Anda di halaman 1dari 123

DAMPAK PENCEMARAN

UDARA TERHADAP
RESPONS IMUN

TEORI DAN PRAKTIK PADA


PERAJIN LOGAM

Dr. Husaini, S.K.M., M.Kes.


DAMPAK PENCEMARAN
UDARA TERHADAP
RESPONS IMUN

TEORI DAN PRAKTIK PADA


PERAJIN LOGAM

Dr. Husaini, S.K.M., M.Kes.


Dedikasi

Buku ini penulis dedikasikan kepada orang-orang yang sangat berarti


dalam kehidupan penulis sampai saat ini, yaitu kedua orang tua penulis (alm.)
dan kedua mertua, semua guru SD Negeri Garuda Banjarmasin, semua guru
SMP Negeri 7 Banjarmasin, semua guru SMA Negeri 3 Banjarmasin semasa
penulis belajar, semua dosen pada Akademi Penilik Kesehatan-Teknologi
Sanitasi (APK-TS) Depkes RI Banjarmasin di Banjarbaru, semua dosen
Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin-Makasar,
semua dosen PPS Kesmas Universitas Airlangga-Surabaya, dan khususnya
semua dosen dan pembimbing Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta semasa penulis menuntut ilmu. Penulis dedikasikan pula buku
ini kepada para pimpinan di masa penulis bekerja sampai saat ini. Kepada
istri dan anak penulis yang selalu memberikan motivasi dan kegembiraan
tersendiri, saudara kandung dan saudara ipar penulis, sehingga buku ini dapat
diselesaikan. Para sahabat dan kawan penulis, terutama Fransiskus Hendra,
Maman Saputra, Aries NTT, dan berbagai pihak.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun v


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa seru bagi seluruh alam, atas
rahmat dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan buku referensi dengan
judul Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun: Teori dan
Praktik pada Perajin Logam. Buku referensi ini diperuntukkan sebagai
buku rujukan bagi kalangan akademis, praktisi kesehatan, mahasiswa, dan
pemangku kepentingan lainnya. Buku ini sebagian besar bersumber dari
hasil Disertasi penulis sewaktu menyelesaikan kuliah pada Program Doktor
Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Pascasarjana Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Buku ini terdiri atas bagian pertama/
Bab 1 berisi PENGERTIAN, Pencemaran Udara, Polutan yang Berdampak
terhadap Penyakit Akibat Kerja, Pencegahan Penyakit Akibat Kerja (PAK)
dan Kecelakaan Kerja, serta Hierarki Pengendalian Bahaya untuk Pencegahan
Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja. Bab 2 berisi FATOFISIOLOGI
SALURAN NAPAS DAN FUNGSI PARU, serta Fatofisiologi Saluran
Napas dan Fungsi Paru. Bab 3 berisi PENGUKURAN FAAL PARU DAN
PEMERIKSAAN IMUNOGLOBULIN, Pemeriksaan Kapasitas Paru Perajin
Logam Digunakan Spirometer (SNI, 2005), Jenis Imunoglobulin Serum
(Antibodi) yang Diperiksa pada Pekerja, dan Pemeriksaan Kadar IgE total
dan IgG total Serum Digunakan Tes ELISA (ADVIA Centaur Systems,
2011 dan ADVIA Chemistry Systems, 2007). Bab 4 berisi GANGGUAN
FUNGSI PARU DAN IMUNOGLOBULIN AKIBAT POLUTAN SO 2,
NO2, DAN CO. Bab 5 berisi DAMPAK UAP BESI DAN DEBU BESI
TERHADAP FUNGSI PARU DAN IMUNOGLOBULIN (IgE DAN IgG).
Bab 6 terdiri atas KARAKTERISTIK POLUTAN (Studi Kasus pada Unit
Perajin Logam), Sumber Bahaya dan Potensi Risiko pada Unit Perajin Logam,
serta Imunotoksisitas. Bab 7 berisi tentang STUDI KASUS GANGGUAN
KESEHATAN PERAJIN LOGAM, Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi dan
Debu Besi dengan Restriktif (FVC), Obstruktif (FEV1) dan Gabungan
(FVC+FEV1), serta Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi dan Debu Besi dengan
Peningkatan Kadar IgE total dan IgG total Serum Perajin Logam. BAB 8

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun vii


berisi tentang PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR (POS) PERAJIN
LOGAM, dan Bab 9 PENUTUP.
Penulis menyadari bahwa buku referensi ini masih perlu disempurnakan,
sehingga saran dan masukan dari berbagai pihak penulis harapkan. Atas
dukungan dari berbagai pihak penulis ucapkan banyak terima kasih.

Banjarbaru, Januari 2016

Penulis

viii Husaini
SAMBUTAN

Assalamualaikum w.w.
Sungguh saya merasa bangga dan terharu dengan disusunnya buku
mengenai Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun: Teori dan
Praktik pada Perajin Logam ini, sebab buku mengenai polutan di tempat
kerja itu amat diperlukan untuk khazanah belajar dan mengajar yang berkaitan
dengan ilmu-ilmu kesehatan masyarakat, yaitu meliputi ilmu kesehatan kerja,
ilmu kesehatan lingkungan, ilmu promosi kesehatan, dan lain-lainnya.
Buku tulisan Dr. Husaini, S.K.M., M.Kes. yang diterbitkan pada 2016
diharapkan akan mampu mengisi kekosongan buku-buku ilmu kesehatan kerja
yang selama ini terasa kosong di Indonesia, sehingga tentu berkaitan dengan
terbitnya buku ini amat ditunggu terbitnya buku-buku lainnya yang mampu
menyerap temuan-temuan baru serta mampu memberikan motivasi-motivasi
kepada para pembacanya agar dapat menjadi mahasiswa yang andal serta
lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang berkualitas.
Acapkali dikatakan oleh para ulama tentang beberapa hal, yaitu bila
keluarga atau handai taulan dan harta benda itu hanya dapat menghantarkan
jenazah ke liang kubur, lalu mereka kembali lagi kepada keluarganya lagi,
namun amal ibadah yaitu ilmu yang bermanfaat akan menyertai manusia yang
telah meninggal itu selama-lamanya. Kiranya dalam waktu religi yang seperti
inilah hendaknya para ilmuwan dapat menempatkan diri dan memakluminya.
Wassalammualaikum w.w.

Yogyakarta, 7 Mei 2016


Prof. Dr. dr. KRT. Adi Heru Husodo, M.Sc., D.CN., DLSHTM.,
PKK

1.Minat Ilmu Kesehatan Kerja & Minat Ilmu Kesehatan Lingkungan


Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
2. Departemen Kedokteran Keluarga & Komunitas & Bioetika
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun ix


Daftar Isi

DEDIKASI.............................................................................................. v
SAMBUTAN........................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN......................................................................... xvii
DAFTAR ISI............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL.................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR............................................................................... xv
BAB 1 PENGERTIAN...................................................................... 1
1.1 Pencemaran Udara......................................................... 1
1.2. Polutan yang Berdampak terhadap Penyakit Akibat
Kerja............................................................................... 2
1.3. Pencegahan Penyakit akibat Kerja (PAK) dan
Kecelakaan Kerja........................................................... 3
1.4. Hierarki Pengendalian Bahaya untuk Pencegahan
Kecelakaan dan Penyakit akibat Kerja........................... 5
Daftar Pustaka........................................................................ 7
BAB 2 FATOFISIOLOGI SALURAN NAPAS DAN FUNGSI
PARU..................................................................................... 9
2.1. Fatofisiologi Saluran Napas dan Fungsi Paru................ 9
Daftar Pustaka........................................................................ 12
BAB 3 PENGUKURAN FAAL PARU DAN PEMERIKSAAN
IMUNOGLOBULIN............................................................ 13
3.1. Pemeriksaan Kapasitas Paru Perajin Logam digunakan
Spirometer...................................................................... 20
3.2. Jenis Imunoglobin Serum (Antibodi) yang diperiksa

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun xi


pada Pekerja................................................................... 22
3.3 Pemeriksaan Kadar IgE Total dan IgG Total Serum
digunakan Tes ELISA..................................................... 23
Daftar Pustaka........................................................................ 26
BAB 4 GANGGUAN FUNGSI PARU DAN IMUNOGLOBULIN
AKIBAT POLUTAN SO2, NO2, DAN CO........................... 27
Daftar Pustaka........................................................................ 30
BAB 5 DAMPAK UAP BESI DAN DEBU BESI TERHADAP
F U N G S I PA R U D A N I M U N O G L O B U L I N
(IGE DAN IGG).................................................................... 32
Daftar Pustaka........................................................................ 40
BAB 6 KARAKTERISTIK POLUTAN
(Studi Kasus pada Unit Perajin Logam)................................. 46
6.1. Sumber Bahaya dan Potensi Risiko pada Unit Perajin
Logam............................................................................ 49
6.2. Imunotoksisitas.............................................................. 51
Daftar Pustaka........................................................................ 53
BAB 7 STUDI KASUS GANGGUAN KESEHATAN PERAJIN
LOGAM................................................................................. 55
7.1. Pajanan CO, SO2, NO 2, Uap Besi, dan Debu Besi
dengan Restriktif (FVC), Obstruktif (FEV 1), dan
Gabungan (FVC+FEV1)................................................. 57
7.2 Pajanan CO, SO2, NO 2, Uap Besi, dan Debu Besi
dengan Peningkatan Kadar IgE Total dan IgG Total
Serum Perajin Logam..................................................... 64
Daftar Pustaka........................................................................ 79
BAB 8 P R O S E D U R O P E R A S I O N A L S TA N D A R (P O S)
PERAJIN LOGAM............................................................... 89
8.1. Dasar Pemikiran............................................................. 89
8.2. Manfaat dan Tujuan Prosedur Operasional Standar
(POS) ............................................................................. 90
8.3. Jenis Penyakit akibat Kerja pada Perajin Logam........... 91
8.4. Jenis Kecelakaan akibat Kerja pada Perajin Logam...... 92
8.5. Pemeriksaan Kesehatan Kerja Perajin Logam............... 92
8.6. Pengukuran Kualitas Lingkungan Kerja ....................... 93
8.7. Alat Pelindung Diri (APD)............................................ 94
8.8. Pertolongan Pertama pada Kecelakaan Kerja (P3K)
pada Perajin Logam....................................................... 94

xii Husaini
8.9. Prosedur Operasional Standar (POS) bagi Perajin
Logam ........................................................................... 95
8.10. Pelaporan........................................................................ 97
8.11. Evaluasi.......................................................................... 97
Daftar Pustaka........................................................................ 98
BAB 9 PENUTUP............................................................................. 99
PROFIL PENULIS.................................................................................. 101

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun xiii


DAFTAR TABEL

Tabel 6.1. Tanda dan Gejala Klinis Keracunan Gas CO dalam Tubuh..... 46

xiv Husaini
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Kolapsnya saluran napas selama upaya ekspirasi


maksimum, suatu efek yang membatasi laju aliran
ekspirasi. B, pengaruh volume paru terhadap aliran udara
ekspirasi maksimum, memperlihatkan penurunan aliran
udara ekspirasi maksimum seiring dengan mengecilnya
volume paru...................................................................... 14
Gambar 3.2. Pengaruh kedua macam kelainan pernapasan paru
restriktif dan okstruksi jalan napas, pada kurva volume-
aliran ekspirasi maksimum. TLC, kapasitas paru total;
volume residu................................................................... 15
Gambar 3.3. Pemeriksaan Fungsi Paru dengan Alat Spirometer.......... 17
Gambar 3.4. Langkah Penilaian Pemeriksaan Spirometri.................... 19
Gambar 3.5. Perekaman selama dilakukan kapasitas vital paksa: A,
pada orang sehat dan B pada orang dengan obstruksi
saluran napas parsial. (Nilai “nol” pada skala volume
adalah volume residu)...................................................... 20
Gambar 4.1. Perubahan relatif jumlah total sel-sel pada cairan BAL
setelah 20 menit terpajan SO2 konsentrasi 20 mg /m3...... 29
Gambar 5.1. Komponen tiga jenis partikel dari Diesel Exhaust
Particles (DEP), Urban Air Particles (UAP) dan
Residual Oil Fly Ash (ROFA). Pengaruh UAP pada jalur
sinyal sel juga diilustrasikan, dengan LPS dan logam
(vanadium dan seng) dari UAP mengaktifkan Toll-Like
Receptor-4 (TLR4) dan Epidermal Growth Factor
Receptor (EGFR) ............................................................ 34
Gambar 5.2. Target dari DEP sebagai ajuvan pada mukosa dan
kontribusi dari sel- sel peradangan setelah pajanan oleh
alergen dan produksi IgE.................................................. 38
Gambar 7.1. Alur Produksi Perajin Logam........................................... 56

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun xv


DAFTAR SINGKATAN

APC : Antigen Presenting Cell


APD : Alat Pelindung Diri
BALF : Bronchoalveolar Lavage Fluid
CO : Carbon Monoxide
DEP : Diesel Exhaust Particle
DNA : Deoxyribose Nucleic Acid
ECP : Eosinophil Cathionic Protein
EGFR : Epidermal Growth Factor Receptor
ELISA : Enzym Linked Immunosorbent Assay
FEF : Forced Expiratory Flow
FEV1 : Forced Expiratory Volume second one
FRC : Functional Residual Capacity
FVC : Forced Vital Capacity
HbCO : Carboxyhaemoglobine
IgE : Immunoglobulin E
t.IgE : Total Immunoglobulin E
IgG : Immunoglobulin G
t.IgG : Total Immunoglobulin G
IL : Interleukin
K3 : Keselamatan dan Kesehatan Kerja
KVP : Kapasitas Vital Paksa
LPS : Lipopolisakarida
MAPK : Mitogen Activated Protein Kinase
MHC : Major Histocompatibilty Complex
NAB : Nilai Ambang Batas

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun xvii


NO2 : Nitrogen Dioxide
ONOO‫ ־‬ : Peroxynitrit
PAH : Polycyclic Aromatic Hydrocarbon
PAK : Penyakit Akibat Kerja
POS : Prosedur Operasional Standar
PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik
PTP : Phosphate Tyrosin Protein
RNS : Reactive Nitrogen Species
ROFA : Residual Oil Fly Ash
ROR : Reactive Oxygen Radical
ROS : Reactive Oxygen Species
RV : Residual Volume
SAPKs : Stress Activated Protein Kinase
SO2 : Sulphur Dioxide
TLR4 : Toll-Like Receptor-4
TNF-α : Tumour Necrosis Factor Alpha
UAP : Urban Air Particles
VC : Vital Capacity
VR : Volume Resi

xviii Husaini
Bab 1
PENGERTIAN

1.1 PENCEMARAN UDARA

Udara yang terisap dan mengandung partikel-partikel asing jika


konsentrasinya tinggi dapat menyebabkan kualitas udara berkurang atau
tidak berfungsi sesuai peruntukannya. Pencemaran udara adalah masuk
atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam udara dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan
manusia atau proses alam sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak
dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Kristanto, 2001). Sebuah
studi kasus pada kegiatan perajin logam setiap harinya selalu terpajan oleh
berbagai polutan seperti CO, SO2, NO2, uap besi, dan debu besi, serta DEP
beserta senyawanya menjelaskan dapat memberikan efek buruk seperti
menyebabkan iritasi akibat dari dehidrasi atau hidrolisa dan terisap debu besi
dapat menyebabkan inflamasi saluran pernapasan, luka pada nasal septum
(hidung), dan gangguan paru-paru seperti batuk dan sukar bernapas (Husaini,
2014; Irhamkhasani, 2000). Kasus lainnya menyimpulkan terdapat gambaran
infiltrasi sel inflamasi yang sama pada saluran napas yang melibatkan sel Th2,
sel mast, basofil, eosinofil, IgE, mediator kimia seperti histamin, leukotrien
dan molekul adhesi, serta sitokin seperti IL-4 akibat terisap uap besi dan debu
besi (Rengganis, 2004).
Polutan yang tersebar di udara dalam berbagai kegiatan industri dapat
memajani manusia atau pekerja di dalamnya melalui berbagai cara yang akan
memengaruhi sistem pernapasan. Hal ini terjadi karena manusia menghisap
dan menghembuskan udara dari paru-paru sekitar 10 m3/hari. Pada saat
bernapas akan terjadi translokasi bahan pencemar udara terhisap masuk ke

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 1


dalam pembuluh darah alveoli. Darah membawa bahan pencemar kembali
ke jantung dan dari jantung beredar ke seluruh tubuh melalui aorta. Dengan
demikian, bahan pencemar tersebut di samping dapat menimbulkan bronkitis
dan pulmonari emfisema juga akan merangsang timbulnya penyakit di organ
jaringan dalam tubuh (Yulaekah, 2007).
Studi kasus lainnya, menjelaskan dampak nyata dari polutan SO2,
CO, NO2, uap besi, dan partikel/debu besi terhadap kesehatan kerja adalah
mampu menurunkan fungsi paru melalui mekanisme neural (cyclooxigenase
pathway, receptor opioid, neuropeptida substance) serta melalui mekanisme
humoral (peningkatan produksi IgE). Semakin tinggi kadar SO2 dan NO2,
semakin tinggi pula jumlah akumulasi sel eosinofil dan zat-zat humoral reaksi
inflamasi dalam mukosa bronkus dan mukosa hidung yang pada gilirannya
akan meningkatkan gejala penyakit alergi (Setiono, 2000). Polutan seperti SO2,
CO, NO2, uap besi, dan partikel/debu besi dapat merusak, membuat kaku atau
menurunkan kerja silia (rambut getar), akibatnya bakteri dan partikel dapat
masuk ke alveoli sehingga meningkatkan penyakit saluran pernapasan dan
prevalensi kanker paru (Wijayanto, 2005).
Helleday et al. (1995) menyatakan bahwa pajanan jangka pendek gas
NO2 memberikan penurunan yang signifikan dalam waktu 45 menit terhadap
mukosiliar setelah terpajan dan berpotensi penting dalam mukosiliar untuk
alergen, misalnya virus atau mikroorganisme lainnya. Linaker et al. (2000)
menyatakan bahwa NO2 meningkatkan risiko penyebab penyakit paru setelah
infeksi pada saluran pernapasan, bahkan pada tingkat pajanan yang relatif
rendah. Studi mengenai interaksi antara polusi udara dan allergen (bahan
alergi) menggunakan model manusia menyimpulkan, antara lain partikel
besi dapat menyebabkan dan memperburuk respons alergi in vivo di saluran
pernapasan manusia bagian atas (Saxon et al., 2005)..

1.2. POLUTAN YANG BERDAMPAK TERHADAP PENYAKIT


AKIBAT KERJA

Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh


pekerjaan atau lingkungan kerja. Kepadanya sering diberikan nama penyakit
buatan manusia (manmade diseases). Berat ringannya penyakit dan cacat
tergantung dari jenis dan tingkat sakit. Sering kali terjadi cacat yang berat
sehingga pencegahannya lebih baik daripada pengobatan. Di tempat kerja
terjadi faktor-faktor yang menjadi sebab penyakit akibat kerja sebagai berikut
(Suma’mur, 1996).

2 Husaini
1. Golongan fisik, seperti:
Suara yang biasa menyababkan pekak atau tuli. Radiasi, misalnya
berasal dari bahan-bahan radioaktif yang menyebabkan antara lain penyakit-
penyakit sistem darah dan kulit, sedangkan radiasi non-pengion, misalnya
radiasi elektromagnetik yang berasal dari peralatan yang menggunakan listrik.
Radiasi sinar inframerah dapat mengakibatkan katarak pada lensa mata,
sedangkan sinar ultraviolet menjadi sebab konjungtivitas foto-electrica.
Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke, heat cramps, atau
hyperpyrexia, sedangkan suhu-suhu yang rendah antara lain menimbulkan
frosbite. Tekanan yang tinggi menyebabkan caisson disease. Penerangan
lampu yang kurang baik, misalnya menyebabkan kelainan pada indera
penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan.
2. Golongan kimiawi, yaitu:
Debu yang menyebabkan pnemokoniosis, di antaranya silikosis,
bisinosis, asbestosis, dan lain-lain. Uap yang di antaranya menyebabkan metal
fume fever (demam karena terisap uap logam), dermatitis, atau keracunan.
Gas, misalnya keracunan oleh CO, H2S, dan lain-lain. Larutan yang dapat
menyebabkan dermatitis. Awan atau kabut, misalnya racun serangga
(insecticides), racun jamur, dan lain-lain yang dapat menimbulkan keracunan.
3. Golongan infeksi, misalnya oleh bakteri, virus, parasit, maupun jamur.
4. Golongan fisiologis, yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan konstruksi
mesin, sikap badan kurang baik, salah cara melakukan pekerjaan, dan
lain-lain yang semuanya menimbulkan kelelahan fisik, bahkan lambat
laun perubahan fisik tubuh pekerja.
5. Golongan mental-psikologis, dibahas dua gangguan jiwa yang menonjol,
yaitu stres psikologis dan depresi.

1.3. PENCEGAHAN PENYAKIT AKIBAT KERJA (PAK) DAN


KECELAKAAN KERJA

Penyakit akibat kerja dan kecelakaan tidak terjadi secara kebetulan, tetapi
ada penyebabnya. Kecelakaan akibat kerja sesungguhnya dapat dicegah asal
ada kemauan yang kuat untuk mencegah. (Silalahi dan Silalahi, 1991).

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 3


Kegiatan-Kegiatan atau Upaya Keselamatan Kerja

Untuk meningkatkan keselamatan kerja di perusahaan atau di tempat-


tempat kerja, maka ILO, (1989) menyusun suatu ketentuan, yaitu sebagai
berikut.
a. Peraturan-peraturan, yaitu peraturan perundangan yang bertalian dengan
syarat-syarat kerja umum, perencanaan-perencanaan, konstruksi,
perawatan, pengujian dan pemakaian industri, kewajiban pengusaha dan
pekerja, latihan, pengawasan kesehatan kerja, pertolongan pertama pada
kecelakaan, dan pengujian kesehatan.
b. Standardisasi, yaitu penetapan standar-standar.
c. Pengawasan, yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan
yang diwajibkan.
d. Penelitian bersifat teknis, yang meliputi sifat dan ciri-ciri dari bahan-bahan
yang berbahaya, penyelidikan tentang pagar pengaman, pengujian alat
pelindung diri.
e. Riset medis, meliputi efek-efek fisiologis dan patologis faktor-faktor
lingkungan dan teknologis, keadaan-keadaan fisik yang mengakibatkan
kecelakaan.
f. Penelitian secara statistik, untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan yang
terjadi, banyaknya mengenai siapa saja, dalam pekerjaan apa, dan apa
sebab-sebabnya.
g. Pendidikan, menyangkut pendidikan keselamatan dan kurikulum teknik,
sekolah-sekolah perniagaan, atau kursus-kursus pertukangan.
h. Latihan-latihan, yaitu latihan praktik bagi tenaga kerja, khususnya tenaga
yang baru, dalam keselamatan kerja.
i. Penggairahan, yaitu penggunaan aneka cara penyuluhan atau pendekatan
lain untuk menimbulkan sikap untuk selamat.
j. Asuransi, yaitu intensif finansial untuk meningkatkan pencegahan
kecelakaan, misalnya dalam bentuk pengurangan premi yang dibayar oleh
perusahaan, jika tindakan-tindakan keselamatan sangat baik.
k. Usaha kesehatan pada tingkat perusahaan, yang merupakan ukuran utama
efektif tidaknya penerapan keselamatan kerja.

4 Husaini
1 . 4 . H I E R A R K I P E N G E N D A L I A N B A H AYA U N T U K
PENCEGAHAN KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT
KERJA

Pada kegiatan pengkajian risiko (risk assessment), hierarki pengendalian


(hierarchy of control) merupakan salah satu hal yang sangat diperhatikan.
Pemilihan hierarki pengendalian memberikan manfaat secara efektivitas dan
efesiensi, sehingga risiko menurun dan menjadi risiko yang dapat diterima
(acceptable risk) bagi suatu organisasi. Secara efektivitas, hirarki kontrol
pertama diyakini memberikan efektivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan
hierarki yang kedua. Hierarki pengendalian ini memiliki dua dasar pemikiran
dalam menurunkan risiko, yaitu menurunkan probabilitas kecelakaan atau
paparan serta menurunkan tingkat keparahan suatu kecelakaan atau paparan.
Menurut Silalahi dan Silalahi, (1991) disebutkan bahwa hierarki
pengendalian dalam sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
antara lain sebagai berikut.
1. Eliminasi
Hierarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada
saat desain, tujuannya adalah untuk menghilangkan kemungkinan kesalahan
manusia dalam menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan pada
desain. Penghilangan bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga
tidak hanya mengandalkan perilaku pekerja dalam menghindari risiko. Namun
demikian, penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan
ekonomis. Contoh-contoh eliminasi bahaya yang dapat dilakukan misalnya
bahaya jatuh, bahaya ergonomi, bahaya ruang terbatas, bahaya bising, dan
bahaya kimia.
2. Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses,
operasi, ataupun peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya.
Dengan pengendalian ini, menurunkan bahaya dan risiko minimal dilakukan
melalui desain sistem ataupun desain ulang. Beberapa contoh aplikasi
substitusi misalnya sistem otomatisasi pada mesin untuk mengurangi interaksi
mesin-mesin berbahaya dengan operator, menggunakan bahan pembersih
kimia yang kurang berbahaya, mengurangi kecepatan, kekuatan, serta arus
listrik, serta mengganti bahan baku padat yang menimbulkan debu menjadi
bahan yang cair atau basah.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 5


3. Pengendalian teknik/engineering control
Pengendalian ini dilakukan untuk memisahkan bahaya dengan pekerja,
serta untuk mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian ini
terpasang dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan. Contoh-contoh
implementasi metode ini misalnya adanya penutup mesin, fungsi alarm, sistem
sensor, sistem ventilasi, dan lain-lain (Silalahi dan Silalahi, 1991).
4. Sistem peringatan/warning system
Adalah pengendian bahaya yang dilakukan dengan memberikan
peringatan, instruksi, tanda, dan label yang akan membuat orang waspada
akan adanya bahaya di lokasi tersebut. Sangat penting bagi semua orang
untuk mengetahui dan memperhatikan tanda-tanda peringatan yang ada di
lokasi kerja, sehingga mereka dapat mengantisipasi adanya bahaya yang akan
memberikan dampak kepadanya. Aplikasi di dunia industri untuk pengendalian
jenis ini antara lain berupa sistem alarm, detektor asap, dan tanda peringatan
(penggunaan APD spesifik, jalur evakuasi, area listrik tegangan tinggi, dan
lain-lain).
5. Pengendalian administratif/administrative control
Pengendalian administratif ditujukan pengendalian dari sisi orang yang
akan melakukan pekerjaan. Dengan dikendalikan metode kerja, diharapkan
orang akan mematuhi serta memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk
menyelesaikan pekerjaan secara aman. Jenis pengendalian ini antara lain
seleksi karyawan, adanya Prosedur Operasional Standar yang baku (POS),
pelatihan, pengawasan, modifikasi prilaku, jadwal kerja, rotasi kerja,
pemeliharaan, manajemen perubahan, jadwal istirahat, investigasi, dan lain-
lain.
6. Alat pelindung diri
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan hal yang paling
tidak efektif dalam pengendalian bahaya, dan APD hanya berfungsi untuk
mengurangi risiko dari dampak bahaya. Karena sifatnya hanya mengurangi,
perlu dihindari ketergantungan hanya mengandalkan alat pelindung diri dalam
menyelesaikan setiap pekerjaan. Alat Pelindung Diri (APD) antara lain topi
keselamatan (helmet), kacamata keselamatan, masker, sarung tangan, earplug/
sumbat telinga, serta pakaian (uniform) dan sepatu keselamatan. APD yang
lain yang dibutuhkan untuk kondisi khusus yang membutuhkan perlindungan
lebih, misalnya pelindung muka/full masker, pelindung saluran napas, dan
lain-lain (Silalahi dan Silalahi, 1991).
Pemeliharaan dan pelatihan menggunakan alat pelindung diri pun
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas manfaat dari alat tersebut.

6 Husaini
Dalam aplikasi pengendalian bahaya, selain kita berfokus pada hierarkinya,
dipikirkan pula kombinasi beberapa pengendalian lainnya agar efektivitasnya
tinggi sehingga bahaya dan risiko yang ada semakin kecil untuk menimbulkan
kecelakaan. Sebagai contoh adanya unit mesin baru yang sebelumnya
memiliki kebisingan 100 dBA diberikan enclosure (lampiran) (dengan
metode engineering control) sehingga memiliki kebisingan 90 dBA. Selain
itu, ditambahkan pula tanda keselamatan di lokasi kerja, adanya pemeliharaan
dalam pencegahan untuk menjaga keandalan mesin, dan kebisingan terjaga.
Untuk pengukuran kebisingan secara berkala, diberikan pelatihan dan
penggunaan sumbat telinga yang sesuai (Silalahi dan Silalahi, 1991).

DAFTAR PUSTAKA

Helleday, R. dkk.. 1995. Differences in Bronchoalveolar Cell Response to


Nitrogen Dioxide Exposure between Smokers and Non Smokers. J
Eur Respir. 7;1213–1220.
International Labour Office. 1989. Buku Pedoman Pencegahan Kecelakaan.
Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.
Irhamkhasani. 2000. Lembar Data Keselamatan Bahan. Volume 1. Pusat
Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kimia Terapan. Bandung: Penerbit
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kristanto. 2001. Ekologi Industri. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Linaker, C.H. dkk.. 2000. Personal Exposure to Nitrogen Dioxide and Risk
of Airflow Obstruction in Asthmatic Children with Upper Respiratory
Infection. J Thorax. 55;930–933.
Rengganis, I. 2004. Alergi Merupakan Penyakit Sistemik. J Cermin Dunia
Kedokteran. 142;5–8.
Setiono. 2000. Manusia, Kesehatan dan Lingkungan (Kualitas Lingkungan
Dalam Perspektif Perubahan Lingkungan Global). Yogyakarta: Nuha
Offset.
Silalahi, B.N.B dan R.B. Silalahi. 1991. Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.
Suma‫׳‬mur, PK. 1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta:
CV Mas Agung.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 7


Wijayanto. 2005. Limbah B3 dan Kesehatan. Surabaya: Penerbit Erlangga.
Yulaekah, S. 2007. Paparan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru
pada Pekerja Industri Batu Kapur (Studi di Desa Mrisi Kecamatan
Tanggungharjo Kabupaten Grobogan). Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro.

