Buku Dampak Pa Heru
Buku Dampak Pa Heru
UDARA TERHADAP
RESPONS IMUN
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa seru bagi seluruh alam, atas
rahmat dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan buku referensi dengan
judul Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun: Teori dan
Praktik pada Perajin Logam. Buku referensi ini diperuntukkan sebagai
buku rujukan bagi kalangan akademis, praktisi kesehatan, mahasiswa, dan
pemangku kepentingan lainnya. Buku ini sebagian besar bersumber dari
hasil Disertasi penulis sewaktu menyelesaikan kuliah pada Program Doktor
Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Pascasarjana Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Buku ini terdiri atas bagian pertama/
Bab 1 berisi PENGERTIAN, Pencemaran Udara, Polutan yang Berdampak
terhadap Penyakit Akibat Kerja, Pencegahan Penyakit Akibat Kerja (PAK)
dan Kecelakaan Kerja, serta Hierarki Pengendalian Bahaya untuk Pencegahan
Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja. Bab 2 berisi FATOFISIOLOGI
SALURAN NAPAS DAN FUNGSI PARU, serta Fatofisiologi Saluran
Napas dan Fungsi Paru. Bab 3 berisi PENGUKURAN FAAL PARU DAN
PEMERIKSAAN IMUNOGLOBULIN, Pemeriksaan Kapasitas Paru Perajin
Logam Digunakan Spirometer (SNI, 2005), Jenis Imunoglobulin Serum
(Antibodi) yang Diperiksa pada Pekerja, dan Pemeriksaan Kadar IgE total
dan IgG total Serum Digunakan Tes ELISA (ADVIA Centaur Systems,
2011 dan ADVIA Chemistry Systems, 2007). Bab 4 berisi GANGGUAN
FUNGSI PARU DAN IMUNOGLOBULIN AKIBAT POLUTAN SO 2,
NO2, DAN CO. Bab 5 berisi DAMPAK UAP BESI DAN DEBU BESI
TERHADAP FUNGSI PARU DAN IMUNOGLOBULIN (IgE DAN IgG).
Bab 6 terdiri atas KARAKTERISTIK POLUTAN (Studi Kasus pada Unit
Perajin Logam), Sumber Bahaya dan Potensi Risiko pada Unit Perajin Logam,
serta Imunotoksisitas. Bab 7 berisi tentang STUDI KASUS GANGGUAN
KESEHATAN PERAJIN LOGAM, Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi dan
Debu Besi dengan Restriktif (FVC), Obstruktif (FEV1) dan Gabungan
(FVC+FEV1), serta Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi dan Debu Besi dengan
Peningkatan Kadar IgE total dan IgG total Serum Perajin Logam. BAB 8
Penulis
viii Husaini
SAMBUTAN
Assalamualaikum w.w.
Sungguh saya merasa bangga dan terharu dengan disusunnya buku
mengenai Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun: Teori dan
Praktik pada Perajin Logam ini, sebab buku mengenai polutan di tempat
kerja itu amat diperlukan untuk khazanah belajar dan mengajar yang berkaitan
dengan ilmu-ilmu kesehatan masyarakat, yaitu meliputi ilmu kesehatan kerja,
ilmu kesehatan lingkungan, ilmu promosi kesehatan, dan lain-lainnya.
Buku tulisan Dr. Husaini, S.K.M., M.Kes. yang diterbitkan pada 2016
diharapkan akan mampu mengisi kekosongan buku-buku ilmu kesehatan kerja
yang selama ini terasa kosong di Indonesia, sehingga tentu berkaitan dengan
terbitnya buku ini amat ditunggu terbitnya buku-buku lainnya yang mampu
menyerap temuan-temuan baru serta mampu memberikan motivasi-motivasi
kepada para pembacanya agar dapat menjadi mahasiswa yang andal serta
lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang berkualitas.
Acapkali dikatakan oleh para ulama tentang beberapa hal, yaitu bila
keluarga atau handai taulan dan harta benda itu hanya dapat menghantarkan
jenazah ke liang kubur, lalu mereka kembali lagi kepada keluarganya lagi,
namun amal ibadah yaitu ilmu yang bermanfaat akan menyertai manusia yang
telah meninggal itu selama-lamanya. Kiranya dalam waktu religi yang seperti
inilah hendaknya para ilmuwan dapat menempatkan diri dan memakluminya.
Wassalammualaikum w.w.
DEDIKASI.............................................................................................. v
SAMBUTAN........................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN......................................................................... xvii
DAFTAR ISI............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL.................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR............................................................................... xv
BAB 1 PENGERTIAN...................................................................... 1
1.1 Pencemaran Udara......................................................... 1
1.2. Polutan yang Berdampak terhadap Penyakit Akibat
Kerja............................................................................... 2
1.3. Pencegahan Penyakit akibat Kerja (PAK) dan
Kecelakaan Kerja........................................................... 3
1.4. Hierarki Pengendalian Bahaya untuk Pencegahan
Kecelakaan dan Penyakit akibat Kerja........................... 5
Daftar Pustaka........................................................................ 7
BAB 2 FATOFISIOLOGI SALURAN NAPAS DAN FUNGSI
PARU..................................................................................... 9
2.1. Fatofisiologi Saluran Napas dan Fungsi Paru................ 9
Daftar Pustaka........................................................................ 12
BAB 3 PENGUKURAN FAAL PARU DAN PEMERIKSAAN
IMUNOGLOBULIN............................................................ 13
3.1. Pemeriksaan Kapasitas Paru Perajin Logam digunakan
Spirometer...................................................................... 20
3.2. Jenis Imunoglobin Serum (Antibodi) yang diperiksa
xii Husaini
8.9. Prosedur Operasional Standar (POS) bagi Perajin
Logam ........................................................................... 95
8.10. Pelaporan........................................................................ 97
8.11. Evaluasi.......................................................................... 97
Daftar Pustaka........................................................................ 98
BAB 9 PENUTUP............................................................................. 99
PROFIL PENULIS.................................................................................. 101
Tabel 6.1. Tanda dan Gejala Klinis Keracunan Gas CO dalam Tubuh..... 46
xiv Husaini
DAFTAR GAMBAR
xviii Husaini
Bab 1
PENGERTIAN
2 Husaini
1. Golongan fisik, seperti:
Suara yang biasa menyababkan pekak atau tuli. Radiasi, misalnya
berasal dari bahan-bahan radioaktif yang menyebabkan antara lain penyakit-
penyakit sistem darah dan kulit, sedangkan radiasi non-pengion, misalnya
radiasi elektromagnetik yang berasal dari peralatan yang menggunakan listrik.
Radiasi sinar inframerah dapat mengakibatkan katarak pada lensa mata,
sedangkan sinar ultraviolet menjadi sebab konjungtivitas foto-electrica.
Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke, heat cramps, atau
hyperpyrexia, sedangkan suhu-suhu yang rendah antara lain menimbulkan
frosbite. Tekanan yang tinggi menyebabkan caisson disease. Penerangan
lampu yang kurang baik, misalnya menyebabkan kelainan pada indera
penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan.
2. Golongan kimiawi, yaitu:
Debu yang menyebabkan pnemokoniosis, di antaranya silikosis,
bisinosis, asbestosis, dan lain-lain. Uap yang di antaranya menyebabkan metal
fume fever (demam karena terisap uap logam), dermatitis, atau keracunan.
Gas, misalnya keracunan oleh CO, H2S, dan lain-lain. Larutan yang dapat
menyebabkan dermatitis. Awan atau kabut, misalnya racun serangga
(insecticides), racun jamur, dan lain-lain yang dapat menimbulkan keracunan.
3. Golongan infeksi, misalnya oleh bakteri, virus, parasit, maupun jamur.
4. Golongan fisiologis, yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan konstruksi
mesin, sikap badan kurang baik, salah cara melakukan pekerjaan, dan
lain-lain yang semuanya menimbulkan kelelahan fisik, bahkan lambat
laun perubahan fisik tubuh pekerja.
5. Golongan mental-psikologis, dibahas dua gangguan jiwa yang menonjol,
yaitu stres psikologis dan depresi.
Penyakit akibat kerja dan kecelakaan tidak terjadi secara kebetulan, tetapi
ada penyebabnya. Kecelakaan akibat kerja sesungguhnya dapat dicegah asal
ada kemauan yang kuat untuk mencegah. (Silalahi dan Silalahi, 1991).
4 Husaini
1 . 4 . H I E R A R K I P E N G E N D A L I A N B A H AYA U N T U K
PENCEGAHAN KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT
KERJA
6 Husaini
Dalam aplikasi pengendalian bahaya, selain kita berfokus pada hierarkinya,
dipikirkan pula kombinasi beberapa pengendalian lainnya agar efektivitasnya
tinggi sehingga bahaya dan risiko yang ada semakin kecil untuk menimbulkan
kecelakaan. Sebagai contoh adanya unit mesin baru yang sebelumnya
memiliki kebisingan 100 dBA diberikan enclosure (lampiran) (dengan
metode engineering control) sehingga memiliki kebisingan 90 dBA. Selain
itu, ditambahkan pula tanda keselamatan di lokasi kerja, adanya pemeliharaan
dalam pencegahan untuk menjaga keandalan mesin, dan kebisingan terjaga.
Untuk pengukuran kebisingan secara berkala, diberikan pelatihan dan
penggunaan sumbat telinga yang sesuai (Silalahi dan Silalahi, 1991).
DAFTAR PUSTAKA
8 Husaini
Bab 2
FATOFISIOLOGI SALURAN
NAPAS DAN FUNGSI PARU
10 Husaini
2. Emfisema
Emfisema didefenisikan sebagai suatu pelebaran normal dari ruang-ruang
udara paru, disertai dengan destruksi dari dindingnya. Pelebaran ruang udara
yang tidak disertai destruksi disebut overinflasi atau hiperinflasi.
Beberapa jenis emfisema:
a) Emfisema sentrilobular termasuk kelainan pada asinus proksimal
(bronkioli respiratorik), namun bila progresif, dilatasi dan destruktif
dari dinding distal alveoli juga akan terjadi. Secara khas, perubahan
akan lebih sering dan lebih berat di bagian atas daripada di bagian
zona bawah lobus. Bentuk emfisema ini adalah penyakit yang paling
dominan pada perokok.
b) Emfisema panasinar, terjadi pelebaran alveoli yang progresif dan
duktus alveoli, serta hilangnya dinding batas antara duktus alveoli
dan alveoli. Dengan progresivitas dan destruktif dari dinding alveoli
ini, ada simplikasi dari struktur paru. Bila proses menjadi difus,
biasanya lebih jelas tandanya pada lobus bawah, bentuk emfisema
ini lebih sering terjadi pada wanita dewasa, walaupun perokok dapat
menyebabkan bentuk dari emfisema ini, namun hubungan tersebut
tidak sesering pada emfisema sentilobuler.
c) Emfisema parasepta atau sub pleura, biasanya terbatas pada zona
subpleura dan sepanjang septa interlobaris, yang ditandai dengan
keterlibatan asinus distal, alveoli, dan kadang-kadang duktus alveoli.
Bentuk ini sering menimbulkan gelembung bula yang besar langsung
di bawah pleura, dan juga dapat menimbulkan pneumotoraks pada
dewasa muda (Corwin, 2008).
d) Emfisema ireguler, emfisema ini sering dihubungkan dengan partum
paru, bentuk ini biasanya terbatas ekstensinya, karena itu hanya
menyebabkan dampak yang kecil pada fungsi pernapasan (Corwin,
2008).
3. Penyakit paru Interstisial (Restriktif)
Penyakit paru interstisal dimulai dengan proses peradangan interstisal,
terutama yang mengenai septa-septa, sel imunokompeten yang aktif, dan
kemudian terkumpul di dinding alveolar yang menjadi penyebab kerusakan.
Akibat yang paling ditakutkan dari penyakit ini adalah penebalan fibrosis
dinding alveolar yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi
pernapasan dan mengacaukan arsitektur paru. Bersamaan dengan itu, pembuluh
halus menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran dinding
alveolar dan kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran rongga
DAFTAR PUSTAKA
12 Husaini
Bab 3
PENGUKURAN FAAL
PARU DAN PEMERIKSAAN
IMUNOGLOBULIN
14 Husaini
demikian dapat mencegah peningkatan aliran selanjutnya. Oleh karena itu, di
luar tingkat kritis kekuatan ekspirasi, aliran ekspirasi maksimum telah tercapai.
