Anda di halaman 1dari 5

Relasi Mayoritas-Minoritas & Konflik Komunitas Agama:

Refleksi dari Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Muhammad Said
saidmoch1987@gmail.com
Direktur Tuan Guru Bajang Institute-Mataram
Pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Kamal Lombok-NTB

Dalam autobiografinya yang berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku, Buya Syafii Maarif
menulis: "Sebelum aku tamat belajar di Mualimin Yogyakarta, datanglah konsul
Muhammadiyah dari Lombok mencari seorang guru untuk bertugas di Pohgading,
Pringgabaya, Lombok Timur. Konsul itu adalah H. Harist, tamatan Darul Hadist Mekkah”.
Sebagai anak panah Muhammadiyah, Buya Syafii berangkat ke Pohgading, Lombok Timur
pada usia 21 tahun. Ia berangkat dari Stasiun Tugu, Jogja menuju Surabaya. Lalu menginap
semalam di kantor Muhammadiyah Surabaya, dan melanjutkan perjalanan dengan kapal laut
menuju Mataram.

Dari pulau mungil yang pernah disinggahi buya Syafi'i ini, saya ingin menulis refleksi dan
imajinasi tentang keislaman, kebinekaan dan keindonesiaan. Sebab sebagai anak bangsa yang
hidup di gugus pulau Sunda Kecil (kini Bali, NTB dan NTT), saya merasakan miniatur
Indonesia dari wilayah ini. Di bagian barat—Bali dominan agama hindu. Di bagian tengah
—NTB dominan agama Islam. Dan di bagian Timur—NTT dominan agama Kristen.
Keragaman agama di kawasan ini diperkaya pula oleh keragaman etnik dan budaya; Bali,
Sasak, Mbojo, dan lain lain.

Lombok, pulau kecil ini menyimpan banyak catatan tentang konflik dan kekerasan, seperti
Kasus Penyerangan Jema’at Ahmadiyah, konflik kekerasan antar kelompok aswaja versus
Wahhabi, konflik komunitas Islam dan Budha, dan konflik Internal dalam tubuh ormas Islam
terbesar di NTB, yakni Nahdlatul Wathan. Melihat realitas ini, kiranya kita perlu melakukan
refleksi dan menyelami kembali mata air pemikiran Buya Syafi’I, tentang bagaimana
merawat toleransi dan kebinekaan demi keutuhan bangsa.

