilaku layaknya suami istri.


17

2.2.3 Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah upaya yang diberikan kepada anggota

keluarga baik moril maupun materiil berupa motivasi, saran, informasi

dan bantuan yang nyata. Dukungan keluarga dapat diperoleh dari

anggota keluarga (suami, istri, anak, dan kerabat), teman dekat atau

relasi. (Karunia, 2016).

Menurut Ambarwari (2010) dalam (Rizkiyanti, 2014) bahwa

dukungan keluarga dapat memperkuat setiap individu, menciptakan

kekuatan keluarga, memperbesar penghargaan terhadap diri sendiri,

mempunyai potensi sebagai strategi pencegahan yang utama bagi

seluruh keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari.

2.2.4 Jenis Dukungan Keluarga

Menurut House and Kahn (1985) dalam Friedman et al., (2010), terdapat

empat tipe dukungan keluarga yaitu dukungan emosional, dukungan

penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasional.

a. Dukungan emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk

istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaaan

emosional. Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki

perasaan nyaman, yakin, diterima oleh anggota keluarga berupa

ungkapan empati, kepedulian, perhatian, cinta, kepercayaan,

rasa aman dan selalu mendampingi pasien dalam perawatan.

Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang


18

dianggap tidak terkontrol.

b. Dukungan penghargaan

Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik,

membimbing dan menengahi pemecahan dan validator identitas

anggota keluarga. Dimensi ini terjadi melalui ekspresi berupa

sambutan yang positif dengan orangorang disekitarnya,

dorongan atau pernyataan setuju terhadap ide-ide atau perasaan

individu. Dukungan ini membuat seseorang merasa berharga,

kompeten dan dihargai. Dukungan penghargaan juga merupakan

bentuk fungsi afektif keluarga yang dapat meningkatkan status

psikososial pada keluarga yang sakit. Melalui dukungan ini,

individu akan mendapat pengakuan atas kemampuan dan

keahlian yang dimilikinya.

c. Dukungan instrumental

Dukungan instrumental (peralatan atau fasilitas) yang dapat

diterima oleh anggota keluarga yang sakit melibatkan

penyediaan sarana untuk mempermudah perilaku membantu

pasien yang mencakup bantuan langsung biasanya berupa

bentuk-bentuk kongkrit yaitu berupa uang, peluang, waktu, dan

lain-lain. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stres karena

individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang

berhubungan dengan materi.

d. Dukungan informasi

Dukungan informasi merupakan bentuk dukungan yang meliputi

pemberian informasi, sarana atau umpan balik tentang situasi


19

dan kondisi individu. Menurut Nursalam (2008) dukungan ini

berupa pemberian nasehat dengan mengingatkan individu untuk

menjalankan pengobatan atau perawatan yang telah

direkomendasikan oleh petugas kesehatan (tentang pola makan

sehari- hari, aktivitas fisik atau latihan jasmani, minum obat,

dan kontrol), mengingatkan tentang prilaku yang memperburuk

penyakit individu serta memberikan penjelasan mengenai hal

pemeriksaan dan pengobatan dari dokter yang merawat ataupun

menjelaskan hal-hal yang tidak jelas tentang penyakit yang

diderita individu.

2.3 Kepatuhan Minum Obat

2.3.1 Definisi Kepatuhan Pengobatan

Menurut KBBI (2016) definisi dari kepatuhan adalah sifat patuh atau ketaatan. Berdasarkan

pengertian tersebut maka, kepatuhan pengobatan adalah seberapa jauh perilaku minum obat,

mengikuti diet, dan/atau melaksanakan perubahan gaya hidup sesorang, sesuai dengan

rekomendasi yang telah disepakati dari penyedia pelayanan kesehatan (Fincham, 2007).

Kepatuhan terhadap pengobatan dapat juga didefinisikan sebagai proses ketika pasien

mengambil obat mereka seperti yang telah diresepkan sesuai dengan tiga fase kuantitatif yaitu

inisiasi, implementasi dan penghentian (Holmes, et al. 2014).

Minum obat dengan benar juga melibatkan lebih dari sekedar membaca “petunjuk pada

botol”. Kepatuhan yang tepat untuk rejimen pengobatan melibatkan 6 faktor kunci meliputi:

(a) minum obat yang tepat; (b) minum dosis obat dengan tepat; (c) minum obat pada waktu

yang tepat; (d) mengikuti jadwal yang tepat; (e) minum obat pada kondisi yang tepat,

misalnya, obat harus diminum pada saat perut kosong; (f) minum obat dengan tindakan
20

pencegahan yang tepat misalnya, simvastatin tidak harus diminum dengan jus jeruk (Tanna,

2016)

Anda mungkin juga menyukai