Gambar 3.2. melukiskan efek dari berbagai derajat kolaps paru (begitu
pula dengan kolaps bronkiolus) pada aliran ekspirasi maksimum. Catatan
kurva pada bagian ini memperlihatkan aliran ekspirasi maksimum pada
semua nilai volume paru setelah seorang yang sehat mula-mula menghirup
udara sebanyak mungkin, dan kemudian mengeluarkannya dengan upaya
ekspirasi maksimum, sampai dia tidak dapat mengeluarkan udara lebih
banyak lagi. Perhatikan bahwa orang tersebut dengan cepat mencapai aliran
udara ekspirasi maksimum lebih dari 400 liter/menit. Akan tetapi, berapa
pun banyaknya upaya ekspirasi tambahan yang dilakukannya, nilai ini tetap
merupakan kecepatan aliran maksimum yang dapat dicapainya.
Gambar 3.2. Pengaruh kedua macam kelainan pernapasan paru restriktif dan okstruksi jalan
napas, pada kurva volume-aliran ekspirasi maksimum. TLC, kapasitas paru total; volume
residu (Corwin, 2008).
Perhatikan juga bahwa ketika volume paru menjadi lebih kecil, kecepatan
aliran ekspirasi maksimum juga menjadi berkurang. Alasan utama terjadinya
keadaan ini adalah bahwa dalam paru yang mengembang, bronkus dan
bronkiolus terbuka sebagian melalui tarikan elastis pada bagian luarnya oleh
elemen struktural paru. Namun, ketika paru menjadi lebih kecil, struktur ini
mengalami relaksasi, sehingga bronkus dan bronkiolus lebih mudah kolaps
oleh tekanan dada eksternal. Jadi, secara progresif menurunkan kecepatan
aliran ekspirasi maksimum juga (Corwin, 2008).
Kelainan kurva volume-aliran ekspirasi maksimum dijelaskan pada
Gambar 3.2., melukiskan kurva normal volume-aliran ekspirasi maksimum,
16 Husaini
ini kemudian dihubungkan lagi dengan alat pencatat yang bergerak di atas
silinder berputar.
Sebenarnya, cara kerja spirometer cukup mudah, yaitu seseorang disuruh
bernapas (menarik napas dan menghembuskan napas), dengan kedua lubang
hidung orang itu ditutup. Tabung yang berisi udara bergerak naik turun,
sementara itu drum pencatat bergerak putar (sesuai jarum jam) sehingga
pencatat akan mencatat sesuai dengan gerak tabung yang berisi udara. Hasil
pencatatan terlihat seperti Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Pemeriksaan Fungsi Paru dengan Alat Spirometer (SNI, 2005)
18 Husaini
Inspirasi tidak dalam dan ekspirasi tidak dalam dipakai untuk mengukur
kapasitas tidal. Kapasitas tidal adalah jumlah udara yang keluar masuk paru-
paru pada pernapasan normal dan besarnya kurang lebih 500 cc. Kemudian,
inspirasi yang dalam dan ekspirasi tidak dalam adalah untuk mengukur
kapasitas inspirasi. Kapasitas inspirasi yaitu volume udara maksimal yang
dapat diinspirasi (dihirup) setelah ekspirasi (hembuskan) normal. Inspirasi
tidak dalam (normal) dan ekspirasi dalam (maksimal) untuk mengukur
kapasitas residu fungsional (SNI, 2005). Kapasitas residu fungsional yaitu
volume udara yang tertinggal dalam paru-paru setelah ekspirasi volume
maksimal. Langkah penilaian spirometri berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI, 2005).
20 Husaini
kemungkinan menjadi penyebab kelainan fungsi pernapasan. Siapkan kertas
untuk mencetak dari hasil pemeriksaan.
Memasukkan data nara ukur yang terdiri atas jenis kelamin, tinggi
badan, berat badan, kebangsaan, umur, tanggal, dan temperatur pada saat
pemeriksaan, riwayat pekerjaan, riwayat keluhan gangguan fungsi pernapasan,
dan pengalaman kerja.
Pengukuran VC (Vital Capacity) dilakukan dengan menekan tombol VC,
beri pengarahan kepada nara ukur, pasang penjepit hidung dan mouthpiece di
mulut, kemudian tekan tombol start. Nara ukur bernapas biasa melalui mulut
kira-kira 2–3 kali. Setelah terdengar bunyi tit pada spirometer, tekan tombol
enter dan nara ukur segera menarik napas sedalam-dalamnya, terus sampai
maksimum, kemudian hembuskan secara biasa sampai habis. Setelah selesai
tekan tombol stop, kemudian periksa kurva hasil rekaman, dan bila hasil
rekaman meragukan, maka pengukuran diulang kembali.
Pengukuran VC (Vital Capacity) dilakukan dengan menekan tombol VC,
beri pengarahan kepada nara ukur, pasang penjepit hidung dan mouthpiece di
mulut, kemudian tekan tombol start. Nara ukur bernapas biasa melalui mulut
kira-kira 2–3 kali. Setelah terdengar bunyi tit pada spirometer, tekan tombol
enter dan nara ukur segera menarik napas sedalam-dalamnya, terus sampai
maksimum, kemudian hembuskan secara biasa sampai habis. Setelah selesai,
tekan tombol stop kemudian periksa kurva hasil rekaman, dan bila hasil kurva
masih meragukan, maka pengukuran diulangi lagi sampai sempurna, baru
kemudian tekan tombol print.
Interpretasi hasil:
Restriktif (%) : > 80 : Normal Obstruktif (%) : > 75 : Normal
60–79 : Ringan 60–74 : Ringan
30–59 : Sedang 30–59 : Sedang
<30 : Berat < 30 : Berat
Ukuran Pred (Prediksi) memakai standar panduan ukuran orang Indonesia
(SNI, 2005).
IgE dapat dijumpai dalam serum dengan kadar amat rendah dan hanya
merupakan 0,0004% dari kadar imunoglobulin total. Selain itu, IgE dapat
dijumpai dalam cairan sekresi. Salah satu sifat penting dari IgE adalah
kemampuannya melekat secara erat pada permukaan mastosit atau basofil
melalui reseptor fc. Bila sel yang dilapisi IgE ini terpajan pada alergen (bahan
alergi), sel-sel tersebut melepaskan mediator reaksi hipersensitivitas yang
sangat poten, di antaranya histamin, sehingga menimbulkan gejala alergi.
Oleh karena itu, IgE dikenal sebagai reagin pada reaksi hipersensitivitas tipe
22 Husaini
segera (immediate type), misalnya pada rinitis musiman, asma, urtikaria, dan
reaksi anafilaktik (Boedina, 2010).
IgE juga berfungsi melindungi tubuh terhadap parasit dengan cara
melapisi, sehingga parasit tersebut lebih mudah dibunuh oleh eosinofil. IgE
akan diikat oleh reseptor fc IgE pada permukaan mastosit, kemudian mediator-
mediator yang dilepaskan oleh mastosit atas rangsangan IgE menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler serta pelepasan ECF-A, merangsang
pelepasan Platelet Activating Factor (PAF), dan eosinofil peroksidase yang
diperlukan untuk menghancurkan parasit. Kadar IgE pada individu atopik
lebih tinggi dibanding individu normal dan kadar IgE spesifik terhadap antigen
tertentu, juga meningkat sesuai dengan kepekaan orang yang bersangkutan
terhadap alergen yang relevan. Sel plasma yang memproduksi IgE terdapat
dalam tonsil dan sinusoid, dan pada jaringan limfoid sepanjang mukus saluran
napas dan saluran cerna (Boedina, 2010).
Pada penelitian Husaini (2014), imunoglobulin yang diperiksa adalah
IgE total serum perajin logam yang tidak menggunakan antibodi monokloral
dalam pemeriksaannya, kemudian adanya berbagai macam Penyakit Akibat
Kerja (PAK) seperti kulit gatal-gatal, mata dan kulit terasa panas setiap bekerja,
adanya iritasi dan alergi kontak pada kulit, khususnya pada pergelangan tangan
perajin logam dan hal ini menunjukkan banyaknya indikasi kejadian alergi
akibat pajanan CO, SO2, NO2, uap besi, dan debu besi di unit perajin logam,
khususnya kejadian alergi kontak (Husaini, 2014).
Prinsip tes ELISA antibodi, dalam pengujian IgE pada sampel bereaksi
dengan antibodi anti-IgE yang telah teradsorpsi ke permukaan sumur
microtitre polistiten. Setelah penghapusan protein terikat dengan cara mencuci,
antibodi anti-IgE terkonjungsi dengan horseradish peroxidase (HRP) yang
ditambahkan. Antibodi enzim-berlabel membentuk kompleks dengan IgE
terikat sebelumnya, kemudian dicuci dengan cara mengikuti langkah seperti
mencuci tersebut di atas. Enzim yang terikat pada immunosorbent diuji dengan
penambahan substrat berkromogen dan tentramethylbenzidine (BMT).
Jumlah enzim terikat bervariasi secara langsung dengan konsentrasi IgE
dalam sampel yang diuji dengan absorbansi pada 450 nm, yang digunakan
24 Husaini
3.3.3 Pemeriksaan IgG Total Serum
Prinsip tes ELISA antibodi, dalam pengujian ini hadir IgG pada sampel
bereaksi dengan antibodi anti-IgG yang telah teradsorpsi ke permukaan sumur
microtitre polistiten. Setelah penghapusan protein terikat dengan cara mencuci,
kemudian antibodi anti-IgG terkonjungsi dengan horseradish peroxidase (HRP)
yang ditambahkan. Antibodi enzim-berlabel membentuk kompleks dengan IgG
total terikat sebelumnya, kemudian dicuci dengan cara mengikuti langkah
seperti mencuci tersebut di atas. Enzim yang terikat pada immunosorbent diuji
oleh penambahan substrat berkromogen dan tentramethylbenzidine (BMT).
Jumlah enzim terikat bervariasi secara langsung dengan konsentrasi IgG dalam
sampel yang diuji, dengan absorbansi pada 450 nm sebagi ukuran konsentrasi
IgG dalam sampel uji. Jumlah IgG dalam sampel uji dapat diinterpolasi dari
kurva standar dan dikoreksi untuk pengenceran sampel.
Alat tes untuk kuantifikasi IgG dalam sampel mensyaratkan bahwa setiap
sampel uji harus diencerkan sebelum digunakan. Untuk penentuan langkah
dilusi pada 1/80.000 adalah yang paling sesuai untuk serum/sampel plasma.
Untuk kuantifikasi mutlak, sampel yang menghasilkan hasil luar rentang kurva
standar, pengenceran yang lebih rendah atau lebih besar mungkin diperlukan.
Jika tidak yakin tingkat sampel, sebuah pengenceran serial dengan satu atau
dua sampel perwakilan sebelum menggunakan seluruh plat sangat dianjurkan.
Untuk mempersiapkan pengenceran 1/80.000 sampel, transfer 5 uL sampel
untuk 995uL dari 1x pengencer. Lakukan pengenceran 1/80.000, kemudian
diaduk rata.
DAFTAR PUSTAKA
26 Husaini
Bab 4
GANGGUAN
FUNGSI PARU DAN
IMUNOGLOBULIN
AKIBAT POLUTAN SO 2,
NO 2, DAN CO
28 Husaini
paling banyak dalam Bronchoalveolar Lavage Fluid (BALF) sekitar 90%.
Tidak ada perubahan konsentrasi albumin, fibronektin, hialuronan, atau β2
mikroglobulin.
Gambar 4.1. Perubahan relatif jumlah total sel-sel pada cairan BAL setelah 20 menit
terpajan SO2 konsentrasi 20 mg /m3 (Eva et al., 2003)
DAFTAR PUSTAKA
Eva, M., dkk.. 2003. Pengaruh Inhalasi Sulfur Dioksida Terhadap Kesehatan
Paru. J Cermin Dunia Kedokteran.
Mukono, H.J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University
Press.
30 Husaini
Rahmatullah. 2006. Penyakit Paru Lingkungan Kerja. Bagian Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang: Universitas
Diponegoro Press.
Tjokrokusumo. 1999. Pengantar Enjiniring Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Turner. 1981. Occupational Lung Diseases. New York: Eds Inc Press.
32 Husaini
penyakit kelainan saluran pernapasan yang kronis. Dalam penelitian
lanjutannya, Palmer menguji hipotesis bahwa menginspirasi uap besi dapat
meningkatkan kerentanan kembali terhadap pneumonia. Hasil kesimpulan
penelitiannya adalah bahwa menginspirasi uap besi/uap logam menyebabkan
rentan terhadap pneumonia menular. Isabelle et al. (1997) meneliti pekerja
tukang las, bahwa pekerja yang selalu terpajan uap besi akan mempercepat
penurunan fungsi paru-paru. Menurut Costa et al. (1993) yang meneliti tentang
pengaruh uap besi pekerja las terhadap DNA protein cross link, sebanyak
21 orang tukang las laki-laki dan ada 26 orang kontrol yang tidak bekerja di
pengelasan, disimpulkan mempunyai perbedaan yang signifikan antara pekerja
las dan kontrol, dengan tukang las yang selalu terpajan uap besi mempunyai
kandungan berlebih DNA protein cross link jika dibandingkan dengan kontrol.
Groth et al. (1989) mempelajari efek dari asap las, pada pernapasan
tukang las menunjukkan prevalensi lebih tinggi secara signifikan gejala
bronkitis kronis 21%, berbanding dengan 9% pada kelompok kontrol yang
tidak bekerja menjadi tukang las. Gejala lainnya dari sistem pernapasan atas
dan bawah juga meningkat secara signifikan di antara tukang las, dan ada
hubungan dosis respons yang ditemukan antara pajanan asap las dan gejala
prevalensi gangguan saluran pernapasan.
Erkinjuntti et al. (1999) menyimpulkan bahwa bronkitis kronis lebih
umum terjadi di antara pekerja tukang las (24%) jika dibandingkan pekerja
bukan tukang las (5%). Menurut Erhabor et al. (2001), gejala yang paling
sering ditemukan di antara pekerja las yaitu penyakit paru obstruktif jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pneumonitis akut yang disebabkan
oleh inhalasi asap seng (seng oksida) disertai adanya siderosis kronis pada
pekerja las. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa patogenesis yang
disebabkan oleh pajanan uap besi dapat meningkatkan kepekaan atau respons
tubuh dan menghancurkan beberapa sel tubuh. Demikian pula Buerke et al.
(2002) menyimpulkan bahwa ditemukan fibrosis paru interstisial setelah
pajanan jangka panjang, prevalensi bertambah berat, dan banyak di tempat
kerja yang mempunyai ventilasi buruk akibat terpajan uap besi. Erhabor et al.
(2001) melaporkan bahwa 40,9% yang bekerja di industri pengelasan banyak
menderita penyakit paru restriktif.
Hull et al. (2002) melaporkan dari hasil penelitiannya, bahwa pajanan
yang kontinu dari asap selama pengelasan alumunium menyebabkan
pneumokoniosis parah. Bahaya kesehatan bagi pernapasan yang terkait dengan
las bervariasi sesuai dengan bahan dan konsentrasi zat inhalasi. Dengan
demikian, pekerja pengelasan menderita pneumonitis kimia akut yang
disebabkan oleh inhalasi asap seng (seng oksida) disertai siderosis kronis
pada pekerja las. Gambar 5.1. menjelaskan perjalanan bahan kimia di dalam
Gambar 5.1. Komponen tiga jenis partikel dari Diesel Exhaust Particles (DEP), Urban Air
Particles (UAP) dan Residual Oil Fly Ash (ROFA). Pengaruh UAP pada jalur sinyal sel juga
diilustrasikan, dengan LPS dan logam (vanadium dan seng) dari UAP mengaktifkan Toll-
Like Receptor-4 (TLR4) dan Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) (Bonner et al.,
2007).
34 Husaini
Sebagai contoh, residu minyak dan abu (ROFA) adalah partikel kaya vanadium
yang mendorong generasi oksidan pada alveolar makrofag dan sel-sel epitel
(Kadiiska et al., 1997; Goldsmith et al., 1998; Hiura et al., 1999).
Partikel dari DEP dan lipopolisakarida (LPS) dari gram negatif bakteri
juga dapat merangsang generasi ROS dalam makrofag alveolar. Fagositosis
oleh makrofag menginduksi generasi oksidan yang cepat menyebabkan
aktivasi jalur apoptosis. ROS berfungsi sebagai sinyal intermediet untuk
mengaktifkan target sinyal intraselular, termasuk Receptor Tyrosin Kinase,
Mitogen Activated Protein Kinase (MAPKs), dan faktor transkripsi. Sinyal
intermediet ini mendorong aktivasi transkripsi dan ekspresi, kemudian ekspresi
yang dihasilkan adalah ekspresi gen yang terlibat dalam peradangan dan
fibrosis (Hiura et al., 1999).
Peningkatan generasi Reactive Oxygen Species (ROS) seperti Anion
Superoksida (O2) dan Hydrogen Peroksida (H2O2) telah dihubungkan dengan
adanya peradangan. Selain ROS, Reactive Nitrogen Species (RNS) juga
dihasilkan oleh akibat pajanan partikel di paru-paru. Nitrat oksida diurai
oleh sel inflamasi yang bereaksi dengan O2 untuk membentuk Peroxynitrit
(ONOO( )־Pryor et al., 1995). Peroxynitrit menyebabkan nitrasi residu tirosin
pada protein dan dengan demikian memodifikasi fungsi protein. Protein nitrasi
telah diidentifikasi dalam jaringan paru-paru berikut pajanan partikel. Oleh
karena itu, generasi peroxynitrit dan berikutnya tirosin nitrasi menyebabkan
disfungsi protein, tampaknya berkontribusi terhadap perkembangan penyakit
setelah induksi partikel yang menyebabkan paru-paru menjadi cedera.
Oksidan berfungsi sebagai perantara sinyal yang diperlukan untuk reseptor
tirosin kinase dan aktivasi fungsi akhir dari Mitogen Activited Protein Kinase
(MAPKs). Rendahnya tingkat oksidan (<10 nm), adalah merupakan mediator
penting dari sel normal dan fungsi fisiologis termasuk proliferasi, migrasi, dan
diferensiasi. Fibroblas paru dalam sistem kultur sel menghasilkan mikromolar
tingkat H2O2 yang mungkin mempertahankan proliferasi, dan ini merupakan
bagian yang potensial ketika dirangsang dengan faktor pertumbuhan
(Sundaresan et al., 1995). Bagian endogen H2O2 juga dapat bereaksi dengan
elemen partikel untuk memengaruhi respons sitotoksik sel. Partikel logam
seperti vanadium bereaksi dengan sel yang diturunkan H2O2, untuk membentuk
inhibitor Phosphate Tyrosin Protein (PTP) dan peroxovanadate (Wang et al.,
2003; Zhang et al., 2001; Wu et al., 2004).
Induksi partikel, dapat menyebabkan fibrosis pada saluran pernapasan
akibat pajanan beberapa jenis partikel minyak dan abu, kemudian dapat pula
meningkatkan gejala keparahan penderita saluran pernapasan oleh alergi
(Salvi et al., 1999). Hasil eksperimen pada tikus dengan pajanan awal dari
agen memiliki kemampuan untuk meningkatkan Th2. Sebagai contoh, partikel
36 Husaini
Sel Th2 dan produknya berupa IL-4 terlibat dalam sintesis IgE oleh sel
B. IgE memainkan peran utama dalam patogenesis alergi peradangan pada
manusia, baik dalam tahap awal maupun akhir dari respons mukosa untuk
alergen (Lemanske et al.,1988). Stratifikasi IgE serum dalam suatu populasi
bertindak sebagai prediktor yang baik untuk prevalensi penyakit alergi
lainnya (Burrows et al., 1989). Selanjutnya, proses ini dapat dimodulasi
lebih banyak jenis sel dan produk mereka. Antigen Presenting Cell (APC)
diperlukan untuk memproses dan menyajikan alergen untuk limfosit T. Sel
yang bertindak sebagai APC dalam saluran napas mencakup makrofag, sel
dendritik, alveolar makrofag dan sel B sendiri (Kita et al., 1996; Romagnani
et al., 1997). Limfosit Th2 menghasilkan berbagai sitokin (IL-4, IL-6, IL-10
dan IL-13) yang berperan dalam sel B diferensiasi yang mengubah isotype
dan produksi IgE (Gambar 8.) (Romagnani et al., 1997), kemudian limfosit
Th2 juga menyampaikan langsung sinyal ke limfosit B melalui sel kontak
secara langsung, misalnya mengikat ligan CD40 pada limfosit T ke CD40
reseptor pada sel B (Gambar 5.2.). Sel mast dan basofil dapat turut serta
dalam produksi IgE dan dengan produksi sitokin (misalnya IL-4 dan TNF-α).
Bahkan, sel-sel epitel sekarang dikenal sebagai faktor untuk menghasilkan
larutan seperti IL-10 yang dapat memodulasi produksi IgE (Bonfield et al.,
1995), yang pada akhirnya kontak antarlarutan akan memberikan sinyal dalam
melakukan sinergi untuk menghasilkan pengaktifan transkripsi dari promotor
gen IgE dan lokus dari kuman (Gambar 5.2.).
38 Husaini
volume sekresi hidung, dan hambatan udara di transnasal akibat prapajanan
DEP. Perubahan ini disertai dengan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah di hidung yang berlebihan (Kobayashi et al., 1995). Peningkatan jumlah
netrofil dan penurunan aktivitas fagositosis oleh makrofag alveolar pada
pajanan dan uji coba dengan DEP dan senyawanya mampu meningkatkan
resistensi jalan napas (Rudell et al., 1990).
Penelitian yang sama dikonfirmasi dalam membantu efek dari DEP
pada produksi IgE. Seiring dengan itu, Ichinose et al. (1997) menemukan
bahwa DEP mampu meningkatkan peradangan, infiltrasi eosinofil, dan
produksi IgE pada tikus dalam merespons terhadap pajanan dalam OA.
Kimia organik di dalam DEP dapat lebih mempercepat peradangan dan alergi
melalui peningkatan respons Th. Komponen DEP, terutama zat arang, lebih
memperburuk lagi dan dapat memengaruhi berbagai jenis penyakit yang
berhubungan dengan saluran pernapasan.
Takizawa et al. (2000) melaporkan bahwa DEP mampu mengaktifkan
NF-kB yang mungkin sebagai pintu masuk atau jalan masuk penyebab radang
dan adanya produksi sitokin dalam paru. Yanagisawa et al. (2006) dalam
studi ini melaporkan bahwa pajanan DEP dapat meningkatkan kemampuan
reaksi pada saluran napas jika dihubungkan dengan penyebab alergi dan
juga membuktikan bahwa DEP telah memperburuk patofisiologi penyakit
yang berhubungan dengan saluran pernapasan. Pendapat Gilles et al. (2002)
menyatakan bahwa basofil adalah target langsung dari akibat terpajan DEP,
kemudian DEP juga mampu merangsang pengeluaran IL-4 dan pelepasan
histamin dalam IgE dan terjadinya ROS yang dapat memberikan efek.
Kemampuan DEP untuk mengaktifkan basofil baik untuk subjek yang alergi
maupun bukan alergi.
Dalam konteks inhalasi partikel, kemungkinan bahwa ketidakmampuan
untuk membersihkan partikel beracun dari paru-paru melalui fagositosis serta
pajanan berkelanjutan atau berulang dapat menggerakkan sebuah respons
inflamasi berlebihan, yang mengarah pada remodelling (renovasi) jaringan
tidak teratur dan terjadinya fibrosis. Inisiasi dari jalur ini dapat terjadi karena
adanya interaksi dengan makrofag alveolar, sel epitel, atau interaksi langsung
dengan fibroblas interstisial (Williams et al., 1986). Logam transisi tampaknya
merupakan mekanisme utama adanya stres oksidatif dan peradangan. Kasus
akibat pajanan las alumunium mampu menginduksi partikel pnemokoniosis
dan menemukan daerah fibrosis yang parah dan juga dikelilingi oleh makrofag
yang mengandung partikel (Hull et al., 2002).
40 Husaini
Dye, J.A. dkk. 1999. Role of Soluble Metals in Oil Fly Ash-Induced Airway
Epithelial Injury and Cytokine Gene Expression. Am J Physiol. 277;
L4980510.
Erhabor, GE. dkk.. 2001. Pulmonary Functions in ARC-Welders in East. J
Afr Med. 78(9);461–464.
Erkinjuntti, P.R. dkk. 1999. Two Year Follow up of Pulmonary Function Values
Among Welders in New Zeeland. J Occup Environ Med. 56(5);328–333.
Fahy, O. dkk.. 1999. Effects of Diesel Organic Extracts on Chemokine
Production by Peripheral Blood Nuclear Cells. J Allergy Clin Immunol.
103;1115–1124.
Fujimaki, H. dkk.. 1994. IL-4 Production in Mediastinal Lymph Node Cells
in Mice Intratracheally Instilled with Diesel Exhaust Particulates and
Antigen. J Toxicol. 92;261–268.
Fujimaki, H. dkk.. 1995. Intranasal Instillation of Diesel Exhaust Particulates
and Antigen in Mice Modulated Cytokine Productions in Cervical
Lymph Node Cells. J Int Arch Allergy Immunol. 108;268–273.
Fujimaki, H. dkk. 1997. Inhalation of Diesel Exhaust Enhances Antigen-
Specific IgE Antibody Production in Mice. J Toxicol. 116;227–233.
Gilles, D. dkk.. 2002. Chemical Constituents of Diesel Exhaust Particles
Induce IL-4 Production and Histamine Release by Human Basophils.
J Allergy Clin Immunol. 128;730–743.
Goldsmith, CA. dkk.. 1998. Analysis of Air Pollution Particulate-Mediated
Oxidant Stress in Alveolar Macrophages. J Toxicol Environ Health.
54;529–545.
Groth, M dan O. Lyngenbo. 1989. Respiratory Symptoms in Danish Welders.
J Soc Med. 17(4);271–276.
Hiura,TS. dkk.. 1999. Chemicals in Diesel Exhaust Particles Generate Reactive
Oxygen Radicals and Induce Apoptosis in Macrophages. J Immunol.
163;5582–5591.
Hull, MJ dan JL Abraham. 2002. Alumunium Welding Fume Induced
Pneumoconiosis. J Hum Pathol. 33(8);819–825.
42 Husaini
Miyabara, Y. dkk.. 1998. Diesel Exhaust Particles Enhances Allergic Airway
Inflammation and Hyperresponsiveness in Mice. Am J Respir Crit Care
Med. 157(4 Pt 1);1138–1144.
Muranaka, M. dkk.. 1986. Adjuvant Activity of Diesel Exhaust Particulates
for The Production of IgE Antibody in Mice. J Allergy Clin Immunol.
77;616–623.
Osornio, AR. dkk.. 2003. Proinflammatory and Cytotoxic Effects of Mexico
City Air Pollution Particulate Matter in Vitro are Dependent on Particle
Size and Composition. J Environ Health Perspect. 111;1289–1293.
Palmer, KT. dkk.. 2003. Exposure to Metal Fume and Infectious Pneumonia.
Am J Epidemiol. Vol. 157. No: 3. 227–233.
Peterson, B dan A. Saxon. 1996. Global Increases in Allergic Respiratory
Disease: The Possible Role of Diesel Exhaust Particles. J Ann Allergy
Asthma Immunol. 77;263–268.
Prasad, N.K dan S. Bondy. 1987. Metal Neurotoxic. Boca Raton, London:
Fla CRC Press.
Pryor, W.A dan G.L. Squadrito. 1995. The Chemistry of Peroxynitrite: a
Product from The Reaction of Nitric Oxide with Superoxide. Am J
physical. 268, L699–722.
Romagnani, S dan PG. Del. 1997. How T Cells Direct IgE Switching in IgE
Regulation Molecullar Mechanism. J John Wiley and Sons. 1–20.
Rudell, B. dkk.. 1990. Controlled Diesel Exhaust Exposure in an Exposure
Chamber Pulmonary Effects Investigated with Bronchoalveolar Lavage.
J Aerosol Sci. 21;S411–414.
Rusznak, C. dkk.. 1994. The Impact of Pollution on Allergic Disease. J Allergy
& Clin Immunol Eur. 49;21–27. 39.
Sagai, M., Furuyama, A dan Ichinose, T. 1996. Biological Effects of Diesel
Exhaust Particles Pathogenesis of Asthma Like Symptoms in Mice. J
Free Radic Biol Med. 21;199–209.
Salvi, S.S., Blomberg, A., Rudell, B., Kelly, F., Sandstom, T., Holgate, ST
and Frew, A. (1999) Acute Inflammatory Responses in The Airways
and Peripheral Blood After Short-Term Exposure to Diesel Exhaust in
Healthy Human Volunteers. Am J Respir Crit Care Med. 159;702-709.
44 Husaini
Factor a Mitogen for Lung Fibroblast. Am J Respir Cell Mol Biol.
24;123–140.
46 Husaini
Kadar
Tanda dan Gejala Klinis
HbCO(%)
0–10 Tanpa keluhan dan gejala
10–20 Gejala berat di kepala, sakit kepala (ringan), dan pelebaran pembuluh darah kulit
20–30 Sakit kepala (di daerah pelipis) yang hebat
30–40 Sakit kepala yang hebat, badan lemah, pusing, penglihatan kabur, mual, muntah,
dan pingsan
40–50 Gejala-gejala seperti di atas, kemungkinan penderita pingsan pada kadar HbCO
ini adalah besar, denyut nadi, dan frekuensi pernapasan meningkat
50–60 Pingsan, denyut nadi, dan frekuensi pernapasan meningkat, koma, dan kejang
60–70 Penderita koma, kejang intermiten, depresi pada jantung dan pernapasan, serta
kemungkinan penderita meninggal
70–80 Denyut nadi menjadi lemah dan napas penderita menjadi pelan serta penderita
dapat meninggal dalam waktu beberapa jam
80–90 Kematian dapat terjadi dalam waktu kurang dari satu jam
90–100 Penderita akan meninggal dalam waktu yang singkat (beberapa menit saja)
Sumber: Siswanto, 1991
d. Uap besi/logam
Uap besi atau uap logam yang terpajan secara kronis dapat menjadi
pintu masuk perkembangan penyakit saluran pernapasan (Zein et al., 2005)
48 Husaini
dan suatu zat yang bersifat proinflamasi (Rice et al., 2001), serta mampu
menyebabkan eritema (Tenkate, 1999). Eritema, pterygium, non-melonositik
kanker kulit dan melanoma ganas (Tenkate, 1999), dan dapat menyebabkan
iritasi kulit (Erharbor et al., 2001). Terhirup zink oksida, akan menyebabkan
sitokin proinflamasi paru dan TNF-α sebagai mediasi awal terjadinya Metal
Fume Fever (MFF) (Kuschner et al., 1977), dapat meningkatkan pneumonia
(Palmer et al., 2006), mempercepat penurunan fungsi paru dan adanya
hubungan yang signifikan terhadap peningkatan IgE (Isabelle et al., 1997),
serta ditemukan fibrosis pada paru (Buerke et al., 2002).
Sumber bahaya dan potensi risiko yang terdapat pada unit perajin logam,
ketika pekerja selalu berdekatan dengan potensi bahaya tersebut yakni bagian
penempaan logam/plat, bagian pembakaran dan peleburan logam serta bagian
gerinda/penghalusan produk yang dihasilkan (Prasad et al., 1987; Palmer et
Dapat menyebabkan terpajan gas CO, SO2, NO2, uap besi, debu besi,
dan DEP, menyebabkan dehidrasi, gangguan pada mata, dan kelelahan fisik.
Berbagai kecelakaan kerja seperti percikan partikel besi yang masih panas,
tertimpa palu besi, tersulut oleh api, kulit melepuh karena terkena logam yang
masih panas, teriris/luka karena gerinda yang digunakan, terkena debu pada
mata, tergelincir, dan teriris/luka/tertusuk oleh potongan besi/plat besi.
Berbagai macam Penyakit Akibat Kerja (PAK) seperti batuk, mata dan
kulit terasa panas, sesak napas, radang tenggorokan, demam pada malam
hari, kulit gatal-gatal, dan alergi. Kesalahan sikap kerja akan menyebabkan
kelelahan kerja mudah terjadi seperti kelelahan dan sakit pada mata, tengkuk,
bahu, dada, punggung, perut, pinggang, siku, pergelangan tangan, paha,
lutut, betis, pergelangan kaki, waktu kerja tidak efisien, dan konsentrasi kerja
terganggu.
Dapat menyebabkan terpajan gas CO, SO2, NO2, uap besi, debu besi, dan
DEP, dehidrasi, gangguan pada mata, dan kelelahan fisik. Berbagai kecelakaan
kerja seperti terkena percikan partikel besi yang masih panas, tersulut oleh
api, kulit melepuh karena terkena logam yang masih panas, tergelincir, teriris/
luka/tertusuk oleh potongan besi/plat besi, dan tertumpah cairan logam.
50 Husaini
Berbagai macam Penyakit Akibat Kerja (PAK) seperti batuk, mata dan
kulit terasa panas, sesak napas, radang tenggorokan, demam pada malam
hari, kulit gatal-gatal dan alergi. Kesalahan sikap kerja akan menyebabkan
kelelahan dan sakit pada mata, tengkuk, bahu, dada, punggung, pinggang,
siku, pergelangan tangan, paha, lutut, betis, pergelangan kaki, waktu kerja
tidak efisien, dan konsentrasi kerja terganggu.
6.2. IMUNOTOKSISITAS
52 Husaini
DAFTAR PUSTAKA
54 Husaini
Bab 7
STUDI KASUS GANGGUAN
KESEHATAN PERAJIN
LOGAM
Studi dalam isi buku ini berdasarkan hasil penelitian Husaini (2014),
dilaksanakan pada unit perajin logam beserta perajinnya di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, lebih kurang 180 km dari Ibu Kota Provinsi Kalimantan
Selatan. Hasil produksi berupa peralatan rumah tangga, alat pertanian seperti
parang, cangkul, pengait buah kelapa sawit, dan transportasi seperti roda kapal,
souvenir, dan lain-lain (Husaini, 2014).
Bahan baku yang digunakan untuk membuat parang, cangkul, peralatan
pertanian, peralatan rumah tangga, roda kapal, dan lain-lain yaitu bahan
logam/besi dari per mobil, plat besi, dan alumunium. Selanjutnya dilakukan
pemotongan bahan baku sesuai dengan bentuk dan ukuran barang produksi
dengan cara membakar dan meleburkan terlebih dahulu sampai pijar
dengan suhu antara >600oC (Fauzi, 2000), kemudian dipotong dengan cara
menggunakan pemotong dari baja sesuai dengan bentuk dan ukuran, dan
untuk roda kapal dituang pada cetakan yang sudah tersedia sesuai ukuran,
dilakukan penempaan dan pembentukan dengan cara pembakaran kembali
sampai pijar selanjutnya dilakukan pembentukan barang setengah jadi, dan
dilakukan penggerindaan untuk penghalusan dan mempertajam produk, serta
disempurnakan untuk dipasarkan atau untuk memenuhi pesanan. Tahapan atau
alur produksi terlihat pada Gambar 7.1.
56 Husaini
7.1. PAJANAN CO, SO 2, NO 2, UAP BESI, DAN DEBU BESI
DENGAN RESTRIKTIF (FVC), OBSTRUKTIF (FEV1), DAN
GABUNGAN (FVC+FEV1)
58 Husaini
terhadap paru dapat menyebabkan bronkitis kronik, Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK), dan fibrosis peribronkial. Pajanan SO2 jangka lama dapat
menyebabkan perubahan volume paru, histologi, dan perubahan BALF, serta
pemeriksaan secara fisik, yaitu hiperemia mukosa faring, melemahnya suara
napas, batuk, dan mengi. Gambaran foto toraks sering terlihat normal, tetapi
pada saat serangan akan terlihat hiperinflasi yang menunjukan penurunan
FEV1 dan ratio FEV1 (Eva et al., 2003).
Hal tersebut di atas bersesuaian dengan pendapat Rabinovitch (et
al. dalam Eva et al., 2003) yang menyebutkan bahwa setelah tiga minggu
terpajannya gas SO2 pada dua kelompok berbeda umur dan tidak merokok,
akan terjadi obstruktif berat hipoksemia, menurunnya toleransi kerja, dan
gangguan ventilasi serta perfusi yang terlihat layar paru galium dan mampu
menyebabkan bronkitis kronik, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
dan fibrosis peribronkial.
Faktor lain yang patut diduga adalah terciptanya polutan sekunder
atau peningkatan polutan lainnya karena adanya reaksi fotokimia dari sinar
matahari atau akibat suhu lingkungan kerja yang panas, sehingga sulit
menentukan penyebab gangguan paru oleh polutan tunggal. Hal ini juga
bersesuaian dengan pendapat Mukono (2005) bahwa suhu yang meningkat
ditambah pula adanya sinar matahari, termasuk terjadinya reaksi dari dua atau
lebih bahan kimia di udara menciptakan polutan sekunder, misalnya dengan
adanya sinar matahari dapat menyebabkan peningkatan efek bahan-bahan
kimia di udara. Polutan sekunder mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak
stabil, sehingga sangat mudah bereaksi, dan berubah susunan kimiawi dengan
adanya zat/bahan kimia lainnya di udara maupun di dalam tubuh.
Pendapat tersebut di atas didukung oleh Suharto (2011), bahwa terjadinya
polutan sekunder di udara karena adanya reaksi hidrolisa, oksidasi, dan reaksi
fotokimia, misalnya reaksi antara 2SO2+ O2====>2SO3, atau terjadinya reaksi
SO3 + H2O=====> H2SO4, dan reaksi CO + Fe==> FeCO2, kemudian hasil
akhir dari reaksi kimia ini bila masuk ke dalam tubuh manusia menimbulkan
efek jauh lebih toksik, iritasi, sinergi, dan akumulatif jika dibandingkan
dengan polutan primer atau polutan tunggal dari unsur kimiawi bahan/zat
yang berada di udara.
Menurut Pendapat Nadakavukaren (dalam Mukono, 2005) bahwa ada
hubungan antara peningkatan SO2 dengan partikel debu. Tingginya kadar
bahan partikel debu biasanya diikuti dengan tingginya gas SO2, sehingga
sulit membedakan efek dari kedua bahan tersebut. Pendapat ini bersesuaian
dengan penjelasan dari WHO (2000), bahwa bila sistem kerja silia rusak
akibat pajanan bahan/zat kimia, baik akut maupun secara kronis, menyebabkan
tertahannya substansi berbahaya dalam paru untuk waktu yang cukup lama,
60 Husaini
dan saling menyokong atau saling menguatkan, sehingga zat yang terbentuk
akan menjadi lebih bersifat korosif, reaktif, toksik, serta bersifat akumulatif
di dalam tubuh, disimpan dalam waktu yang lama dalam tubuh dan mudah
diserap, dan didistribusikan ke dalam paru-paru atau di dalam unit pernapasan,
terutama bila di udara lingkungan kerja terdapat gas NO2 dan uap air secara
bersamaan, maka menambah kecepatan reaksi dan saling bersinergi dalam
merusak sel tubuh yang menyebabkan inflamasi dan reaksi alergi pada saluran
pernapasan dan paru-paru. Hal ini bersesuaian dengan pendapat WHO (2000),
bahwa zat yang terlepas ke udara akan bereaksi dengan zat lainnya yang akan
bersifat satu atau lebih yakni bersifat sinergi, aditif, antagonis dan independen.
Gas NO2 yang terjadi karena adanya panas akibat pembakaran dan
peleburan logam, menyebabkan bersatunya O2 dan NO2 yang terdapat di
udara dan memberikan berbagai ancaman bahaya terutama kerusakan paru-
paru. Setelah bereaksi di atmosfer, zat membentuk partikel-partikel nitrat
amat halus yang menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel-partikel ini
jika bergabung dengan air akan membentuk asam sulfit (H2SO3). NO2 juga
berubah menjadi partikel-partikel nitrat teramat kecil yang dapat mencapai
bagian terdalam paru-paru, sehingga memudahkan terjadinya berbagai jenis
infeksi termasuk peningkatan kejadian alergi (Siswanto, 1991).
NO2 pada inhalasi diserap melalui saluran pernapasan atas. NO2 bersifat
racun terutama paru-paru dan 90% dari kematian disebabkan oleh gejala
odema pulmonum. Gas ini tidak terlalu mudah larut dalam air, sehingga
tidak terperangkap di dalam trakea dan bronki, tetapi terperangkap di dalam
alveoli dari paru-paru yang kemudian berubah menjadi HNO2 dan HNO3.
Kematian disebabkan oleh penyempitan laring, sehingga aliran udara ke dalam
paru-paru terhambat dan manusia akan mati lemas (Sunu, 2001). Menurut
pendapat Mukono (2005), gas NO2 dengan reaksi fotokimia menghasilkan
disosiasi oksidan NO dan radikal oksigen. Pengaruhnya pada manusia dapat
menyebabkan iritasi, rusaknya paru-paru, bronkitis, dan menyebabkan
kerentanan terhadap virus influenza (Pearce, 1986). Gas NO2 dapat diserap
oleh saluran pernapasan bagian perifer dan merupakan salah satu oksidan
inhalan yang dapat masuk saluran pernapasan dan menyebabkan terjadinya
peradangan bronkus (Nedved, 1997).
NO2 larut dalam air dengan kecepatan rendah, karena itu akan meresap
pada saluran pernapasan bagian bawah, yakni dapat menembus saluran napas
dan alveoli, dan gas NO2 adalah gas oksidan yang menyebabkan inflamasi pada
epitel dengan cara membentuk oksidan toksik dan sebagai mediator inflamasi
(Tjokrokusumo, 1999). Hal ini bersesuaian dengan penjelasan WHO (2000),
bahwa dua zat atau lebih yang diberikan atau terlepas secara bersamaan dapat
62 Husaini
diketahui bahwa demam karena uap (metal fume fever) biasa terjadi karena
menghisap asap seng oksida.
Menurut pendapat Khanzadeh (1980), mengamati parameter yang
berbeda dari tes fungsi paru antara kontrol dan pekerja dibidang pengelasan,
dalam rata-rata volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV 1) rasio,
ekspirasi paksa (FEV1/%FVC) aliran ekspirasi puncak (PEF) menurun secara
bermakna pada tukang las dibandingkan dengan kontrol. Chin et al. (1995)
menunjukkan bahwa di antara tukang las, efek asap itu terbesar pada mereka
yang tidak menggunakan alat pelindung diri yang tepat, seperti pekerjaan
yang berhubungan dengan FEV1. Menurut pendapat Nakadate et al. (1998)
yang mengamati perubahan dalam fungsi paru obstruktif, berkaitan dengan
tingkat kumulatif pajanan untuk pengalasan pada pria tukang las di Jepang,
setelah dikendalikan faktor usia dan kebiasaan merokok.
Debu besi termasuk Diesel Exhaust Particle (DEP) beserta senyawanya,
setelah dilakukan uji statistik mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kejadian restriktif, obstruktif, dan gabungan perajin logam (Husaini, 2014).
Hal ini kemungkinan selain disebabkan secara kronis perajin logam ini selalu
terpajan dalam waktu yang lama dan berulang-ulang, tanpa memperhatikan
prinsip dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), tetapi juga disebabkan
oleh debu besi bersama-sama uap besi bersifat proinflamasi, toksik, dan
korosif, serta sebagai pereaksi yang baik atau sebagai media pereaksi terhadap
zat lainnya baik di udara luar maupun di dalam tubuh, atau kemungkinan
bersifat sinergi dan aditif, terutama pada suhu lingkungan kerja yang panas
dan/atau terjadinya reaksi fotokimia dari sinar matahari akan lebih cepat
terjadinya reaksi dari debu besi dan uap besi tersebut, yang berakibat dapat
menimbulkan berbagai infeksi dalam tubuh. Dalam hal ini bersesuaian
dengan pendapat Knox et al. (1997), bahwa terpajan dengan debu besi dan
uap besi dapat memotensiasi proses peradangan kronis dan terjadinya respons
terhadap gejala akut saluran pernapasan, serta dapat bertindak sebagai ajuvan
(membantu dalam proses) bagi alergen yang menyebabkan reaksi alergi dan
juga peradangan mukosa, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas mukosa
dan hal ini sebagai pintu masuk berbagai antigen dan alergen, yang akhirnya
terjadi berbagai infeksi dan alergi pada bronkus.
Pendapat tersebut di atas bersesuaian dengan pendapat Rusznak et al.
(1994), Devalia et al. (1999), Bayram et al. (1998), Blomberg et al. (1999),
Wang et al. (2003), Khanzadeh (1980), dan Zein et al. (2005) menyimpulkan,
penyakit yang disebabkan oleh terpajan uap besi dan debu besi merupakan
pintu masuk untuk perkembangan penyakit selanjutnya yang berhubungan
dengan pernapasan dan paru-paru, dapat berpengaruh terhadap sel tubuh, yakni
sel mast dan aktivasi sel T, bersifat proinflamasi pada bronkus, serta dapat
64 Husaini
dari zat/molekul yang terlepas ke udara saling bereaksi satu dengan lainnya,
dan bersifat sinergi atau bersifat aditif, atau terjadinya akumulasi zat/molekul
baik di udara bebas maupun di dalam tubuh, sehingga walaupun kadar zat/
molekul yang terlepas di udara masih di bawah Nilai Ambang Batas (NAB)
dalam hal ini SE Menaker RI Nomor 01/Men/1997 sangat memungkinkan
mampu meningkatkan kadar IgE total dan sekaligus meningkatkan pula kadar
IgG total dalam tubuh perajin logam (Husaini, 2014).
Faktor lainnya, kemungkinan berpengaruh terhadap peningkatan
kadar IgE total dan kadar IgG total, dengan perajin logam ini bekerja tanpa
memperhatikan prinsip-prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3),
terutama perlindungan diri seperti penutup hidung, penutup mulut, penutup
muka, penutup kepala dan kulit, sehingga bila memajani perajin logam secara
terus menerus akan memudahkan masuknya antigen maupun alergen ke dalam
tubuh yang kemudian dapat memacu respons imun, yakni dapat meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah dan peningkatkan resistensi saluran napas, dan
dapat meningkatkan respons antigen antibodi IgE total dan IgG total (Husaini,
2014). Hal ini sebagian bersesuaian dengan pendapat Diaz-Sanchez (2000a),
bahwa gas SO2 dan NO2 dapat memicu kerusakan sel, kemudian untuk DEP
yang mempunyai komponen penting yaitu PAH akibat dari pembakaran
bahan baku logam/besi yang masih ada melekat minyak dan oli bekas akan
mempunyai faktor risiko peningkatan kadar IgE dan IgG.
Sedangkan menurut Epler (2000), gas SO2 bila memajani pekerja dan
masuk ke dalam saluran pernapasan manusia secara terus menerus dan
terulang dapat meningkatkan jumlah akumulasi sel eosinophil dan zat-zat
humoral reaksi inflamasi dalam mukosa bronkus dan mukosa hidung, yang
pada gilirannya meningkatkan gejala penyakit alergi dan penyakit paru
lainnya pada perajin logam. Sedangkan menurut Kobayashi et al. (1995) dan
Muranaka et al. (1986), komposisi campuran antarpartikel atau agen organik
dan anorganik berkontribusi dalam reaksi untuk menurunkan fungsi paru dan
meningkatkan infeksi lainnya, terutama bagian-bagian pernapasan akibat dari
proses pembakaran dan peleburan logam. Menurut Devalia et al. (1999), SO2
yang terlepas ke udara mudah bereaksi dengan zat lainnya terutama dengan
NO2, sehingga terjadilah kombinasi zat yang semakin toksik dan dapat sebagai
predeterminant factor (faktor awal penentu) kejadian dermatophagoides
pteronyssinus alergen.
Hal tersebut di atas bersesuaian dengan pendapat Matthew et al.
(2005), bahwa gas NO2 sebagai pencemar udara merupakan suatu oksidan
penyebab radang yang menghasilkan endogen myeloperoxidase dan eosinofil
peroksidase, dan juga mampu menyebabkan reaksi alergi dari tubuh apabila
terus menerus terpapar dari gas NO2 ini dalam waktu yang lama. Menurut
66 Husaini
Dalam mekanisme otot-otot saluran pernapasan bagian dalam, mampu terjadi
kontriksi atau bronkokontriksi yang menyebabkan terjadinya hambatan keluar
masuk udara ke dalam bagian saluran pernapasan termasuk paru-paru. Efek
spesifik dari pajanan NO2 pada penelitian hewan coba, kultur jaringan, dan
sel, maka NO2 dapat menyebabkan perubahan sistem biokimiawi dalam tubuh,
terutama pada pajanan dalam konsentrasi yang tinggi dan terus menerus dalam
waktu yang lama. Efek yang terjadi terutama kerusakan subseluler, hal ini
karena sintesis fosfolipid pada paru yang mungkin akan terganggu dengan
adanya lipid peroksidasi setelah terpajan (Thomas et al., 1991).
Kerusakan jaringan dan respons dari organisme secara akut terhadap
stress tecermin dengan adanya peningkatan konsumsi oksigen dalam jaringan
dan adanya kebocoran dari sel-sel dan meningkatkan level dari plasma
kostikosteron. Banyaknya perubahan seluler dan subseluler terjadi setelah
terpajan NO2 terutama dalam jaringan paru-paru, tentu sistem lain dari tubuh
ikut memengaruhinya. Dengan menggunakan inhalansi NO2, Goldstein et al.
(1997) menunjukhan bahwa gas yang terhisap akan didistribusikan di paru-
paru dan disimpan dalam waktu yang lama pada hewan coba, yaitu monyet.
Keterlibatan sistem tubuh atau komponen tubuh saat terpajan NO2 dapat
ditunjukkan dengan peningkatan konsumsi oksigen di limpa dan ginjal, adanya
peningkatan aktivitas sitokorm di ginjal, limpa, dan hati, serta serum, dalam
beberapa kasus dengan polisitemia (Furiosi et al., 1973).
Sel-sel mast paru-paru telah terbukti pecah (Thomas et al., 1997),
mungkin berkaitan dengan pelepasan histamine. Peningkatan infeksi saluran
pernapasan disebabkan oleh pajanan NO2 mungkin disebabkan efek gas
pada makrofag paru-paru, adanya mekanisme mukosiliar atau mekanisme
sistem kekebalan tubuh (Coffin et al., 1986; Gardner et al., 1987), perubahan
imunologi spesifik telah terbukti dalam studi atau hasil berbagai penelitian
tentang pajanan NO2 (Ehrlich et al., 1983; Ehrlich et al., 1985).
Gas CO dalam hal ini berpengaruh dalam peningkatan kadar IgE total
dan IgG total pada perajin logam, karena kemungkinan bersifat sinergi atau
aditif serta akumulatif di dalam tubuh (Husaini, 2014), dan hal ini bersesuaian
dengan pendapat Zarkower dan Morges (1997), yaitu efek yang paling umum
atau paling menonjol akibat terpajan gas CO adalah penurunan sel pembentuk
antibodi, dan hal ini merupakan pintu masuk utama untuk terjadi kelainan
atau terjadinya reaksi tubuh, termasuk alergi dan infeksi paru dan saluran
pernapasan.
Berbagai polutan seperti partikel dari uap besi dan unsur DEP terutama
PAH sampai masuk ke dalam paru perajin logam, maka memicu reaksi alergi
dan menyebabkan berbagai infeksi, kemudian di dalam paru-paru partikel yang
berasal dari DEP mempunyai efek racun sehingga memperburuk penyakit
68 Husaini
logam dan gene regulatory protein. Menurut Donald et al. (1996), dalam teori
tentang efek partikel logam terhadap immunomodulation tubuh bahwa efek
partikel logam, terutama logam-logam berat terhadap imunitas tubuh adalah
berkaitan dengan sel T, berhubungan dengan perubahan membran, modifikasi,
pemindahan logam esensial, dan terjadinya interaksi dengan protein seluler
dan enzim. Salah satu efek negatif menyebabkan hipersensitivitas, dan pada
pajanan yang berulang-berulang menimbulkan efek sistemik lainnya seperti
terjadinya peradangan.
Partikel besi dan uap besi berinteraksi dengan alergen di mukosa hidung,
mengarah pada isotype vivo beralih ke IgE dan mampu membuat sensitisasi
ke alergen baru (Diaz-Sanchez et al., 1999a; Ichinose et al., 1997; dan Heo
et al., 2001). Reaksi alergi dan hipereaktivitas radang pada saluran napas dari
model hewan telah menunjukkan bahwa produksi antibodi alergi meningkat
dan terjadi respons generasi Th2 yang dihasilkan oleh interaksi antara alergen
dan polutan, juga dapat mengakibatkan efek alergi pada saluran pernapasan
akibat kerja (Ichinose et al., 1997; Yanagisawa et al., 2006; Miyabara et al.,
1998; dan Ohta et al., 1999).
Polusi udara yang mengandung partikulat seperti uap besi dan debu
besi termasuk partikel lainnya, seperti Diesel Exhaust Particles (DEP)
beserta senyawanya, mampu memotensiasi proses peradangan kronis serta
respons terhadap gejala akut pada saluran pernapasan, dan menyebabkan
induksi apoptosis melalui generasi Reactive Oxygen Radical (ROR) yang
menyebabkan kehilangan permukaan membran asimetri dan kerusakan DNA,
terjadi dermatitis atau alergi kulit lainnya akibat terpajan uap besi, dan dapat
memicu trigger/pencetus yang kronik walaupun bersifat ringan, terjadinya
peradangan di paru-paru, dan menunjukkan peningkatkan sel-sel tumor
dapat memengaruhi produksi IgE (Knox et al., 1997; Muranaka et al., 1986;
dan Suzuki et al., 1993). Secara spesifik ditemukan sel hiperplasia setelah
intratrakeal atau respons inhalasi menunjukkan efek yang membantu pada
produksi IgE (Sagai et al., 1996; Miyabara et al., 1998; Ichinose et al., 1997;
Kobayashi et al., 1995; Kobayashi et al., 1997; Tenkate 1999; Erhabor et al.,
2001; Miyabara et al., 1998; dan Heo et al., 2001).
Uap logam mampu menghasilkan partikel yang sangat halus, yaitu
nanoparticulate dan hal ini berhubungan dengan peningkatan sitokin pada
BAL, dan menyebabkan terjadinya stres oksidatif sistemik yang akhirnya
menyebabkan inflamasi pada saluran pernapasan dan paru manusia bila sampai
masuk ke dalam tubuh (Li et al., 2004). Hal ini bersesuaian dengan pendapat
Taylor et al. (2003), bahwa uap logam secara jelas menghasilkkan radikal
bebas yang akan menyerang sel-sel tubuh, dan dengan H2O2 mampu bertindak
sebagai reduktor. Sedangkan menurut McNeilly et al. (2004) ditunjukkan
70 Husaini
Pendapat di atas sesuai dengan hasil penelitian in vivo pada cairan hidung
manusia setelah mendapat pajanan DEP dan alergen, menunjukkan isotype
switching ke IgE secara in vivo terbukti dapat meningkatkan produksi IgE,
produksi sitokin Th2, serta peradangan mukosa pada manusia dan hewan uji
dari alergen yang bersumber pada tempat kerja dan lingkungan (Fujieda et
al., 1998; Nel et al., 1998; Peterson et al., 1996; Diaz-Sanchez et al., 1994;
Diaz-Sanchez et al.,1999a; Fujimaki et al., 1995; Miyabara et al., 1998 dan
Diaz-Sanchez et al., 2000a).
Faktor lainnya, kemungkinan polutan di lingkungan kerja perajin
logam ini seperti gas CO, SO2, NO2, uap besi, debu besi, dan DEP beserta
senyawanya ada yang bersifat alergen atau ada individu perajin logam yang
sensitif terhadap polutan yang memajaninya (Husaini, 2014). Hal ini sesuai
dengan pendapat Knox et al. (1997) yang menyatakan bahwa setelah ada
pajanan alergen, terutama pada individu yang hipersensitif pada partikel
tertentu seperti DEP dan senyawanya walaupun pada tingkat dosis yang
rendah akan bertindak sebagai ajuvan (membantu dalam proses) bagi alergen
yang masuk ke dalam mukosa saluran pernapasan. Menurut Kobayashi et al.
(1995), partikel yang terurai akibat pembakaran pada suhu yang tinggi, seperti
DEP dan partikel logam lainnya bila sampai masuk ke dalam tubuh dapat
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan paralel dengan resistensi
menjadi meningkat pada saluran napas serta sekaligus memacu kadar IgE.
Hal tersebut di atas juga bersesuaian dengan pendapat Diaz-Sanchez
et al. (1997a); Lee (1998), bahwa bila partikel termasuk debu logam atau
unsur dari DEP beserta senyawanya, yang memajani manusia atau perajin
logam dalam waktu yang lama dan terus menerus bila sampai masuk ke
dalam tubuh, maka dapat meningkatkan produksi Th2, termasuk IL-13
pada individu yang terpajan. Studi ini menunjukkan bahwa partikel logam
dan DEP dapat meningkatkan kejadian alergi, setidaknya sebagian telah
meningkatkan produksi Th2. Sangat mungkin bahwa interaksi epitel fibroblas
yang penting dalam melihat patogenesis fibrosis saluran pernapasan. Polusi
udara yang mengandung partikel logam dan DEP juga mengaktifkan epitel
untuk menghasilkan mediator inflamasi yang mendasari dalam mengaktifkan
mesenkemal. Pendapat ini sejalan dengan Burnet (1986) bahwa pajanan
antigen harus berulang hingga sistem imun telah tersensitisasi.
Faktor lainnya yang ikut berpengaruh terhadap penurunan fungsi paru
dalam hal ini terjadinya kelainan restriktif, obstruktif, dan gabungan (mixed)
serta terjadinya peningkatan kadar IgE total dan kadar IgG total pada perajin
logam adalah terjadinya berbagai reaksi zat kimia di udara lingkungan kerja
seperti polutan CO, SO2, NO2, uap besi, dan debu besi, serta adanya unsur
DEP beserta senyawanya pada tingkat pemajanan yang lama dan terus menerus
72 Husaini
kurang dipahami berdampak pada kesadaran untuk melindungi diri dari
berbagai macam potensi bahaya kerja (Husaini, 2014).
Bahwa bekerja itu bukan hanya sebatas memenuhi kewajiban sebagai
tuntutan hidup, tetapi sangat dipengaruhi oleh sikap mental pekerja dalam
memandang sebuah jenis pekerjaan yang dilakukannya, termasuk dalam hal
ini sikap yang tidak peduli akan risiko/bahaya yang setiap saat menimpa
perajin logam dalam bekerja, misalnya tidak menggunakan Alat Pelindung
Diri (APD), tidak menghiraukan gejala sakit atau adanya kecelakaan jenis
injury (ringan), sikap kerja dan Prosedur Operasional Standar (POS) kerja
yang memenuhi syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang terabaikan
(Husaini, 2014).
Prosedur Operasional Standar (POS) dalam buku ini dibuat dan
direkomendasikan untuk dipergunakan oleh perajin logam dan Pemangku
Kepentingan lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan sejenis perajin
logam, kondisi lingkungan kerja yang panas, dan adanya debu dan partikel
hasil dari aktivitas perajin setiap kali bekerja yang memungkinkan terjadinya
akumulasi, serta mampu menjadi re-exposure (paparan yang berulang-ulang)
secara terus menerus terhadap perajin logam, bising, dan getaran yang
dibiarkan, serta tidak ada upaya secara teknis untuk membuat alat penyedot
(exhauster) debu, uap, gas, dan berbagai partikel logam di lingkungan kerja
(Husaini, 2014) merupakan sebuah generasi yang meniru sikap mental
pendahulunya atau generasi sebelumnya, selain faktor pendidikan yang
relatif rendah yang terbanyak (Husaini, 2014). Hal ini bersesuaian dengan
pendapat Lilly (1998) bahwa sikap mental dalam bekerja dan terus terulang
dengan kebiasaan-kebiasaan yang buruk atau salah dianggap menjadi sebuah
kebenaran sudah tentu tidak menguntungkan bagi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) perajin logam.
Faktor lainnya yang diduga sebagai penyebab tingginya kelainan fungsi
paru (restriktif, obstruktif, dan gabungan), dan terjadinya peningkatan kadar
IgE total dan IgG total perajin logam, adalah masa kerja dan waktu kerja lebih
dari 8 jam setiap harinya sangat memungkinkan berbagai polutan masuk ke
dalam tubuh melalui inhalasi dan permukaan kulit (Husaini, 2014), sistem
upah/gaji perajin logam bersifat borongan menyebabkan mereka bekerja
secara kejar target (Husaini, 2014). Apabila hal ini terus berlanjut, maka akan
menyebabkan kelelahan fisik secara kronis, dan pada saat bekerja dengan
kejar target tersebut berdampak pada inspirasi udara luar ke dalam tubuh
menjadi meningkat, sehingga memungkinkan semakin banyaknya berbagai
polutan yang masuk ke dalam saluran pernapasan perajin logam tersebut serta
menambah beban tubuh (Husaini, 2014).
74 Husaini
Stres kerja sangat besar dan luas pengaruhnya bagi pekerja dan industri,
karena mereka saling berhubungan dan saling memengaruhi satu sama lainnya.
Menurut teori yang dikemukan oleh Ashraf (1996) dalam buku Occupational
Ergonomics; Theory and Applications bahwa dalam bekerja, kapasitas
kerja menjadi sebuah keharusan yang harus dibuat kebijakan oleh pimpinan
perusahaan agar pekerja tidak mengalami beban kerja berlebih yang berakibat
menjadi kelelahan kerja, dan bila hal ini terus berlanjut maka pekerja menjadi
stres dalam pelaksanaan tugasnya.
Menurut pendapat Hardjana (1994), stres kerja yang berkepanjangan
dapat mengganggu emosional, seperti respons yang bersifat cemas, gelisah,
mudah marah, mudah tersinggung, depresi, gangguan pada fisik, gangguan
konsentrasi dan intelektual, gangguan pada konsentrasi pekerjaan, dan
gangguan kesehatan secara umum bisa terjadi. Menurut Everly dan Girndano
(dalam Munandar, 2001), individu yang mengalami stres akan mengalami
simptom fisiologi berupa rasa cemas berlebih, susah tidur malam hari, bingung
dan mudah lupa, gugup, sering sakit kepala, perasaan tegang, mudah lelah,
mudah sakit, jantung berdebar, napas terasa sesak, perut terasa kejang, dan
mudah terjadi gemetar tubuh. Bila hal ini menimpa perajin logam secara terus
menerus, maka akan mengganggu kesehatan, memicu terjadinya kecelakaan
kerja, penurunan daya tahan tubuh, dan menurunkan produk barang yang
dihasilkan.
Menurut Suharto (2011), faktor sikap dan posisi kerja yang kurang
diperhatikan dan diterapkan di tempat kerja akan kehilangan hasil dan
menurunkan produktivitas termasuk meningkatnya kecelakaan kerja dan luka-
luka, serta Penyakit Akibat Kerja (PAK) sangat erat hubungannya pula dengan
buku petunjuk kerja atau Prosedur Operasional Standar (POS) yang kurang
jelas dan sulit dipahami oleh pekerja. Menurut Suharto (2011), diperlukan
saran tindak lanjut penerapan tempat kerja yang nyaman, yaitu evaluasi
ulang kondisi tempat kerja, perbaikan kondisi tempat kerja, pengadaan atau
perbaikan buku petunjuk kerja, pengadaan dan perbaikan Alat Pelindung Diri
(APD), dan pengembangan tata letak/setting tempat kerja.
Dampak dari zat/bahan kimia dengan berbagai reaksinya terhadap perajin
logam yang selalu terpajan di tempat kerjanya dapat menurunkan fungsi paru,
sekaligus menyebabkan berbagai infeksi, memicu reaksi alergi, dan dapat
menurunkan imun tubuh pekerja, terutama berkaitan dengan luka pada kulit
seperti teriris dan tertusuk serta melepuh terkena percikan logam yang masih
panas (Husaini, 2014) yang diabaikan oleh perajin logam. Hal ini bersesuaian
dengan pendapat dari WHO (2000), bahwa zat kimia lebih banyak diabsorpsi
melalui kulit yang rusak atau teriris dan tertusuk daripada melalui kulit yang
utuh. Semakin besar absorpsinya suatu bahan kimia menembus kulit, semakin
76 Husaini
Hubungan lama bekerja setiap hari perajin logam dengan kelainan fungsi
paru, IgE total, dan IgG total tidak dianalisis dan dibahas dalam penelitian ini,
karena secara umum pengukuran fungsi paru dengan alat Spirometer dilakukan
dua kali untuk setiap responden, yakni sebelum bekerja pada pagi hari dan
sesudah bekerja pada sore hari, walaupun hasil penelitian ini menunjukkan
terjadinya peningkatan yang signifikan baik tingkatan kelainan fungsi paru
jenis restriktif ringan yang terbanyak pada pagi hari meningkat menjadi
restriktif sedang pada sore hari setelah mereka selesai bekerja, begitu pula
dengan obstruktif dan gabungan (Husaini, 2014). Hal ini bersesuaian dengan
pendapat WHO (1993) yang menyatakan bahwa masa kerja dan durasi waktu
bekerja setiap hari bagi seorang pekerja sangat berhubungan dengan Penyakit
Akibat Kerja (PAK) dalam pengertian semakin lama masa kerja dan durasi
waktu orang bekerja setiap harinya maka lebih berpotensi terjadinya kasus
Penyakit Akibat Kerja (PAK) jika dibandingkan dengan orang yang masa
kerja dan durasi waktu kerja yang pendek setiap harinya.
Hubungan umur, masa kerja, dan lama bekerja setiap hari bagi perajin
logam dengan kejadian kecelakaan kerja dalam penelitian ini tidak dianalisis
dan dibahas secara khusus, tetapi kasus kecelakaan kerja dalam penelitian ini
adalah bagian penting dalam rangka membantu analisis variabel penelitian
lainnya (Husaini, 2014). Untuk melihat gambaran secara umum hubungan
faktor umur perajin logam dengan kasus kecelakaan kerja yaitu terjadi pada
semua kelompok umur dengan variasi kecelakaan kerja yang terjadi (Husaini,
2014). Akan tetapi, menurut pendapat WHO (1993) dijelaskan kembali bahwa
terdapat hubungan yang positif antara penurunan tingkat kecelakaan kerja
dengan faktor usia lanjut pekerja dalam pengertian berhubungan dengan masa
kerja. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman pekerja usia lanjut tersebut pada
jenis/spesialis pekerjaannya, dalam pengertian semakin lama seseorang bekerja
pada suatu tempat dan jenis pekerjaan tertentu, maka pekerja tersebut semakin
berhati-hati dalam bekerja sehingga mudah menghindarkan diri dari berbagai
jenis kecelakaan kerja. Hal ini berhubungan pula dengan pengalamannya pada
unit kerja, peralatan, mesin, dan bahan yang sudah dialami dan dijalani oleh
pekerja usia lanjut (WHO, 1993).
Mengingat bahwa senyawa/molekul yang terlepas ke lingkungan
kerja sangat mudah berikatan atau terjadi reaksi satu dengan lainnya dan
kemungkinan pula akan tercipta polutan sekunder/zat sekunder lainnya yang
lebih toksik, reaktif, dan sinergi walaupun kadar polutan yang terukur di udara
bebas lingkungan kerja masih berada di bawah Nilai Ambang Batas (NAB)
yang telah ditentukan tersebut (Husaini, 2014).
Untuk mengantisipasi berbagai gangguan di lingkungan kerja akibat
dari berbagai polutan, hendaknya berhati-hati dalam memberikan sebuah
78 Husaini
normal (tidak ada kelainan), dan jika dihubungkan dengan IgE total dengan
hasil tidak di atas dari Nilai Ambang Batas kadar IgE total, tetapi hasil IgG
total adalah di atas dari Nilai Ambang Batas kadar IgG total dalam serum
darah perajin logam. (7) Ditemukan hasil pengukuran Spirometer restriktif,
obstruktif, dan gabungan/mixed terjadi normal (tidak ada kelainan), dan
jika dihubungkan dengan IgE dengan hasil di atas dari Nilai Ambang Batas
kadar IgE total, tetapi hasil IgG total adalah normal atau tidak di atas dari
Nilai Ambang Batas kadar IgG total dalam serum darah perajin logam. (8)
Terjadi abnormal (kelainan) salah satu fungsi paru (restriktif, obstruktif, dan
gabungan/mixed), dan salah satu terjadi abnormal (di atas dari Nilai Ambang
Batas kadar) baik IgE total maupun IgG total pada serum darah perajin logam
(Husaini, 2014).
Terjadinya penurunan fungsi paru dalam penelitian ini yang diukur adalah
restriktif, obstruktif, dan gabungan (mixed) dan abnormalisasi atau di atas Nilai
Ambang Batas (NAB) respons imun (IgE total dan IgG total) serum perajin
logam dengan adanya berbagai polutan, baik bersifat bebas maupun bersifat
gabungan akibat reaksi dari berbagai zat kimia di udara (Husaini, 2014).
DAFTAR PUSTAKA
80 Husaini
Devalia, JL. dkk.. 1999. Differences between Cytokine Release from Bronchial
Epithelial Cells of Asthmatic Patients and Non Asthmatic Subjects:
Effect of Exposure to Diesel Exhaust Particles. J Int Arch Allergy
Immunol. 118(2–4);437–439.
Devalia, JL. dkk.. 1994. Effects of NO2 and SO2 on Airway Response of Mild
Asthmatic Patients to Allergen Inhalation. Am J Respir Cell Mol Biol.
321–357.
Devalia, JL. dkk.. 1993. Effect of Nitrogen Dioxide on Synthesis of
Inflammatory Cytokines Expressed by Human Bronchial Epithelial
Cells and Vitro. Am J Respir Cell Mol Biol. 271–278.
Diaz-Sanchez, D. 2000a. Pollution and The Immune Response: Atopic
Diseases-are We Too Dirty or Too Clean?. J Immunol. 101;11–18.
Diaz-Sanchez, D. dkk.. 2000b. Diesel Exhaust Particles Directly Induce
Activated Mast Cells to Degranulate and Increase Histamine Levels
and Symptom Severity. J Allergy Clin Immunol. 106;1140–1146.
Diaz-Sanchez, D. dkk.. 1999a. Nasal Challenge with Diesel Exhaust Particles
Can Induce Sensitization to a Neo Allergen in The Human Mucosa. J
Allergy Clin Immunol. 104;1183–1188.
Diaz-Sanchez, D. dkk.. 1999b. Effect of Topical Fluticasone Propionate on The
Mucosal Allergic Response Induced by Ragweed Allergen and Diesel
Exhaust Particle Challenge. J Clin Immunol. 90;313–322.
Donald, G dan T.Z. Judith. 1996) An Introduction to Immunomodulation
by Metals dalam buku Toxicology of Metals. Edited by Louis, W.C.
London: CRC Lewis Publisher. Boca Raton.
Dye, J.A. dkk.. 1999. Role of Soluble Metals in Oil Fly Ash-Induced Airway
Epithelial Injury and Cytokine Gene Expression. Am J Physiol. 277;
L4980510.
Ehrlich, R dan LD. Fenters. 1983. Influence of NO2 on Experimental Influenza
in Squirrel Monkeys. J Environ Res. 23;346–367.
Ehrlich, R. dkk.. 1987. Immunologic Response in Vaccinated Mice During
Long-Term Exposure to Nitrogen Dioxide. J Environ Res. 10;217–223.
Epler. 2000. Environmental and Occupational Lung Disease in: Clinical
Overview of Occupational Diseases. J Occup Environ Med. 76;324–325.
82 Husaini
Heo, Y. dkk.. 2001. Effect of Diesel Exhaust Particles and Their Components
on the Allergen-Specific IgE and IgG Response in Mice. J Toxicol.
159;143–158.
Husaini. 2014. Hubungan Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi, dan Debu Besi
Dengan Gangguan Fungsi Paru dan Kadar Imunoglobulin Serum
Perajin Logam. Disertasi. Program Doktor Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ichinose, T. dkk.. 1997. Murine Strain Differences in Allergic Airway
Inflammation and Immunoglobulin Production by a Combination of
Antigen and Diesel Exhaust Particles. J Toxicol. 122(3);138–192.
Isabelle, T. dkk.. 1997. Increased Lung Function Decline in Blue Collar
Workers Exposed to Welding Fumes. Am J Respir Cell Mol Biol.
52;113–171.
James, D.B dan A.B. John. 2008. The Significance of Nanoparticles in Particle-
Induced Pulmonary Fibrosis. J Mcgill med. 11(1);43–50.
James, M.C. 2011. Low Back Pain; Mechanism, Diagnosis, and Treatment.