Kekerasan terhadap Ahmadiyah


Di Lombok, kelompok Ahmadiyah kerap menjadi korban dalam relasi mayoritas-
minoritas. Penyerangan, pengusiran dan pengerusakan rumah-rumah Jemaat Ahmadiyah
terjadi berkali-kali. Kasus terakhir, misalnya, terjadi di Desa Gereneng Lombok Timur pada
tanggal 19 Mei 2018 yang lalu (Lombok Post, 2018). Konon, akar dari peristiwa ini dipicu
oleh perkelahian anak-anak yang kemudian melibatkan orang tuanya masing-masing,
sehingga konflik pun meluas. Namun jika ditelisik lebih dalam, konflik ini sebetulnya
didasari oleh sentimen lama, yakni stigma sesat yang melekat pada jemaat Ahmadiyah.
Ahmadiyah bagi masyarakat muslim Sasak dipandang melanggar ajaran Islam bahkan kafir,
karena mengaku Mirza Ghulam Ahmda sebagai nabi terakhir.
Sejak tahun 1990-an, kasus penyerangan terhadap Ahamdiyah terjadi sekitar 8 kali.
Motif dan pola kejadiannya hampir serupa, yakni pengerusakan, pengusiran, ancaman,
pelemparan, dan sebagainya. Pada kasus di Desa Gereneng, para penganut Ahmadiyah
“dipaksa” membuat pernyataan yang berisi tiga hal, yakni:
1. Untuk tidak akan menyebar-luaskan faham Ahmadiyah kepada masyarakat
sebagaimana amanat Keputusan Berasama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri tahun 2008, nomor KEP 033/A/JA/6/2008, Nomor 199
Tahun 2008;
2. Untuk kembali kepada ajaran Islam dengan melaksanakan aktivitas ibadah
bersama masyarakatdan bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari dengan
masyarakat dengan menjaga kondusifitas daerah khususnya Desa Gereneng;
3. Untuk dikenakan sanksi hukum atas pelanggaran pelanggaran pernyataan ini
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Poin-poin tersebut tentu membuat kelompok Ahmadiyah dirugikan. Dalam arti kata, hak
kebebasan dan berkeyakinan mereka dirampas oleh tirani mayoritas. Sebagai warga negara,
jemaat Ahmadiyah tidak mendapatkan haknya untuk bebas memilih keyakinannya. Inilah
ironi negara demokrasi Indonesia.
Stigma dan aksi kekerasan tentu menimbulkan dampak sosial yang besar bagi
kehidupan Jemaat Ahmadiyah di Gereneng, Sakra Timur. Di daerah ini, jumlah anggota
Jemaat Ahmadiyah sebanyak 34 orang, dengan rincian: 2 orang sudah keluar dari desa ini, 23
orang ditampung di Loka Latihan Kerja (LLK), dan sisanya 11 orang pergi ke Mataram.
Secara material, banyak kerusakan pada rumah-rumah dan asset-aset fasilitas rumah tangga
dan sepeda motor. Secara psikologis, banyak warga Jemaat Ahmadiyah yang mengalami
stress di penampungan LLK di Kabupaten Lombok Timur. Mereka tampak resah dan gelisah
karena memikirkan pekerjaan dan harta bendanya serta anak-anaknya. Karena itu, setiap hari
mereka merasa bengong, karena menganggur, dan merasa tidak memiliki aktivitas apapun.
Sebuah kenyataan pahit yang terjadi bagi sebagian anak bangsa yang menyandang label
“minoritas” di negeri ini.

Konflik Aswaja versus Wahabi

Kelompok aswaja di Lombok diwakili oleh NW dan NU. Dua ormas Islam
tradisionalis ini berbagi amaliyah yang serupa. Di sudut yang lain, ada kelompok
wahabi-salafi yang sedang berkembang cukup luas. Perbedaaan ideologis dalam
kehidupan sehari-hari menjadi semakin tajam atas kehadiran wahabi-salafi. Bahkan
tak jarang menimbulkan benturan antar kelompok Islam tersebut.
Massa mengecam isi ceramah salah seorang Ustadz dari Pesantren As-sunnah
di Kecamatan Aikmel, Lombok Timur yang dinilai melecehkan dan merendahkan
leluhur warga Lombok.  Perusakan pesantren As-sunnah di Lombok Timur dipicu
beredarnya potongan video ceramah salah satu pengajar, yang sudah diberi narasi
provokasi. Dari hasil penyelidikan polisi video ceramah tersebut diketahui sudah
dibuat sejak tahun 2020. Namun baru diviralkan belakangan ini. Sebuah potongan
ceramah memicu kemarahan massa yang berujung pada perusakan Pesantren As-
sunnah di Lombok Timur. Ceramah dari salah satu pengajar di pesantren ini dinilai
menghina makam satu tokoh leluhur di Lombok Timur. Dari hasil penyelidikan polisi,
ceramah ini ternyata sudah dipotong dan diberi narasi yang memprovokasi, dan baru
diviralkan. Padahal video diketahui sudah dibuat sejak tahun 2020 lalu.   Dalam
potongan video tersebut tampak adanya kalimat ucapannya mendiskreditkan makam
leluhur di Lombok Timur. Berdasarkan potongan itu, masyarakat merasa terprovokasi.
Polisi pun sedang mendalami motif dibalik pemotongan dan juga memviralkan video
tersebut. Alasannya, ada perbedaan yang sangat mencolok antara video utuh dengan
video potongan yang sengaja diviralkan tersebut. Selain itu, polisi juga terus
melakukan penyidikan terhadap aksi perusakan fasilitas milik pesantren, sekaligus
berikut potongan rekaman video yang berisikan ceramah dari salah satu pengajar
pesantren tersebut.
 