8 Husaini
Bab 2
FATOFISIOLOGI SALURAN
NAPAS DAN FUNGSI PARU

2.1. FATOFISIOLOGI SALURAN NAPAS DAN FUNGSI PARU

Pada individu normal, terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara


fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung
growth). Mulai pada fase anak sampai umur 22–24 tahun terjadi pertumbuhan
paru, sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan
dengan pertambahan umur. Beberapa waktu, nilai fungsi paru menetap
(stasionair), kemudian menurun secara gradual (pelan-pelan), biasanya umur
30 tahun sudah mulai mengalami penurunan. Berikutnya, nilai fungsi paru
(KVP=Kapasitas Vital Paksa dan FEV1=Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik
Pertama) mengalami penurunan rerata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu
tahun umur individu (Pearce, 1986).
Selain menilai kondisi organ paru, diagnosis penyakit paru perlu
pula ditentukan dari kondisi fungsionalnya. Dengan mengetahui keadaan
fungsi paru, beberapa tindakan medis yang akan dilakukan pada penderita
tersebut dapat diramalkan keberhasilannya. Di samping, itu progresivitas
penyakitnya akan dapat diketahui. Oleh karena itu, pemeriksaan faal paru saat
ini dikategorikan sebagai pemeriksaan rutin (Corwin, 2008).
1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun
Beberapa penyakit paru yang jelas secara anatomi, memberikan tanda
kesulitan pernapasan yang mirip, yaitu terbatasnya jalan udara yang kronis,
terutama bertambahnya resistensi terhadap jalan udara saat ekspirasi.
Yang terpenting dalam gangguan ini adalah bronkitis kronis, bronkiolitis
dengan terlihatnya cabang-cabang kecil berdiameter kurang dari 2 mm dan

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 9


emfisema, ditandai dengan pembesaran rongga-rongga udara di bagian distal
dari bronkioli terminalis dan kerusakan pada septa alveoli. Bronkitis dan
bronkiolitis menambah resistensi jalan udara karena proses peradangan dan
sekret yang menyempitkan jalan udara. Kerusakan karena emfisema dinding
septa tidak hanya mengurangi rekoil elastik dari paru, tetapi juga disertai oleh
penyakit jalan udara kecil. Sering kali sulit membedakan secara klinik, keadaan
ini sering disebut Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM), termasuk di
dalamnya penyakit asma dan bronkiektasis (Corwin, 2008).
Keadaan klinik; penyakit dari kedua saluran udara yang besar maupun
yang kecil berperan dalam terjadinya PPOM. Perlu ditekankan kembali bahwa
bronkitis sendiri untuk beberapa saat dapat tanpa menyebabkan disfungsi
ventilasi, tetapi dapat menyebabkan batuk prominem dan dahak yang
produktif. Bila terjadi sesak napas hipoksemia dan hiperkapnia, oksigenisasi
tidak adekuat dari darah dapat menimbulkan sianosis. Hipoksemia kronis
dapat juga menyebabkan vasokonstriksi paru persisten. Perjalanan klinis
dari penderita PPOM terbentang mulai dari apa yang dikenal sebagai pink
puffers (berkaitan dengan emfisema panlobular primer) sampai blue bloaters
(bronkitis tanpa bukti-bukti emfisema obstruktif yang jelas) (Corwin, 2008).
Tanda klinis utama dari pink puffers (berkaitan dengan emfisema
panlobular primer) adalah timbulnya dispnea tanpa disertai batuk dengan
pembentukan sputum yang berarti. Biasanya, dispnea mulai timbul di usia
40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada ujung ekstrem lain dari
PPOM, didapati penderita blue bloaters (bronkitis tanpa bukti-bukti emfisema
obstruktif yang jelas). Penderita penyakit ini disertai dengan batuk produktif
dan berulang kali mengalami infeksi pernapasan yang dapat berlangsung
selama bertahun-tahun sebelum tampak ganguan fungsi. Akan tetapi, akhirnya
timbul gejala dispnea pada waktu penderita melakukan kegiatan fisik.
Perjalanan PPOM ditandai dengan ”batuk pagi hari” disertai pembentukan
sedikit sputum mukoid, infeksi saluran pernapasan berlangsung lebih lama.
Akhirnya, serangan bronkitis akut makin sering timbul, terutama pada musim
dingin, dan kemampuan kerja penderita berkurang, sehingga pada waktu
mencapai usia 50–60-an penderita mungkin harus berhenti bekerja.
Obstruktif, yaitu penurunan kapasitas fungsi paru yang diakibatkan oleh
penimbunan debu, sehingga menyebabkan penurunan kapasitas fungsi paru.
Penurunan aliran udara mulai dari saluran napas bagian atas sampai bronkiolus
berdiameter kurang dari 2 mm ditandai dengan penurunan FEV1, FEVl/FVC,
kecepatan aliran udara pada ekspirasi. Pemeriksaan FEV1 dan rasio FEV1/FVC
merupakan pemeriksaan yang standar, sederhana, dapat diulang, dan akurat
untuk menilai obstruktif saluran napas (Corwin, 2008).

10 Husaini
2. Emfisema
Emfisema didefenisikan sebagai suatu pelebaran normal dari ruang-ruang
udara paru, disertai dengan destruksi dari dindingnya. Pelebaran ruang udara
yang tidak disertai destruksi disebut overinflasi atau hiperinflasi.
Beberapa jenis emfisema:
a) Emfisema sentrilobular termasuk kelainan pada asinus proksimal
(bronkioli respiratorik), namun bila progresif, dilatasi dan destruktif
dari dinding distal alveoli juga akan terjadi. Secara khas, perubahan
akan lebih sering dan lebih berat di bagian atas daripada di bagian
zona bawah lobus. Bentuk emfisema ini adalah penyakit yang paling
dominan pada perokok.
b) Emfisema panasinar, terjadi pelebaran alveoli yang progresif dan
duktus alveoli, serta hilangnya dinding batas antara duktus alveoli
dan alveoli. Dengan progresivitas dan destruktif dari dinding alveoli
ini, ada simplikasi dari struktur paru. Bila proses menjadi difus,
biasanya lebih jelas tandanya pada lobus bawah, bentuk emfisema
ini lebih sering terjadi pada wanita dewasa, walaupun perokok dapat
menyebabkan bentuk dari emfisema ini, namun hubungan tersebut
tidak sesering pada emfisema sentilobuler.
c) Emfisema parasepta atau sub pleura, biasanya terbatas pada zona
subpleura dan sepanjang septa interlobaris, yang ditandai dengan
keterlibatan asinus distal, alveoli, dan kadang-kadang duktus alveoli.
Bentuk ini sering menimbulkan gelembung bula yang besar langsung
di bawah pleura, dan juga dapat menimbulkan pneumotoraks pada
dewasa muda (Corwin, 2008).
d) Emfisema ireguler, emfisema ini sering dihubungkan dengan partum
paru, bentuk ini biasanya terbatas ekstensinya, karena itu hanya
menyebabkan dampak yang kecil pada fungsi pernapasan (Corwin,
2008).
3. Penyakit paru Interstisial (Restriktif)
Penyakit paru interstisal dimulai dengan proses peradangan interstisal,
terutama yang mengenai septa-septa, sel imunokompeten yang aktif, dan
kemudian terkumpul di dinding alveolar yang menjadi penyebab kerusakan.
Akibat yang paling ditakutkan dari penyakit ini adalah penebalan fibrosis
dinding alveolar yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi
pernapasan dan mengacaukan arsitektur paru. Bersamaan dengan itu, pembuluh
halus menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran dinding
alveolar dan kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran rongga

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 11


udara, paru punmenjadi berkurang kemampuannya, sehingga pertukaran gas
mengalami gangguan. Dengan demikian, penyakit paru interstisial/restriktif
merupakan, penyebab utama paru menjadi kaku dan mengurangi kapasitas
vital dan kapasitas paru (Corwin, 2008).
Restriktif , yaitu penyempitan saluran paru-paru yang diakibatkan oleh
bahan yang bersifat alergen seperti debu, spora, jamur, dan sebagainya yang
mengganggu saluran pernapasan. Keadaan ini menunjukkan adanya penyakit
paru atau dari luar yang menyebabkan kapasitas vital berkurang, khususnya
kapasitas total paru. Dengan berkurangnya kapasitas vital, proporsi FEV1 juga
menurun. Sebagai hasilnya, FEVl /FVC (%) jadi menurun (Corwin, 2008).
Kombinasi obstruktif dan restriktif (Mixed) juga terjadi karena proses
patologi yang mengurangi volume paru, kapasitas vital dan aliran yang juga
melibatkan saluran napas. Rendahnya FEV l/FVC (%) merupakan suatu
indikasi obstruktif saluran napas, dan kecilnya volume paru merupakan suatu
restriktif. Beberapa kerusakan dapat menghasilkan bentuk campuran atau
adanya penyempitan saluran paru dan adanya penimbunan saluran paru oleh
debu (gabungan antara restriktif dan obstruktif) (Corwin, 2008).
Kelainan inefisiensi pernapasan secara garis besar dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu:
a. Hypoventilation alveoli (ventilasi yang tidak memadai di alveoli).
Terjadi karena ventilasi yang tidak memadai pada alveoli dan penyakit
yang mengurangi compliance (kemampuan mengembang) pada paru
dan dinding dada. Penyakit-penyakit tersebut antara lain silikosis,
asbestosis, tuberkulosis, kanker, pneumonia, atau kelainan tulang dada
yang akan menambah beban kerja otot-otot pernapasan.
b. Terjadinya pengurangan difusi gas melalui membran pernapasan.
c. Kurangnya transport O2 dari paru-paru ke jaringan (Pearce, 1986;
Kumar, 1995).

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, J Elizabeth. 2008. Handbook of Pathophysiology. USA: Lippincott


Williams and Wilkins Published.
Kumar. 1995. Patologi II. Edisi 4. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga.
Pearce. 1986. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Alih Bahasa Sri
Yuliani Handoyo. Jakarta: Penerbit Gramedia.

12 Husaini
Bab 3
PENGUKURAN FAAL
PARU DAN PEMERIKSAAN
IMUNOGLOBULIN

Partikel/debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus


dan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru yang akan difagositosis
oleh makrofag. Pada debu yang toksik terhadap makrofag seperti silika akan
merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru akan memfagositosis
silika bebas sehingga terjadi autolisis, keadaan ini terjadi secara berulang-
ulang. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus-menerus, berperan
penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada
jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru, yaitu dinding
alveoli dan jaringan interstisial, yang berakibat paru menjadi kaku sehingga
menimbulkan gangguan pengembangan paru, yaitu kelainan paru restriktif
(Yeung et al., 1995).
Pada banyak penyakit pernapasan, resistensi aliran udara menjadi
besar terutama selama ekspirasi, yang kadang menyebabkan kerusakan
bernapas yang hebat. Hal ini melahirkan suatu konsep yang disebut aliran
ekspresi maksimum, yang dapat didefinisikan sebagai berikut. Bila seseorang
melakukan ekspirasi dengan tenaga yang kuat, maka aliran udara ekspirasi
mencapai aliran maksimum ketika aliran tidak dapat ditingkatkan lagi,
walaupun dengan peningkatan tenaga yang besar.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 13


Gambar 3.1. Kolapsnya saluran napas selama upaya ekspirasi maksimum, suatu efek yang
membatasi laju aliran ekspirasi. B, pengaruh volume paru terhadap aliran udara ekspirasi
maksimum, memperlihatkan penurunan aliran udara ekspirasi maksimum seiring dengan
mengecilnya volume paru (Corwin, 2008)

Ini adalah aliran ekspirasi maksimum. Aliran ekspirasi maksimum jauh


lebih besar bila paru terisi dengan volume udara yang besar daripada bila
paru hampir kosong. Prinsip ini dapat dimengerti dengan memperhatikan
Gambar 3.1.
Gambar 3.1. melukiskan efek peningkatan tekanan pada bagian luar
alveoli dan saluran napas yang disebabkan oleh kompresi rangka dada.
Tanda panah menunjukan bahwa tekanan yang sama dikenakan pada kedua
sisi luar alveoli dan bronkiolus. Oleh karena itu, tekanan ini tidak hanya
memaksa udara dari alveoli untuk masuk ke dalam bronkiolus, tetapi pada saat
bersamaan juga cenderung membuat bronkiolus menjadi kolaps, yang akan
melawan gerakan udara keluar. Ketika bronkiolus hampir kolaps sempurna,
tenaga ekspirasi lebih lanjut masih dapat meningkatkan tekanan alveolus
dalam jumlah besar, tetapi tekanan ini juga meningkatkan derajat kolaps
bronkiolus dan tahanan jalan napas dengan dengan jumlah yang sama, dengan

14 Husaini
demikian dapat mencegah peningkatan aliran selanjutnya. Oleh karena itu, di
luar tingkat kritis kekuatan ekspirasi, aliran ekspirasi maksimum telah tercapai.
Gambar 3.2. melukiskan efek dari berbagai derajat kolaps paru (begitu
pula dengan kolaps bronkiolus) pada aliran ekspirasi maksimum. Catatan
kurva pada bagian ini memperlihatkan aliran ekspirasi maksimum pada
semua nilai volume paru setelah seorang yang sehat mula-mula menghirup
udara sebanyak mungkin, dan kemudian mengeluarkannya dengan upaya
ekspirasi maksimum, sampai dia tidak dapat mengeluarkan udara lebih
banyak lagi. Perhatikan bahwa orang tersebut dengan cepat mencapai aliran
udara ekspirasi maksimum lebih dari 400 liter/menit. Akan tetapi, berapa
pun banyaknya upaya ekspirasi tambahan yang dilakukannya, nilai ini tetap
merupakan kecepatan aliran maksimum yang dapat dicapainya.

Gambar 3.2. Pengaruh kedua macam kelainan pernapasan paru restriktif dan okstruksi jalan
napas, pada kurva volume-aliran ekspirasi maksimum. TLC, kapasitas paru total; volume
residu (Corwin, 2008).

Perhatikan juga bahwa ketika volume paru menjadi lebih kecil, kecepatan
aliran ekspirasi maksimum juga menjadi berkurang. Alasan utama terjadinya
keadaan ini adalah bahwa dalam paru yang mengembang, bronkus dan
bronkiolus terbuka sebagian melalui tarikan elastis pada bagian luarnya oleh
elemen struktural paru. Namun, ketika paru menjadi lebih kecil, struktur ini
mengalami relaksasi, sehingga bronkus dan bronkiolus lebih mudah kolaps
oleh tekanan dada eksternal. Jadi, secara progresif menurunkan kecepatan
aliran ekspirasi maksimum juga (Corwin, 2008).
Kelainan kurva volume-aliran ekspirasi maksimum dijelaskan pada
Gambar 3.2., melukiskan kurva normal volume-aliran ekspirasi maksimum,

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 15


bersama dengan kurva volume-aliran tambahan yang mencatat dua tipe
penyakit paru, yaitu paru restriktif dan obstruksi parsial jalan napas. Perhatikan
bahwa pada paru restriktif terdapat penurunan kapasitas paru total (TLC)
dan penuruanan volume residu (RV). Selanjutnya, karena paru tidak dapat
mengembang mencapai nilai maksimum normal, walaupun dengan upaya
ekspirasi terbesar yang mungkin, aliran ekspirasi maksimal tidak dapat
meningkat sama seperti kurva normal. Penyakit yang menyebabkan paru
restriktif antara lain penyakit fibrosis paru, seperti tuberkolosis, silikosis, dan
juga penyakit yang menyempitkan rangka dada, seperti kifosis, skoliosis dan
pleuritis fibrotik.
Pada penyakit obstruksi saluran napas, pasien jauh lebih sulit melakukan
ekspirasi daripada inspirasi, sebab kecenderungan menutupnya saluran
napas sangat meningkat akibat tekanan ekstra positif dalam dada selama
ekspirasi. Sebaliknya, tekanan ekstra negatif pada pleura yang terjadi selama
inspirasi ternyata “menarik” saluran napas membuka bersamaan dengan
mengembangnya alveoli. Oleh karena itu, udara cenderung memasuki paru
dengan mudah, tetapi kemudian menjadi terperangkap di dalam paru. Setelah
beberapa bulan atau beberapa tahun, efek ini meningkatkan kapasitas total
paru maupun volume residu, seperti yang ditunjukkan oleh kurva A pada
Gambar 3.2. Akibat adanya obstruksi saluran napas, dan karena saluran napas
lebih mudah kolaps daripada saluran normal, maka kecepatan aliran ekspirasi
maksimum menjadi sangat berkurang (Corwin, 2008).
Pemeriksaan fungsi pernapasan manusia yang sangat dianjurkan adalah
pemeriksaan spirometri, yaitu pemeriksaan terhadap volume atau kapasitas
vital paru-paru (Vital Capacit atau disingkat VC), volume atau kapasitas
vital paksa paru-paru (Forced Vital Capacity atau disingkat menjadi FVC),
dan volume udara yang dihembuskan secara paksa selama satu detik pertama
(Forced Expiratory Volume 1st second atau disingkat menjadi FEV1) (SNI,
2005).
Indikasi pemeriksaan fungsi pernapasan atau faal paru dengan
pemeriksaan spirometri tidak hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pemeriksaan klinik, namun juga dapat digunakan untuk kepentingan penelitian
epidemiologis dan skrining penilaian kesehatan atau pemeriksaan fisiologis
paru. Spirometri menggunakan prinsip salah satu hukum dalam fisika, yaitu
hukum Archimedes. Hal ini tecermin pada saat spirometer ditiup, ketika itu
tabung yang berisi udara akan naik turun karena adanya gaya dorong ke atas,
akibat adanya tekanan dari udara yang masuk ke spirometer. Spirometer juga
menggunakan hukum Newton yang diterapkan dalam sebuah katrol. Katrol
ini dihubungkan pada sebuah bandul yang dapat bergerak naik turun. Bandul

16 Husaini
ini kemudian dihubungkan lagi dengan alat pencatat yang bergerak di atas
silinder berputar.
Sebenarnya, cara kerja spirometer cukup mudah, yaitu seseorang disuruh
bernapas (menarik napas dan menghembuskan napas), dengan kedua lubang
hidung orang itu ditutup. Tabung yang berisi udara bergerak naik turun,
sementara itu drum pencatat bergerak putar (sesuai jarum jam) sehingga
pencatat akan mencatat sesuai dengan gerak tabung yang berisi udara. Hasil
pencatatan terlihat seperti Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Pemeriksaan Fungsi Paru dengan Alat Spirometer (SNI, 2005)

Pada waktu istirahat, spirogram menunjukkan volume udara paru-


paru 500 ml. Keadaan ini disebut tidal volume. Pada permulaan dan akhir
pernapasan terdapat keadaan reserve (cadangan) akhir dari suatu inspirasi,
dengan suatu usaha agar mengisi paru-paru dengan udara, udara tambahan ini
disebut inspiratory reserve volume (volume cadangan inspirasi), jumlahnya
sebanyak 3.000 ml. Demikian pula akhir dari suatu respirasi, usaha dengan
tenaga untuk mengeluarkan udara dari paru-paru, udara ini disebut dengan
expiratory reserve volume (volume cadangan ekspirasi) yang jumlahnya kira-
kira 1.100 ml. Udara yang tertinggal setelah ekspirasi secara normal, disebut
Fungtional Residual Capacity (FRC). Seorang yang bernapas dalam keadaan
baik inspirasi maupun ekspirasi, kedua keadaan yang ekstrem ini disebut Vital
Capacity (VC) (SNI, 2005).
Dalam keadaan normal, Vital Capacity sebanyak 4.500 ml. Dalam
keadaan apa pun paru-paru tetap mengandung udara, udara ini disebut residual
volume (kira-kira 1.000 ml) untuk orang dewasa. Untuk membuktikan adanya
residual volume, penderita disuruh bernapas dengan mencampuri udara dengan
helium, kemudian dilakukan pengukuran fraksi helium pada waktu ekspirasi.
Penderita disuruh bernapas dalam satu menit yang disebut respiratory minute

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 17


volume (volume pernapasan dalam satuan menit). Maksimum volume udara
yang dapat dihirup selama 15 menit disebut maximum voluntary ventilation.
Maksimum ekspirasi setelah maksimum inspirasi, sangat berguna untuk
menguji penderita emfisema dan penyakit obstruksi jalan pernapasan.
Penderita normal dapat mengeluarkan udara kira-kira 70% dari vital capacity
dalam 0.5 detik, 85% dalam satu detik, 94% dalam 2 detik, 97% dalam 3 detik,
dan normal peak flow rate 350–500 liter/menit.
Dari berbagai pemeriksaan faal paru, yang sering dilakukan adalah
Vital Capacity (VC), yaitu volume udara maksimal yang dapat dihembuskan
setelah inspirasi maksimal. Ada dua macam vital capacity berdasarkan
cara pengukurannya, yaitu Vital Capacity (VC). Di sini subjek tidak perlu
melakukan aktivitas pernapasan dengan kekuatan penuh dan Forced Vital
Capacity (FVC). Pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan maksimal.
Sedangkan berdasarkan fase yang diukur, ada dua macam VC, yaitu (a) VC
inspirasi, diukur hanya pada fase inspirasi; (b) VC ekspirasi, diukur hanya
pada fase ekspirasi. Pada orang normal, tidak ada perbedaan antara FVC
dan VC, sedangkan pada keadaan kelainan obstruksi terdapat perbedaan
antara VC dan FVC. VC merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas atau
jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding toraks. VC yang menurun
merupakan kekakuan jaringan paru atau dinding toraks, sehingga dapat
dikatakan pemenuhan (compliance) paru atau dinding toraks mempunyai
korelasi dengan penurunan VC. Pada kelainan obstruksi ringan, VC hanya
mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal (SNI, 2005).
Forced Expiratory Volume in one second (FEV1) adalah besarnya volume
udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi orang
normal berkisar antara 4–5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat
mengeluarkan hawa pernapasan sebesar 80% dari VC-nya. Fase detik pertama
ini dikatakan lebih penting daripada sisanya. Adanya obstruksi pernapasan
didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi
tidak didasarkan nilai absolutnya, tetapi pada perbandingan dengan FVC
yang diukur. Bila FEV1/FVC kurang dari 75% berarti abnormal (SNI, 2005).
Dalam keadaan normal, volume udara paru-paru manusia mencapai
4500 cc. Udara ini dikenal sebagai kapasitas total udara pernapasan manusia.
Inspirasi yang dalam dan ekspirasi yang dalam digunakan untuk mengukur
kapasitas vital paru. Kapasitas vital yaitu jumlah maksimal udara yang
dapat diekspirasikan setelah inspirasi maksimal. Inspirasi yang dalam dan
ekspirasi dihentakkan digunakan untuk mengukur FEV1 (Forced Expiratory
Volume in one second) dan mengukur volume udara yang dapat dikeluarkan/
diekspirasikan dalam satu detik pertama (SNI, 2005).

18 Husaini
Inspirasi tidak dalam dan ekspirasi tidak dalam dipakai untuk mengukur
kapasitas tidal. Kapasitas tidal adalah jumlah udara yang keluar masuk paru-
paru pada pernapasan normal dan besarnya kurang lebih 500 cc. Kemudian,
inspirasi yang dalam dan ekspirasi tidak dalam adalah untuk mengukur
kapasitas inspirasi. Kapasitas inspirasi yaitu volume udara maksimal yang
dapat diinspirasi (dihirup) setelah ekspirasi (hembuskan) normal. Inspirasi
tidak dalam (normal) dan ekspirasi dalam (maksimal) untuk mengukur
kapasitas residu fungsional (SNI, 2005). Kapasitas residu fungsional yaitu
volume udara yang tertinggal dalam paru-paru setelah ekspirasi volume
maksimal. Langkah penilaian spirometri berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI, 2005).

Gambar 3.4. Langkah Penilaian Pemeriksaan Spirometri (SNI, 2005)

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 19


Gambar 3.5. Perekaman selama dilakukan kapasitas vital paksa: A, pada orang sehat dan B
pada orang dengan obstruksi saluran napas parsial. (Nilai “nol” pada skala volume adalah
volume residu) (Corwin, 2008).

3.1. PEMERIKSAAN KAPASITAS PARU PERAJIN LOGAM


DIGUNAKAN SPIROMETER (SNI, 2005)

3.1.1 Prinsip Dasar Pengukuran Spirometer

Sebelum mengukur, operator harus memberikan penjelasan kepada


nara ukur, kemudian mendemontrasikan melalui pernapasan mulut tanpa ada
udara lewat hidung atau celah bibir. Lakukan inspirasi sedalam-dalamnya dan
tanpa ragu-ragu buanglah/ekspirasi napas secara cepat, keras, dan sekuatnya,
dan dilakukan sebanyak tiga kali, kemudian direkam serta dicetak (print).
Masukkan ke dalam tabel fungsi paru dan interpretasi hasil pengukuran untuk
mendapatkan VC, FVC, FEV1 dan gabungan baik untuk laki-laki maupun
perempuan.

3.1.2 Peralatan dan Bahan

Peralatan yang digunakan yakni spirometer digital, penjepit hidung,


mouthpiece, timbangan badan dengan ketelitian 0,1 kg, dan meteran gulung
untuk mengukur tinggi badan.
Bahan yang digunakan yaitu kuesioner yang berisi identitas, riwayat
kerja, dan keluhan selama bekerja dari nara ukur serta pengalaman kerja yang

20 Husaini
kemungkinan menjadi penyebab kelainan fungsi pernapasan. Siapkan kertas
untuk mencetak dari hasil pemeriksaan.

3.1.3 Prosedur Pemeriksaan

Memasukkan data nara ukur yang terdiri atas jenis kelamin, tinggi
badan, berat badan, kebangsaan, umur, tanggal, dan temperatur pada saat
pemeriksaan, riwayat pekerjaan, riwayat keluhan gangguan fungsi pernapasan,
dan pengalaman kerja.
Pengukuran VC (Vital Capacity) dilakukan dengan menekan tombol VC,
beri pengarahan kepada nara ukur, pasang penjepit hidung dan mouthpiece di
mulut, kemudian tekan tombol start. Nara ukur bernapas biasa melalui mulut
kira-kira 2–3 kali. Setelah terdengar bunyi tit pada spirometer, tekan tombol
enter dan nara ukur segera menarik napas sedalam-dalamnya, terus sampai
maksimum, kemudian hembuskan secara biasa sampai habis. Setelah selesai
tekan tombol stop, kemudian periksa kurva hasil rekaman, dan bila hasil
rekaman meragukan, maka pengukuran diulang kembali.
Pengukuran VC (Vital Capacity) dilakukan dengan menekan tombol VC,
beri pengarahan kepada nara ukur, pasang penjepit hidung dan mouthpiece di
mulut, kemudian tekan tombol start. Nara ukur bernapas biasa melalui mulut
kira-kira 2–3 kali. Setelah terdengar bunyi tit pada spirometer, tekan tombol
enter dan nara ukur segera menarik napas sedalam-dalamnya, terus sampai
maksimum, kemudian hembuskan secara biasa sampai habis. Setelah selesai,
tekan tombol stop kemudian periksa kurva hasil rekaman, dan bila hasil kurva
masih meragukan, maka pengukuran diulangi lagi sampai sempurna, baru
kemudian tekan tombol print.

3.1.4 Kriteria Kelainan Paru berdasarkan Penilaian Hasil


Pemeriksaan

Restriktif : FVC Meas x 100% Obstruktif : FEV1 Meas x 100%


FVC Pred FVC Meas

Interpretasi hasil:
Restriktif (%) : > 80 : Normal Obstruktif (%) : > 75 : Normal
60–79 : Ringan 60–74 : Ringan
30–59 : Sedang 30–59 : Sedang
<30 : Berat < 30 : Berat
Ukuran Pred (Prediksi) memakai standar panduan ukuran orang Indonesia
(SNI, 2005).

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 21


3.2. JENIS IMUNOGLOBIN SERUM (ANTIBODI) YANG
DIPERIKSA PADA PEKERJA
3.2.1 Kadar IgG Total

Dalam serum orang dewasa normal, IgG merupakan 75% dari


imunoglobulin total dan dijumpai dalam bentuk monomer. IgG merupakan
imunoglobulin utama yang dibentuk atas rangsangan antigen. IgG dapat
menembus plasenta dan masuk ke dalam peredaran darah janin, sehingga
pada bayi baru lahir IgG yang berasal dari ibulah yang melindungi bayi
terhadap infeksi dan digunakan sebagai indikator terjadinya suatu infeksi
dalam tubuh, baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Di antara semua
kelas imunoglobulin, IgG paling mudah berdifusi ke dalam jaringan
ekstravaskular dan melakukan aktivitas antibodi di jaringan. IgG pulalah
yang sering umumnya melapisi mikroorganisme sehingga partikel itu lebih
mudah difagositosis, di samping itu IgG juga mampu menetralisasi toksin dan
virus. IgG dapat melekat pada reseptor fc yang terdapat pada permukaan sel
sasaran dan bila melekat pada reseptor fc pada permukaan trombosit ia dapat
merangsang pelepasan vasoactive amine dan menyebabkan agregasi trombosit.
Di dalam darah, IgG mempunyai half life sekitar 23 hari (Boedina, 2010).
Penelitian Husaini (2014), imunoglobulin yang diperiksa adalah IgG
total serum perajin logam (Home Industry) yang tidak menggunakan antibodi
monokloral dalam pemeriksaannya, kemudian adanya berbagai macam
Penyakit Akibat Kerja (PAK) seperti batuk, radang tenggorokan, dan demam
pada malam hari menunjukkan adanya indikasi berbagai infeksi kronis yang
terjadi pada perajin logam, terutama keluhan ini terjadi malam hari atau
sesudah selesai bekerja. Hasil penelitian ini menunjukkan ada 61% dari 38
responden yang mengalami peningkatan kadar IgG total setelah dilakukan
pemeriksaan serum darah (Husaini, 2014).

3.2.2 Kadar IgE total

IgE dapat dijumpai dalam serum dengan kadar amat rendah dan hanya
merupakan 0,0004% dari kadar imunoglobulin total. Selain itu, IgE dapat
dijumpai dalam cairan sekresi. Salah satu sifat penting dari IgE adalah
kemampuannya melekat secara erat pada permukaan mastosit atau basofil
melalui reseptor fc. Bila sel yang dilapisi IgE ini terpajan pada alergen (bahan
alergi), sel-sel tersebut melepaskan mediator reaksi hipersensitivitas yang
sangat poten, di antaranya histamin, sehingga menimbulkan gejala alergi.
Oleh karena itu, IgE dikenal sebagai reagin pada reaksi hipersensitivitas tipe

22 Husaini
segera (immediate type), misalnya pada rinitis musiman, asma, urtikaria, dan
reaksi anafilaktik (Boedina, 2010).
IgE juga berfungsi melindungi tubuh terhadap parasit dengan cara
melapisi, sehingga parasit tersebut lebih mudah dibunuh oleh eosinofil. IgE
akan diikat oleh reseptor fc IgE pada permukaan mastosit, kemudian mediator-
mediator yang dilepaskan oleh mastosit atas rangsangan IgE menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler serta pelepasan ECF-A, merangsang
pelepasan Platelet Activating Factor (PAF), dan eosinofil peroksidase yang
diperlukan untuk menghancurkan parasit. Kadar IgE pada individu atopik
lebih tinggi dibanding individu normal dan kadar IgE spesifik terhadap antigen
tertentu, juga meningkat sesuai dengan kepekaan orang yang bersangkutan
terhadap alergen yang relevan. Sel plasma yang memproduksi IgE terdapat
dalam tonsil dan sinusoid, dan pada jaringan limfoid sepanjang mukus saluran
napas dan saluran cerna (Boedina, 2010).
Pada penelitian Husaini (2014), imunoglobulin yang diperiksa adalah
IgE total serum perajin logam yang tidak menggunakan antibodi monokloral
dalam pemeriksaannya, kemudian adanya berbagai macam Penyakit Akibat
Kerja (PAK) seperti kulit gatal-gatal, mata dan kulit terasa panas setiap bekerja,
adanya iritasi dan alergi kontak pada kulit, khususnya pada pergelangan tangan
perajin logam dan hal ini menunjukkan banyaknya indikasi kejadian alergi
akibat pajanan CO, SO2, NO2, uap besi, dan debu besi di unit perajin logam,
khususnya kejadian alergi kontak (Husaini, 2014).

3.3 PEMERIKSAAN KADAR IGE TOTAL DAN IGG TOTAL


SERUM DIGUNAKAN TES ELISA (ADVIA CENTAUR
SYSTEMS, 2011 DAN ADVIA CHEMISTRY SYSTEMS, 2007)
3.3.1 Pemeriksaan Kadar IgE Ttotal Serum

Prinsip tes ELISA antibodi, dalam pengujian IgE pada sampel bereaksi
dengan antibodi anti-IgE yang telah teradsorpsi ke permukaan sumur
microtitre polistiten. Setelah penghapusan protein terikat dengan cara mencuci,
antibodi anti-IgE terkonjungsi dengan horseradish peroxidase (HRP) yang
ditambahkan. Antibodi enzim-berlabel membentuk kompleks dengan IgE
terikat sebelumnya, kemudian dicuci dengan cara mengikuti langkah seperti
mencuci tersebut di atas. Enzim yang terikat pada immunosorbent diuji dengan
penambahan substrat berkromogen dan tentramethylbenzidine (BMT).
Jumlah enzim terikat bervariasi secara langsung dengan konsentrasi IgE
dalam sampel yang diuji dengan absorbansi pada 450 nm, yang digunakan

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 23


ukuran konsentrasi IgE dalam sampel uji. Jumlah IgE dalam sampel uji dapat
diinterpolasi dari kurva standar dan dikoreksi untuk pengenceran sampel.
Alat tes untuk kuantifikasi IgE dalam sampel mensyaratkan bahwa setiap
sampel uji harus diencerkan sebelum digunakan. Untuk penentuan langkah
dilusi, pada 1/200 adalah yang paling sesuai untuk serum/sampel plasma.
Untuk kuantifikasi mutlak, sampel yang menghasilkan hasil luar rentang kurva
standar, pengenceran yang lebih rendah atau lebih besar mungkin diperlukan.
Jika tidak yakin tingkat sampel, sebuah pengenceran serial dengan satu atau
dua sampel perwakilan sebelum menggunakan seluruh plat sangat dianjurkan.
Untuk mempersiapkan pengenceran 1/200 sampel, transfer 5 uL sampel untuk
995uL dari 1x pengencer. Lakukan pengenceran 1/200, kemudian diaduk rata.