Seventh Edition. Wolters Kluwer-Lippincott Williams & Wilkins Health
Publishers. Philadelphia. PA 19103. USA.
James, M.S. dkk.. 1999. Tyrosine Phosphatases as Target in Metal-Induced
Signaling in Human Airway Epithelial Cells. Am J Respir Cell Mol
Biol. 21(3);357–364.
James, M.S. dkk.. 1998. Activation of MAPKs in Human Bronchial Epithelial
Cells Exposed to Metals. Am J Phy- Lung Cell and Mol Phy Publis.
Vol. 275 no: L551–L558.
Kennedy, T. dkk.. 1998. Copper Dependent Inflammation and Nuclear Factor-
kB Activation by Particulate Air Pollution. Am J Respir Cell Mol Biol.
19;366–378.
Khanzadeh, A. 1980. Long Term Effects of Welding Fumes Upon Respiratory
Symptoms and Pulmonary Function. J Occup Med. 22;337–341.
Knox, RB. dkk.. 1997. Major Grass Pollen Allergen Lolp-1 Binds to Diesel
Exhaust Particles: Implications for Asthma and Air Pollution. J Clin
Exp Allergy. 27;246–251.
84 Husaini
Muranaka, M. dkk.. 1986. Adjuvant Activity of Diesel Exhaust Particulates
for The Production of IgE Antibody in Mice. J Allergy Clin Immunol.
77;616–23.
Nakadate, T. dkk.. 1998. Change in Obstructive Pulmonary Function as a
Result of Cumulative Exposure to Welding Fumes as Determined by
Magneto Pneumography in Japanese Arc Welders. J Occup Environ
Med. 55 (10);673–677.
Nedved. 1997. Dasar-Dasar Keselamatan Kerja Bidang Kimia dan
Pengendalian Bahaya Besar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nel, A.E. dkk.. 1998. Enhancement of Allergic Inflammation by The
Interaction Between Diesel Exhaust Particles and The Immune System.
J Allergy Clin Immunol. 102;539–554.
Ohta, K. dkk.. 1999. Diesel Exhaust Particulate Induces Airway
Hyperresponsiveness in a Murine Model: Essential Role of GM-CSF.
J Allergy Clin Immunol. 104(5);1024–1030.
Palmer, KT. dkk.. 2006. Inflammatory Responses to The Occupational
Inhalation of Metal Fume. J Eur Respir. 27(2);366–373.
Palmer, KT. dkk.. 2003. Exposure to Metal Fume and Infectious Pneumonia.
Am J Epidemiol. Vol. 157. No: 3. 227–233.
Pearce. 1986. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Alih Bahasa Sri
Yuliani Handoyo. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Peterson, B dan A. Saxon. 1996. Global Increases in Allergic Respiratory
Disease: The Possible Role of Diesel Exhaust Particles. J Ann Allergy
Asthma Immunol. 77;263–268.
Pope, CA. 2000. Epidemiology of Fine Particulate Air Pollution and Human
Health. AM J Environ Health Prespect. 108 Suppl 4,713–723.
Prasad, N.K dan S. Bondy. 1987. Metal Neurotoxic. London: Fla CRC Press.
Boca Raton.
Proust, B. dkk.. 2002. Interference of a Short Term Exposure to NO2 with
Allergic Airways Responses to Allergic Challenges in BALB/c Mice.
J Mediators Inflamm. 11(4);251–260.
86 Husaini
Sunderman dan Barber. 1988. Fingerloops, Oncogenes, and Metals. J Ann
Clin Lab Sci. 18;267–288.
Sunu. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta:
Penerbit Grasindo.
Suzuki, T dan T. Kanoh. 1993. The Adjuvant Activity of Pyrene in Diesel
Exhaust on IgE Antibody Production In Mice. J Allergy. 42;963–968.
Svorcova, S dan V. Kaut. 1971. The Arterio-Venous Differences in the Nitrite
and Nitrate Ion Concentrations After Nitrogen Oxides Inhalation. J
Cesk Hyg. 16;71–76.
Takizawa, H. dkk.. 2000. Diesel Exhaust Particles Activate Human Bronchial
Epithelial Cells to Express Inflammatory Mediators in The Airways: a
Review. J Res. 5(2);197–203.
Tenkate, TD. 1999. Occupational Exposure to Ultraviolet Radiation: A Health
Risk Assessment. J Rev Environ Health. 14;187–209.
Terada, N. dkk.. 1999. Diesel Exhaust Particles Upregulate Histamine
Receptor mRNA and Increase Histamine-induced IL-8 and GM-CSF
Production in Nasal Epithelial Cells and Endothelial Cells. J Clin Exp
Allergy. 29(1);52–59.
Thomas, T. dan RA. Rhoades. 1999. C-I Palmitate Incorporation by Rat Lung:
Effect of Nitrogen Dioxide. J Proc Soc Exp Bio Med. 108; 1181–1183.
Wang, M. dkk.. 2003. Early IL-4 Production Driving Th2 Differentiation in a
Human in Vivo Allergic Model is Mast Cell Derived. J Clin Immunol.
90;47–54.
WHO. 1993. Aging and Working Capacity. Geneva. 27. Swizerland.
WHO. 2000. Hazardous Chemicals in Human and Environmental Health.
Swizerland: Publisher The International Programme on Chemical
Safety. WHO. Geneva 27.
Williams, PT. dkk.. 1986. The Relation Between Polycyclic Aromatic
Compounds in Diesel Fuels and Exhaust Particulates Fuel. J Elsevier
Ltd. 65;1150–1158.
Wu, W. dkk.. 2004. Heparin Binding Epidermal Growth Factor Cleavage
Mediates Zinc Induced Epidermal Growth Factor Receptor
Phosphorylation. Am J Respir Cell Mol Biol. 30;540–547.
88 Husaini
Bab 8
PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR (POS) PERAJIN
LOGAM
90 Husaini
8.3. JENIS PENYAKIT AKIBAT KERJA PADA PERAJIN LOGAM
Jenisnya yaitu percikan partikel besi yang masih panas, tertimpa besi dan
palu, tersulut oleh api, kulit melepuh karena terkena logam yang masih panas,
teriris/luka karena gerinda dan alat pemotong yang digunakan, kemasukan
debu/partikel pada mata, kulit, dan mulut, tulang tangan dan kaki terkilir,
teriris/luka/tertusuk oleh potongan besi/plat besi dan dislokasi pada sendi,
dan kram/kejang pada berbagai macam otot (Husaini, 2014).
a. Anamnesis:
- Apakah ada batuk yang terus menerus selama 3 minggu atau lebih?
- Apakah ada keluar darah yang bercampur dahak?
- Apakah ada disertai sesak napas?
- Apakah pernah sesak napas yang berbunyi ngik–ngik?
92 Husaini
- Apakah ada penurunan nafsu makan dan berat badan?
- Apakah ada demam, berkeringat malam hari lebih dari 1 bulan?
- Apakah ada keluarga dekat yang menderita batuk >3 minggu?
- Apakah ada alergi?
- Apakah pernah dirawat di rumah sakit akibat sesak napas?
b. Pemeriksaan fisik:
- Keadaan umur :
- Keadaan tinggi badan :
- Keadaan berat badan :
- Kepala :
- Leher :
Trakea
Kelenjar getah bening
- Thoraks :
- Abdomen :
- Tanda-tanda alergi pada kulit :
Catatan: pemeriksaan ini dilakukan oleh dokter umum/dokter kesehatan kerja
c. Pemeriksaan fungsi paru dengan alat Spirometer. Untuk keadaan fungsi
paru yang diperiksa yaitu restriktif (FVC), obstruktif (FEV 1), dan
gabungan (mixed)
d. Pemeriksaan kelelahan kerja dengan alat Reaction Time
Catatan: pemeriksaan ini dilakukan oleh tenaga teknisi/laborat Balai Hiperkes
dan Keselamatan setempat.
e. Pemeriksaan tekanan darah
f. Pemeriksaan mata (conjungtiva, kornea, dan scelera)
g. Pemeriksaan ergonomik kerja
h. Pemeriksaan laboratorium:
- Pemeriksaan sputum, bila >3 minggu batuk terus menerus
- Pemeriksaan imunoglobulin serum ( IgG, IgE, dan lainnya sesuai
kebutuhan) (Husaini, 2014).
a. Bila zat kimia/pajanan mengenai kulit, mulut, rambut, dan mata, segera
cuci pada air yang mengalir sampai bersih.
b. Bila kulit terdapat iritasi karena pajanan debu, uap, dan gas, segera berhenti
bekerja dan cuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian dioleskan
salep anti iritasi.
c. Apabila ada perajin logam yang tidak sadarkan diri karena kecelakaan
kerja (tertimpa, terpotong, tertumbuk, keracunan gas, uap, dan debu),
maka lakukan langkah-langkah penyelamatan sebagai berikut.
- Bawa korban ke tempat yang sejuk.
- Longgarkan celana korban dan pakaian korban.
- Apabila unit pelayanan kesehatan dekat dengan lokasi korban, maka
bawa segera untuk mendapat pertolongan petugas medis setempat.
- Apabila lokasi korban jauh dari unit pelayanan kesehatan, maka
lakukan tindakan pemberian pertolongan napas buatan.
94 Husaini
d. Pertolongan pada luka bakar
- Bawa korban ke tempat teduh.
- Jangan dicuci dengan air atau alkohol.
- Jangan dibalut/diperban.
- Tenangkan korban.
- Bagian yang terkena luka bakar didinginkan dengan hembusan udara
(kipas angin).
- Segera bawa ke unit pelayanan kesehatan yang terdekat.
- Atau panggil petugas kesehatan untuk memberikan pertolongan.
e. Pertolongan kecelakaan luka teriris, tertusuk, tertumbuk, atau tertimpa
bahan dan peralatan kerja
- Bawa korban ke tempat yang teduh.
- Tenangkan korban.
- Balut/perban luka.
- Segera bawa ke unit pelayanan kesehatan yang terdekat atau segera
panggil petugas kesehatan untuk diberikan pertolongan.
f. Pertolongan kecelakaan terkilir pada pergelangan tangan dan kaki.
- Bawa korban secara hati-hati ke tempat yang teduh
- Baringkan korban.
- Tenangkan korban.
- Segera periksa bagian yang terkilir.
- Lakukan pemasangan gip/penyangga pada bagian terkilir .
- Balut/perban bagian yang terkilir.
- Segera bawa ke unit pelayanan terdekat untuk mendapatkan
pertolongan sementara.
- Bawa ke rumah sakit terdekat (Husaini, 2014).
96 Husaini
dan pemeriksaan kesehatan perajin logam, terutama kesehatan paru, mata,
telinga, dan cek darah.
n. Bila terjadi keracunan gas, uap, dan debu di unit kerja, lakukan penanganan
seperti pada bagian VIII dari Prosedur Operasional Standar (POS) ini.
o. Bila terjadi kecelakaan kerja, maka lakukan penanganan seperti pada
bagian VIII dari Prosedur Operasional Standar (POS) ini.
p. Kotak P3K selalu terisi, tersedia, dan mudah dijangkau di tempat kerja
(Husaini, 2014).
8.10. PELAPORAN
8.11. EVALUASI
Sebagai bahan evaluasi, yaitu berdasarkan laporan yang telah dibuat oleh
petugas kesehatan di wilayah kerja perajin logam secara berjenjang, dalam
DAFTAR PUSTAKA
Husaini. 2014. Hubungan Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi dan Debu Besi
Dengan Gangguan Fungsi Paru dan Kadar Imunoglobulin Serum
Perajin Logam. Disertasi. Program Doktor Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lindvall, T. dkk.. 1997. Response of Rat Lung Must Cells to Nitrogen Dioxide
Inhalation. J Air Pollut Control Assoc.17;33–35.
Lionel, A.P dan A.L. Neil. 1996. Metal Interactions in Chemical Carcinogenesis
dalam buku Toxicology of Metals. Edited by Louis, W.C. London: CRC
Lewis Publisher. Boca Raton.
Louis, W.C. 1996. Toxicology of Metals. London: CRC lewis Publishers,
Boca Raton.
Mark, A.F dan PK. James. 2007. Fundamental of Occupational Safety and
Health. Fourth Edition. Lanham, Maryland. Toronto. Plymouth. UK:
Government Institutes and Imprint of the Scarecrow Pres Inc.
98 Husaini
Bab 9
PENUTUP
100 Husaini
Profil Penulis