Kamis Ratusan massa yang mengatasnamakan diri Gerakan Masyarakat Pembela


Aswaja (Gempa) menggelar aksi di Kantor Gubernur NTB, Kamis, 3 Februari 2022.

Massa mendesak Pemprov NTB membubarkan Yayasan Assunnah Lombok Timur maupun
yayasan lainnya yang memiliki paham Salafi, Wahabi dan Assunnah.

Dalam aksinya, massa menyebut paham-paham tersebut dalam berdakwah cenderung tidak
sesuai dengan tradisi, adat istiadat dan budaya masyarakat Indonesia, khusus Lombok dan
sering menimbulkan keresahan.

Ketua Gempa, Ahmad Asdaruddin, mengatakan narasi dakwah paham Wahabi, Salafi dan
Assunnah sering menimbulkan ujaran kebencian.

“Narasi yang dibawa dai-dai Salafi, Wahabi, Assunnah yang telah beredar selama ini sering
menimbulkan ujaran kebencian dan dapat berpotensi memecah belah kerukunan umat dan
NKRI,” katanya.

Massa menilai ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah wal jamaah yang
mayoritas ada di Lombok.

“Pada dasarnya kami bukan anti pengajian, tablig maupun dakwah oleh siapapun. Namun
kami keberatan keras narasi dai Salafi, Wahabi, Assunnah selama ini,” ujarnya.

“Kami khawatir akan berdampak merusak moral para pelajar dan menjadi bibit intoleran
maupun radikalisme di Lombok,” kata Ahmad Asdaruddin.

Kapolresta Mataram, Kompol Heri Wahyudi, mengatakan aksi tersebut dikawal 600 aparat
gabungan dari Polresta Mataram, Polsek Mataram dan Polsek Pagutan, serta pasukan dari
Polda dan Brimob.

“Pengawalan dilakukan guna kelancaran aksi damai,” katanya.


Pemerintah Kabupaten Lombok Timur (Pemkab Lotim) telah memfasilitasi pertemuan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lombok Timur (Lotim) dengan sejumlah tokoh agama ,
senin 3/1/2022, di Kantor Bupati Lombok Timur (Lotim) Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB) terkait Wahabi dan penyerangan Ponpes.

Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Artanto SIK M.Si, mengatakan bahwa, pihaknya
mengapresiasi pertemuan itu dalam rangka mencari solusi terkait insiden yang terjadi baru-
baru ini.

“secara khusus kami dari Polda NTB mengapresiasi upaya yang dilakukan Pemkab Lotim
yang memfasilitasi sejumlah tokoh untuk bertemu guna menjalin silaturrahmi demi
menciptakan kondisi yang aman dan terkendali di Lotim,” terangnya.
Dijelaskan, pertemuan itu dihadiri Bupati Lombok Timur H Sukiman Azmi dan diikuti
sejumlah tokoh Agama, Ormas, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkominda) serta
unsur dari pimpinan Pesantren As-Sunnah, Kapolres dan Dandim Lotim.

“ada tujuh poin yang disepakati dalam pertemuan tersebut, yang pada intinya semua tokoh
sepakat untuk bersama-sama menjaga stabilitas dan kondusifitas kehidupan beragama di
Lombok Timur,” jelasnya.

“dalam pertemuan itu, beberapa perwakilan dari ormas dan juga dari pihak pesantren
diberikan kesempatan menyampaikan gagasan serta klarifikasi terkait insiden di Pesantren
As-Sunnah, guna mencari solusi atas peristiwa tersebut,” tambahnya

Dikatakan, ujung dari pertemuan itu semua pihak termasuk pihak Pesantren As-Sunnah
sepakati hasil pertemuan itu, yang ditandai dengan penandatanganan berkas kesepakatan
bersama yang tertuang diatas kertas.

“Panandatangan berkas kesepakatan bersama itu, disaksikan langsung oleh Bupati Lombok
Timur HM Sukiman Azmi, Dandim dan juga Kapolres Lotim. Mereka bersepakat akan
menyempurnakan kesepahaman tersebut di kemudian hari jika terjadi hal-hal diluar
kesepakatan,” terangnya.