3.3.2 Prosedur Pemeriksaan

Semua reagen disimpan ke dalam tempat dengan suhu ruang sebelum


digunakan, kemudian Pipet 100 uL dari standar 0 (0.0 ng/ml) dalam rangkap,
standar 1 (3,125 ng/ml) dalam rangkap, standar 2 (6,25 ng/ml) dalam rangkap,
standar 3 (12,5 ng/ml) dalam rangkap, standar 4 (25 ng/ml) dalam rangkap,
standar 5 (50 ng/ml) dalam rangkap, standar 6 (100 ng/ml) dalam rangkap,
dan standar 7 (200 ng/ml) dalam rangkap.
Selanjutnya diambil sampel 100 uL dan dimasukkan ke dalam sumur
tersebut. Kemudian dilakukan inkubasi plat titer mikro pada suhu kamar
selama enam puluh (60) menit, dan setelah inkubasi isi dari sumur dikeluarkan.
Benar-benar mengisi dengan baik dengan Solusi, kemudian cuci dengan
membolak-balikkan sumur. Ulangi tiga kali dengan total empat kali mencuci.
Jika mencuci secara manual sepenuhnya mengisi sumur dengan buffer
mencuci, membalikkan piring, kemudian tuangkan/kocok keluar isi dalam
wadah limbah.
Pipet 100 uL dari Konjugat Enzim-Antibodi untuk masing-masing
diencerkan dengan baik, kemudian dieramkan pada suhu kamar selama
sepuluh (10) menit. Simpan piring dalam ruang gelap selama inkubasi. Cuci
dan blot sumur-sumur seperti yang dijelaskan pada langkah sebelumnya.
Kemudian, pipet 100 uL dari Substrat Solusi ke masing-masing sumur dengan
baik kemudian dieramkan di dalam ruang gelap pada suhu kamar selama tepat
sepuluh (10) menit. Setelah sepuluh menit, tambahkan 100 uL Stop Solution
untuk setiap sumur. Tentukan absorbansi (450 nm) dari isi masing-masing
dengan baik, kemudian baca dengan ELISA Reader. Pemeriksaan IgE total
dalam penelitian ini tidak menggunakan antibodi monokloral yang spesifik.

24 Husaini
3.3.3 Pemeriksaan IgG Total Serum

Prinsip tes ELISA antibodi, dalam pengujian ini hadir IgG pada sampel
bereaksi dengan antibodi anti-IgG yang telah teradsorpsi ke permukaan sumur
microtitre polistiten. Setelah penghapusan protein terikat dengan cara mencuci,
kemudian antibodi anti-IgG terkonjungsi dengan horseradish peroxidase (HRP)
yang ditambahkan. Antibodi enzim-berlabel membentuk kompleks dengan IgG
total terikat sebelumnya, kemudian dicuci dengan cara mengikuti langkah
seperti mencuci tersebut di atas. Enzim yang terikat pada immunosorbent diuji
oleh penambahan substrat berkromogen dan tentramethylbenzidine (BMT).
Jumlah enzim terikat bervariasi secara langsung dengan konsentrasi IgG dalam
sampel yang diuji, dengan absorbansi pada 450 nm sebagi ukuran konsentrasi
IgG dalam sampel uji. Jumlah IgG dalam sampel uji dapat diinterpolasi dari
kurva standar dan dikoreksi untuk pengenceran sampel.
Alat tes untuk kuantifikasi IgG dalam sampel mensyaratkan bahwa setiap
sampel uji harus diencerkan sebelum digunakan. Untuk penentuan langkah
dilusi pada 1/80.000 adalah yang paling sesuai untuk serum/sampel plasma.
Untuk kuantifikasi mutlak, sampel yang menghasilkan hasil luar rentang kurva
standar, pengenceran yang lebih rendah atau lebih besar mungkin diperlukan.
Jika tidak yakin tingkat sampel, sebuah pengenceran serial dengan satu atau
dua sampel perwakilan sebelum menggunakan seluruh plat sangat dianjurkan.
Untuk mempersiapkan pengenceran 1/80.000 sampel, transfer 5 uL sampel
untuk 995uL dari 1x pengencer. Lakukan pengenceran 1/80.000, kemudian
diaduk rata.

3.3.4 Prosedur Pemeriksaan

Semua reagen disimpan ke dalam tempat dengan suhu ruang sebelum


digunakan, kemudian diambil dengan pipet 100 uL dari standar 0 (0.0 ng/
ml) dalam rangkap, standar 1 (15,6 ng/ml) dalam rangkap, standar 2 (31,25
ng/ml) dalam rangkap, standar 3 (62,5 ng/ml) dalam rangkap, standar 4 (125
ng/ml) dalam rangkap, standar 5 (250 ng ml) dalam rangkap, standar 6 (500
ng/ml) dalam rangkap. Selanjutnya diambil sampel 100 uL dan dimasukkan
ke dalam sumur tersebut, kemudian dilakukan inkubasi plat titer mikro pada
suhu kamar selama enam puluh (60) menit. Setelah inkubasi, kemudian isi
dari sumur dikeluarkan. Benar-benar mengisi dengan baik dengan Solusi dan
segera dicuci dengan membolak-balikkan sumur. Ulangi tiga kali dengan
total empat kali mencuci. Jika mencuci secara manual sepenuhnya mengisi
sumur dengan buffer mencuci, membalikkan piring kemudian tuangkan/
kocok keluar isi dalam wadah limbah. Kemudian pipet 100 uL dari Konjugat

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 25


Enzim-Antibodi untuk masing-masing diencerkan dengan baik. Kemudian
dieramkan pada suhu kamar selama sepuluh (10) menit, dan simpan piring
dalam ruang gelap selama inkubasi.
Cuci dan blot sumur-sumur seperti yang dijelaskan pada langkah
sebelumnya. Kemudian pipet 100 uL dari Substrat Solusi ke masing-masing
dengan baik. Kemudian dieramkan di dalam gelap pada suhu kamar selama
tepat sepuluh (10) menit. Setelah sepuluh menit, tambahkan 100 uL Stop
Solution untuk setiap sumur. Tentukan absorbansi (450 nm) dari isi masing-
masing dengan baik dan baca dengan ELISA Reader. Pemeriksaan IgG total
dalam penelitian ini tidak menggunakan antibodi monokloral yang spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

Boedina, K. 2010. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi


Kelima. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Corwin, J Elizabeth. 2008. Handbook of Pathophysiology. USA: Lippincott
Williams and Wilkins Published.
Husaini. 2014. Hubungan Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi, dan Debu Besi
Dengan Gangguan Fungsi Paru dan Kadar Imunoglobulin Serum
Perajin Logam. Disertasi. Program Doktor Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
SNI (Standardisasi Nasional Indonesia). 2005. Pengukuran Udara Ambien
(CO, SO2, NO2, Uap Besi, Debu Besi) dan Pengukuran Faal Paru.
Jakarta: Penerbit Badan Standarisasi Nasional.
Yeung, M.C. dkk.. 1995. Pulmonary Function Measurement in The Industrial
Setting. J Chest. 88;270–274.

26 Husaini
Bab 4
GANGGUAN
FUNGSI PARU DAN
IMUNOGLOBULIN
AKIBAT POLUTAN SO 2,
NO 2, DAN CO

Pencemaran atau polutan udara pada dasarnya berbentuk partikel,


antara lain debu dan DEPle (Diesel Exhauster Particle), serta gas antara
lain Sulfur Dioksida (SO2), Karbon Monoksida (CO), dan Nitrogen Dioksida
(NO2). Udara yang tercemar dengan partikel dan gas ini dapat menyebabkan
gangguan kesehatan yang berbeda tingkatan dan jenisnya tergantung dari
macam, ukuran, dan komposisi kimiawinya. Gangguan tersebut terutama
terjadi pada fungsi faal dari organ tubuh seperti paru–paru dan pembuluh
darah, atau menyebabkan iritasi pada mata dan kulit. SO2 secara langsung atau
melalui jalur neurohumoral dapat menyebabkan hipersekresi kelenjar mukus
bronkus, diikuti oleh hiperplasia dan metaplasia, pembentukan sel-sel globet
yang mengeluarkan musin pada epitel permukaan kedua saluran udara besar
ataupun kecil. Sekret ini bila banyak akan menyebabkan hambatan aliran udara
pada saluran udara yang lebih besar. Dalam saluran udara kecil bahkan dapat
menghambat, karena adanya emfisema yang sering menimbulkan hilangnya
jaringan penyangga, dan terjadi perubahan tekanan udara di dalam bronkioli
alveoli yang dapat menyempitkan jalan udara, serta mampu membatasi aliran
udara (Eva et al., 2003).
Beberapa oksida seperti SO2, uap asam sulfat, dan aerosol sulfat,
biasanya berhubungan secara sinergis dengan aerosol oksida besi atau nitrat,

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 27


dan dapat berakibat buruk terhadap saluran pernapasan. Gas SO2 dapat larut
dalam mukosa membran hidung dan tenggorokan, dan mengiritasi saluran
pernapasan bagian atas. Gas SO2 dapat pula bereaksi dengan uap air, sehingga
terbentuk asam sulfat yang merupakan zat yang sangat iritasi terhadap mukosa
saluran pernapasan dan jaringan paru. Hal ini dapat menyebabkan matinya
sel silia, sehingga aktivitas saluran pernapasan akan terganggu. Jika sampai
pada jaringan paru, maka fungsi sel makrofag juga terganggu. Oleh karena
itu, jika udara pernapasan mengandung bahan pencemar dapat meningkatkan
kepekaan terhadap penyakit infeksi saluran pernapasan seperti bronkitis
dan emfisema. Bahan polutan gas yang masuk ke dalam saluran pernapasan
dapat pula menyebabkan sembab mukosa membran, sehingga mengakibatkan
penyempitan saluran pernapasan (Rahmatullah, 2006).
Setiap permukaan jaringan yang dilalui udara pada saat kita bernapas
mengandung uap air yang mudah sekali bereaksi dengan SO2. Konsentrasi
SO2 yang tinggi sering kali bersamaan dengan konsentrasi partikulat yang
tinggi, kenyataannya tiga atau empat kali peningkatan iritasi karena SO2
yang diamati oleh sebab adanya partikulat yang diakibatkan oleh kemampuan
partikel aerosol untuk menimbulkan reaksi selanjutnya. Gas SO2 yang mudah
menjadi asam akan menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan, dan
saluran napas sampai ke paru-paru (Eva et al., 2003).
Pajanan jangka pendek terhadap SO2, dapat menyebabkan kontraksi
saluran udara pernapasan pada individu sensitif lainnya. SO2 merupakan
senyawa yang cepat bereaksi dengan jaringan paru dan menimbulkan efek
yang sangat luas karena dapat ditransportasikan sampai ke sumsum tulang dan
menimbulkan anemia aplastik. Dalam kadar rendah, SO2 dapat menimbulkan
temporer spasme otot-otot polos pada bronkioli. Pada konsentrasi yang lebih
besar, terjadi produksi lendir di saluran pernapasan bagian atas, dan apabila
kadar SO2 bertambah tinggi lagi, maka akan terjadi reaksi peradangan yang
hebat pada selaput lendir yang disertai dengan paralisis silia dan kerusakan
(desquamasi) lapisan epitelium. Bila kadar SO2 (6–12 ppm) pemajanan
terjadi berulang kali, maka iritasi selaput lendir yang berulang-ulang dapat
menyebabkan terjadinya hiperplasia dan metaplasia sel-sel epitel. Metaplasia
ini dicurigai dapat berubah menjadi kanker. Hal ini menunjukkan bahwa
polutan jenis SO2 bersifat karsinogenik terhadap kesehatan paru manusia
(Eva et al., 2003).
Gas SO2 dapat masuk ke dalam saluran pernapasan melalui mulut atau
waktu menarik napas dalam. Daya larut gas SO2 yang tinggi, mengiritasi
dinding bronkus sehingga dapat terjadi peradangan dan meningkatnya
produksi lendir. Akibatnya resistensi saluran pernapasan meningkat dan dapat
terjadi kontriksi bronkus (Mukono, 2005). Makrofag alveolar ditemukan

28 Husaini
paling banyak dalam Bronchoalveolar Lavage Fluid (BALF) sekitar 90%.
Tidak ada perubahan konsentrasi albumin, fibronektin, hialuronan, atau β2
mikroglobulin.

Keterangan jam sesudah pajanan


Sel Mast
Limfosit
Makrofag/Monosit

Gambar 4.1. Perubahan relatif jumlah total sel-sel pada cairan BAL setelah 20 menit
terpajan SO2 konsentrasi 20 mg /m3 (Eva et al., 2003)

Pajanan akut SO2 konsentrasi tinggi dapat menyebabkan trakeobronkitis


berat yang ditandai dengan odema mukosa membran, eksudasi masif, ulserasi,
perdarahan, dan nekrosis. Selain menyebabkan trakeobronkitis juga dapat
menyebabkan kematian karena paralisis pernapasan dan odema paru akibat
kerusakan membran kapiler alveoli juga aktivasi sel-sel inflamasi yang
menyebabkan kerusakan epitel dan endotel. Pengaruh pajanan kronik SO2
terhadap paru dapat menyebabkan bronkitis kronik, Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK), dan fibrosis peribronkial. Pajanan SO2 jangka lama dapat
menyebabkan perubahan volume paru, histologi, dan perubahan BALF (Eva
et al., 2003).
Pada konsentrasi pajanan NO2 di atas 5 ppm dalam waktu 15 menit akan
menyebabkan batuk dan iritasi saluran pernapasan. Pada pemajanan berlanjut
akan terjadi akumulasi abnormal pada cairan paru-paru. Pada konsentrasi
0,10 ppm akan menjadi penyebab penyakit pernapasan dan penurunan fungsi
paru-paru (Tjokrokusumo, 1999). Selain itu, makrofag dan netrofil akan
memproduksi enzim elastase, yaitu enzim yang mempunyai kemampuan
merusak elastin dan menghambat aktivitas alpha-1 antitripsin. Aktivitas
elastase menjadi tidak terhambat serta daya perusak protease yang berupa

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 29


perusakan sel alveolar, dan struktur matrik paru-paru akan berlangsung terus.
Jika rangka penunjang lemah, maka pada waktu ekspirasi bronkus akan ditekan
sehingga terjadi obstruksi respiratorik dengan cara pemajanan utama adalah
inhalasi. Cara pemajanan penting artinya terhadap efek NO2, karena toksisitas
NO2 tergantung pada kemampuannya membentuk asam nitrat dengan air
pada paru (Mukono, 2005). NO2 berpotensi mengganggu kesehatan sistem
respirasi, dan hal ini disebabkan oleh kemampuannya bergabung dengan
molekul air di paru–paru, dan membentuk asam nitrit yang merusak epitel
paru melalui proses oksidasi. Pada kadar yang cukup tinggi (>200 ppm) dapat
menyebabkan perlukaan pada paru semakin luas termasuk odema pulmoner
berat dan bronkopneumonia (Turner, 1981).
Gas NO2 mampu untuk melakukan penetrasi yang dalam sampai ke paru-
paru dan kantung-kantung udara. NO2 menyebabkan pembengkakan pada
paru-paru yang menghambat perpindahan gas ke dalam darah. Hasil penelitian
tentang pajanan NO2 ke tingkat yang rendah (490≥µg/m3), memengaruhi
respons bronkus terhadap alergen respons terhadap histamin pada saluran
pernapasan, serta meningkatkan alergi dan asma, tentu hal ini sangat
berpengaruh terhadap peningkatan kadar IgE. Hasil ini juga memperlihatkan
sampel darah perifer setelah dianalisis meningkatkan Eosinophil Cathionic
Protein (ECP) dan memberikan efek pada fungsi regular (Eva et al., 2003).
Karakteristik biologik yang paling penting dari CO adalah kemampuannya
untuk berikatan dengan haemoglobin, pigmen sel darah merah yang
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan
karboksihaemoglobin (HbCO) yang 200 kali lebih stabil dibandingkan
oksihaemoglobin (HbO2). Penguraian HbCO yang relatif lambat menyebabkan
terhambatnya kerja molekul sel pigmen tersebut dalam fungsinya membawa
oksigen ke seluruh tubuh. Kondisi seperti ini dapat berakibat serius, bahkan
fatal karena dapat menyebabkan keracunan. Selain itu, metabolisme otot dan
fungsi enzim intraselular juga dapat terganggu dengan adanya ikatan CO yang
stabil tersebut (Eva et al., 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Eva, M., dkk.. 2003. Pengaruh Inhalasi Sulfur Dioksida Terhadap Kesehatan
Paru. J Cermin Dunia Kedokteran.
Mukono, H.J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University
Press.

30 Husaini
Rahmatullah. 2006. Penyakit Paru Lingkungan Kerja. Bagian Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang: Universitas
Diponegoro Press.
Tjokrokusumo. 1999. Pengantar Enjiniring Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Turner. 1981. Occupational Lung Diseases. New York: Eds Inc Press.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 31


Bab 5
DAMPAK UAP BESI DAN
DEBU BESI TERHADAP
FUNGSI PARU DAN
IMUNOGLOBULIN
(IGE DAN IGG)

Jenis besi yang mengandung racun adalah seperti merkuri, kromium,


kadmium, tembaga, besi, nikel, selenium, dan seng. Walaupun kadar besi
dalam tanah, air, dan udara rendah, namun dapat meningkat apabila manusia
menggunakan produk-produk peralatan yang mengandung besi, pabrik-pabrik
yang menggunakan besi, pertambangan besi dan pemurnian besi (Prasad et
al., 1987). Besi dapat bergabung dengan protein untuk membentuk feritin
yang bersifat larut dalam air atau hemosiderin yang tidak larut dalam air.
Kadmium dan beberapa besi lain seperti tembaga dan seng bergabung dengan
metalotionein suatu protein dengan bobot molekul rendah (Squibb, 1988).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengungkapkan hubungan
antara partikulat dan uap besi dengan stres oksidatif dan inflamasi. Partikulat
besi akan menginduksi pelepasan mediator proinflamasi, yaitu terjadinya
kanker dan tumor paru ketika diinkubasi dengan epitel bronkial manusia atau
makrofag alveolar. Respons terhadap model bahan partikulat kaya besi dapat
ditiadakan dengan kelator besi (desferrioksamine). Berdasarkan penelitian
eksperimen, beberapa elemen terkait respons terhadap infeksi antara lain
rekrutmen dan aktivasi netrofil, juga dipicu oleh partikulat besi yang masuk
ke dalam saluran pernapasan (Ulrich et al., 2002 dan Salvi et al., 2000).
Palmer et al. (2003) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
pajanan uap logam atau uap besi yang terinspirasi oleh pekerja menunjukkan

32 Husaini
penyakit kelainan saluran pernapasan yang kronis. Dalam penelitian
lanjutannya, Palmer menguji hipotesis bahwa menginspirasi uap besi dapat
meningkatkan kerentanan kembali terhadap pneumonia. Hasil kesimpulan
penelitiannya adalah bahwa menginspirasi uap besi/uap logam menyebabkan
rentan terhadap pneumonia menular. Isabelle et al. (1997) meneliti pekerja
tukang las, bahwa pekerja yang selalu terpajan uap besi akan mempercepat
penurunan fungsi paru-paru. Menurut Costa et al. (1993) yang meneliti tentang
pengaruh uap besi pekerja las terhadap DNA protein cross link, sebanyak
21 orang tukang las laki-laki dan ada 26 orang kontrol yang tidak bekerja di
pengelasan, disimpulkan mempunyai perbedaan yang signifikan antara pekerja
las dan kontrol, dengan tukang las yang selalu terpajan uap besi mempunyai
kandungan berlebih DNA protein cross link jika dibandingkan dengan kontrol.
Groth et al. (1989) mempelajari efek dari asap las, pada pernapasan
tukang las menunjukkan prevalensi lebih tinggi secara signifikan gejala
bronkitis kronis 21%, berbanding dengan 9% pada kelompok kontrol yang
tidak bekerja menjadi tukang las. Gejala lainnya dari sistem pernapasan atas
dan bawah juga meningkat secara signifikan di antara tukang las, dan ada
hubungan dosis respons yang ditemukan antara pajanan asap las dan gejala
prevalensi gangguan saluran pernapasan.
Erkinjuntti et al. (1999) menyimpulkan bahwa bronkitis kronis lebih
umum terjadi di antara pekerja tukang las (24%) jika dibandingkan pekerja
bukan tukang las (5%). Menurut Erhabor et al. (2001), gejala yang paling
sering ditemukan di antara pekerja las yaitu penyakit paru obstruktif jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pneumonitis akut yang disebabkan
oleh inhalasi asap seng (seng oksida) disertai adanya siderosis kronis pada
pekerja las. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa patogenesis yang
disebabkan oleh pajanan uap besi dapat meningkatkan kepekaan atau respons
tubuh dan menghancurkan beberapa sel tubuh. Demikian pula Buerke et al.
(2002) menyimpulkan bahwa ditemukan fibrosis paru interstisial setelah
pajanan jangka panjang, prevalensi bertambah berat, dan banyak di tempat
kerja yang mempunyai ventilasi buruk akibat terpajan uap besi. Erhabor et al.
(2001) melaporkan bahwa 40,9% yang bekerja di industri pengelasan banyak
menderita penyakit paru restriktif.
Hull et al. (2002) melaporkan dari hasil penelitiannya, bahwa pajanan
yang kontinu dari asap selama pengelasan alumunium menyebabkan
pneumokoniosis parah. Bahaya kesehatan bagi pernapasan yang terkait dengan
las bervariasi sesuai dengan bahan dan konsentrasi zat inhalasi. Dengan
demikian, pekerja pengelasan menderita pneumonitis kimia akut yang
disebabkan oleh inhalasi asap seng (seng oksida) disertai siderosis kronis
pada pekerja las. Gambar 5.1. menjelaskan perjalanan bahan kimia di dalam

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 33


tubuh manusia akibat adanya pembakaran (combustion), termasuk dalam hal
ini kegiatan perajin logam.
Beberapa dari sinyal molekul sebagai target oleh partikel yang
disebabkan adanya ROS dan beberapa bagian partikel dan target sel saling
memengaruhi. Hal ini terlihat pada Gambar 5.1., yaitu ketika transisi logam
vanadium dan tembaga dalam Urban Air Particles (UAP) atau DEP mampu
memediasi ekspresi gen sitokin yang diinduksi dengan sisa minyak dan abu
atau Residual Oil Fly Ash (ROFA) yang mencemari udara di lingkungan kerja
(Kennedy et al., 1998; Dye et al., 1999). Lipopolisakarida (LPS) tampaknya
menjadi elemen utama atau bagian dari UAP daerah yang tercemar akibat
polutan udara (Becker, 1996 dan Osornio et al., 2003). Polycyclic Aromatic
Hydrocarbon (PAH) pada partikel dari hasil buangan DEP adalah elemen
atau bagian utama yang menyebabkan respons inflamasi. Partikel ini mampu
menyebabkan cedera oksidatif dan memainkan peran utama dalam kejadian
fibrogenesis paru. Elemen organik dan anorganik partikel ini memiliki potensi
untuk membentuk generasi ROS (Reactive Oxygen Stress), baik secara
langsung melalui ikatan kimia redoks maupun melalui respons pada paru-paru.

Gambar 5.1. Komponen tiga jenis partikel dari Diesel Exhaust Particles (DEP), Urban Air
Particles (UAP) dan Residual Oil Fly Ash (ROFA). Pengaruh UAP pada jalur sinyal sel juga
diilustrasikan, dengan LPS dan logam (vanadium dan seng) dari UAP mengaktifkan Toll-
Like Receptor-4 (TLR4) dan Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) (Bonner et al.,
2007).

Inhalasi partikel yang tersimpan dalam paru-paru memiliki potensi untuk


melahirkan generasi ROS, tergantung pada luas permukaan partikel dan reaktif
dari komposisi partikel. Logam transisi banyak memperlihatkan bahwa partikel
juga berfungsi sebagai katalis untuk memproduksi ROS. ROS diproduksi oleh
Fenton, seperti reaksi atau dengan merangsang oksidatif dalam sebuah sel
yang telah menyerap logam yang mengandung partikel melalui fagositosis.

34 Husaini
Sebagai contoh, residu minyak dan abu (ROFA) adalah partikel kaya vanadium
yang mendorong generasi oksidan pada alveolar makrofag dan sel-sel epitel
(Kadiiska et al., 1997; Goldsmith et al., 1998; Hiura et al., 1999).
Partikel dari DEP dan lipopolisakarida (LPS) dari gram negatif bakteri
juga dapat merangsang generasi ROS dalam makrofag alveolar. Fagositosis
oleh makrofag menginduksi generasi oksidan yang cepat menyebabkan
aktivasi jalur apoptosis. ROS berfungsi sebagai sinyal intermediet untuk
mengaktifkan target sinyal intraselular, termasuk Receptor Tyrosin Kinase,
Mitogen Activated Protein Kinase (MAPKs), dan faktor transkripsi. Sinyal
intermediet ini mendorong aktivasi transkripsi dan ekspresi, kemudian ekspresi
yang dihasilkan adalah ekspresi gen yang terlibat dalam peradangan dan
fibrosis (Hiura et al., 1999).
Peningkatan generasi Reactive Oxygen Species (ROS) seperti Anion
Superoksida (O2) dan Hydrogen Peroksida (H2O2) telah dihubungkan dengan
adanya peradangan. Selain ROS, Reactive Nitrogen Species (RNS) juga
dihasilkan oleh akibat pajanan partikel di paru-paru. Nitrat oksida diurai
oleh sel inflamasi yang bereaksi dengan O2 untuk membentuk Peroxynitrit
(ONOO‫( )־‬Pryor et al., 1995). Peroxynitrit menyebabkan nitrasi residu tirosin
pada protein dan dengan demikian memodifikasi fungsi protein. Protein nitrasi
telah diidentifikasi dalam jaringan paru-paru berikut pajanan partikel. Oleh
karena itu, generasi peroxynitrit dan berikutnya tirosin nitrasi menyebabkan
disfungsi protein, tampaknya berkontribusi terhadap perkembangan penyakit
setelah induksi partikel yang menyebabkan paru-paru menjadi cedera.
Oksidan berfungsi sebagai perantara sinyal yang diperlukan untuk reseptor
tirosin kinase dan aktivasi fungsi akhir dari Mitogen Activited Protein Kinase
(MAPKs). Rendahnya tingkat oksidan (<10 nm), adalah merupakan mediator
penting dari sel normal dan fungsi fisiologis termasuk proliferasi, migrasi, dan
diferensiasi. Fibroblas paru dalam sistem kultur sel menghasilkan mikromolar
tingkat H2O2 yang mungkin mempertahankan proliferasi, dan ini merupakan
bagian yang potensial ketika dirangsang dengan faktor pertumbuhan
(Sundaresan et al., 1995). Bagian endogen H2O2 juga dapat bereaksi dengan
elemen partikel untuk memengaruhi respons sitotoksik sel. Partikel logam
seperti vanadium bereaksi dengan sel yang diturunkan H2O2, untuk membentuk
inhibitor Phosphate Tyrosin Protein (PTP) dan peroxovanadate (Wang et al.,
2003; Zhang et al., 2001; Wu et al., 2004).
Induksi partikel, dapat menyebabkan fibrosis pada saluran pernapasan
akibat pajanan beberapa jenis partikel minyak dan abu, kemudian dapat pula
meningkatkan gejala keparahan penderita saluran pernapasan oleh alergi
(Salvi et al., 1999). Hasil eksperimen pada tikus dengan pajanan awal dari
agen memiliki kemampuan untuk meningkatkan Th2. Sebagai contoh, partikel

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 35


minyak dan abu (ROFA) dapat meningkatkan produksi Th2, pengambilan
eosinofil, dan hyperresponsiveness pada saluran napas tikus yang peka
terhadap ovalbumin.
Polusi udara yang mengandung partikel logam dan DEP juga
mengaktifkan epitel untuk menghasilkan mediator inflamasi yang mendasari
dalam mengaktifkan mesenkemal (Lee, 1998). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa komposisi campuran antarpartikel atau agen organik
dan anorganik berkontribusi dalam reaksi untuk menurunkan fungsi paru
dan meningkatkan gangguan lainnya, terutama bagian-bagian pernapasan
termasuk logam transisi selama proses pembakaran dan Polycyclic Aromatic
Hydrocarbon (PAH) yang berasal dari Diesel Exhaust Particles (DEP), serta
endotoksin yang merupakan sumber bakteri. Beberapa dari bagian partikel
dan target sel saling memengaruhi sehingga mampu menambah kerusakan
jaringan tubuh termasuk sel paru.
Diaz-Sanchez et al. (2000b) tentang Diesel Exhaust Particles (DEP) dan
polutan lainnya dalam mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan
manusia terlihat pada Gambar 5.1. Hasil kegiatan pembakaran bahan organik
atau anorganik mampu menyebabkan peradangan dan alergi karena sifat dan
konsentrasi dari zat ini sering sama atau melebihi yang ditemukan di luar
ruangan maupun dalam ruangan kerja. Secara khusus, partikel dari DEP yang
terdiri atas senyawa xenobiotik dan bahan kimia lainnya yang bercampur
dengan berbagai polutan di lingkungan kerja (Barfknecht et al., 1982). Sebagai
contoh, polyaromatic hydrocarbon prototypic benzo (a) pyrene ditemukan
pada DEP (Williams et al., 1986) yang merupakan faktor risiko terjadinya
sensitisasi alergi (Becker, 1996; Kulig et al., 1999).
Beberapa penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa sel mononuklear
seperti epitel yang dapat melepaskan mediator proinflamasi sitokin dan
kemokin oleh sebab terjadinya peradangan alergi saluran napas akibat terpajan
partikel logam dalam polusi udara (Rusznak et al., 1994; Devalia et al., 1999;
Bayram et al., 1998). Kemudian Fahy et al. (1999) menyatakan bahwa DEP
bersinergi dengan alergen untuk bertindak pada sel mast dan limfosit dalam
menginduksi produksi IL-4 dan IgE, serta dapat menyebabkan reaksi inflamasi. 
Sejumlah faktor yang mungkin penting dalam keseluruhan peningkatan
prevalensi penyakit alergi saluran napas pada akhir-akhir ini. Dalam hal ini,
termasuk perubahan waktu awal infeksi sampai menjadi parah, peningkatan
alergen dalam ruangan dan peningkatan polusi udara di tempat kerja (Andrae
et al., 1988). Ada bukti bahwa bahan bakar mungkin memainkan lebih detail,
namun sama-sama mempunyai peran penting dalam mengalihkan respons
imun terhadap alergi dan produksi antibodi IgE (Peterson et al., 1996).

36 Husaini
Sel Th2 dan produknya berupa IL-4 terlibat dalam sintesis IgE oleh sel
B. IgE memainkan peran utama dalam patogenesis alergi peradangan pada
manusia, baik dalam tahap awal maupun akhir dari respons mukosa untuk
alergen (Lemanske et al.,1988). Stratifikasi IgE serum dalam suatu populasi
bertindak sebagai prediktor yang baik untuk prevalensi penyakit alergi
lainnya (Burrows et al., 1989). Selanjutnya, proses ini dapat dimodulasi
lebih banyak jenis sel dan produk mereka. Antigen Presenting Cell (APC)
diperlukan untuk memproses dan menyajikan alergen untuk limfosit T. Sel
yang bertindak sebagai APC dalam saluran napas mencakup makrofag, sel
dendritik, alveolar makrofag dan sel B sendiri (Kita et al., 1996; Romagnani
et al., 1997). Limfosit Th2 menghasilkan berbagai sitokin (IL-4, IL-6, IL-10
dan IL-13) yang berperan dalam sel B diferensiasi yang mengubah isotype
dan produksi IgE (Gambar 8.) (Romagnani et al., 1997), kemudian limfosit
Th2 juga menyampaikan langsung sinyal ke limfosit B melalui sel kontak
secara langsung, misalnya mengikat ligan CD40 pada limfosit T ke CD40
reseptor pada sel B (Gambar 5.2.). Sel mast dan basofil dapat turut serta
dalam produksi IgE dan dengan produksi sitokin (misalnya IL-4 dan TNF-α).
Bahkan, sel-sel epitel sekarang dikenal sebagai faktor untuk menghasilkan
larutan seperti IL-10 yang dapat memodulasi produksi IgE (Bonfield et al.,
1995), yang pada akhirnya kontak antarlarutan akan memberikan sinyal dalam
melakukan sinergi untuk menghasilkan pengaktifan transkripsi dari promotor
gen IgE dan lokus dari kuman (Gambar 5.2.).

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 37


Gambar 5.2. Target dari DEP sebagai ajuvan pada mukosa dan kontribusi dari sel- sel
peradangan setelah pajanan oleh alergen dan produksi IgE (Andre et al., 1998).
Penelitian terhadap hewan telah memberikan data yang pasti, bahwa
DEP beserta senyawanya memengaruhi produksi IgE (Muranaka et al.,
1986; Suzuki et al., 1993; Takafuji et al., 1989). Setelah ada pajanan alergen,
terutama pada individu yang hipersensitif pada DEP, walaupun pada tingkat
yang paling sederhana atau pada dosis yang rendah mungkin memainkan peran
pasif, tetapi mampu bertindak sebagai ajuvan (membantu dalam proses) bagi
alergen yang masuk ke dalam mukosa saluran pernapasan (Knox et al., 1997).
DEP beserta senyawanya dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
(Kobayashi et al., 1995) dan paralel dengan resistensi menjadi meningkat pada
saluran napas dari hewan percobaan.
Peningkatan atau penyempitan saluran napas dan adanya eosinofilik
(Sagai et al., 1996; Miyabara et al., 1998; Ichinose et al., 1997) akibat
peradangan, serta adanya sel hiperplasia setelah intratrakeal atau respons
inhalasi menunjukkan efek yang membantu pada produksi IgE ketika tikus
diberi pajanan dengan alergen secara intranasal yang ditambah dengan unsur
dari DEP (Fujimaki et al., 1994; Fujimaki et al., 1995), dan secara keseluruhan
studi model hewan ini dapat membantu efek DEP dan senyawanya untuk
menginduksi alergen terhadap respon IgE terlepas dari cara pemberian. Pada
kelinci percobaan dengan model histamin rinitis (Kobayashi et al., 1995;
Kobayashi et al., 1997) menunjukkan frekuensi peningkatan terjadinya bersin,

38 Husaini
volume sekresi hidung, dan hambatan udara di transnasal akibat prapajanan
DEP. Perubahan ini disertai dengan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah di hidung yang berlebihan (Kobayashi et al., 1995). Peningkatan jumlah
netrofil dan penurunan aktivitas fagositosis oleh makrofag alveolar pada
pajanan dan uji coba dengan DEP dan senyawanya mampu meningkatkan
resistensi jalan napas (Rudell et al., 1990).
Penelitian yang sama dikonfirmasi dalam membantu efek dari DEP
pada produksi IgE. Seiring dengan itu, Ichinose et al. (1997) menemukan
bahwa DEP mampu meningkatkan peradangan, infiltrasi eosinofil, dan
produksi IgE pada tikus dalam merespons terhadap pajanan dalam OA.
Kimia organik di dalam DEP dapat lebih mempercepat peradangan dan alergi
melalui peningkatan respons Th. Komponen DEP, terutama zat arang, lebih
memperburuk lagi dan dapat memengaruhi berbagai jenis penyakit yang
berhubungan dengan saluran pernapasan.
Takizawa et al. (2000) melaporkan bahwa DEP mampu mengaktifkan
NF-kB yang mungkin sebagai pintu masuk atau jalan masuk penyebab radang
dan adanya produksi sitokin dalam paru. Yanagisawa et al. (2006) dalam
studi ini melaporkan bahwa pajanan DEP dapat meningkatkan kemampuan
reaksi pada saluran napas jika dihubungkan dengan penyebab alergi dan
juga membuktikan bahwa DEP telah memperburuk patofisiologi penyakit
yang berhubungan dengan saluran pernapasan. Pendapat Gilles et al. (2002)
menyatakan bahwa basofil adalah target langsung dari akibat terpajan DEP,
kemudian DEP juga mampu merangsang pengeluaran IL-4 dan pelepasan
histamin dalam IgE dan terjadinya ROS yang dapat memberikan efek.
Kemampuan DEP untuk mengaktifkan basofil baik untuk subjek yang alergi
maupun bukan alergi.
Dalam konteks inhalasi partikel, kemungkinan bahwa ketidakmampuan
untuk membersihkan partikel beracun dari paru-paru melalui fagositosis serta
pajanan berkelanjutan atau berulang dapat menggerakkan sebuah respons
inflamasi berlebihan, yang mengarah pada remodelling (renovasi) jaringan
tidak teratur dan terjadinya fibrosis. Inisiasi dari jalur ini dapat terjadi karena
adanya interaksi dengan makrofag alveolar, sel epitel, atau interaksi langsung
dengan fibroblas interstisial (Williams et al., 1986). Logam transisi tampaknya
merupakan mekanisme utama adanya stres oksidatif dan peradangan. Kasus
akibat pajanan las alumunium mampu menginduksi partikel pnemokoniosis
dan menemukan daerah fibrosis yang parah dan juga dikelilingi oleh makrofag
yang mengandung partikel (Hull et al., 2002).

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 39


DAFTAR PUSTAKA

Andrae, S. dkk.. 1988. Symptoms of Bronchial Hyperreactivity and Asthma


in Relation to Environment Factors. J Arch Dis Child. 63;473–478.
Andre, E.N. dkk.. 1998. Enhancement of Allergic Inflammation by the
Interaction between Diesel Exhaust Particles and the Immune System.
J Allergy Clin Immunol.102;539–554.
Bayram, H. dkk.. (1998) The Effect of Diesel Exhaust Particles on Cell
Function and Release of in Inflammatory Mediators from Human
Bronchial Epithelial Cells in Vitro. Am J Respir Cell Care Biol.
18;441–448.
Becker, AB. 1996. Is Primary Prevention of Asthma Possible?. J Dawsons of
Pall Mall. 5;45A–49A.
Bonfield, TL. dkk. 1995. Normal Bronchial Epithelial Cells Constitutively
Produce the Anti-Inflammatory Cytokine Interleukin-10 Which is Down
Regulated in Cystic Fibrosis. Am J Respir Cell Mol Biol. 13;257–61.
Bonner, JC. dkk.. 2007. Induction of the Lung Myofibroblast PDGF Receptor
System by Urban Ambient Particles from Mexico City. Am J Respir
Cell Mol Biol. 19;672–80.
Buerke, U. dkk.. 2002. Interstitial Pulmonary Fibrosis After Severe Exposure
to Welding Fumes. Am J Ind Med. 41(4);259–268.
Burrows, B. dkk.. 1989. Association of Asthma with Serum IgE Levels and
Skin Test Reactivity to Allergens. N Engl J Med. 320;271–277.
Costa, M. dkk.. 1993. DNA Protein Cross-Link in Welders: Mulecullar
Implications. J Cancer Res. 1;53(3);460–463.
Devalia, JL. dkk.. 1999. Differences between Cytokine Release from Bronchial
Epithelial Cells of Asthmatic Patients and Non Asthmatic Subjects:
Effect of Exposure to Diesel Exhaust Particles. J Int Arch Allergy
Immunol. 118(2–4);437–439.
Diaz-Sanchez, D. dkk.. 2000b. Diesel Exhaust Particles Directly Induce
Activated Mast Cells to Degranulate and Increase Histamine Levels
and Symptom Severity. J Allergy Clin Immunol. 106;1140–1146.
Diaz-Sanchez, D. dkk.. 1999a. Nasal (kurang lengkap)

40 Husaini
Dye, J.A. dkk. 1999. Role of Soluble Metals in Oil Fly Ash-Induced Airway
Epithelial Injury and Cytokine Gene Expression. Am J Physiol. 277;
L4980510.
Erhabor, GE. dkk.. 2001. Pulmonary Functions in ARC-Welders in East. J
Afr Med. 78(9);461–464.
Erkinjuntti, P.R. dkk. 1999. Two Year Follow up of Pulmonary Function Values
Among Welders in New Zeeland. J Occup Environ Med. 56(5);328–333.
Fahy, O. dkk.. 1999. Effects of Diesel Organic Extracts on Chemokine
Production by Peripheral Blood Nuclear Cells. J Allergy Clin Immunol.
103;1115–1124.
Fujimaki, H. dkk.. 1994. IL-4 Production in Mediastinal Lymph Node Cells
in Mice Intratracheally Instilled with Diesel Exhaust Particulates and
Antigen. J Toxicol. 92;261–268.
Fujimaki, H. dkk.. 1995. Intranasal Instillation of Diesel Exhaust Particulates
and Antigen in Mice Modulated Cytokine Productions in Cervical
Lymph Node Cells. J Int Arch Allergy Immunol. 108;268–273.
Fujimaki, H. dkk. 1997. Inhalation of Diesel Exhaust Enhances Antigen-
Specific IgE Antibody Production in Mice. J Toxicol. 116;227–233.
Gilles, D. dkk.. 2002. Chemical Constituents of Diesel Exhaust Particles
Induce IL-4 Production and Histamine Release by Human Basophils.
J Allergy Clin Immunol. 128;730–743.
Goldsmith, CA. dkk.. 1998. Analysis of Air Pollution Particulate-Mediated
Oxidant Stress in Alveolar Macrophages. J Toxicol Environ Health.
54;529–545.
Groth, M dan O. Lyngenbo. 1989. Respiratory Symptoms in Danish Welders.
J Soc Med. 17(4);271–276.
Hiura,TS. dkk.. 1999. Chemicals in Diesel Exhaust Particles Generate Reactive
Oxygen Radicals and Induce Apoptosis in Macrophages. J Immunol.
163;5582–5591.
Hull, MJ dan JL Abraham. 2002. Alumunium Welding Fume Induced
Pneumoconiosis. J Hum Pathol. 33(8);819–825.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 41


Ichinose, T. dkk.. 1997. Murine Strain Differences in Allergic Airway
Inflammation and Immunoglobulin Production by a Combination of
Antigen and Diesel Exhaust Particles. J Toxicol. 122(3);138–192.
Isabelle, T. dkk.. 1997. Increased Lung Function Decline in Blue Collar
Workers Exposed to Welding Fumes. Am J Respir Cell Mol Biol.
52;113–171.
James, D.B dan A.B. John. 2008. The Significance of Nanoparticles in Particle-
Induced Pulmonary Fibrosis. J Mcgill med. 11(1);43–50.
Kadiiska, MB. dkk.. 1997. In Vivo Evidence of Free Radical Formation in The
Rat Lung After Exposure to an Emission Source Air Pollution Particle.
J Chem Res Toxicol. 10;1104–1108.
Kennedy, T. dkk.. 1998. Copper Dependent Inflammation and Nuclear Factor-
kB Activation by Particulate Air Pollution. Am J Respir Cell Mol Biol.
19;366–378.
Kita, H dan GJ. Gleich. 1996. Chemokines Active on Eosinophils: Potential
Roles in Allergic Inflammation. J Exp Med. 183;2421.
Knox, RB. dkk.. 1997. Major Grass Pollen Allergen Lolp-1 Binds to Diesel
Exhaust Particles: Implications for Asthma and Air Pollution. J Clin
Exp Allergy. 27;246–251.
Kobayashi, T dan T. Ito. 1995. Diesel Exhaust Particulates Induce Nasal and
Mucosal Hyperresponsiveness to Inhaled Histamine Aerosol. J Fundam
Appl Toxicol. 27;195–202.
Kobayashi, T. dkk.. 1997. Short Term Exposure to Diesel Exhaust Induces
Nasal Mucosal Hyperresponsiveness to Histamine in Guinea Pigs. J
Fundam Appl Toxicol. 38;166–172.
Kulig, M. dkk.. 1999. The Association Between Pre and Postnatal Tobacco
Smoke Exposure and Allergic Sensitization During Early Childhood.
J Germany Human Exp Toxicol. 18;241–244.
Lee, T.H. 1998. Cytokine Networks in The Pathogenesis of Bronchial Asthma:
Implications for Therapy. J Roy Coll Physic. 32;56–64.
Lemanske, RF dan M. Kaliner. 1988. Late Phase IgE Mediated Reactions. J
Clin Immunol. 8;1–13.

42 Husaini
Miyabara, Y. dkk.. 1998. Diesel Exhaust Particles Enhances Allergic Airway
Inflammation and Hyperresponsiveness in Mice. Am J Respir Crit Care
Med. 157(4 Pt 1);1138–1144.
Muranaka, M. dkk.. 1986. Adjuvant Activity of Diesel Exhaust Particulates
for The Production of IgE Antibody in Mice. J Allergy Clin Immunol.
77;616–623.
Osornio, AR. dkk.. 2003. Proinflammatory and Cytotoxic Effects of Mexico
City Air Pollution Particulate Matter in Vitro are Dependent on Particle
Size and Composition. J Environ Health Perspect. 111;1289–1293.
Palmer, KT. dkk.. 2003. Exposure to Metal Fume and Infectious Pneumonia.
Am J Epidemiol. Vol. 157. No: 3. 227–233.
Peterson, B dan A. Saxon. 1996. Global Increases in Allergic Respiratory
Disease: The Possible Role of Diesel Exhaust Particles. J Ann Allergy
Asthma Immunol. 77;263–268.
 Prasad, N.K dan S. Bondy. 1987. Metal Neurotoxic. Boca Raton, London:
Fla CRC Press.
Pryor, W.A dan G.L. Squadrito. 1995. The Chemistry of Peroxynitrite: a
Product from The Reaction of Nitric Oxide with Superoxide. Am J
physical. 268, L699–722.
Romagnani, S dan PG. Del. 1997. How T Cells Direct IgE Switching in IgE
Regulation Molecullar Mechanism. J John Wiley and Sons. 1–20.
Rudell, B. dkk.. 1990. Controlled Diesel Exhaust Exposure in an Exposure
Chamber Pulmonary Effects Investigated with Bronchoalveolar Lavage.
J Aerosol Sci. 21;S411–414.
Rusznak, C. dkk.. 1994. The Impact of Pollution on Allergic Disease. J Allergy
& Clin Immunol Eur. 49;21–27. 39.
Sagai, M., Furuyama, A dan Ichinose, T. 1996. Biological Effects of Diesel
Exhaust Particles Pathogenesis of Asthma Like Symptoms in Mice. J
Free Radic Biol Med. 21;199–209.
Salvi, S.S., Blomberg, A., Rudell, B., Kelly, F., Sandstom, T., Holgate, ST
and Frew, A. (1999) Acute Inflammatory Responses in The Airways
and Peripheral Blood After Short-Term Exposure to Diesel Exhaust in
Healthy Human Volunteers. Am J Respir Crit Care Med. 159;702-709.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 43


Salvi, S.S. dkk.. 2000. Acute Exposure to Diesel Exhaust Increases Il-8 and
Gro-A Production in Healthy Human Airways. Am J Respir Crit Care
Med. 161;550–557.
Squibb. 1988) Intracellular Metabolism of Circulating Cadmium Metal in The
Kidney. J Environ Health Perspect. 54;31–35.
Sundaresan, M. dkk.. 1995. Requirement for Generation of H2O2 for Platelet
Derived Growth Factor Signal Transduction. J Sci. 13;270(5234);296–
299.
Suzuki, T dan T. Kanoh. 1993. The Adjuvant Activity of Pyrene in Diesel
Exhaust on IgE Antibody Production In Mice. J Allergy. 42;963–968.
Takafuji, S. dkk.. 1989. Enhancing Effect Suspended Particulate Matter on
the IgE Antibody Production in Mice. J Int Arch Allergy Appl Immunol.
90;1–7.
Takizawa, H. dkk.. 2000. Diesel Exhaust Particles Activate Human Bronchial
Epithelial Cells to Express Inflammatory Mediators in The Airways: a
Review. J Res. 5(2);197–203.
Ulrich, M.M. dkk.. 2002. Health Effects and Time Course of Particulate Matter
on the Cardiopulmonary System in Rats with Lung Inflammation. J
Toxicol Environ Health. 65;1571–1595.
Wang, M. dkk.. 2003. Early IL-4 Production Driving Th2 Differentiation in a
Human in Vivo Allergic Model is Mast Cell Derived. J Clin Immunol.
90;47–54.
Williams, PT. dkk.. 1986. The Relation Between Polycyclic Aromatic
Compounds in Diesel Fuels and Exhaust Particulates Fuel. J Elsevier
Ltd. 65;1150–1158.
Wu, W. dkk.. 2004. Heparin Binding Epidermal Growth Factor Cleavage
Mediates Zinc Induced Epidermal Growth Factor Receptor
Phosphorylation. Am J Respir Cell Mol Biol. 30;540–547.
Yanagisawa, R. dkk.. 2006. Components of Diesel Exhaust Particles
Differentially Affect Th1/Th2 Response in a Murine Model of Allergic
Airway Inflammation. J Clin Exp Allergy. 36(3);386–395.
Zhang, L. dkk.. 2001. Vanadium Stimulates Human Bronchial Epithelial Cells
to Produce Heparin Binding Epidermal Growth Factor Like Growth

44 Husaini
Factor a Mitogen for Lung Fibroblast. Am J Respir Cell Mol Biol.
24;123–140.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 45


Bab 6
KARAKTERISTIK POLUTAN
(Studi Kasus pada Unit
Perajin Logam)

Untuk karakteristik polutan di tempat perajin logam yang diukur dengan


alat gases meter dan dust collector sampler, yakni gas CO, SO2, NO2, uap
besi, dan debu besi (Husaini, 2014). Adapun karakteristik polutan tersebut
yakni sebagai berikut.

a. Gas Karbon Monoksida (CO)


Sifat umum gas CO yakni tidak berwarna dan tidak berbau, mudah
terbakar, dan bila terbakar akan menimbulkan nyala api yang berwarna ungu
kebiruan, mudah larut dalam alkohol, benzen, dan air, jalan masuk ke dalam
tubuh melalui inhalasi, dan Nilai Ambang Batas (NAB): 50 ppm (NIOSH
dalam Siswanto, 1991), sedangkan menurut SE Menaker No. 01/men/1997:
≤ 29 mg/Nmᶾ udara.
Tanda dan gejala klinis dari keracunan karbon monoksida (CO) terutama
berkaitan Hb darah, dari tanpa gejala dan keluhan sampai pada penderita
berakibat fatal (meninggal dunia) hanya beberapa jam setelah terpajan oleh
gas CO. Oleh karena itu, gas CO di tempat kerja menjadi perhatian serius
bagi Pemangku Kepentingan, terutama pihak perusahaan atau industri yang
bahan buangan atau polutan udaranya banyak mengandung gas CO (Siswanto,
1991). Untuk melihat tanda dan gejala klinis dari keracunan gas CO, terdapat
pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Tanda dan Gejala Klinis Keracunan Gas CO dalam Tubuh

46 Husaini
Kadar
Tanda dan Gejala Klinis
HbCO(%)
0–10 Tanpa keluhan dan gejala
10–20 Gejala berat di kepala, sakit kepala (ringan), dan pelebaran pembuluh darah kulit
20–30 Sakit kepala (di daerah pelipis) yang hebat
30–40 Sakit kepala yang hebat, badan lemah, pusing, penglihatan kabur, mual, muntah,
dan pingsan
40–50 Gejala-gejala seperti di atas, kemungkinan penderita pingsan pada kadar HbCO
ini adalah besar, denyut nadi, dan frekuensi pernapasan meningkat
50–60 Pingsan, denyut nadi, dan frekuensi pernapasan meningkat, koma, dan kejang

60–70 Penderita koma, kejang intermiten, depresi pada jantung dan pernapasan, serta
kemungkinan penderita meninggal
70–80 Denyut nadi menjadi lemah dan napas penderita menjadi pelan serta penderita
dapat meninggal dalam waktu beberapa jam
80–90 Kematian dapat terjadi dalam waktu kurang dari satu jam

90–100 Penderita akan meninggal dalam waktu yang singkat (beberapa menit saja)
Sumber: Siswanto, 1991

Perubahan patologis yang terjadi pada keracunan akut terutama


disebabkan oleh hipoksia (jaringan tubuh kekurangan oksigen). Tingkat
perubahan ini di antaranya dipengaruhi oleh tingkat hipoksia yang dialami
oleh jaringan dan jaringan tubuh yang paling peka terhadap efek hipoksia ini
adalah otak dan jantung (Siswanto, 1991).
Perubahan patologis yang terjadi pada keracunan CO (akut) selain
ditentukan oleh tingkat hipoksia, tetapi juga oleh lamanya hipoksia tersebut
berlangsung. Pada keracunan akut, batas maksimum lamanya pingsan
agar tidak menimbulkan cacat neurologis (syaraf) adalah 21 jam untuk
penderita yang berusia di bawah 48 tahun dan 11 jam untuk penderita yang
berusia >48 tahun. Bila pingsan berlangsung lebih lama dari batas waktu
maksimum tersebut, maka akan terjadi kerusakan yang parmanen pada
susunan syaraf pusat serta gangguan fungsi mental. Selain kadar HbCO dalam
darah meningkat, pemajanan menahun terhadap karbon monoksida akan
menimbulkan gejala-gejala keracunan kronis yang karakteristis, misalnya
berkurang atau menghilangnya kekuatan otot (Loss of Muscular Strength) dan
kegisapan/kewaspadaan mental (Mental alertness), serta sakit kepala yang
berlangsung terus menerus (persistent) (Siswanto, 1991 dan Louis, 1996).

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 47


b. Nitrogen Dioksida (NO2)
Gas NO2 lebih toksik dari nitric oxide, dengan nitrogen dioksida dalam
tubuh bergabung secara kimiawi dan membentuk methemoglobinemia ussualy
mild and transient, and person with genetic susceptibility may develop toxic
levels of methemoglobin. Untuk Nilai Ambang Batas (NAB)-nya adalah 5 ppm
(NIOSH dalam Siswanto, 1991) dan menurut SE Menaker No. 01/men/1979:
≤ 5,6 mg/Nm3 udara.
Efek lokal yang terjadi yaitu iritasi pada mata, iritasi pada membran
mukosa saluran pernapasan atas, perubahan warna kulit (kekuning-kunigan
atau kecokelat-cokelatan) dan gigi. Hal ini menunjukkan terjadinya pemajanan
asam nitrat. Efek samping dari keracunan NO2 yaitu iritasi pada paru yang
hebat yang menyebabkan sembab paru (pulmonary oedema). Sembab paru
dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah pemajanan yang lama, dan kerusakan
pada bronkus yang terjadi secara perlahan-lahan yang menyebabkan obstruksi
pada saluran pernapasan, dalam waktu satu sampai empat minggu setelah
pemajanan gas nitrogen dioksida pada kadar yang rendah sampai sedang, serta
terjadinya menthemoglobin yang sifatnya ringan (Siswanto, 1991).

c. Sulfur Dioksida (SO2)


Sifat umum dari gas SO2 yakni tidak berwarna, dalam udara atmosfer
bereaksi dengan oksigen dan membentuk sulfur trioksida (SO3). Beberapa
oksida logam dapat secara langsung mengoksidasi sulfur dioksida dan
membentuk sulfat. SO2 bereaksi dengan air dan membentuk asam sulfit
(H2SO3). Selain oksida-oksida logam, ion-ion metal misalnya Mn dan Fe
merupakan katalis yang baik pada proses oksidasi SO2.
Toksisitas gas SO2 dapat menyebabkan iritan kuat, sulfur dioksida
menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokkan. Pada kadar 20 ppm,
sulfur dioksida menyebabkan iritasi pada mata. Tanda dan gejala klinis pada
pemajanan akut dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan, rasa
panas pada mata, mengeluarkan air mata, pilek, batuk, bersin, sesak napas,
nyeri dada, sekresi mukus (dahak) meningkat, dan ronki. Kemudian, pada
pemajanan kronis menyebabkan peradangan yang kronis pada hidung dan
tenggorokan. Batuk yang menahun dan berdahak, pendarahan pada hidung,
sesak napas, rasa penuh di dada, dan batuk darah (Siswanto, 1991 dan Louis,
1996).

d. Uap besi/logam
Uap besi atau uap logam yang terpajan secara kronis dapat menjadi
pintu masuk perkembangan penyakit saluran pernapasan (Zein et al., 2005)

48 Husaini
dan suatu zat yang bersifat proinflamasi (Rice et al., 2001), serta mampu
menyebabkan eritema (Tenkate, 1999). Eritema, pterygium, non-melonositik
kanker kulit dan melanoma ganas (Tenkate, 1999), dan dapat menyebabkan
iritasi kulit (Erharbor et al., 2001). Terhirup zink oksida, akan menyebabkan
sitokin proinflamasi paru dan TNF-α sebagai mediasi awal terjadinya Metal
Fume Fever (MFF) (Kuschner et al., 1977), dapat meningkatkan pneumonia
(Palmer et al., 2006), mempercepat penurunan fungsi paru dan adanya
hubungan yang signifikan terhadap peningkatan IgE (Isabelle et al., 1997),
serta ditemukan fibrosis pada paru (Buerke et al., 2002).

e. Debu Besi dan DEP


Debu besi yang terbanyak dalam lingkungan kerja perajin logam yaitu
tembaga, seng, mangan, dan alumunium. Untuk Nilai Ambang Batas (NAB)
debu total dalam lingkungan kerja antara 0.3 mg/m3 s.d. 1.0 mg/m3 menurut
WHO (dalam Siswanto, 1991). Pemajanan debu besi dapat menyebabkan
iritasi pada saluran pernapasan atas dan rasa logam pada lidah. Dan kadang-
kadang dapat menimbulkan perubahan pada warna kulit dan rambut pada
kadar 1–3 mg/m3 (for shot periods).
Pemajanan debu dari garam-garam tembaga (cooper salts) dapat
menimbulkan metallic taste dan iritasi pada saluran pernapasan atas serta
mukosa mulut. Pada pemajanan yang menahun, debu-debu tersebut dapat
menyebabkan atrofi pada mukosa saluran pernapasan atas. Bila mata
kontak dengan debu dari garam-garam tembaga, maka debu-debu tersebut
menyebabkan peradangan pada konjungtiva dan kornea, sedangkan partikel
tembaga yang tertanam (embedded) dalam mata akan menyebabkan terjadinya
perubahan warna jaringan mata (discoloration of ocular tissue). Metal Fume
Fever (MFF) atau demam karena terisap uap logam ditandai dengan menggigil,
badan panas, otot terasa sakit, mulut dan tenggorokan terasa kering, dan sakit
kepala. Serangan biasanya dirasakan lebih parah pada hari pertama kerja (the
first day of workneek) dan biasanya ditemukan leukositosis (Siswanto, 1991
dan Louis, 1996).

6.1. SUMBER BAHAYA DAN POTENSI RISIKO PADA UNIT


PERAJIN LOGAM

Sumber bahaya dan potensi risiko yang terdapat pada unit perajin logam,
ketika pekerja selalu berdekatan dengan potensi bahaya tersebut yakni bagian
penempaan logam/plat, bagian pembakaran dan peleburan logam serta bagian
gerinda/penghalusan produk yang dihasilkan (Prasad et al., 1987; Palmer et

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 49


al., 2006; Erikson et al., 2004; Mark et al., 2007; Ray et al., 2010; Lilly, 1998;
Rice et al., 2001; Tenkate, 1999; Husaini, 2000).

6.1.1 Bagian Penempaan Logam/Plat

Dapat menyebabkan terpajan gas CO, SO2, NO2, uap besi, debu besi,
dan DEP, menyebabkan dehidrasi, gangguan pada mata, dan kelelahan fisik.
Berbagai kecelakaan kerja seperti percikan partikel besi yang masih panas,
tertimpa palu besi, tersulut oleh api, kulit melepuh karena terkena logam yang
masih panas, teriris/luka karena gerinda yang digunakan, terkena debu pada
mata, tergelincir, dan teriris/luka/tertusuk oleh potongan besi/plat besi.
Berbagai macam Penyakit Akibat Kerja (PAK) seperti batuk, mata dan
kulit terasa panas, sesak napas, radang tenggorokan, demam pada malam
hari, kulit gatal-gatal, dan alergi. Kesalahan sikap kerja akan menyebabkan
kelelahan kerja mudah terjadi seperti kelelahan dan sakit pada mata, tengkuk,
bahu, dada, punggung, perut, pinggang, siku, pergelangan tangan, paha,
lutut, betis, pergelangan kaki, waktu kerja tidak efisien, dan konsentrasi kerja
terganggu.

6.1.2 Bagian Gerinda/Penghalusan dan Mempertajam Hasil Produk

Dapat menyebabkan terpajan oleh debu dan DEP, dehidrasi, gangguan


pada mata dan kelelahan fisik. Berbagai kecelakaan kerja seperti terkena
percikan partikel besi, teriris/luka/tertusuk oleh potongan besi/plat besi,
tersayat/luka karena terkena gerinda, mata kemasukan partikel/debu dan jari
terjepit.
Berbagai macam Penyakit Akibat Kerja (PAK) seperti batuk, mata dan
kulit terasa panas, radang tenggorokan, demam pada malam hari, kulit gatal-
gatal, dan alergi. Kesalahan sikap kerja akan menyebabkan kelelahan dan
sakit pada mata, tengkuk, bahu, dada, punggung, pinggang, siku, pergelangan
tangan, paha, lutut, betis, pergelangan kaki, waktu kerja tidak efisien, dan
konsentrasi kerja terganggu.

6.1.3 Bagian Pembakaran dan Peleburan Logam

Dapat menyebabkan terpajan gas CO, SO2, NO2, uap besi, debu besi, dan
DEP, dehidrasi, gangguan pada mata, dan kelelahan fisik. Berbagai kecelakaan
kerja seperti terkena percikan partikel besi yang masih panas, tersulut oleh
api, kulit melepuh karena terkena logam yang masih panas, tergelincir, teriris/
luka/tertusuk oleh potongan besi/plat besi, dan tertumpah cairan logam.

50 Husaini
Berbagai macam Penyakit Akibat Kerja (PAK) seperti batuk, mata dan
kulit terasa panas, sesak napas, radang tenggorokan, demam pada malam
hari, kulit gatal-gatal dan alergi. Kesalahan sikap kerja akan menyebabkan
kelelahan dan sakit pada mata, tengkuk, bahu, dada, punggung, pinggang,
siku, pergelangan tangan, paha, lutut, betis, pergelangan kaki, waktu kerja
tidak efisien, dan konsentrasi kerja terganggu.

6.2. IMUNOTOKSISITAS

Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan yang sangat berkembang


dalam melindungi tubuh dari serangan berbagai antigen dan alergen. Berbagai
bahan kimia, bakteri, virus, spora, dan jamur di lingkungan kita dapat
menyerang, melemahkan, bahkan mematikan sel-sel atau pertahanan sistem
imun tubuh, sehingga tubuh kita dapat menjadi sakit atau terjadinya berbagai
kelainan sel-sel tubuh seperti tumor dan kanker (WHO, 2000).
Sistem imun memberikan reaksi yang berbeda terhadap substansi
toksik jika dibandingkan dengan respons sistem organ lainnya. Respons
toksik terhadap suatu zat biasanya berkaitan dengan dosis. Zat kimia dengan
dosis yang cukup tinggi dapat menimbulkan efek buruk pada sebagian besar
masyarakat. Sebaliknya, reaksi alergi dan autoimunitas tidak berhubungan
dengan dosis. Akan tetapi, tak jarang ditemukan beberapa orang yang tetap saja
terpengaruh dengan suatu zat berapapun dosis yang diterimanya (WHO, 2000).
Salah satu kelainan imun adalah yang disebut dengan imunotoksikan yang
memiliki tiga efek yang berlainan pada sistem imun tubuh kita, yaitu dapat
memperlemah/menekan sistem imun, dapat menyebabkan hipersensitivitas,
dan dapat menyerang tubuhnya sendiri (autoimunitas). Fungsi sistem imun
adalah mengenali dan memusnahkan agen yang berbahaya bagi tubuh.
Jika sistem imun berfungsi dengan baik, agen asing dapat dimusnahkan
dengan cepat dan efisien. Jika sistem imun dihambat dengan cara apa pun
(imunosupresi), hal ini akan memperbesar kerentanan tubuh terhadap berbagai
bakteri, virus, parasit, jamur, organisme lainnya, termasuk peningkatan kanker
dan tumor. Agen kimia dapat menghambat fagositosis atau justru memengaruhi
limfosit dan produksi antibodinya. Berbagai bahan kimia jenis logam berat
beserta derivatnya, seperti logam berat, pestisida dan polutan hasil pembakaran
biomassa dan fosil, terutama hidrokarbon aromatik merupakan zat yang
terbukti mampu menekan dan merusak sistem imun tubuh manusia sehingga
terjadi penurunan jumlah sel penghasil antibodi (WHO, 2000).
Terkadang, sistem imun memberikan respons yang buruk terhadap
agen lingkungan yang mengakibatkan munculnya reaksi alergi. Alergi
dapat menyebabkan berbagai kondisi tubuh atau badan seperti asma, artritis

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 51


rematoid, dan dermatitis kontak (alergi kulit). Penyebab alergi mengacu
pada respons hipersensitivitas yang terjadi setelah pajanan agen lingkungan
dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) lainnya. Antigen yang dapat menimbulkan
respons alergi disebut alergen. Semestinya memicu pembentukan antibodi
yang tipikal, alergen justru menstimulasi limfosit B untuk memproduksi
antibodi pensensitif yang disebut reagin. Jika reagin berikatan dengan
alergen, maka akan menimbulkan respons alergik. Salah satu alergi yang
paling umum adalah alergi kontak atau dermatitis kontak. Dermatitis kontak
alergi dapat terjadi dalam hitungan hari setelah mengalami pajanan, terutama
dalam jangka waktu yang panjang terhadap suatu zat yang dosisnya rendah
(WHO, 2000). Beberapa bahan kimia yang dapat menyebabkan dermatitis
kontak, yaitu fenolik, merkuri organik, senyawa ammonium, formaldehida,
alumunium, perak, berilium, berbagai uap, dan gas dari pembakaran produk
logam, tembaga beserta garam-garamnya, dan derivatnya. Allergic contact
dermatitis karena pemajanan tembaga pernah dilaporkan (Siswanto, 1991).
Reaksi alergi dapat terjadi apabila beberapa bahan kimia organik dan
anorganik terjadi reaksi, maka menimbulkan alergi bila terpajan dalam jangka
waktu yang lama, walaupun dalam dosis yang rendah. Hal ini telah dibuktikan
dari beberapa penelitian tentang alergi akibat polutan dari sumber pekerjaan.
Menurut Ichinose et al. (1997); Yanagisawa et al. (2006); Miyabara et al.
(1998); dan Ohta et al. (1999) bahwa reaksi alergi dan hipereaktivitas radang
pada saluran napas dari model hewan telah menunjukkan bahwa produksi
antibodi alergi meningkat dan terjadi respons generasi Th2 yang dihasilkan
oleh interaksi antara alergen, dan polutan juga dapat mengakibatkan efek
alergi pada saluran pernapasan akibat kerja.
Sistem imun memiliki cara sendiri untuk membedakan sel-sel dan
substansi pejamu dari sel-sel dan substansi asing, sehingga mampu mencegah
sistem imun untuk menyerang tubuhnya sendiri. Jika sistem imun sudah
kehilangan kemampuannya untuk membedakan sel-sel tubuhnya sendiri
dengan sel-sel asing, maka sistem tersebut akan menyerang dan membunuh
sel-sel pejamu sehingga terjadi kerusakan jaringan yang serius. Kondisi
inilah yang disebut sebagai autoimunitas. Walaupun tidak sesering/selazim
imunosupresi atau alergi, pemajanan terhadap bahan-bahan kimia dan bahan
organik tertentu telah dihubungkan dengan munculnya respons autoimunitas.
Bahan kimia seperti emas, perak, logam berat, pestisida aldrin dan dieldrin,
vinil klorida, pajanan jangka panjang bahan bakar biomassa, dan bahan
bakar fosil sudah cukup lama dibuktikan mampu menyebabkan terjadinya
autoimunitas pada sel imun manusia (WHO, 2000).

52 Husaini
DAFTAR PUSTAKA

Buerke, U. dkk.. 2002. Interstitial Pulmonary Fibrosis After Severe Exposure


to Welding Fumes. Am J Ind Med. 41(4);259–268.
Erhabor, GE. dkk.. 2001. Pulmonary Functions in ARC-Welders in East. J
Afr Med. 78(9);461–464.
Erikson, KM. dkk.. 2004. Airborne Manganese Exposure Differentially Affects
and Points of Oxidative Stress in an Age and Sex Dependent Manner.
J Occup Environ Med. 78;432–451.
Husaini. 2014. Hubungan Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi dan Debu Besi
dengan Gangguan Fungsi Paru dan Kadar Imunoglobulin Serum
Perajin Logam. Disertasi. Program Doktor Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ichinose, T. dkk.. 1997. Murine Strain Differences in Allergic Airway
Inflammation and Immunoglobulin Production by a Combination of
Antigen and Diesel Exhaust Particles. J Toxicol. 122(3);138–192.
Isabelle, T. dkk.. 1997. Increased Lung Function Decline in Blue Collar
Workers Exposed to Welding Fumes. Am J Respir Cell Mol Biol.
52;113–171.
Kuschner, WG. dkk.. 1977. Pulmonary Response to Purified Zinc Oxide Fume.
J Allergy Clin Immunol. 92;80–112.
Louis, W.C. 1996. Toxicology of Metals. London: CRC lewis Publishers,
Boca Raton.
Mark, A.F dan PK. James. 2007. Fundamental of Occupational Safety and
Health. Fourth Edition. Toronto. Plymouth. UK: Government Institutes
and Imprint of the Scarecrow Pres Inc. Lanham, Maryland.
Miyabara, Y. dkk.. 1998. Diesel Exhaust Particles Enhances Allergic Airway
Inflammation and Hyperresponsiveness in Mice. Am J Respir Crit Care
Med. 157(4 Pt 1);1138–1144.
Ohta, K. dkk.. 1999. Diesel Exhaust Particulate Induces Airway
Hyperresponsiveness in a Murine Model: Essential Role of GM-CSF.
J Allergy Clin Immunol. 104(5);1024–1030.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 53


Palmer, KT. dkk.. 2006. Inflammatory Responses to The Occupational
Inhalation of Metal Fume. J Eur Respir. 27(2);366–373.
 Prasad, N.K dan S. Bondy. 1987. Metal Neurotoxic. Boca Raton, London:
Fla CRC Press.
Ray, A dan W. David. 2010. Industrial Safety and Health Management. Sixth
edition. New Jersey: Pearson education, Inc Publishers Upper Saddle
River. 07458.
Rice, TM. dkk.. 2001. Diffrential Ability of Transition to Induced Pulmonary
Inflammation. J Toxicol Appl Pharmacol. 177(1);46–53.
Tenkate, TD. 1999. Occupational Exposure to Ultraviolet Radiation: A Health
Risk Assessment. J Rev Environ Health. 14;187–209.
WHO. 2000. Hazardous Chemicals in Human and Environmental Health.
Geneva 27, Swizerland: Publisher The International Programme on
Chemical Safety, WHO.
Yanagisawa, R. dkk.. 2006. Components of Diesel Exhaust Particles
Differentially Affect Th1/Th2 Response in a Murine Model of Allergic
Airway Inflammation. J Clin Exp Allergy. 36(3);386–395.
Zein, M. dkk.. 2005. Is Metal Fume Fever a Determinant of Welding Related
Respiratory Symptoms and/or Increased Bronchial Responsiveness? a
Longitudinal Study. J Occup Environ Med. 62;688–694.

54 Husaini
Bab 7
STUDI KASUS GANGGUAN
KESEHATAN PERAJIN
LOGAM

Studi dalam isi buku ini berdasarkan hasil penelitian Husaini (2014),
dilaksanakan pada unit perajin logam beserta perajinnya di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, lebih kurang 180 km dari Ibu Kota Provinsi Kalimantan
Selatan. Hasil produksi berupa peralatan rumah tangga, alat pertanian seperti
parang, cangkul, pengait buah kelapa sawit, dan transportasi seperti roda kapal,
souvenir, dan lain-lain (Husaini, 2014).
Bahan baku yang digunakan untuk membuat parang, cangkul, peralatan
pertanian, peralatan rumah tangga, roda kapal, dan lain-lain yaitu bahan
logam/besi dari per mobil, plat besi, dan alumunium. Selanjutnya dilakukan
pemotongan bahan baku sesuai dengan bentuk dan ukuran barang produksi
dengan cara membakar dan meleburkan terlebih dahulu sampai pijar
dengan suhu antara >600oC (Fauzi, 2000), kemudian dipotong dengan cara
menggunakan pemotong dari baja sesuai dengan bentuk dan ukuran, dan
untuk roda kapal dituang pada cetakan yang sudah tersedia sesuai ukuran,
dilakukan penempaan dan pembentukan dengan cara pembakaran kembali
sampai pijar selanjutnya dilakukan pembentukan barang setengah jadi, dan
dilakukan penggerindaan untuk penghalusan dan mempertajam produk, serta
disempurnakan untuk dipasarkan atau untuk memenuhi pesanan. Tahapan atau
alur produksi terlihat pada Gambar 7.1.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 55


Gambar 7.1. Alur Produksi Perajin Logam

Perajin logam dalam bekerja setiap harinya tidak menggunakan Alat


Pelindung Diri (APD) dan berdasarkan pengamatan peneliti sering terjadi
kecelakaan bersifat injury berupa terkena percikan api, butiran/partikel besi
yang panas, dan banyak debu besi yang menempel pada kulit dan rambut.
Perajin logam dalam bekerja juga selalu berdekatan dengan sumber potensi
pencemaran seperti panas dari tungku dan tanur pembakaran serta peleburan
logam, terjadinya getaran dan bising dari kegiatan penempaan logam, terpajan
berbagai polutan seperti uap logam, gas CO, SO2, NO2, berbagai debu dan
partikel besi, termasuk kemungkinan adanya polutan Diesel Exhaust Particles
(DEP) beserta senyawanya yang bersumber dari pembakaran dan peleburan
besi, yang masih ada melekat minyak atau oli pada bahan baku tersebut, serta
tidak adanya alat penyedot (exhauster) debu, uap, dan gas di tempat kerja
perajin logam tersebut (Husaini, 2014). Dalam studi penelitian ini dijelaskan
beberapa variabel yang berhubungan dengan kondisi kesehatan kerja.
Berbagai polutan yang terdapat di lingkungan kerja perajin logam seperti
CO, SO2, NO2, uap besi, dan debu besi yang selalu memajani perajin logam
setiap kali bekerja dalam waktu yang lama dan berulang, bukan saja dapat
menyebabkan penurunan fungsi paru seperti kejadian restriktif, obstruktif,
dan gabungan (mixed), tetapi juga mampu sekaligus memacu respons imun,
dalam hal ini sebagai salah satu indikatornya adalah terjadinya abnormalisasi
atau di atas Nilai Ambang Batas (NAB) kadar IgE total dan IgG total pada
serum perajin logam (Husaini, 2014).

56 Husaini
7.1. PAJANAN CO, SO 2, NO 2, UAP BESI, DAN DEBU BESI
DENGAN RESTRIKTIF (FVC), OBSTRUKTIF (FEV1), DAN
GABUNGAN (FVC+FEV1)

Berdasarkan hasil penelitian Husaini (2014), didapatkan hubungan yang


signifikan antara pajanan CO dan kejadian restriktif, obstruktif, dan gabungan
perajin logam. Hal seperti ini kemungkinan disebabkan oleh perajin logam
terpajan dalam waktu yang lama dan terus berulang tanpa adanya perlindungan
diri, serta kemungkinan keterkaitan dengan sifat atau karakteristik zat kimia
karena adanya reaksi dua atau lebih bahan kimia yang ada di udara lingkungan
kerja perajin logam, kemudian kemungkinan terjadinya hasil reaksi yang lebih
toksik dan iritatif, serta akumulasi bahan kimia dalam tubuh perajin logam
walaupun dalam dosis yang rendah (Husaini, 2014).
Hasil penelitian tersebut di atas bersesuaian dengan pendapat Stephen
et al. (1998); McLemore et al. (1977); Saryono (2009) dan Eva et al. (2003),
bahwa terpajan gas CO secara kronis dapat mengubah status vaskular dan
memberikan peran fisiologis dalam transduksi sinyal sel dan gas CO dapat
menyebabkan mutagenik haemoglobin, sehingga mengganggu fungsi
biologis dan dapat merusak jaringan tubuh. Gas CO secara kronik mampu
menimbulkan efek inflamasi sehingga terjadi peningkatan produksi sitokin
dan dapat mencederai paru-paru dengan CO yang ikut peredaran darah dan
menghalangi masuknya oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat
terjadi karena gas CO bersifat racun metabolisme, ikut bereaksi dengan
darah seperti Haemoglobin + O2  O2Hb (Oksihaemoglobin) dan reaksi
Haemoglobin + CO  COHb (Karboksihaemoglobin). Keberadaan gas CO
sangat berbahaya jika terhisap oleh manusia karena gas itu akan menggantikan
posisi oksigen yang berikatan dengan haemoglobin dalam darah. Gas CO
mengalir ke dalam jantung, otak, serta organ vital. Ikatan antara CO dan
haemoglobin membentuk karboksihaemoglobin yang jauh lebih kuat 200
kali dibandingkan dengan ikatan antara oksigen dan haemoglobin. Akibatnya
sangat fatal, pertama oksigen akan kalah bersaing dengan CO saat berikatan
dengan molekul haemoglobin, ini berarti kadar oksigen dalam darah akan
berkurang. Padahal seperti diketahui, oksigen sangat diperlukan oleh sel-sel
dan jaringan tubuh untuk melakukan fungsi metabolisme. Kedua, gas CO
akan menghambat kompleks oksidasi sitokrom, hal ini menyebabkan respirasi
intraseluler menjadi kurang efektif.
Kemungkinan faktor lainnya bahwa gas CO yang terdapat di tempat kerja
perajin logam ini bersifat sinergi atau bersifat aditif dengan zat lainnya seperti
berikatan dengan debu dan uap air. Hal ini bersesuaian dengan penjelasan
WHO (2000) bahwa zat yang terlepas ke udara dapat bersifat sinergi, aditif,

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 57


antagonis, dan independen, serta bersesuaian pula dengan pendapat Devalia
et al. (1999), bahwa gas yang terlepas ke udara mudah berikatan satu dengan
lainnya dan saling menyokong dalam menurunkan fungsi paru apabila terus
menerus terpajan, yang pada akhirnya pula bersifat kumulatif di dalam tubuh,
terutama pada unit saluran pernapasan.
Terjadinya peningkatan kejadian restriktif ringan pada pagi hari menjadi
restriktif sedang pada sore hari. Hal ini patut diduga disebabkan oleh adanya
gas/bahan kimia lainnya pada unit perajin logam dalam waktu bersamaan,
seperti gas CO dan debu besi atau partikel DEP beserta senyawanya, serta suhu
lingkungan kerja yang panas (Husaini, 2014) yang kemungkinan menambah
kecepatan reaksi antar zat dan hal ini sesuai dengan penjelasan WHO (2000),
bahwa zat yang terlepas ke udara akan saling bereaksi dan menimbulkan
sifat sinergi, aditif, antagonis, dan independen. Gas yang masuk ke dalam
tubuh selain mudah berikatan dengan zat lainnya seperti air dan lemak
juga mudah tersebar ke bagian paru, dan hal ini bersesuaian pula dengan
pendapat Goldstein et al. (1997) bahwa bila suatu gas memasuki tubuh maka
didistribusikan ke paru-paru dan disimpan dalam waktu yang lama.
Hasil penelitian lainnya yaitu parameter SO2 tidak mempunyai hubungan
yang signifikan menimbulkan kejadian restriktif berdasarkan uji korelasi
Pearson, tetapi mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian
obstruktif dan gabungan (mixed) perajin logam dalam uji regresi logistik
(Husaini, 2014). Faktor penyebab gas SO2 tidak menyebabkan kajadian
restriktif pada perajin logam, hal ini kemungkinan karena sifat kimia dari SO2
ini sangat mudah bereaksi atau larut dengan uap air dan debu di udara, atau
kemungkinan gas SO2 menyokong terjadinya reaktif dengan debu yang justru
terjadinya peningkatan kasus obstruktif dan gabungan (mixed) pada perajin
logam (Siswanto, 1991; Mukono, 2005). Penyebab lainnya bahwa SO2 tidak
menimbulkan kejadian restriktif pada perajin logam, kemungkinan karena
adanya partikel aerosol di udara yang disinergi atau didukung oleh adanya SO2,
dan hal ini bersesuaian dengan pendapat Eva et al. (2003) bahwa gas SO2 di
udara sering diikuti bersamaan dengan partikulat, dan kenyataannya 3–4 kali
peningkatan iritasi yang diamati oleh sebab adanya partikulat yang diakibatkan
oleh kemampuan partikel aerosol untuk menimbulkan reaksi selanjutnya.
Menurut Eva et al. (2003), pajanan akut SO2 justru mampu menyebabkan
peningkatan kasus obstruktif dengan mekanisme menyebabkan trakeobronkitis
berat, yang ditandai dengan odema mukosa membran, eksudasi masif, ulserasi,
perdarahan, dan nekrosis. Selain menyebabkan trakeobronkitis, juga dapat
menyebabkan kematian karena paralisis pernapasan dan odema paru akibat
kerusakan membran kapiler alveoli, juga aktivasi sel-sel inflamasi yang
menyebabkan kerusakan epitel dan endotel. Pengaruh pajanan kronik SO2

58 Husaini
terhadap paru dapat menyebabkan bronkitis kronik, Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK), dan fibrosis peribronkial. Pajanan SO2 jangka lama dapat
menyebabkan perubahan volume paru, histologi, dan perubahan BALF, serta
pemeriksaan secara fisik, yaitu hiperemia mukosa faring, melemahnya suara
napas, batuk, dan mengi. Gambaran foto toraks sering terlihat normal, tetapi
pada saat serangan akan terlihat hiperinflasi yang menunjukan penurunan
FEV1 dan ratio FEV1 (Eva et al., 2003).
Hal tersebut di atas bersesuaian dengan pendapat Rabinovitch (et
al. dalam Eva et al., 2003) yang menyebutkan bahwa setelah tiga minggu
terpajannya gas SO2 pada dua kelompok berbeda umur dan tidak merokok,
akan terjadi obstruktif berat hipoksemia, menurunnya toleransi kerja, dan
gangguan ventilasi serta perfusi yang terlihat layar paru galium dan mampu
menyebabkan bronkitis kronik, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
dan fibrosis peribronkial.
Faktor lain yang patut diduga adalah terciptanya polutan sekunder
atau peningkatan polutan lainnya karena adanya reaksi fotokimia dari sinar
matahari atau akibat suhu lingkungan kerja yang panas, sehingga sulit
menentukan penyebab gangguan paru oleh polutan tunggal. Hal ini juga
bersesuaian dengan pendapat Mukono (2005) bahwa suhu yang meningkat
ditambah pula adanya sinar matahari, termasuk terjadinya reaksi dari dua atau
lebih bahan kimia di udara menciptakan polutan sekunder, misalnya dengan
adanya sinar matahari dapat menyebabkan peningkatan efek bahan-bahan
kimia di udara. Polutan sekunder mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak
stabil, sehingga sangat mudah bereaksi, dan berubah susunan kimiawi dengan
adanya zat/bahan kimia lainnya di udara maupun di dalam tubuh.
Pendapat tersebut di atas didukung oleh Suharto (2011), bahwa terjadinya
polutan sekunder di udara karena adanya reaksi hidrolisa, oksidasi, dan reaksi
fotokimia, misalnya reaksi antara 2SO2+ O2====>2SO3, atau terjadinya reaksi
SO3 + H2O=====> H2SO4, dan reaksi CO + Fe==> FeCO2, kemudian hasil
akhir dari reaksi kimia ini bila masuk ke dalam tubuh manusia menimbulkan
efek jauh lebih toksik, iritasi, sinergi, dan akumulatif jika dibandingkan
dengan polutan primer atau polutan tunggal dari unsur kimiawi bahan/zat
yang berada di udara.
Menurut Pendapat Nadakavukaren (dalam Mukono, 2005) bahwa ada
hubungan antara peningkatan SO2 dengan partikel debu. Tingginya kadar
bahan partikel debu biasanya diikuti dengan tingginya gas SO2, sehingga
sulit membedakan efek dari kedua bahan tersebut. Pendapat ini bersesuaian
dengan penjelasan dari WHO (2000), bahwa bila sistem kerja silia rusak
akibat pajanan bahan/zat kimia, baik akut maupun secara kronis, menyebabkan
tertahannya substansi berbahaya dalam paru untuk waktu yang cukup lama,

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 59


dan perpanjangan masa pajanan yang berulang tentu memperbesar risiko efek
yang merugikan. Menurut Sagai et al. (1996), pajanan secara kronis dari gas
SO2 dapat menghasilkan Superoksidase (O2) dan Radikal Hidroksil (OH)
yang merupakan komponen aktif menurunkan fungsi paru, dan menyebabkan
odema pada paru sehingga dapat merusak sel endothelial.
Gas NO2 yang terdapat di unit perajin logam masih di bawah Nilai
Ambang Batas (NAB) berdasar SE Menaker No. 01/1997 (Husaini, 2014).
Berdasarkan hasil uji statistik, gas NO2 mempunyai hubungan yang signifikan
dengan kejadian restriktif, obstruktif, dan gabungan (Husaini, 2014). Hal ini
kemungkinan disebabkan selain faktor lamanya terpajan yang dialami oleh
perajin logam, juga berhubungan dengan sifat atau karakteristik gas NO2 dapat
terjadi secara akumulatif di dalam tubuh, sehingga menyebabkan terjadinya
reaksi berantai terhadap sel tubuh, terutama disebabkan gas NO2 sangat
cepat bereaksi dengan uap air pada unit perajin logam. Hal ini bersesuaian
dengan pendapat Devalia et al. (1993); Devalia et al. (1994); Blomberg et al.
(1999); Matthew et al. (2005); Sagai et al. (1996) dan Devalia et al. (1999),
bahwa gas NO2 secara berulang-ulang dan masa yang lama, bila masuk ke
dalam tubuh manusia dapat menurunkan netrofil dan merusak sel epitelial
pada bronki manusia. Gas NO2 yang terlepas ke udara dan bila terus menerus
memajani lingkungan dan pekerja dapat menurunkan fungsi paru dan hal ini
bersesuaian dengan pendapat Thomas and Rhoades (1999), bahwa pajanan
gas NO2 yang memajani lingkungan kerja walaupun dalam dosis yang rendah
mampu menyebabkan cedera paru.
Gas NO₂ banyak mempunyai sensorik yang dapat merangsang ujung
syaraf di tenggorokan dan mata, sehingga menyebabkan panas, gatal-gatal,
mata berair, iritasi saluran pernapasan dalam, mudah beraksi dengan zat lain di
udara, menyebabkan reaksi berantai yang bersifat aditif dan sinergi, sehingga
menyebabkan terjadinya infeksi dan alergi pada saluran pernapasan dan paru.
Sedangkan menurut Svorcova et al. (1971) dan Proust et al. (2002), gas NO₂
bila sampai masuk ke saluran pernapasan, maka mudah larut dalam lendir
saluran pernapasan atas, kemudian menyebar ke seluruh saluran pernapasan
melalui sistem peredaran darah ke seluruh tubuh, dan terjadi penyerapan dalam
paru-paru dalam bentuk asam nitrat/garamnya.
Kemungkinan faktor lainnya adalah adanya reaksi antargas, terutama gas
SO2 yang akan mudah bereaksi di udara atau di dalam tubuh dengan gas lainnya
atau dengan air, sehingga terbentuk gas/zat yang baru atau tercipta polutan
sekunder lebih bersifat korosif, toksik, dan sinergi, atau bersifat aditif satu
sama lainnya (Husaini, 2014). Hal ini bersesuaian dengan pendapat Devalia
et al. (1993); Devalia et al. (1994); bahwa bila gas, uap, dan debu besi yang
terlepas ke udara akan terjadi saling berikatan atau reaksi antar zat/polutan

60 Husaini
dan saling menyokong atau saling menguatkan, sehingga zat yang terbentuk
akan menjadi lebih bersifat korosif, reaktif, toksik, serta bersifat akumulatif
di dalam tubuh, disimpan dalam waktu yang lama dalam tubuh dan mudah
diserap, dan didistribusikan ke dalam paru-paru atau di dalam unit pernapasan,
terutama bila di udara lingkungan kerja terdapat gas NO2 dan uap air secara
bersamaan, maka menambah kecepatan reaksi dan saling bersinergi dalam
merusak sel tubuh yang menyebabkan inflamasi dan reaksi alergi pada saluran
pernapasan dan paru-paru. Hal ini bersesuaian dengan pendapat WHO (2000),
bahwa zat yang terlepas ke udara akan bereaksi dengan zat lainnya yang akan
bersifat satu atau lebih yakni bersifat sinergi, aditif, antagonis dan independen.
Gas NO2 yang terjadi karena adanya panas akibat pembakaran dan
peleburan logam, menyebabkan bersatunya O2 dan NO2 yang terdapat di
udara dan memberikan berbagai ancaman bahaya terutama kerusakan paru-
paru. Setelah bereaksi di atmosfer, zat membentuk partikel-partikel nitrat
amat halus yang menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel-partikel ini
jika bergabung dengan air akan membentuk asam sulfit (H2SO3). NO2 juga
berubah menjadi partikel-partikel nitrat teramat kecil yang dapat mencapai
bagian terdalam paru-paru, sehingga memudahkan terjadinya berbagai jenis
infeksi termasuk peningkatan kejadian alergi (Siswanto, 1991).
NO2 pada inhalasi diserap melalui saluran pernapasan atas. NO2 bersifat
racun terutama paru-paru dan 90% dari kematian disebabkan oleh gejala
odema pulmonum. Gas ini tidak terlalu mudah larut dalam air, sehingga
tidak terperangkap di dalam trakea dan bronki, tetapi terperangkap di dalam
alveoli dari paru-paru yang kemudian berubah menjadi HNO2 dan HNO3.
Kematian disebabkan oleh penyempitan laring, sehingga aliran udara ke dalam
paru-paru terhambat dan manusia akan mati lemas (Sunu, 2001). Menurut
pendapat Mukono (2005), gas NO2 dengan reaksi fotokimia menghasilkan
disosiasi oksidan NO dan radikal oksigen. Pengaruhnya pada manusia dapat
menyebabkan iritasi, rusaknya paru-paru, bronkitis, dan menyebabkan
kerentanan terhadap virus influenza (Pearce, 1986). Gas NO2 dapat diserap
oleh saluran pernapasan bagian perifer dan merupakan salah satu oksidan
inhalan yang dapat masuk saluran pernapasan dan menyebabkan terjadinya
peradangan bronkus (Nedved, 1997).
NO2 larut dalam air dengan kecepatan rendah, karena itu akan meresap
pada saluran pernapasan bagian bawah, yakni dapat menembus saluran napas
dan alveoli, dan gas NO2 adalah gas oksidan yang menyebabkan inflamasi pada
epitel dengan cara membentuk oksidan toksik dan sebagai mediator inflamasi
(Tjokrokusumo, 1999). Hal ini bersesuaian dengan penjelasan WHO (2000),
bahwa dua zat atau lebih yang diberikan atau terlepas secara bersamaan dapat

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 61


bersifat sinergi atau toksikan saling menguatkan efek toksik dan efek toksik
yang dihasilkan lebih besar dari efek total yang diberikan zat kimia itu sendiri.
Hasil penelitian parameter udara yang diukur di atas Nilai Ambang Batas
(NAB), yaitu uap besi, namun tidak signifikan dalam uji korelasi Pearson
menyebabkan kejadian restriktif (Husaini, 2014). Akan tetapi, mempunyai
hubungan yang signifikan terhadap kejadian obstruktif dan gabungan dalam
uji regresi logistik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya reaksi
dengan zat lain, terutama dengan uap air di udara (Husaini, 2014). Pendapat
ini bersesuaian dengan penjelasan dari WHO (2000), bahwa jika gas dan uap
sifatnya larut dalam air, maka dengan mudah terlarut dalam air di udara, dan
zat tersebut mudah pula bereaksi dengan zat lainnya di udara. Polutan yang
terlepas ke udara sangat mungkin bereaksi dengan zat lainnya, sehingga uap
besi pada lokasi penelitian bereaksi dengan zat lainnya dan kemungkinan
bersifat antagonis dengan adanya zat atau molekul lainnya seperti uap air dan
debu (Husaini, 2014).
Hal tersebut di atas bersesuaian dengan pendapat Mukono (2005), pada
suhu dan kelembaban yang meningkat akan meningkatkan pula kecepatan
reaksi suatu bahan kimia. Terutama uap besi mudah bereaksi dengan debu
besi dan hal ini bersesuaian dengan pendapat Erharbor et al. (2001), Rice et
al. (2001), dan Tenkate (1999), bahwa uap besi atau uap logam suatu zat yang
bersifat proinflamasi dan mudah bereaksi dengan zat lain terutama dengan
debu besi, sehingga dapat memudahkan antigenik dan alergenik masuk ke
dalam tubuh perajin logam dan sesuai pula dengan pendapat Kuschner et al.
(1977), Palmer et al. (2003), dan Isabelle et al. (1997), bahwa terhisap berbagai
uap logam secara kronis, terutama zink oksida yang mampu menyebabkan
proinflamasi paru yang berperan sebagai mediasi awal terjadinya Metal Fume
Fever (MFF), yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia, dan hal ini dapat
mempercepat penurunan fungsi paru dan adanya hubungan yang signifikan
terhadap peningkatan kadar IgE.
Berbagai kesimpulan penelitian yang mengungkapkan efek negatif uap
metal terhadap pekerja adalah zat yang bersifat proinflamasi, dan sebagai pintu
utama perkembangan infeksi pada pernapasan, dan salah satu hasil penelitian
tersebut menurut Zein et al. (2005), bahwa penyakit akibat terpajan uap besi
atau uap metal, merupakan suatu pintu masuk utama perkembangan penyakit
yang berhubungan dengan pernapasan, dan mampu mempercepat penurunan
fungsi paru dengan berbagai macam infeksi yang terjadi. Menurut pendapat
Erhabor et al. (2001) melaporkan bahwa, gejala yang paling sering ditemukan
di antara tukang las adalah penyakit paru obstruktif dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Pneumonitis akut yang disebabkan oleh inhalasi asap seng
(seng oksida) disertai adanya siderosis kronis pada tukang las. Hal ini juga

62 Husaini
diketahui bahwa demam karena uap (metal fume fever) biasa terjadi karena
menghisap asap seng oksida.
Menurut pendapat Khanzadeh (1980), mengamati parameter yang
berbeda dari tes fungsi paru antara kontrol dan pekerja dibidang pengelasan,
dalam rata-rata volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV 1) rasio,
ekspirasi paksa (FEV1/%FVC) aliran ekspirasi puncak (PEF) menurun secara
bermakna pada tukang las dibandingkan dengan kontrol. Chin et al. (1995)
menunjukkan bahwa di antara tukang las, efek asap itu terbesar pada mereka
yang tidak menggunakan alat pelindung diri yang tepat, seperti pekerjaan
yang berhubungan dengan FEV1. Menurut pendapat Nakadate et al. (1998)
yang mengamati perubahan dalam fungsi paru obstruktif, berkaitan dengan
tingkat kumulatif pajanan untuk pengalasan pada pria tukang las di Jepang,
setelah dikendalikan faktor usia dan kebiasaan merokok.
Debu besi termasuk Diesel Exhaust Particle (DEP) beserta senyawanya,
setelah dilakukan uji statistik mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kejadian restriktif, obstruktif, dan gabungan perajin logam (Husaini, 2014).
Hal ini kemungkinan selain disebabkan secara kronis perajin logam ini selalu
terpajan dalam waktu yang lama dan berulang-ulang, tanpa memperhatikan
prinsip dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), tetapi juga disebabkan
oleh debu besi bersama-sama uap besi bersifat proinflamasi, toksik, dan
korosif, serta sebagai pereaksi yang baik atau sebagai media pereaksi terhadap
zat lainnya baik di udara luar maupun di dalam tubuh, atau kemungkinan
bersifat sinergi dan aditif, terutama pada suhu lingkungan kerja yang panas
dan/atau terjadinya reaksi fotokimia dari sinar matahari akan lebih cepat
terjadinya reaksi dari debu besi dan uap besi tersebut, yang berakibat dapat
menimbulkan berbagai infeksi dalam tubuh. Dalam hal ini bersesuaian
dengan pendapat Knox et al. (1997), bahwa terpajan dengan debu besi dan
uap besi dapat memotensiasi proses peradangan kronis dan terjadinya respons
terhadap gejala akut saluran pernapasan, serta dapat bertindak sebagai ajuvan
(membantu dalam proses) bagi alergen yang menyebabkan reaksi alergi dan
juga peradangan mukosa, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas mukosa
dan hal ini sebagai pintu masuk berbagai antigen dan alergen, yang akhirnya
terjadi berbagai infeksi dan alergi pada bronkus.
Pendapat tersebut di atas bersesuaian dengan pendapat Rusznak et al.
(1994), Devalia et al. (1999), Bayram et al. (1998), Blomberg et al. (1999),
Wang et al. (2003), Khanzadeh (1980), dan Zein et al. (2005) menyimpulkan,
penyakit yang disebabkan oleh terpajan uap besi dan debu besi merupakan
pintu masuk untuk perkembangan penyakit selanjutnya yang berhubungan
dengan pernapasan dan paru-paru, dapat berpengaruh terhadap sel tubuh, yakni
sel mast dan aktivasi sel T, bersifat proinflamasi pada bronkus, serta dapat

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 63


menurunkan netrofil dalam bronkial epitelium sehingga mampu mengganggu
fungsi paru terutama gangguan FEV1. Hal ini bersesuaian dengan pendapat
Nakadate et al. (1998), Sobaszek et al. (1998), dan Ernest (1996) yang
menyebutkan bahwa bila terpajan oleh logam berat dalam bentuk uap dan
debu seperti seng, tembaga, alumuniun, besi, cadmium, selenium, arsenik, dan
mercuri dapat menimbulkan reaksi yang berpengaruh terhadap pertukaran/
kerusakan membran sel. Ketika membran sel terikat dengan logam berat
menyebabkan secara langsung berpengaruh pada struktur dan fungsi dari
membran sel tersebut, dan pada akhirnya dapat merepresentasikan tahapan-
tahapan bagaimana logam berat tersebut memengaruhi sel dalam tubuh.
Sel akan merespons bila terpajan oleh logam berat melalui strategi yang
spesifik, yaitu melindungi protein dan protein kompleks yang terdapat dalam
sel tersebut, dan secara akumulatif dan reaksi terutama reaksi antara besi, seng,
dan tembaga, maka terjadi berbagai kemungkinan kerusakan pada membran
sel (Metallothionein) (Brenda et al., 1996 dan Ananda et al., 1996). Debu
besi pada pemajanan yang lama menyebabkan iritasi dan radang pada saluran
pernapasan dan paru-paru (Prasad et al., 1987) dan bersifat karsinogenisitas
(Sunderman et al., 1988), serta dapat menurunkan daya recoil (mundur/
hentakan) dari paru pada saat ekspirasi (Palmer et al., 2006). Pendapat ini
bersesuaian dengan Pope, (2000) yang menyatakan bahwa di paru-paru
partikel/debu mempunyai efek racun sehingga memperburuk penyakit
pernapasan yang sudah ada sebelumnya, termasuk asma, bronkitis, dan PPOK,
dan semua penyakit ini termasuk reaksi fibrosis, yaitu peningkatan jumlah
fibroblas dan deposis kolagen oleh sel-sel. Secara umum, ukuran partikel dan
komposisi merupakan penentu yang paling penting dari reaktivitas, toksisitas,
dan fibrogenik potensial partikel yang terhirup dalam paru-paru.
Dalam penelitian ini, tidak dibahas secara khusus tentang hubungan
pajanan dengan iklim kerja tentang adanya sinar matahari, walaupun secara
teoretis bahwa molekul yang terlepas ke udara akan cepat terjadi reaksi sampai
terciptanya polutan sekunder, bila terjadi reaksi fotokimia akibat adanya sinar
matahari (Suharto, 2011; Mukono, 2005).

7.2 PAJANAN CO, SO 2, NO 2, UAP BESI, DAN DEBU BESI


DENGAN PENINGKATAN KADAR IGE TOTAL DAN IGG
TOTAL SERUM PERAJIN LOGAM

Hasil penelitian Husaini (2014), untuk menilai hubungan secara


keseluruhan pajanan CO, SO 2, NO 2, uap besi, dan debu besi dengan
peningkatan kadar IgE total perajin logam didapatkan hubungan yang
signifikan, dalam hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat atau karateristik

64 Husaini
dari zat/molekul yang terlepas ke udara saling bereaksi satu dengan lainnya,
dan bersifat sinergi atau bersifat aditif, atau terjadinya akumulasi zat/molekul
baik di udara bebas maupun di dalam tubuh, sehingga walaupun kadar zat/
molekul yang terlepas di udara masih di bawah Nilai Ambang Batas (NAB)
dalam hal ini SE Menaker RI Nomor 01/Men/1997 sangat memungkinkan
mampu meningkatkan kadar IgE total dan sekaligus meningkatkan pula kadar
IgG total dalam tubuh perajin logam (Husaini, 2014).
Faktor lainnya, kemungkinan berpengaruh terhadap peningkatan
kadar IgE total dan kadar IgG total, dengan perajin logam ini bekerja tanpa
memperhatikan prinsip-prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3),
terutama perlindungan diri seperti penutup hidung, penutup mulut, penutup
muka, penutup kepala dan kulit, sehingga bila memajani perajin logam secara
terus menerus akan memudahkan masuknya antigen maupun alergen ke dalam
tubuh yang kemudian dapat memacu respons imun, yakni dapat meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah dan peningkatkan resistensi saluran napas, dan
dapat meningkatkan respons antigen antibodi IgE total dan IgG total (Husaini,
2014). Hal ini sebagian bersesuaian dengan pendapat Diaz-Sanchez (2000a),
bahwa gas SO2 dan NO2 dapat memicu kerusakan sel, kemudian untuk DEP
yang mempunyai komponen penting yaitu PAH akibat dari pembakaran
bahan baku logam/besi yang masih ada melekat minyak dan oli bekas akan
mempunyai faktor risiko peningkatan kadar IgE dan IgG.
Sedangkan menurut Epler (2000), gas SO2 bila memajani pekerja dan
masuk ke dalam saluran pernapasan manusia secara terus menerus dan
terulang dapat meningkatkan jumlah akumulasi sel eosinophil dan zat-zat
humoral reaksi inflamasi dalam mukosa bronkus dan mukosa hidung, yang
pada gilirannya meningkatkan gejala penyakit alergi dan penyakit paru
lainnya pada perajin logam. Sedangkan menurut Kobayashi et al. (1995) dan
Muranaka et al. (1986), komposisi campuran antarpartikel atau agen organik
dan anorganik berkontribusi dalam reaksi untuk menurunkan fungsi paru dan
meningkatkan infeksi lainnya, terutama bagian-bagian pernapasan akibat dari
proses pembakaran dan peleburan logam. Menurut Devalia et al. (1999), SO2
yang terlepas ke udara mudah bereaksi dengan zat lainnya terutama dengan
NO2, sehingga terjadilah kombinasi zat yang semakin toksik dan dapat sebagai
predeterminant factor (faktor awal penentu) kejadian dermatophagoides
pteronyssinus alergen.
Hal tersebut di atas bersesuaian dengan pendapat Matthew et al.
(2005), bahwa gas NO2 sebagai pencemar udara merupakan suatu oksidan
penyebab radang yang menghasilkan endogen myeloperoxidase dan eosinofil
peroksidase, dan juga mampu menyebabkan reaksi alergi dari tubuh apabila
terus menerus terpapar dari gas NO2 ini dalam waktu yang lama. Menurut

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 65


pendapat Davis et al. (1991) pada penelitiannya, disimpulkan bahwa
paparan NO2 antara 5–10 ppm meningkatkkan kematian mycoplasmosis, dan
efek ini juga berhubungan dengan intrapulmonary. Penelitian selanjutnya
menyimpulkan bahwa target NO2 yaitu seluler yang berhubungan dengan
intrapulmonary dan juga menambah kematian dari mikoplamosis. Ahli lain,
Sandstra et al. (1991), menyatakan bahwa pajanan NO2 dapat meningkatkan
limfosit dalam cairan bronchoalveolar lavage (BAL). Menurut Framptom et
al. (1990), NO2 suatu zat pencemar udara mempunyai potensi untuk mengubah
epithelial dan dapat menyerap gas lain dan air dalam udara. Peneliti lainnya,
Azari et al. (1996), menyimpulkan bahwa aktivitas sel pembunuh alami
dan darah di sekelilingnya bertambah akibat terpajan gas NO2. Menurut
Sandstrom et al. (1992), paparan jangka pendek gas NO2 sebanyak 1,5 ppm
akan memberikan efek penting pada kekebalan tubuh/imun dari limfosit
bronkoalveolar. Indikasi ini menambah penemuan sebelumnya bahwa telah
terjadi perubahan limfoid dari sistem kekebalan tubuh hewan coba. Hal lain
yaitu menurut Prous et al. (2002) menunjukan hasil bahwa pajanan singkat
dari NO2 dapat memperburuk penyakit-penyakit alergis dari hewan coba
(tikus). Nitrogen Dioksida (NO2) banyak mempunyai sensorik, sehingga
mampu merangsang ujung saraf di tenggorokan atau mata sehingga terasa
panas, gatal-gatal, dan kadang-kadang mata berair. NO2 juga memberikan
efek iritasi pada saluran napas bagian dalam.
Lindvall (1985) menjelaskan, Nitrogen Dioksida (NO 2) terbentuk
selama pembakaran, misalnya hasil pembakaran dari tungku perapian, mesin
kendaraan bermotor, dan pembangkit listrik, dan hampir semua NO2 berasal
dari pembakaran dibuang sebagai nitrogen monoksida, dan secara bertahap
melalui reaksi maka terbentuk NO2 di udara terbuka. Gas NO2 ini bersifat
iritan bila tercampur dengan hasil pembakaran bensin yang menghasilkan
hidrokarbon alifatik (Camer et al., 1983). NO2 sebagian terlarut dalam lendir
saluran pernapasan bagian atas. Jika NO2 terhisap, maka gas ini menyebar ke
seluruh tubuh. Penyerapan terjadi dalam paru-paru dalam bentuk asam nitrat
atau garamnya, seperti yang terlihat dalam urine yang banyak adalah terbentuk
nitrit atau nitrat (Svorcova S et al., 1981).
Nitrogen Dioksida jika bereaksi atau berikatan dengan ozon pada udara
terbuka, maka dapat menimbulkan reaksi berantai dengan zat lainnya, sehingga
dapat menyebabkan aditif atau efek sinergis, misal dengan SO2 adanya infeksi
bakteri. Data menunjukan bahwa dosis efektif untuk dapat menyebabkan
iritasi paru dinyatakan dalam pajanan per menit atau sebagai total pajanan
(Colluci et al., 1983).
Nitrogen Dioksida dan Nitrogen Monoksida adalah radikal bebas dapat
bereaksi di dalam sel akibat reaksi lipid peroksidase (Thomas et al., 1997).

66 Husaini
Dalam mekanisme otot-otot saluran pernapasan bagian dalam, mampu terjadi
kontriksi atau bronkokontriksi yang menyebabkan terjadinya hambatan keluar
masuk udara ke dalam bagian saluran pernapasan termasuk paru-paru. Efek
spesifik dari pajanan NO2 pada penelitian hewan coba, kultur jaringan, dan
sel, maka NO2 dapat menyebabkan perubahan sistem biokimiawi dalam tubuh,
terutama pada pajanan dalam konsentrasi yang tinggi dan terus menerus dalam
waktu yang lama. Efek yang terjadi terutama kerusakan subseluler, hal ini
karena sintesis fosfolipid pada paru yang mungkin akan terganggu dengan
adanya lipid peroksidasi setelah terpajan (Thomas et al., 1991).
Kerusakan jaringan dan respons dari organisme secara akut terhadap
stress tecermin dengan adanya peningkatan konsumsi oksigen dalam jaringan
dan adanya kebocoran dari sel-sel dan meningkatkan level dari plasma
kostikosteron. Banyaknya perubahan seluler dan subseluler terjadi setelah
terpajan NO2 terutama dalam jaringan paru-paru, tentu sistem lain dari tubuh
ikut memengaruhinya. Dengan menggunakan inhalansi NO2, Goldstein et al.
(1997) menunjukhan bahwa gas yang terhisap akan didistribusikan di paru-
paru dan disimpan dalam waktu yang lama pada hewan coba, yaitu monyet.
Keterlibatan sistem tubuh atau komponen tubuh saat terpajan NO2 dapat
ditunjukkan dengan peningkatan konsumsi oksigen di limpa dan ginjal, adanya
peningkatan aktivitas sitokorm di ginjal, limpa, dan hati, serta serum, dalam
beberapa kasus dengan polisitemia (Furiosi et al., 1973).
Sel-sel mast paru-paru telah terbukti pecah (Thomas et al., 1997),
mungkin berkaitan dengan pelepasan histamine. Peningkatan infeksi saluran
pernapasan disebabkan oleh pajanan NO2 mungkin disebabkan efek gas
pada makrofag paru-paru, adanya mekanisme mukosiliar atau mekanisme
sistem kekebalan tubuh (Coffin et al., 1986; Gardner et al., 1987), perubahan
imunologi spesifik telah terbukti dalam studi atau hasil berbagai penelitian
tentang pajanan NO2 (Ehrlich et al., 1983; Ehrlich et al., 1985).
Gas CO dalam hal ini berpengaruh dalam peningkatan kadar IgE total
dan IgG total pada perajin logam, karena kemungkinan bersifat sinergi atau
aditif serta akumulatif di dalam tubuh (Husaini, 2014), dan hal ini bersesuaian
dengan pendapat Zarkower dan Morges (1997), yaitu efek yang paling umum
atau paling menonjol akibat terpajan gas CO adalah penurunan sel pembentuk
antibodi, dan hal ini merupakan pintu masuk utama untuk terjadi kelainan
atau terjadinya reaksi tubuh, termasuk alergi dan infeksi paru dan saluran
pernapasan.
Berbagai polutan seperti partikel dari uap besi dan unsur DEP terutama
PAH sampai masuk ke dalam paru perajin logam, maka memicu reaksi alergi
dan menyebabkan berbagai infeksi, kemudian di dalam paru-paru partikel yang
berasal dari DEP mempunyai efek racun sehingga memperburuk penyakit

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 67


pernapasan yang sudah ada sebelumnya, terutama bronkitis, PPOK, terjadinya
reaksi fibrosis, dan zat yang sangat reaktif, toksik, serta mempunyai potensi
fibrogenik (Kelleher et al., 2000; Andre et al., 1998), dan mampu menyebabkan
inflamasi dan peningkatan permeabilitas mukosa, serta peningkatan endotoksin
yang merupakan sumber bakteri (Diaz-Sanchez et al., 2000a; Becker, 1996;
Bonner et al., 1998; Terada et al., 1999). Uap besi yang diterima pekerja
dalam waktu yang lama dan terus menerus dapat menyebabkan terjadinya
perubahan sel dan berakibat terjadinya genotoksik dan hal ini bersesuaian
dengan pendapat Costa et al. (1993), bahwa pekerja yang selalu terpajan
dengan uap besi mempunyai kandungan DNA protein cross link yang berlebih,
akibat dari lintas pajanan yang menghubungkan antaragen dan mempunyai
potensi efek sebagai genotoksik. Logam partikel seperti mangan dan tembaga
yang masuk ke dalam tubuh disimpan dalam mukosa hidung dan diangkut ke
otak yang akan bersifat neurotoksisitas (Erikson et al., 2004). Hasil penelitian
Rutowski et al. (2006) menyimpulkan bahwa adanya korelasi positif antara
konsentrasi NO2 di udara dan peningkatan kadar IgG.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Lionel et al. (1996), partikel besi
mampu menyebabkan kanker melalui beberapa tahapan, yaitu metabolisme
terjadinya sel kanker yakni melalui reaktif aktivasi, intermidates electrophilic
inactivator, atau melalui initial metabolite oleh enzim fase I dan II, kemudian
melalui pembentukan adisi yang menyebabkan kerusakan DNA sebagai akibat
dari inhalasi yang mengandung partikel besi. Adanya reaksi berantai sehingga
memunculkan peningkatan promosi dan kerusakan pada inti DNA, serta
melalui tahapan adanya kerusakan akibat oksidatif dan kontrol yang abnormal
dari ekpresi gen, supresor gen terhadap terjadinya tumor atau kanker, adanya
gen hypomethylation dan terjadinya perubahan sel akibat diferensiasi dari sel.
Dalam hal ini bersesuaian dengan teori yang dikemukakan oleh Mitchell et al.
(1996), bahwa partikel besi terutama yang mengandung besi sulfat (FeSO4)
yang mengendap sebagai partikel yang kemudian difagositas oleh sel akibat
adanya FeSO4 sehingga terjadinya transpormasi seluler yang menghasilkan
ROS. ROS ini diyakini mampu menghancurkan DNA dari sebuah sel dan
pada akhirnya sel-sel tersebut menjadi berubah.
Teori terkini tentang karsinogen akibat inhalasi partikel besi dikemukakan
oleh Kazimierz (1996) yang meyakini bahwa kation dari logam mampu
mengikat inti sel sehingga menghasilkan efek merusak, seperti perubahan
konfirmasi dalam DNA dan protein nuklir, kerusakan untaian, dan
depurination dari molekul DNA protein cross link dari komponen kromatin
dan perubahan dasar DNA. Efek ini pada gilirannya menyebabkan mutasi
gen karena terjadi replikasi yang tidak menentu atau kerusakan pada cetakan
DNA. Kerusakan DNA diperkuat oleh RNA nuklir yang terikat partikel

68 Husaini
logam dan gene regulatory protein. Menurut Donald et al. (1996), dalam teori
tentang efek partikel logam terhadap immunomodulation tubuh bahwa efek
partikel logam, terutama logam-logam berat terhadap imunitas tubuh adalah
berkaitan dengan sel T, berhubungan dengan perubahan membran, modifikasi,
pemindahan logam esensial, dan terjadinya interaksi dengan protein seluler
dan enzim. Salah satu efek negatif menyebabkan hipersensitivitas, dan pada
pajanan yang berulang-berulang menimbulkan efek sistemik lainnya seperti
terjadinya peradangan.
Partikel besi dan uap besi berinteraksi dengan alergen di mukosa hidung,
mengarah pada isotype vivo beralih ke IgE dan mampu membuat sensitisasi
ke alergen baru (Diaz-Sanchez et al., 1999a; Ichinose et al., 1997; dan Heo
et al., 2001). Reaksi alergi dan hipereaktivitas radang pada saluran napas dari
model hewan telah menunjukkan bahwa produksi antibodi alergi meningkat
dan terjadi respons generasi Th2 yang dihasilkan oleh interaksi antara alergen
dan polutan, juga dapat mengakibatkan efek alergi pada saluran pernapasan
akibat kerja (Ichinose et al., 1997; Yanagisawa et al., 2006; Miyabara et al.,
1998; dan Ohta et al., 1999).
Polusi udara yang mengandung partikulat seperti uap besi dan debu
besi termasuk partikel lainnya, seperti Diesel Exhaust Particles (DEP)
beserta senyawanya, mampu memotensiasi proses peradangan kronis serta
respons terhadap gejala akut pada saluran pernapasan, dan menyebabkan
induksi apoptosis melalui generasi Reactive Oxygen Radical (ROR) yang
menyebabkan kehilangan permukaan membran asimetri dan kerusakan DNA,
terjadi dermatitis atau alergi kulit lainnya akibat terpajan uap besi, dan dapat
memicu trigger/pencetus yang kronik walaupun bersifat ringan, terjadinya
peradangan di paru-paru, dan menunjukkan peningkatkan sel-sel tumor
dapat memengaruhi produksi IgE (Knox et al., 1997; Muranaka et al., 1986;
dan Suzuki et al., 1993). Secara spesifik ditemukan sel hiperplasia setelah
intratrakeal atau respons inhalasi menunjukkan efek yang membantu pada
produksi IgE (Sagai et al., 1996; Miyabara et al., 1998; Ichinose et al., 1997;
Kobayashi et al., 1995; Kobayashi et al., 1997; Tenkate 1999; Erhabor et al.,
2001; Miyabara et al., 1998; dan Heo et al., 2001).
Uap logam mampu menghasilkan partikel yang sangat halus, yaitu
nanoparticulate dan hal ini berhubungan dengan peningkatan sitokin pada
BAL, dan menyebabkan terjadinya stres oksidatif sistemik yang akhirnya
menyebabkan inflamasi pada saluran pernapasan dan paru manusia bila sampai
masuk ke dalam tubuh (Li et al., 2004). Hal ini bersesuaian dengan pendapat
Taylor et al. (2003), bahwa uap logam secara jelas menghasilkkan radikal
bebas yang akan menyerang sel-sel tubuh, dan dengan H2O2 mampu bertindak
sebagai reduktor. Sedangkan menurut McNeilly et al. (2004) ditunjukkan

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 69


bahwa terpajan uap logam mampu menyebabkan proinflamasi pada saluran
napas dan paru, serta secara in vitro dan in vivo menyebabkan stres oksidatif
akibat dari pajanan logam. Kemudian hal ini bersesuaian dengan pendapat
James et al. (2008), bahwa polusi udara yang mengandung nanoparticulate
banyak memberikan kontribusi penyakit paru kronis, karena ukurannya <100
nm, sehingga memiliki akses yang tidak terbatas ke sebagian besar daerah
paru-paru yang mampu menyebabkan terjadinya peradangan kronis, cedera
pada epitel, dan lebih lanjut mendorong untuk terjadinya fibrosis paru. Oleh
karena itu, dampak dari terpajan uap logam bagi perajin logam merupakan
keadaan yang serius yang berlangsung secara kronis.
Pendapat tersebut di atas dikonfirmasi dengan hasil penelitian dari
Fleming et al. (1987); Nel et al. (1998); Peterson et al. (1996); Diaz-Sanchez et
al. (1994); Yanagisawa et al. (2006); Diaz-Sanchez et al. (1999b); Muranaka
et al. (1986); Fujimaki et al. (1994); Fujimaki et al. (1997); Miyabara et al.
(1998); dan Diaz-Sanchez et al. (1997b) telah mendokumentasikan hasil
penelitian, yaitu terus meningkatnya penyakit alergi hidung dan paru selama
tahun terakhir ini seiring peningkatan hasil pembakaran bahan organik dan
bukan organik, yang menghasilkan emisi polutan partikulat dan partikel
polutan dan dapat memperburuk kejadian PPOK. Efek ini dapat menjadi
pemicu peningkatan intensitas peradangan alergi, dengan peradangan alergi
diperantarai melalui aktivasi dan diatur secara akumulasi dari berbagai jenis
sel mukosa.
Hal lain yang patut diduga ikut berpengaruh dalam peningkatan kadar
IgE total dan IgG total perajin logam adalah beberapa dari bahan logam yang
digunakan oleh perajin, yaitu per mobil dan plat besi masih banyak melekat oli
dan minyak bekas (ada yang berasal dari sumbernya dan ada yang disengaja
diberikan oli dan minyak bekas untuk menghindari karat), bila dibakar pada
suhu yang tinggi (>600oC) mengakibatkan terurainya beberapa partikel logam
tersebut, dan bila masuk ke dalam tubuh dapat merusak sel-sel tubuh sehingga
menyebabkan berbagai penyakit pada saluran pernapasan dan paru (Husaini,
2014). Hal ini bersesuaian dengan pendapat Kennedy et al. (1998); Dye et al.
(1999); Diaz-Sanchez et al. (2000b) dan Louis (1996), bahwa bila logam yang
ada terdapat minyak dan oli dipanaskan maka akan terurai menjadi beberapa
senyawa, seperti vanadium dan tembaga, Polycyclic Aromatic Hydrocarbon
(PAH), serta endotoksin yang merupakan sumber bakteri yang saling berikatan
dan saling memengaruhi terhadap target sel tubuh, serta mampu memediasi
ekspresi gen sitokin yang diinduksi dengan sisa minyak dan abu sehingga bila
mencemari lingkungan kerja perajin logam, berakibat buruk bagi kesehatan
mereka. Bahan kimia DEP juga diinduksi dari stres aktivasi yang diaktifkan
oleh protein kinase yang memainkan peran dalam jalur apoptosis sel.

70 Husaini
Pendapat di atas sesuai dengan hasil penelitian in vivo pada cairan hidung
manusia setelah mendapat pajanan DEP dan alergen, menunjukkan isotype
switching ke IgE secara in vivo terbukti dapat meningkatkan produksi IgE,
produksi sitokin Th2, serta peradangan mukosa pada manusia dan hewan uji
dari alergen yang bersumber pada tempat kerja dan lingkungan (Fujieda et
al., 1998; Nel et al., 1998; Peterson et al., 1996; Diaz-Sanchez et al., 1994;
Diaz-Sanchez et al.,1999a; Fujimaki et al., 1995; Miyabara et al., 1998 dan
Diaz-Sanchez et al., 2000a).
Faktor lainnya, kemungkinan polutan di lingkungan kerja perajin
logam ini seperti gas CO, SO2, NO2, uap besi, debu besi, dan DEP beserta
senyawanya ada yang bersifat alergen atau ada individu perajin logam yang
sensitif terhadap polutan yang memajaninya (Husaini, 2014). Hal ini sesuai
dengan pendapat Knox et al. (1997) yang menyatakan bahwa setelah ada
pajanan alergen, terutama pada individu yang hipersensitif pada partikel
tertentu seperti DEP dan senyawanya walaupun pada tingkat dosis yang
rendah akan bertindak sebagai ajuvan (membantu dalam proses) bagi alergen
yang masuk ke dalam mukosa saluran pernapasan. Menurut Kobayashi et al.
(1995), partikel yang terurai akibat pembakaran pada suhu yang tinggi, seperti
DEP dan partikel logam lainnya bila sampai masuk ke dalam tubuh dapat
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan paralel dengan resistensi
menjadi meningkat pada saluran napas serta sekaligus memacu kadar IgE.
Hal tersebut di atas juga bersesuaian dengan pendapat Diaz-Sanchez
et al. (1997a); Lee (1998), bahwa bila partikel termasuk debu logam atau
unsur dari DEP beserta senyawanya, yang memajani manusia atau perajin
logam dalam waktu yang lama dan terus menerus bila sampai masuk ke
dalam tubuh, maka dapat meningkatkan produksi Th2, termasuk IL-13
pada individu yang terpajan. Studi ini menunjukkan bahwa partikel logam
dan DEP dapat meningkatkan kejadian alergi, setidaknya sebagian telah
meningkatkan produksi Th2. Sangat mungkin bahwa interaksi epitel fibroblas
yang penting dalam melihat patogenesis fibrosis saluran pernapasan. Polusi
udara yang mengandung partikel logam dan DEP juga mengaktifkan epitel
untuk menghasilkan mediator inflamasi yang mendasari dalam mengaktifkan
mesenkemal. Pendapat ini sejalan dengan Burnet (1986) bahwa pajanan
antigen harus berulang hingga sistem imun telah tersensitisasi.
Faktor lainnya yang ikut berpengaruh terhadap penurunan fungsi paru
dalam hal ini terjadinya kelainan restriktif, obstruktif, dan gabungan (mixed)
serta terjadinya peningkatan kadar IgE total dan kadar IgG total pada perajin
logam adalah terjadinya berbagai reaksi zat kimia di udara lingkungan kerja
seperti polutan CO, SO2, NO2, uap besi, dan debu besi, serta adanya unsur
DEP beserta senyawanya pada tingkat pemajanan yang lama dan terus menerus

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 71


akan memengaruhi komponen/bagian lubang hidung, bronki, paru-paru,
dan terjadinya respons imun tubuh (Husaini, 2014). Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian yang berhubungan dengan uap logam dan partikel besi dari
Ichinose et al., 1997; Yanagisawa et al., 2006; Miyabara et al., 1998; Ohta
et al., 1999; dan Hatch et al., 1985 tentang kerentanan paru-paru terhadap
infeksi bakteri dan efek sitotoksik pada makrofag. Selain itu, kerentanan
genetik dihubungkan dengan peningkatan risiko berbagai penyakit saluran
pernapasan dan infeksi lainnya akibat terpajan uap logam dan partikel besi.
Reaksi alergi dan hipereaktivitas radang pada saluran napas dari model hewan
telah menunjukkan bahwa produksi antibodi alergi meningkat dan respons
generasi Th2 yang dihasilkan oleh interaksi antara alergen dan polutan juga
dapat mengakibatkan efek alergi pada saluran pernapasan akibat kerja.
Faktor Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) perajin logam yaitu di
dalam bekerja setiap harinya, seperti kurangnya kesadaran tentang penggunaan
APD menyebabkan mereka tidak mengetahui akan pentingnya memakai APD
tersebut selama bekerja, memperlambat gerakan dalam bekerja, susah bernapas
bila memakai masker atau penutup muka, sarung tangan, penutup kepala dan
sepatu kulit (Husaini, 2014).
Keterkaitan pentingnya seorang pekerja untuk melindungi dirinya dari
berbagai potensi dan risiko bahaya kerja terutama penggunaan APD mutlak
diperlukan sebagai suatu kebutuhan. Hal ini bersesuaian dengan pendapat
Mark et al. (2007), bahwa Alat Pelindung Diri (APD) bagi seorang pekerja
mutlak diperlukan, dalam rangka melindungi dari gangguan kesehatan dan
potensi kecelakaan kerja. APD yang digunakan harus memenuhi syarat,
yakni mudah dan nyaman digunakan, keamanan/proteksi terjamin, murah,
dan mudah untuk mendapatkannya, serta mudah dalam perawatan dan
penyimpanan.
Hal lainnya yang ikut berpengaruh terhadap penggunaan APD tersebut
adalah berkaitan dengan sifat dari pajanan dan jenis kecelakaan bersifat injury
(ringan) perajin logam dapatkan setiap hari, yaitu bersifat kronis dari berbagai
macam keluhan penyakit dan kecelakaan kerja, sehingga perajin logam
menjadi terabaikan akan pentingnya melindungi diri akibat dari bahaya selama
bekerja (Husaini, 2014). Hal ini bersesuaian dengan pendapat Mangunnegoro
(dalam Mukhtar et al., 2009) bahwa sebagian besar Penyakit Akibat Kerja
(PAK) ditentukan oleh derajat lamanya pajanan berlangsung dan penggunaan
Alat Pelindung Diri (APD) setiap kali bekerja. Oleh karena itu, penggunaan
APD yang memenuhi kualifikasi dalam berbagai jenis pekerjaan adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari kebiasaan suatu pekerjaan. Kemudian pemahaman
tentang faktor bahaya, sumber bahaya, dan jenis bahaya di tempat kerja yang

72 Husaini
kurang dipahami berdampak pada kesadaran untuk melindungi diri dari
berbagai macam potensi bahaya kerja (Husaini, 2014).
Bahwa bekerja itu bukan hanya sebatas memenuhi kewajiban sebagai
tuntutan hidup, tetapi sangat dipengaruhi oleh sikap mental pekerja dalam
memandang sebuah jenis pekerjaan yang dilakukannya, termasuk dalam hal
ini sikap yang tidak peduli akan risiko/bahaya yang setiap saat menimpa
perajin logam dalam bekerja, misalnya tidak menggunakan Alat Pelindung
Diri (APD), tidak menghiraukan gejala sakit atau adanya kecelakaan jenis
injury (ringan), sikap kerja dan Prosedur Operasional Standar (POS) kerja
yang memenuhi syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang terabaikan
(Husaini, 2014).
Prosedur Operasional Standar (POS) dalam buku ini dibuat dan
direkomendasikan untuk dipergunakan oleh perajin logam dan Pemangku
Kepentingan lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan sejenis perajin
logam, kondisi lingkungan kerja yang panas, dan adanya debu dan partikel
hasil dari aktivitas perajin setiap kali bekerja yang memungkinkan terjadinya
akumulasi, serta mampu menjadi re-exposure (paparan yang berulang-ulang)
secara terus menerus terhadap perajin logam, bising, dan getaran yang
dibiarkan, serta tidak ada upaya secara teknis untuk membuat alat penyedot
(exhauster) debu, uap, gas, dan berbagai partikel logam di lingkungan kerja
(Husaini, 2014) merupakan sebuah generasi yang meniru sikap mental
pendahulunya atau generasi sebelumnya, selain faktor pendidikan yang
relatif rendah yang terbanyak (Husaini, 2014). Hal ini bersesuaian dengan
pendapat Lilly (1998) bahwa sikap mental dalam bekerja dan terus terulang
dengan kebiasaan-kebiasaan yang buruk atau salah dianggap menjadi sebuah
kebenaran sudah tentu tidak menguntungkan bagi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) perajin logam.
Faktor lainnya yang diduga sebagai penyebab tingginya kelainan fungsi
paru (restriktif, obstruktif, dan gabungan), dan terjadinya peningkatan kadar
IgE total dan IgG total perajin logam, adalah masa kerja dan waktu kerja lebih
dari 8 jam setiap harinya sangat memungkinkan berbagai polutan masuk ke
dalam tubuh melalui inhalasi dan permukaan kulit (Husaini, 2014), sistem
upah/gaji perajin logam bersifat borongan menyebabkan mereka bekerja
secara kejar target (Husaini, 2014). Apabila hal ini terus berlanjut, maka akan
menyebabkan kelelahan fisik secara kronis, dan pada saat bekerja dengan
kejar target tersebut berdampak pada inspirasi udara luar ke dalam tubuh
menjadi meningkat, sehingga memungkinkan semakin banyaknya berbagai
polutan yang masuk ke dalam saluran pernapasan perajin logam tersebut serta
menambah beban tubuh (Husaini, 2014).

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 73


Hal tersebut di atas bersesuaian dengan pendapat Bartley dan Chute (dalam
Setyawati, 2011), bahwa kelelahan kerja yang bersifat kronis menimbulkan
beberapa keadaan, yaitu prestasi kerja yang menurun, fungsi fisiologis motorik
dan neural yang menurun, badan terasa tidak enak di samping semangat kerja
atau motivasi kerja yang menurun. Menurut Gilmer dan Suma’mur (dalam
Setyawati, 2011), kelelahan kerja cenderung meningkatkan kecelakaan kerja,
sehingga dapat merugikan diri pekerja sendiri maupun perusahaannya karena
adanya penurunan produktivitas kerja dan mampu memberikan kontribusi
lebih dari 50% dalam kejadian kecelakaan kerja.
Terjadinya berbagai kecelakaan bersifat injury (ringan) yang menimpa
perajin logam selalu diabaikan atau dibiarkan karena dianggap biasa seperti
terkena percikan api, percikan partikel besi, tertusuk benda tajam, teriris,
luka, terkena partikel/debu pada mata dan kulit yang memudahkan masuknya
antigen dan alergen masuk melalui kulit yang terluka, terkena uap/gas pada
mata dan kulit (Husaini, 2014), dehidrasi yang dibiarkan kecuali sudah benar-
benar haus/dahaga baru minum. Hal ini turut memperparah kondisi tubuh
perajin logam semakin kelelahan (Husaini, 2014). Persoalan lainnya adalah
status gizi perajin logam perlu penelitian lebih lanjut walaupun secara fisik
terlihat sehat. Status gizi bagi seorang pekerja sangat berpengaruh di dalam
bekerjanya. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Mark et al. (2007) bahwa
gizi untuk tenaga kerja harus diperhatikan dengan cara penyesuaian gizi
dalam pekerjaannya dengan melihat masukan kalori setiap hari atau melihat
makanan yang dikonsumsi pekerja setiap harinya. Oleh sebab itu, makan
sebelum mulai bekerja dan pada saat istirahat, banyak menolong dalam
menjaga produktivitas kerja.
Sistem pengupahan/gaji yang diterapkan selama ini bagi perajin logam
bersifat borongan atau kejar target yang memicu perajin logam berupaya untuk
sebanyak-banyaknya menghasilkan barang. Dalam hal ini sesuai dengan teori
yang dikemukan Ray et al. (2010), bahwa sistem pengupahan sebuah pekerjaan
akan memberikan dampak positif atau dampak negatif. Dampak negatif dari
sistem pengupahan apabila bersifat borongan atau kejar target dapat memicu
terabaikannya faktor Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), selanjutnya turut
pula memicu terjadinya beban kerja yang berakibat menjadi stres kerja bagi
perajin logam (Husaini, 2014). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukan
Lilly (1998), bahwa seseorang akan mampu melakukan pekerjaan sesuai
dengan beban kerja maksimum, tetapi bila beban kerja tersebut ditambah
terus menerus akan menimbulkan kelelahan, keluhan-keluhan, dan pencetus
terjadinya stres kerja yang berakibat terjadinya penurunan daya tahan tubuh
dan produktivitas kerja.

74 Husaini
Stres kerja sangat besar dan luas pengaruhnya bagi pekerja dan industri,
karena mereka saling berhubungan dan saling memengaruhi satu sama lainnya.
Menurut teori yang dikemukan oleh Ashraf (1996) dalam buku Occupational
Ergonomics; Theory and Applications bahwa dalam bekerja, kapasitas
kerja menjadi sebuah keharusan yang harus dibuat kebijakan oleh pimpinan
perusahaan agar pekerja tidak mengalami beban kerja berlebih yang berakibat
menjadi kelelahan kerja, dan bila hal ini terus berlanjut maka pekerja menjadi
stres dalam pelaksanaan tugasnya.
Menurut pendapat Hardjana (1994), stres kerja yang berkepanjangan
dapat mengganggu emosional, seperti respons yang bersifat cemas, gelisah,
mudah marah, mudah tersinggung, depresi, gangguan pada fisik, gangguan
konsentrasi dan intelektual, gangguan pada konsentrasi pekerjaan, dan
gangguan kesehatan secara umum bisa terjadi. Menurut Everly dan Girndano
(dalam Munandar, 2001), individu yang mengalami stres akan mengalami
simptom fisiologi berupa rasa cemas berlebih, susah tidur malam hari, bingung
dan mudah lupa, gugup, sering sakit kepala, perasaan tegang, mudah lelah,
mudah sakit, jantung berdebar, napas terasa sesak, perut terasa kejang, dan
mudah terjadi gemetar tubuh. Bila hal ini menimpa perajin logam secara terus
menerus, maka akan mengganggu kesehatan, memicu terjadinya kecelakaan
kerja, penurunan daya tahan tubuh, dan menurunkan produk barang yang
dihasilkan.
Menurut Suharto (2011), faktor sikap dan posisi kerja yang kurang
diperhatikan dan diterapkan di tempat kerja akan kehilangan hasil dan
menurunkan produktivitas termasuk meningkatnya kecelakaan kerja dan luka-
luka, serta Penyakit Akibat Kerja (PAK) sangat erat hubungannya pula dengan
buku petunjuk kerja atau Prosedur Operasional Standar (POS) yang kurang
jelas dan sulit dipahami oleh pekerja. Menurut Suharto (2011), diperlukan
saran tindak lanjut penerapan tempat kerja yang nyaman, yaitu evaluasi
ulang kondisi tempat kerja, perbaikan kondisi tempat kerja, pengadaan atau
perbaikan buku petunjuk kerja, pengadaan dan perbaikan Alat Pelindung Diri
(APD), dan pengembangan tata letak/setting tempat kerja.
Dampak dari zat/bahan kimia dengan berbagai reaksinya terhadap perajin
logam yang selalu terpajan di tempat kerjanya dapat menurunkan fungsi paru,
sekaligus menyebabkan berbagai infeksi, memicu reaksi alergi, dan dapat
menurunkan imun tubuh pekerja, terutama berkaitan dengan luka pada kulit
seperti teriris dan tertusuk serta melepuh terkena percikan logam yang masih
panas (Husaini, 2014) yang diabaikan oleh perajin logam. Hal ini bersesuaian
dengan pendapat dari WHO (2000), bahwa zat kimia lebih banyak diabsorpsi
melalui kulit yang rusak atau teriris dan tertusuk daripada melalui kulit yang
utuh. Semakin besar absorpsinya suatu bahan kimia menembus kulit, semakin

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 75


besar pula kemungkinan zat tersebut mengeluarkan efek toksiknya. Interaksi
zat kimia dapat terjadi dengan berbagai cara seperti mengubah absorpsi,
biotransformasi, atau ekskresi salah satu atau kedua toksikan yang saling
berinteraksi dan ada empat jenis efek yang muncul akibat interaksi zat kimia,
yaitu yang bersifat sinergi, aditif, antagonis, dan independen.
Hal tersebut di atas bersesuaian dengan pendapat Devalia et al. (1994),
Mukono (2005), dan Suharto (2011), bahwa zat kimia yang terlepas ke udara
akan saling bersinergi dan memungkinkan terjadi/tercipta polutan sekunder
yang lebih toksik, korosif, dan iritatif serta berakumulatif dalam tubuh jika
dibandingkan dengan polutan tunggal, apalagi pada kondisi suhu lingkungan
kerja yang panas, kelembaban yang meningkat, adanya bising dan getaran,
serta adanya sinar matahari yang menghasilkan reaksi fotokimia, reaksi
hidrolisis, dan terjadinya reaksi oksidasi. Hal ini bersesuaian pula dengan
pendapat Kobayasi et al. (1995) dan Muranaka et al. (1986), bahwa komposisi
campuran antarpartikel atau antaragen organik dan anorganik berkontribusi
dalam reaksi untuk menurunkan fungsi paru dan meningkatkan gangguan
lainnya, terutama bagian pernapasan. Menurut pendapat Mukhtar et al. (2009),
kejadian Penyakit Akibat Kerja (PAK) bagi seorang pekerja selain faktor
derajat lamanya pajanan, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) juga sangat
ditentukan oleh kepekaan respons imun terhadap bahan kimia dari lingkungan
kerja walaupun dengan dosis rendah di bawah NAB.
Pemahaman akan pentingnya menggunakan prinsip dasar Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3), khususnya pemahaman dan penggunaan Prosedur
Operasional Standar (POS) dengan baik mutlak diperlukan bagi perajin logam
dalam setiap kali bekerja, tidak terkecuali bagi Pemangku Kepentingan dalam
rangka pembinaan dan pengawasan perajin logam, melindungi perajin logam
akibat gangguan kesehatan kerja, kelelahan kerja maupun kecelakaan kerja
sehingga produktivitas tetap terjaga dan bermanfaat sebagai acuan untuk
tindakan investigasi bila terjadi kecelakaan kerja (Husaini, 2014).
Faktor lain yang ikut berpengaruh terhadap tingginya angka kelainan
fungsi paru perajin logam (restriktif, obstruktif, dan gabungan), dan banyaknya
kasus terjadinya abnormalisasi di atas Nilai Ambang Batas (NAB) kadar IgE
total dan IgG total, yaitu berhubungan dengan umur/usia pekerja, lama kerja
setiap hari, dan masa kerja, serta semua faktor tersebut di dalam penelitian
ini tidak dibahas secara khusus karena faktor ini termasuk dalam variabel
penelitian yang dikendalikan termasuk pula faktor status kesehatan, gizi kerja,
dan kebiasaan merokok dari perajin logam. Secara teoretis, WHO (1993)
menyatakan bahwa ada hubungan signifikan antara usia pekerja dan kejadian
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan kecelakaan kerja.

76 Husaini
Hubungan lama bekerja setiap hari perajin logam dengan kelainan fungsi
paru, IgE total, dan IgG total tidak dianalisis dan dibahas dalam penelitian ini,
karena secara umum pengukuran fungsi paru dengan alat Spirometer dilakukan
dua kali untuk setiap responden, yakni sebelum bekerja pada pagi hari dan
sesudah bekerja pada sore hari, walaupun hasil penelitian ini menunjukkan
terjadinya peningkatan yang signifikan baik tingkatan kelainan fungsi paru
jenis restriktif ringan yang terbanyak pada pagi hari meningkat menjadi
restriktif sedang pada sore hari setelah mereka selesai bekerja, begitu pula
dengan obstruktif dan gabungan (Husaini, 2014). Hal ini bersesuaian dengan
pendapat WHO (1993) yang menyatakan bahwa masa kerja dan durasi waktu
bekerja setiap hari bagi seorang pekerja sangat berhubungan dengan Penyakit
Akibat Kerja (PAK) dalam pengertian semakin lama masa kerja dan durasi
waktu orang bekerja setiap harinya maka lebih berpotensi terjadinya kasus
Penyakit Akibat Kerja (PAK) jika dibandingkan dengan orang yang masa
kerja dan durasi waktu kerja yang pendek setiap harinya.
Hubungan umur, masa kerja, dan lama bekerja setiap hari bagi perajin
logam dengan kejadian kecelakaan kerja dalam penelitian ini tidak dianalisis
dan dibahas secara khusus, tetapi kasus kecelakaan kerja dalam penelitian ini
adalah bagian penting dalam rangka membantu analisis variabel penelitian
lainnya (Husaini, 2014). Untuk melihat gambaran secara umum hubungan
faktor umur perajin logam dengan kasus kecelakaan kerja yaitu terjadi pada
semua kelompok umur dengan variasi kecelakaan kerja yang terjadi (Husaini,
2014). Akan tetapi, menurut pendapat WHO (1993) dijelaskan kembali bahwa
terdapat hubungan yang positif antara penurunan tingkat kecelakaan kerja
dengan faktor usia lanjut pekerja dalam pengertian berhubungan dengan masa
kerja. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman pekerja usia lanjut tersebut pada
jenis/spesialis pekerjaannya, dalam pengertian semakin lama seseorang bekerja
pada suatu tempat dan jenis pekerjaan tertentu, maka pekerja tersebut semakin
berhati-hati dalam bekerja sehingga mudah menghindarkan diri dari berbagai
jenis kecelakaan kerja. Hal ini berhubungan pula dengan pengalamannya pada
unit kerja, peralatan, mesin, dan bahan yang sudah dialami dan dijalani oleh
pekerja usia lanjut (WHO, 1993).
Mengingat bahwa senyawa/molekul yang terlepas ke lingkungan
kerja sangat mudah berikatan atau terjadi reaksi satu dengan lainnya dan
kemungkinan pula akan tercipta polutan sekunder/zat sekunder lainnya yang
lebih toksik, reaktif, dan sinergi walaupun kadar polutan yang terukur di udara
bebas lingkungan kerja masih berada di bawah Nilai Ambang Batas (NAB)
yang telah ditentukan tersebut (Husaini, 2014).
Untuk mengantisipasi berbagai gangguan di lingkungan kerja akibat
dari berbagai polutan, hendaknya berhati-hati dalam memberikan sebuah

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 77


kesimpulan hasil dari pengukuran kualitas udara di lingkungan kerja, terutama
bila hasil pengukuran berbagai polutan/zat masih di bawah Nilai Ambang
Batas (NAB) yang diberlakukan suatu Negara termasuk Pemerintah Republik
Indonesia, dalam hal ini Peraturan yang masih berlaku adalah SE Menaker
RI Nomor. 01/Men/1997, karena sekecil apa pun zat/molekul yang terlepas
ke lingkungan kerja tidak menjamin lingkungan kerja tersebut termasuk
pekerja menjadi aman (safe), terutama yang berhubungan dengan status imun
seseorang atau yang berhubungan dengan sifat atau karateristik dari polutan/
zat tersebut (Husaini, 2014).
Hal tersebut di atas dapat dibuktikan dari hasil pengukuran fungsi paru
(restriktif, obstruktif, dan gabungan/Mixed) dengan Spirometer dan hasil
laboratorium pemeriksaan imunoglobulin (IgE total dan IgG total) serum
darah perajin logam yang mempunyai delapan variasi kejadian sebagai berikut
(Husaini, 2014).
(1) Ditemukan hasil pengukuran Spirometer restriktif, obstruktif, dan
gabungan/mixed terjadi abnormal (kelainan), dan jika dihubungkan dengan
IgE total dan IgG total dengan hasil abnormal atau di atas dari Nilai Ambang
Batas kadar IgE total dan IgG total dalam serum darah perajin logam. (2)
Ditemukan hasil pengukuran Spirometer restriktif, obstruktif, dan gabungan/
mixed terjadi abnormal (kelainan), dan jika dihubungkan dengan IgE total
dengan hasil normal atau tidak di atas dari Nilai Ambang Batas kadar IgE total,
kemudian jika dihubungkan dengan hasil IgG total dengan hasil abnormal atau
di atas dari Nilai Ambang Batas kadar IgG total dalam serum darah perajin
logam. (3) Ditemukan hasil pengukuran Spirometer restriktif, obstruktif, dan
gabungan/mixed terjadi abnormal (kelainan), dan jika dihubungkan dengan
IgE total dengan hasil abnormal atau di atas dari Nilai Ambang Batas kadar
IgE total, namun demikian jika dihubungkan dengan hasil IgG total dengan
hasil normal atau tidak di atas dari Nilai Ambang Batas kadar IgG total dalam
serum darah perajin logam. (4) Ditemukan hasil pengukuran Spirometer
restriktif, obstruktif, dan gabungan/mixed terjadi abnormal (kelainan), dan
jika dihubungkan dengan IgE total dengan hasil normal atau tidak di atas
dari Nilai Ambang Batas kadar IgE total, begitu pula dengan hasil IgG total
dengan hasil normal atau tidak di atas dari Nilai Ambang Batas kadar IgG
total dalam serum darah perajin logam.
(5) Ditemukan hasil pengukuran Spirometer restriktif, obstruktif, dan
gabungan/mixed terjadi normal (tidak ada kelainan), dan jika dihubungkan
dengan IgE total dengan hasil di atas dari Nilai Ambang Batas kadar IgE total,
begitu pula dengan hasil IgG total dengan hasil di atas dari Nilai Ambang
Batas kadar IgG total dalam serum darah perajin logam. (6) Ditemukan hasil
pengukuran Spirometer restriktif, obstruktif, dan gabungan/mixed terjadi

78 Husaini
normal (tidak ada kelainan), dan jika dihubungkan dengan IgE total dengan
hasil tidak di atas dari Nilai Ambang Batas kadar IgE total, tetapi hasil IgG
total adalah di atas dari Nilai Ambang Batas kadar IgG total dalam serum
darah perajin logam. (7) Ditemukan hasil pengukuran Spirometer restriktif,
obstruktif, dan gabungan/mixed terjadi normal (tidak ada kelainan), dan
jika dihubungkan dengan IgE dengan hasil di atas dari Nilai Ambang Batas
kadar IgE total, tetapi hasil IgG total adalah normal atau tidak di atas dari
Nilai Ambang Batas kadar IgG total dalam serum darah perajin logam. (8)
Terjadi abnormal (kelainan) salah satu fungsi paru (restriktif, obstruktif, dan
gabungan/mixed), dan salah satu terjadi abnormal (di atas dari Nilai Ambang
Batas kadar) baik IgE total maupun IgG total pada serum darah perajin logam
(Husaini, 2014).
Terjadinya penurunan fungsi paru dalam penelitian ini yang diukur adalah
restriktif, obstruktif, dan gabungan (mixed) dan abnormalisasi atau di atas Nilai
Ambang Batas (NAB) respons imun (IgE total dan IgG total) serum perajin
logam dengan adanya berbagai polutan, baik bersifat bebas maupun bersifat
gabungan akibat reaksi dari berbagai zat kimia di udara (Husaini, 2014).

DAFTAR PUSTAKA

Ananda, S.P dan W.B.J. Frances. 1996. “Metal-Metal Interactions” dalam


Toxicology of Metals. Edited by Louis, W.C. London: CRC Inc. Lewis
Publishers. Boca Raton.
Andre, E.N. dkk.. 1998. Enhancement of Allergic Inflammation by the
Interaction between Diesel Exhaust Particles and the Immune System.
J Allergy Clin Immunol.102;539–554.
Ashraf, M.G. 1996. “Physical Work Capacity” dalam Occupational
Ergonomics-Theory and Applications. Edited by Amit, B and James,
D.M. New York: Marcel Dekker Press. Inc. Madison Avenue. 10016.
Azari, MR. dkk.. 1996. Effect of NO2 on Natural Killer Cells in Glass
Craftsmen and Braziers. J. Allergy Clin Immunol. 103;559–580.
Bayram, H. dkk.. 1998. The Effect of Diesel Exhaust Particles on Cell Function
and Release of in Inflammatory Mediators from Human Bronchial
Epithelial Cells in Vitro. Am J Respir Cell Care Biol. 18;441–448.
Becker, AB. 1996. Is Primary Prevention of Asthma Possible?. J Dawsons of
Pall Mall. 5;45A–49A.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 79


Blomberg, A. dkk.. 1999. Persistence Air Inflammation but Accommodated
Antioxidant and Lung Function Responses After Repeated Daily
Exposure to Nitrogen Dioxide. Am J Resp and Crit Care Med. Vol.
159. No: 2. 536–534.
Bonner, JC. dkk.. 1998. Induction of PDGF Receptor a in Rat Myofibroblast
During Pulmonary Fibrogenesis in Vivo. Am J Physiol. 274;L72–80.
Bonner, JC. dkk.. 2007. Induction of the Lung Myofibroblast PDGF Receptor
System by Urban Ambient Particles from Mexico City. Am J Respir
Cell Mol Biol. 19;672–680.
Brenda, M.S. dkk.. 1996. “The Role of General and Metal Specific Cellular
Responses in Protection and Repair of Metal-Induced Damage: Stress
Protein and Metallothioneins” dalam Toxicology of Metals. Edited by
Louis, W.C. London: CRC Inc. Lewis Publishers. Boca Raton.
Buerke, SJ. dkk.. 2001. Hypersensitivity Pneumonitis: Current Concepts. Eur
Respir J. 18 Suppl 32;81–92
Buerke, U. dkk.. 2002. Interstitial Pulmonary Fibrosis After Severe Exposure
to Welding Fumes. Am J Ind Med. 41(4);259–268.
Burnet, D. 1986. Immunoglobulins in the Lung. J Thorax. 41;337–344.
Camner, P dan L. Ewetz. 1983. Healt Risks Resulting From Exposure to Motor
Vehicle Exhaust. J Med. 329;281–285.
Chin, DJ. dkk.. 1995. Respiratory Health of Young Shipyard Welders and
Other Tradesmen Studied Cross Sectionally and Longitudinally. J
Occup Med Toxicol. 6;12–24.
Coffin, DL. dkk.. 1976. Time/Dose Response for Nitrogen Dioxide Exposure
in an Infectivity Model system. J Environ Health Perspect. 15;22–27.
Colluci, AV. 1983. Pulmonary Dose/Effect Relationships in Ozone Exposure.
J Occup Med Toxicol. 9;20–30.
Costa, M. dkk.. 1993. DNA Protein Cross-Link in Welders: Mulecullar
Implications. J Cancer Res. 1;53(3);460–463.
Davis, GS. dkk.. 2000. Interferon-γ Production by Specific Lung Lymphocyte
Phenotype in Silicosis in Mice. AM J Respir Cell Mol Biol. 22;491–501.

80 Husaini
Devalia, JL. dkk.. 1999. Differences between Cytokine Release from Bronchial
Epithelial Cells of Asthmatic Patients and Non Asthmatic Subjects:
Effect of Exposure to Diesel Exhaust Particles. J Int Arch Allergy
Immunol. 118(2–4);437–439.
Devalia, JL. dkk.. 1994. Effects of NO2 and SO2 on Airway Response of Mild
Asthmatic Patients to Allergen Inhalation. Am J Respir Cell Mol Biol.
321–357.
Devalia, JL. dkk.. 1993. Effect of Nitrogen Dioxide on Synthesis of
Inflammatory Cytokines Expressed by Human Bronchial Epithelial
Cells and Vitro. Am J Respir Cell Mol Biol. 271–278.
Diaz-Sanchez, D. 2000a. Pollution and The Immune Response: Atopic
Diseases-are We Too Dirty or Too Clean?. J Immunol. 101;11–18.
Diaz-Sanchez, D. dkk.. 2000b. Diesel Exhaust Particles Directly Induce
Activated Mast Cells to Degranulate and Increase Histamine Levels
and Symptom Severity. J Allergy Clin Immunol. 106;1140–1146.
Diaz-Sanchez, D. dkk.. 1999a. Nasal Challenge with Diesel Exhaust Particles
Can Induce Sensitization to a Neo Allergen in The Human Mucosa. J
Allergy Clin Immunol. 104;1183–1188.
Diaz-Sanchez, D. dkk.. 1999b. Effect of Topical Fluticasone Propionate on The
Mucosal Allergic Response Induced by Ragweed Allergen and Diesel
Exhaust Particle Challenge. J Clin Immunol. 90;313–322.
Donald, G dan T.Z. Judith. 1996) An Introduction to Immunomodulation
by Metals dalam buku Toxicology of Metals. Edited by Louis, W.C.
London: CRC Lewis Publisher. Boca Raton.
Dye, J.A. dkk.. 1999. Role of Soluble Metals in Oil Fly Ash-Induced Airway
Epithelial Injury and Cytokine Gene Expression. Am J Physiol. 277;
L4980510.
Ehrlich, R dan LD. Fenters. 1983. Influence of NO2 on Experimental Influenza
in Squirrel Monkeys. J Environ Res. 23;346–367.
Ehrlich, R. dkk.. 1987. Immunologic Response in Vaccinated Mice During
Long-Term Exposure to Nitrogen Dioxide. J Environ Res. 10;217–223.
Epler. 2000. Environmental and Occupational Lung Disease in: Clinical
Overview of Occupational Diseases. J Occup Environ Med. 76;324–325.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 81


Erhabor, GE. dkk.. 2001. Pulmonary Functions in ARC-Welders in East. J
Afr Med. 78(9);461–464.
Erikson, KM. dkk.. 2004. Airborne Manganese Exposure Differentially Affects
and Points of Oxidative Stress in an Age and Sex Dependent Manner.
J Occup Environ Med. 78;432–451.
Fauzi. 2000. Iklim Udara Pada Sekitar Rumah Produksi Logam di Kecamatan
Daha Selatan. Skripsi. Akademi Kesehatan Lingkungan Banjarmasin.
Banjarbaru.
Fujieda, S. dkk.. 1998. Combined Nasal Challenge with Diesel Exhaust
Particles and Allergen Induces in Vivo IgE Nasal Switching. Am J
Respir Mol Biol. 4;1583–1590.
Fujimaki, H. dkk.. 1994. IL-4 Production in Mediastinal Lymph Node Cells
in Mice Intratracheally Instilled with Diesel Exhaust Particulates and
Antigen. J Toxicol. 92;261–268.
Fujimaki, H. dkk.. 1995. Intranasal Instillation of Diesel Exhaust Particulates
and Antigen in Mice Modulated Cytokine Productions in Cervical
Lymph Node Cells. J Int Arch Allergy Immunol. 108;268–273.
Fujimaki, H. dkk.. 1997. Inhalation of Diesel Exhaust Enhances Antigen-
Specific IgE Antibody Production in Mice. J Toxicol. 116;227–233.
Furiosi, NI. dkk.. 1983. Mixed Sodium Chloride Aerosol and NO2 in Air. j
Arch Environ Health. 27;405–408.
Gardner, DE. dkk.. 1997. Relationships Between Nitrogen Dioxide
Concentration, Time and Level of Effect Using an Animal Infectivity
model. J Int Arch Allergy Appl Immunol. 34;200–243.
Goldstein, E. dkk.. 1997. The Biomedical Effects of Ozone and EP, Tarkington
B. Fate and Distribution of Inhaled Related Photochemical Oxidants.
J Am Rev Res. Pp 411–422.
Hardjana, A.M. 1994. Stres Tanpa Distres: Seni Mengolah Tubuh. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Hatch, GE. dkk.. 1985. Inhalable Particles and Pulmonary Host Deffence in
Vivo and in Vitro Effects of Ambient Air and Combustion Particles. J
Health Perspect. 30;23–29.

82 Husaini
Heo, Y. dkk.. 2001. Effect of Diesel Exhaust Particles and Their Components
on the Allergen-Specific IgE and IgG Response in Mice. J Toxicol.
159;143–158.
Husaini. 2014. Hubungan Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi, dan Debu Besi
Dengan Gangguan Fungsi Paru dan Kadar Imunoglobulin Serum
Perajin Logam. Disertasi. Program Doktor Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ichinose, T. dkk.. 1997. Murine Strain Differences in Allergic Airway
Inflammation and Immunoglobulin Production by a Combination of
Antigen and Diesel Exhaust Particles. J Toxicol. 122(3);138–192.
Isabelle, T. dkk.. 1997. Increased Lung Function Decline in Blue Collar
Workers Exposed to Welding Fumes. Am J Respir Cell Mol Biol.
52;113–171.
James, D.B dan A.B. John. 2008. The Significance of Nanoparticles in Particle-
Induced Pulmonary Fibrosis. J Mcgill med. 11(1);43–50.
James, M.C. 2011. Low Back Pain; Mechanism, Diagnosis, and Treatment.
Seventh Edition. Wolters Kluwer-Lippincott Williams & Wilkins Health
Publishers. Philadelphia. PA 19103. USA.
James, M.S. dkk.. 1999. Tyrosine Phosphatases as Target in Metal-Induced
Signaling in Human Airway Epithelial Cells. Am J Respir Cell Mol
Biol. 21(3);357–364.
James, M.S. dkk.. 1998. Activation of MAPKs in Human Bronchial Epithelial
Cells Exposed to Metals. Am J Phy- Lung Cell and Mol Phy Publis.
Vol. 275 no: L551–L558.
Kennedy, T. dkk.. 1998. Copper Dependent Inflammation and Nuclear Factor-
kB Activation by Particulate Air Pollution. Am J Respir Cell Mol Biol.
19;366–378.
Khanzadeh, A. 1980. Long Term Effects of Welding Fumes Upon Respiratory
Symptoms and Pulmonary Function. J Occup Med. 22;337–341.
Knox, RB. dkk.. 1997. Major Grass Pollen Allergen Lolp-1 Binds to Diesel
Exhaust Particles: Implications for Asthma and Air Pollution. J Clin
Exp Allergy. 27;246–251.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 83


Kobayashi, T. dan T. Ito. 1995. Diesel Exhaust Particulates Induce Nasal and
Mucosal Hyperresponsiveness to Inhaled Histamine Aerosol. J Fundam
Appl Toxicol. 27;195–202.
Kobayashi, T. dkk.. 1997. Short Term Exposure to Diesel Exhaust Induces
Nasal Mucosal Hyperresponsiveness to Histamine in Guinea Pigs. J
Fundam Appl Toxicol. 38;166–172.
Lee, T.H. 1998. Cytokine Networks in The Pathogenesis of Bronchial Asthma:
Implications for Therapy. J Roy Coll Physic. 32;56–64.
Li, GJ. dkk.. 2004. Occupational Exposure to Welding Fume Among Welders:
Alteratons of Manganese, Iron, Zinc, Copper, and Lead in Body Fluids
and the Oxidative Stress Status. J Occup Environ med. 46;241–248
Lionel, A.P dan A.L. Neil. 1996. Metal Interactions in Chemical Carcinogenesis
dalam buku Toxicology of Metals. Edited by Louis, W.C. London: CRC
Lewis Publisher. Boca Raton.
Mark, A.F dan PK. James. 2007. Fundamental of Occupational Safety and
Health. Fourth Edition. Lanham, Maryland. Toronto. Plymouth. UK:
Government Institutes and Imprint of the Scarecrow Pres Inc.
Matthew, E.P. dkk.. 2005. NO2 Enhances Allergic Airway Inflammation and
Hyperresponsiveness in The Mouse. Am J Physiol Lung Cell Mol
Physiol. 290(1);L144–152.
Mitchell, D.C. dkk.. 1996. Carcinogenicity and Genotoxicity of Lead,
Beryllium and Other Metals dalam buku Toxicology of Metals. Edited
by Louis, W.C. London: CRC Lewis Publisher. Boca Raton.
Miyabara, Y. 1998. Diesel Exhaust Particles Enhances Allergic Airway
Inflammation and Hyperresponsiveness in Mice. Am J Respir Crit Care
Med. 157(4 Pt 1);1138–1144.
Mukhtar, I. dkk.. 2009. Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Seri 1. Jakarta:
Penerbit Badan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mukono, H.J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University
Press.
Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Badan
Penerbit Universitas Indonesia.

84 Husaini
Muranaka, M. dkk.. 1986. Adjuvant Activity of Diesel Exhaust Particulates
for The Production of IgE Antibody in Mice. J Allergy Clin Immunol.
77;616–23.
Nakadate, T. dkk.. 1998. Change in Obstructive Pulmonary Function as a
Result of Cumulative Exposure to Welding Fumes as Determined by
Magneto Pneumography in Japanese Arc Welders. J Occup Environ
Med. 55 (10);673–677.
Nedved. 1997. Dasar-Dasar Keselamatan Kerja Bidang Kimia dan
Pengendalian Bahaya Besar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nel, A.E. dkk.. 1998. Enhancement of Allergic Inflammation by The
Interaction Between Diesel Exhaust Particles and The Immune System.
J Allergy Clin Immunol. 102;539–554.
Ohta, K. dkk.. 1999. Diesel Exhaust Particulate Induces Airway
Hyperresponsiveness in a Murine Model: Essential Role of GM-CSF.
J Allergy Clin Immunol. 104(5);1024–1030.
Palmer, KT. dkk.. 2006. Inflammatory Responses to The Occupational
Inhalation of Metal Fume. J Eur Respir. 27(2);366–373.
Palmer, KT. dkk.. 2003. Exposure to Metal Fume and Infectious Pneumonia.
Am J Epidemiol. Vol. 157. No: 3. 227–233.
Pearce. 1986. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Alih Bahasa Sri
Yuliani Handoyo. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Peterson, B dan A. Saxon. 1996. Global Increases in Allergic Respiratory
Disease: The Possible Role of Diesel Exhaust Particles. J Ann Allergy
Asthma Immunol. 77;263–268.
Pope, CA. 2000. Epidemiology of Fine Particulate Air Pollution and Human
Health. AM J Environ Health Prespect. 108 Suppl 4,713–723.
 Prasad, N.K dan S. Bondy. 1987. Metal Neurotoxic. London: Fla CRC Press.
Boca Raton.
Proust, B. dkk.. 2002. Interference of a Short Term Exposure to NO2 with
Allergic Airways Responses to Allergic Challenges in BALB/c Mice.
J Mediators Inflamm. 11(4);251–260.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 85


Ray, A dan W. David. 2010. Industrial Safety and Health Management. Sixth
edition. New Jersey: Pearson education, Inc Publishers Upper Saddle
River. 07458.
Rice, TM. dkk.. 2001. Diffrential Ability of Transition to Induced Pulmonary
Inflammation. J Toxicol Appl Pharmacol. 177(1);46–53.
Rusznak, C. dkk.. 1994. The Impact of Pollution on Allergic Disease. J Allergy
& Clin Immunol Eur. 49;21–27. 39.
Rutowski, J. dkk.. 2006. Immunological Effect of Environmental Exposure
to NO2 and NO. J Environ Studies. 7;245–250.
Sagai, M. dkk.. 1996. Biological Effects of Diesel Exhaust Particles
Pathogenesis of Asthma Like Symptoms in Mice. J Free Radic Biol
Med. 21;199–209.
Salvi, S.S. dkk.. 1999. Acute Inflammatory Responses in The Airways and
Peripheral Blood After Short-Term Exposure to Diesel Exhaust in
Healthy Human Volunteers. Am J Respir Crit Care Med. 159;702–709.
Salvi, S.S. dkk.. 2000. Acute Exposure to Diesel Exhaust Increases Il-8 and
Gro-A Production in Healthy Human Airways. Am J Respir Crit Care
Med. 161;550–557.
Sandstram, T. dkk.. 1991. Inflammatory Cell Responses in Bronchoalveolar
Lavage Fluid After NO2 Exposure of Healthy Subjects. Am J Respir
Crit Care Med. 143;502–523.
Saryono. 2009. Biokimia Respirasi (Panduan Praktis Untuk Mahasiswa dan
Praktisi Dalam Bidang Ilmu Kesehatan). Yogyakarta: Nuha Offset.
Setiono. 2000. Manusia, Kesehatan dan Lingkungan (Kualitas Lingkungan
dalam Perspektif Perubahan Lingkungan Global). Yogyakarta: Nuha
Offset.
Stephen, RJ. dkk.. 1998. Early Response of Lungs to Low Levels of Nitrogen
Dioxide. J Arch Environ Health. 24;160–179.
Suharto. 2011. Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Sundaresan, M. dkk.. 1995. Requirement for Generation of H2O2 for Platelet
Derived Growth Factor Signal Transduction. J Sci. 13;270(5234);296–
299.

86 Husaini
Sunderman dan Barber. 1988. Fingerloops, Oncogenes, and Metals. J Ann
Clin Lab Sci. 18;267–288.
Sunu. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta:
Penerbit Grasindo.
Suzuki, T dan T. Kanoh. 1993. The Adjuvant Activity of Pyrene in Diesel
Exhaust on IgE Antibody Production In Mice. J Allergy. 42;963–968.
Svorcova, S dan V. Kaut. 1971. The Arterio-Venous Differences in the Nitrite
and Nitrate Ion Concentrations After Nitrogen Oxides Inhalation. J
Cesk Hyg. 16;71–76.
Takizawa, H. dkk.. 2000. Diesel Exhaust Particles Activate Human Bronchial
Epithelial Cells to Express Inflammatory Mediators in The Airways: a
Review. J Res. 5(2);197–203.
Tenkate, TD. 1999. Occupational Exposure to Ultraviolet Radiation: A Health
Risk Assessment. J Rev Environ Health. 14;187–209.
Terada, N. dkk.. 1999. Diesel Exhaust Particles Upregulate Histamine
Receptor mRNA and Increase Histamine-induced IL-8 and GM-CSF
Production in Nasal Epithelial Cells and Endothelial Cells. J Clin Exp
Allergy. 29(1);52–59.
Thomas, T. dan RA. Rhoades. 1999. C-I Palmitate Incorporation by Rat Lung:
Effect of Nitrogen Dioxide. J Proc Soc Exp Bio Med. 108; 1181–1183.
Wang, M. dkk.. 2003. Early IL-4 Production Driving Th2 Differentiation in a
Human in Vivo Allergic Model is Mast Cell Derived. J Clin Immunol.
90;47–54.
WHO. 1993. Aging and Working Capacity. Geneva. 27. Swizerland.
WHO. 2000. Hazardous Chemicals in Human and Environmental Health.
Swizerland: Publisher The International Programme on Chemical
Safety. WHO. Geneva 27.
Williams, PT. dkk.. 1986. The Relation Between Polycyclic Aromatic
Compounds in Diesel Fuels and Exhaust Particulates Fuel. J Elsevier
Ltd. 65;1150–1158.
Wu, W. dkk.. 2004. Heparin Binding Epidermal Growth Factor Cleavage
Mediates Zinc Induced Epidermal Growth Factor Receptor
Phosphorylation. Am J Respir Cell Mol Biol. 30;540–547.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 87


Yanagisawa, R. dkk.. 2006. Components of Diesel Exhaust Particles
Differentially Affect Th1/Th2 Response in a Murine Model of Allergic
Airway Inflammation. J Clin Exp Allergy. 36(3);386–395.
Zarkower dan W. Morges. 1997. Infection and Immunity. Am J Respir Cell
Mol Biol. 42;132–152.
Zein, M. dkk.. 2005. Is Metal Fume Fever a Determinant of Welding Related
Respiratory Symptoms and/or Increased Bronchial Responsiveness? a
Longitudinal Study. J Occup Environ Med. 62;688–694.
Zhang, L. dkk.. 2001. Vanadium Stimulates Human Bronchial Epithelial Cells
to Produce Heparin Binding Epidermal Growth Factor Like Growth
Factor a Mitogen for Lung Fibroblast. Am J Respir Cell Mol Biol.
24;123–140.

88 Husaini
Bab 8
PROSEDUR OPERASIONAL
STANDAR (POS) PERAJIN
LOGAM

8.1. DASAR PEMIKIRAN

Perajin logam adalah orang yang menciptakan berbagai objek dari


logam yang ditempa dan dicetak sesuai bentuk dan ukuran setelah dipanaskan
dan dilebur pada suhu yang tinggi (>600°C), kemudian dipotong, ditempa
atau dicetak, dan digerinda untuk menghaluskan dan mempertajam hasil
produk dengan dibantu bahan pembakaran arang kayu dan batangan kayu.
Bahwa pekerjaan sebagai perajin logam mempunyai banyak risiko terhadap
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), khususnya yang berpengaruh terhadap
kesehatan kerja yang paling banyak dan paling umum dirasakan oleh perajin
logam adalah gangguan fungsi paru dan penurunan daya tahan tubuh (imun
tubuh) termasuk alergi. Gangguan ini bersifat akumulatif dan kronis bagi
perajin logam yang selalu terpajan oleh berbagai macam gas, antara lain
CO, SO2, NO2, serta uap logam dan berbagai macam debu (debu organik dan
debu anorganik) bagi perajin logam yang tidak menggunakan prinsip dasar
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) setiap kali bekerja terus menerus
dalam waktu yang lama (Husaini, 2014).
Untuk kecelakaan kerja yang sering dialami oleh perajin logam, seperti
luka bakar, tertusuk, tertumbuk, teriris, dan lainnya ini bersifat akut dan
injury dan pengaruh fisik dari lingkungan kerja seperti panas, radiasi, bising,
kelelahan fisik yang semuanya dianggap biasa oleh perajin logam tersebut.
Kurangnya pemahaman akan pentingnya penggunaan Alat Pelindung Diri
(APD) serta kurangnya pemahaman tentang risiko akibat pekerjaannya

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 89


menyebabkan banyak perajin logam yang mengalami gangguan kesehatan dan
kecelakaan kerja. Oleh karena itu, penting sekali dibuat Prosedur Operasional
Standar (POS) bagi perajin logam agar bisa meminimalisasi gangguan
kerja baik yang bersifat kimia, fisik, mikrobiologi, kelelahan kerja, maupun
kecelakaan kerja (Husaini, 2014).

8.2. MANFAAT DAN TUJUAN PROSEDUR OPERASIONAL


STANDAR (POS)

a. Agar perajin logam dan Pemangku Kepentingan dapat memahami dan


menerapkan Prosedur Operasional Standar (POS) dengan baik dan benar.
b. Untuk melindungi perajin logam dari akibat gangguan kesehatan,
kelelahan kerja, maupun kecelakaan kerja, sehingga produktivitas tetap
terjaga.
c. Bagi institusi Pengambil Kebijakan dalam rangka melindungi perajin
logam, dapat digunakan sebagai informasi dan masukan untuk membuat
Peraturan Institusi atau Peraturan Daerah (PERDA) yang berkaitan dengan
jenis usaha perajin logam.
d. Untuk petugas institusi teknis di lapangan, berfungsi dan bertujuan sebagai
acuan dalam memberikan penyuluhan kesehatan kerja dan dalam rangka
pembinaan serta pengawasan kepada perajin logam.
e. Bagi kelompok pemerhati dan kelompok penyuluh kesehatan kerja,
khususnya pada perajin logam dapat berguna dalam pembinaan dan
pengawasan, serta pendidikan bagi perajin logam.
f. Sebagai acuan untuk investigasi bila terjadi kecelakaan kerja, baik
yang fatal maupun yang tidak fatal bagi perajin logam dan Pemangku
Kepentingan, dan sekaligus berfungsi untuk perencanaan program
pencegahan gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja bagi institusi teknis,
termasuk dalam rangka pembinaan dan pengawasan (Husaini, 2014).

90 Husaini
8.3. JENIS PENYAKIT AKIBAT KERJA PADA PERAJIN LOGAM

a. Terpajan gas CO (Karbon Monoksida) dapat menyebabkan sakit kepala,


tidak konsentrasi dalam bekerja, pelupa yang kronis, motivasi kerja yang
menurun, sesak napas, kekuatan otot menurun, mutagenik haemoglobin,
mengganggu fungsi biologis (memberikan peran fisiologis dalam tranduksi
sinyal sel), merusak jaringan tubuh (kanker, tumor), mencederai paru-paru,
menurunkan sel pembentuk anti bodi, dan alergi.
b. Terpajan gas SO2 (Sulfur Dioksida) dapat menyebabkan dermatophagoides
pteronyssinus allergen, menghasilkan superoksidase (O2) dan radikal
hidroksi (OH) yang merupakan komponen aktif menurunkan fungsi paru
dan odema pada paru (kerusakan sel endothelial), mampu menghambat
aliran udara pada bronkus/saluran napas karena terjadi produksi kelenjar
sekresi yang berlebihan, gas SO 2 bersifat asam sehingga mampu
menyebabkan iritasi (peradangan) pada saluran pernapasan dan mampu
menyebabkan inflamasi (pembekakan) pada dinding bronkus, sehingga
mempermudah masuknya bahan antigenik dan alergenik.
c. Terpajan gas NO2 (Nitrogen Dioksida) dapat menyebabkan mudah terjadi
peradangan, menyebabkan reaksi alergi, dan merusak sel epithelial
pada bronkus manusia, gas NO2 banyak mempunyai sensorik sehingga
merangsang ujung syaraf di tenggorokkan dan mata yang menyebabkan
panas, gatal-gatal, mata berair, iritasi pada saluran pernapasan bagian
dalam (dapat menyebabkan infeksi dan alergi), bersifat aditif dan sinergis
karena adanya reaksi dari zat lainnya terutama bila ada gas SO2, sehingga
menjadi sangat toksik di dalam tubuh, menurunkan daya tahan tubuh dan
pusing, mual, disorientasi sampai tidak sadarkan diri.
d. Uap besi/uap logam mengakibatkan Metal Fume Fever (MFF), yang
termasuk kelompok penyakit ini yaitu zat yang proinflamasi/mudah
menyebabkan terjadinya perandangan pada bronkus manusia, sehingga
memudahkan terjadinya infeksi dan alergi, menyebabkan eritema kondisi
kulit dan kanker kulit, iritasi pada kulit, menyebabkan asma kerja, infeksi
pada saluran pernapasan dan paru dan TB paru, tumor, serta kanker pada
paru manusia.
e. Debu besi/logam dapat menyebabkan peradangan akut dan kronis pada
saluran pernapasan, terjadi reaksi alergi pada saluran napas, penurunan
pertahanan tubuh, pnemokoniosis, silikosis, bronkopulmonalis dan asma
kerja, serta terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah pada

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 91


saluran napas, sehingga memudahkan terjadinya infeksi dan peningkatan
resistensi saluran napas.
f. Terpajan faktor fisik seperti suhu lingkungan yang panas, bising, getaran,
dan radiasi karena berdekatan dengan tungku/tanur pembakaran dan
peleburan logam, beban kerja yang berlebihan serta waktu kerja >8 jam,
jenis gangguannya yaitu kelelahan kerja, tubuh menjadi dehidrasi karena
suhu lingkungan kerja yang panas (33°C–36°C), terjadinya respons
tubuh yang reaktif karena radiasi panas, getaran (kekakuan otot, kerja
otot menjadi lemah, konsentrasi menjadi rendah, tremor, gangguan otot
tendon, gangguan tulang, gangguan sendi, dan gangguan pada pembuluh
darah prefier atau saraf prefier) serta gangguan pada mata (misalnya dapat
menyebabkan katarak) dan pada visus.
g. Sikap dan posisi kerja, jenis gangguannya yaitu kelelahan kerja mudah
terjadi, kelelahan dan sakit pada mata, tengkuk, bahu, dada, punggung,
perut, pinggang, siku, pergelangan tangan, paha, lutut, betis dan
pergelangan kaki, waktu kerja tidak efisien, konsentrasi kerja terganggu
dan pencetus kecelakaan kerja (Husaini, 2014).

8.4. JENIS KECELAKAAN AKIBAT KERJA PADA PERAJIN


LOGAM

Jenisnya yaitu percikan partikel besi yang masih panas, tertimpa besi dan
palu, tersulut oleh api, kulit melepuh karena terkena logam yang masih panas,
teriris/luka karena gerinda dan alat pemotong yang digunakan, kemasukan
debu/partikel pada mata, kulit, dan mulut, tulang tangan dan kaki terkilir,
teriris/luka/tertusuk oleh potongan besi/plat besi dan dislokasi pada sendi,
dan kram/kejang pada berbagai macam otot (Husaini, 2014).

8.5. PEMERIKSAAN KESEHATAN KERJA PERAJIN LOGAM

a. Anamnesis:
- Apakah ada batuk yang terus menerus selama 3 minggu atau lebih?
- Apakah ada keluar darah yang bercampur dahak?
- Apakah ada disertai sesak napas?
- Apakah pernah sesak napas yang berbunyi ngik–ngik?

92 Husaini
- Apakah ada penurunan nafsu makan dan berat badan?
- Apakah ada demam, berkeringat malam hari lebih dari 1 bulan?
- Apakah ada keluarga dekat yang menderita batuk >3 minggu?
- Apakah ada alergi?
- Apakah pernah dirawat di rumah sakit akibat sesak napas?
b. Pemeriksaan fisik:
- Keadaan umur :
- Keadaan tinggi badan :
- Keadaan berat badan :
- Kepala :
- Leher :
 Trakea
 Kelenjar getah bening
- Thoraks :
- Abdomen :
- Tanda-tanda alergi pada kulit :
Catatan: pemeriksaan ini dilakukan oleh dokter umum/dokter kesehatan kerja
c. Pemeriksaan fungsi paru dengan alat Spirometer. Untuk keadaan fungsi
paru yang diperiksa yaitu restriktif (FVC), obstruktif (FEV 1), dan
gabungan (mixed)
d. Pemeriksaan kelelahan kerja dengan alat Reaction Time
Catatan: pemeriksaan ini dilakukan oleh tenaga teknisi/laborat Balai Hiperkes
dan Keselamatan setempat.
e. Pemeriksaan tekanan darah
f. Pemeriksaan mata (conjungtiva, kornea, dan scelera)
g. Pemeriksaan ergonomik kerja
h. Pemeriksaan laboratorium:
- Pemeriksaan sputum, bila >3 minggu batuk terus menerus
- Pemeriksaan imunoglobulin serum ( IgG, IgE, dan lainnya sesuai
kebutuhan) (Husaini, 2014).

8.6. PENGUKURAN KUALITAS LINGKUNGAN KERJA

Pengukuran kualitas lingkungan kerja perajin logam antara lain sebagai


berikut.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 93


a. Pengukuran gas CO, SO2, NO2, dan Ozon
b. Pengukuran uap besi
c. Pengukuran debu total
d. Pengukuran debu logam
Pengukuran dan analisis di atas dilakukan oleh tenaga teknisi/laborat
Balai Hiperkes dan Keselamatan setempat (Husaini, 2014).

8.7. ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

a. Sarung tangan dari kulit


b. Baju lengan panjang
c. Masker dan penutup wajah
d. Kaca mata anti panas dan anti radiasi
e. Penutup kepala
f. Sepatu boot dari kulit (anti sleep, tahan dari benturan, anti tusuk benda
tajam, dan tahan panas)
g. Apron/celemek dari asbes/kulit
h. Sumbat telinga (ear plug dan ear mup)
i. Pakaian kerja (wearpack) (Husaini, 2014).

8.8. PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN KERJA


(P3K) PADA PERAJIN LOGAM

a. Bila zat kimia/pajanan mengenai kulit, mulut, rambut, dan mata, segera
cuci pada air yang mengalir sampai bersih.
b. Bila kulit terdapat iritasi karena pajanan debu, uap, dan gas, segera berhenti
bekerja dan cuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian dioleskan
salep anti iritasi.
c. Apabila ada perajin logam yang tidak sadarkan diri karena kecelakaan
kerja (tertimpa, terpotong, tertumbuk, keracunan gas, uap, dan debu),
maka lakukan langkah-langkah penyelamatan sebagai berikut.
- Bawa korban ke tempat yang sejuk.
- Longgarkan celana korban dan pakaian korban.
- Apabila unit pelayanan kesehatan dekat dengan lokasi korban, maka
bawa segera untuk mendapat pertolongan petugas medis setempat.
- Apabila lokasi korban jauh dari unit pelayanan kesehatan, maka
lakukan tindakan pemberian pertolongan napas buatan.

94 Husaini
d. Pertolongan pada luka bakar
- Bawa korban ke tempat teduh.
- Jangan dicuci dengan air atau alkohol.
- Jangan dibalut/diperban.
- Tenangkan korban.
- Bagian yang terkena luka bakar didinginkan dengan hembusan udara
(kipas angin).
- Segera bawa ke unit pelayanan kesehatan yang terdekat.
- Atau panggil petugas kesehatan untuk memberikan pertolongan.
e. Pertolongan kecelakaan luka teriris, tertusuk, tertumbuk, atau tertimpa
bahan dan peralatan kerja
- Bawa korban ke tempat yang teduh.
- Tenangkan korban.
- Balut/perban luka.
- Segera bawa ke unit pelayanan kesehatan yang terdekat atau segera
panggil petugas kesehatan untuk diberikan pertolongan.
f. Pertolongan kecelakaan terkilir pada pergelangan tangan dan kaki.
- Bawa korban secara hati-hati ke tempat yang teduh
- Baringkan korban.
- Tenangkan korban.
- Segera periksa bagian yang terkilir.
- Lakukan pemasangan gip/penyangga pada bagian terkilir .
- Balut/perban bagian yang terkilir.
- Segera bawa ke unit pelayanan terdekat untuk mendapatkan
pertolongan sementara.
- Bawa ke rumah sakit terdekat (Husaini, 2014).

8.9. PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR (POS) BAGI


PERAJIN LOGAM

a. Kebersihan lingkungan kerja.


- Setelah selesai bekerja, segera bersihkan lingkungan kerja.
- Disarankan agar setiap unit perajin logam mempunyai alat penyedot
(exhauster) debu, gas, dan uap.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 95


b. Kebersihan peralatan dan mesin kerja, termasuk perawatan mesin.
c. Kelayakan peralatan dan mesin kerja.
d. Kebersihan dan kelayakan Alat Pelindung Diri (APD).
e. Kebersihan dan kelayakan pakaian kerja.
f. Sebelum memulai bekerja pada pagi hari, lakukan sarapan pagi.
g. Bila memulai bekerja agar mempersiapkan minuman yang di campur
dengan garam dapur sebanyak 0,5 gram untuk 500 cc air minum (2 gelas
air minum), ini dimaksudkan untuk mengganti larutan elektrolit yang
hilang dalam tubuh. Pengecualian bagi perajin logam yang mempunyai
gejala hipertensi maka dapat diganti dengan minum air yang dicampur
gula.
h. Dalam bekerja perajin logam wajib memakai Alat Perlindungan Diri
(APD).
i. Apabila perajin sudah mulai terasa haus/dahaga, maka segera minum air
yang selalu tersedia.
j. Apabila dalam bekerja perajin logam sudah terasa mengalami lelah,
kepala mulai terasa pusing, mata dan kulit mulai terasa perih, maka segera
istirahat walaupun masih jam kerja.
k. Apabila keluhan tersebut pada nomor 10 di atas masih terasa sampai sore
atau malam hari, sebaiknya perajin logam istirahat 1 sampai 2 hari dan
segera periksakan diri ke unit pelayanan kesehatan terdekat atau petugas
medis.
l. Dianjurkan untuk pemeriksaan kesehatan maksimal 6 bulan sekali.
m. Melalui ketua kelompok perajin logam dapat mengusulkan kepada
Pemerintah Daerah agar melakukan pengukuran kualitas lingkungan kerja

96 Husaini
dan pemeriksaan kesehatan perajin logam, terutama kesehatan paru, mata,
telinga, dan cek darah.
n. Bila terjadi keracunan gas, uap, dan debu di unit kerja, lakukan penanganan
seperti pada bagian VIII dari Prosedur Operasional Standar (POS) ini.
o. Bila terjadi kecelakaan kerja, maka lakukan penanganan seperti pada
bagian VIII dari Prosedur Operasional Standar (POS) ini.
p. Kotak P3K selalu terisi, tersedia, dan mudah dijangkau di tempat kerja
(Husaini, 2014).

8.10. PELAPORAN

a. Melalui ketua perajin logam dilakukan pendataan tentang jenis pekerjaan,


produk, peralatan, dan mesin kerja, Alat Pelindung Diri (APD) yang
digunakan, keluhan kesehatan yang paling banyak diderita perajin, jenis-
jenis kecelakaan kerja, dan jenis-jenis kelelahan fisik perajin.
b. Ketua kelompok perajin logam, secara berkala (2 sampai 3 bulan) sekali
melapor kepada petugas kesehatan setempat tentang hal tersebut pada
poin nomor 1 bagian pelaporan di atas.
c. Petugas kesehatan setelah menerima laporan dari ketua kelompok perajin
logam melakukan validasi data yang telah dilaporkan, hal ini berguna
untuk melengkapi data yang sudah ada dan juga berfungsi sebagai bahan
membuat perencanaan program pembinaan, pengawasan, dan sekaligus
sebagai bahan laporan kepada Dinas Kesehatan, Departemen Tenaga
Kerja, Perindustrian, dan Perdagangan setempat.
d. Begitu pula bagi Dinas Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja,
Perindustrian, dan Perdagangan setempat digunakan untuk bahan membuat
perencanaan program pembinaan, pengawasan, serta usulan dalam rangka
membuat Peraturan Daerah (PERDA) yang berkaitan dengan perajin
logam yang disampaikan kepada Bupati/Walikota setempat (Husaini,
2014).

8.11. EVALUASI

Sebagai bahan evaluasi, yaitu berdasarkan laporan yang telah dibuat oleh
petugas kesehatan di wilayah kerja perajin logam secara berjenjang, dalam

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 97


rangka lebih memotivasi bagi perajin logam, ketua kelompok perajin logam,
petugas kesehatan, kelompok penyuluh, dan pemerhati kesehatan kerja, serta
Pemerintah Daerah dalam rangka perbaikan produktivitas kerja, perbaikan
kualitas kerja dan kualitas produk, serta meminimalisasi gangguan kesehatan
dan kecelakaan kerja yang disebabkan oleh pekerjaan sebagai perajin logam
(Husaini, 2014).

DAFTAR PUSTAKA

Husaini. 2014. Hubungan Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi dan Debu Besi
Dengan Gangguan Fungsi Paru dan Kadar Imunoglobulin Serum
Perajin Logam. Disertasi. Program Doktor Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lindvall, T. dkk.. 1997. Response of Rat Lung Must Cells to Nitrogen Dioxide
Inhalation. J Air Pollut Control Assoc.17;33–35.
Lionel, A.P dan A.L. Neil. 1996. Metal Interactions in Chemical Carcinogenesis
dalam buku Toxicology of Metals. Edited by Louis, W.C. London: CRC
Lewis Publisher. Boca Raton.
Louis, W.C. 1996. Toxicology of Metals. London: CRC lewis Publishers,
Boca Raton.
Mark, A.F dan PK. James. 2007. Fundamental of Occupational Safety and
Health. Fourth Edition. Lanham, Maryland. Toronto. Plymouth. UK:
Government Institutes and Imprint of the Scarecrow Pres Inc.

98 Husaini
Bab 9
PENUTUP

Bila mengukur dan menganalisis berbagai polutan di lingkungan kerja


selama ini, selalu dihubungkan dengan Nilai Ambang Batas (NAB) baik di
udara bebas maupun kadar polutan di dalam tubuh, kemudian dihubungkan
dengan gangguan fungsi paru seperti kejadian restriktif, obstruktif, dan
gabungan (mixed) serta terjadinya respons imun dengan menggunakan
alat ukur Spirometer. Kemudian, jika dianalisis lebih lanjut, polutan yang
terdapat di lingkungan kerja mudah sekali bereaksi atau berikatan dengan zat/
molekul lainnya dan berhubungan pula dengan kondisi lingkungan dengan
berbagai polutan tersebut berada seperti suhu yang panas, kelembaban yang
meningkat, adanya bising dan getaran, serta berhubungan pula dengan sifat
atau karakteristik dari masing-masing polutan, yaitu bersifat sinergi, aditif,
independen, antagonis, serta berakumulatif baik di lingkungan kerja maupun
di dalam tubuh. Oleh sebab itu, untuk mengukur polutan udara tidak cukup
jika hanya dinilai dengan Nilai Ambang Batas (NAB) berdasarkan bentuk
polutan itu sendiri, tetapi juga harus dinilai berdasarkan ikatan dari berbagai
reaksi kimia, dan hal ini yang membedakan dengan penelitian-penelitian
yang sudah ada (Husaini, 2014). Mengingat bahwa apabila dua zat atau lebih
terlepas ke udara secara bersamaan maka akan tercipta berbagai reaksi kimia
tersebut di udara dan juga sangat sulit memprediksi terhadap kelainan atau
kerusakan dalam tubuh manusia, bila terpajan berbagai polutan walaupun zat
tersebut berada jauh di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditentukan
oleh Pemerintah suatu Negara, termasuk Pemerintah RI (Husaini, 2014).
Dalam hal ini, sangat bermanfaat bagi Pemangku Kepentingan agar tidak salah
dalam memberikan suatu penilaian dan kesimpulan, menentukan kebijakan
(treatment), pengelolaan kualitas lingkungan kerja, khususnya sektor informal
seperti perajin logam yang ada di Indonesia (Husaini, 2014).

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 99


Kontribusi ilmiah yang dicapai dalam buku refrensi ini adalah bahwa
polutan yang terlepas ke udara secara bersamaan setelah dilakukan pengukuran
satu persatu kadar polutan tersebut walaupun masih jauh berada di bawah Nilai
Ambang Batas (NAB), maka tidak menjamin terciptanya lingkungan kerja
menjadi aman (safe) termasuk para pekerja, sehingga diperlukan terhadap
polutan udara dan kebersihan tempat kerja sesuai dengan Prosedur Operasional
Standar (POS), pengendalian sumber dan potensi bahaya di tempat kerja
termasuk edukasi, pembinaan, dan pengawasan oleh Pemangku Kepentingan
dengan mengedepankan prinsip-prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) yang mutlak diperlukan (Husaini, 2014).

100 Husaini
Profil Penulis

Dr. Husaini, S.K.M., M.Kes. lahir di Tanjung-Tabalong pada


16 Juni 1966. Menyelesaikan pendidikan tingkat Doktoral pada
Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang lulus
pada 2014. Penulis sekarang bekerja sebagai dosen tetap pada
Program Studi S-1 dan S-2 Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Provinsi Kalimantan Selatan
dan juga menjadi dosen tidak tetap pada beberapa perguruan tinggi swasta.

Dampak Pencemaran Udara terhadap Respons Imun 101

Anda mungkin juga menyukai