Saat ini, Polda NTB telah memintai keterangan Ustad Mizan mengenai Potongan Video yang
diduga sebagai penyebab kericuhan terjadi.

Selain itu pihaknya juga telah memeriksa beberapa orang saksi terkait insiden yang terjadi di
Pesantren As-Sunnah tersebut.

“Kemarin Polda NTB dalam hal ini Dit Res Krimsus sudah mengambil keterangan Ustad
Mizan berkaitan dengan potongan video yang diduga sebagai penyebab kericuhan terjadi,
saat ini yang bersangkutan statusnya masih sebagai saksi dan hasil keterangan dari beliau
masih kita dalami dulu,” tegasnya.

Dalam kasus ini Polda NTB akan melibatkan sejumlah saksi dari pelapor, saksi ahli Pidana
dan juga saksi ahli dari ITE.

Terkait pengerusakan, Artanto menjelaskan bahwa pihaknya telah memintai keterangan


sejumlah saksi yang terkait hal itu.

“kami sudah mememintai keterangan 17 saksi terkait insiden itu, baik dari warga setempat
atau orang yang terkait dengan rusaknya sejumlah fasilitas di Pesantren As-Sunnah itu,”
pungkasnya.(*)

Rumah salah seorang warga menjadi bahan amuk masa di Dusun Ganjar, Desa Mareje,
Kecamatan Lembar Lombok Barat, Selasa (03/05/2022). Kejadian itu dipicu adanya
kesalahpahaman antar warga yang ditambah dengan adanya sentimen SARA.

Menurut informasi yang beredar, kejadian itu bermula adanya kegiatan takbiran di malam
Iedul Fitri 1443 H yang dilaksanakan oleh umat muslim di Desa Mareje. Di mana terdapat
kalangan masyarakat beragama Buddha yang merasa tersinggung dan marah karena adanya
letupan petasan dalam malam itu, yang diduga dilakukan oleh masyarakat Muslim di desa itu.
”Ya memang awal kejadian tersebut dipicu dengan adanya tindakan dari anak-anak muda dari
kalangan Umat Buddha, yang pada waktu itu adanya letupan petasan (mercon) yang di
lakukan oleh anak-anak muda dari kalangan muslim, namun dari kalangan umat Budha
marah dan tersinggung,” jelas H. Muchsin selaku Kepala Desa Mareje, Selasa (03/05/22).

Pelaporan kepada pihak kepolisian oleh kalangan masyarakat yang merasa terganggu itulah
yang kemudian memicu amuk masa. Oleh karena masyarakat menilai bahwa masalah itu
telah selesai dan telah dikomunikasikan secara kekeluargaan sebelumnya.

“Dari kejadian tersebut sebenarnya sudah selesai, namun yang memicu kembali marahnya
warga muslim di Mareje disebabkan adanya tindakan pelaporan ke pihak kepolisian terhadap
anak-anak muslim terkait kejadian malam takbiran tersebut.” Kata Muchsin.

Terpantau pihak kepolisian dari Polres Lombok Barat tampak berjaga dan mengamankan
lokasi terjadinya kerusuhan. Terjun juga ke lapangan AKBP Wirasto Adi Nugroho selaku
Kapolres Lombok Barat untuk turut melakukan penjagaan.

Bupati Lombok Barat H. Fauzan Khalid bersama Wakil Bupati Hj. Sumiatun tampak turun
langsung menuju lokasi untuk meredam ketegangan antar kelompok pemuda di Desa Mareje,
terkait insiden yang terjadi.

Dalam kesempatan ini Bupati Fauzan Khalid meminta masyarakat dan pemuda untuk tidak
terpovokasi oleh isu yang tidak benar. Ia meminta agar masing-masing pihak dapat menahan
diri .

“Saya bersama ibu wabup dan bapak kapolres meminta agar kelompok pemuda
menghentikan ketegangan dan selesaikanlah masalah dengan damai dan tenang” pinta Fauzan
Khalid.

Ia juga meminta agar kesalah-pahaman yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik dan tetap
menjaga kondusifitas.

“Saya minta para pemuda terus menjaga situasi kondusif di masyarakat agar semua berjalan
dengan baik” jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai