Anda di halaman 1dari 14

TIM AHLI CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TENGAH / KABUPATEN (PILIH)

NASKAH REKOMENDASI PEMERINGKATAN CAGAR BUDAYA


NOMOR................
TENTANG
REKOMENDASI PEMERINGKATAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA ........
MENJADI CAGAR BUDAYA PERINGKAT PROVINSI/ KABUPATEN (PILIH)

Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi jawa Tengah yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa:

1 NAMA
1a NAMA : Klenteng Hian Thian Siang Tee NO. INVENTARIS
Bangunan-B PO2015050800033
04/DIKBUDPROV/PKL/2019

NO PENETAPAN CAGAR
BUDAYA PERINGKAT
KOTA
430/0099 TAHUN 2022
TENTANG PENETAPAN
BANGUNAN LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KELAS II A
PEKALONGAN EKS
PEKALONGAN STRAFGENIS EN
HUIS VAN BEWARING SEBAGAI
BANGUNAN CAGAR BUDAYA

1b JULUKAN : Klenteng Welahan B St Si K


X
B – bangunan; St – struktur;
Si – situs; K – kawasan

2 LOKASI
2a ALAMAT : Gg. Pinggir Pasar No.4, Gedanganbrang, Welahan, Kec. Welahan, Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah
Kode pos 5 9 4 6 4
2b
DESA/KELURAHAN : Desa Welahan, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara
DAN KECAMATAN

2c KOORDINAT 6°47'12"S 110°43'14"E

Gambar 2.1. Lokasi Klenteng Hian Thian Siang Tee


Sumber. Google earth, 2023

1
Gambaran Umum Bangunan Klenteng Hian Thian Siang Tee memiliki batas-batas, sebagai berikut:
2d DESKRIPSI  Di sebelah Timur Laut berbatasan dengan Pemukiman Penduduk
SEKITAR  Di sebelah Tenggara berbatasan dengan Pasar Welahan
 Di sebelah Barat berbatasan dengan Pemukiman Penduduk
 Di sebelah Barat Laut berbatasan dengan Pemukiman Penduduk

Orientasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A menghadap ke Selatan (Gg. Pinggir)


Bangunan

3 STATUS
3a PEMILIK : Yayasan Klenteng Hian Thian Siang Tee

3b PENGELOLAAN Yayasan Klenteng Hian Thian Siang Tee

4 PEMBANGUNAN
4a PEMRAKARSA : Tan Siang Hoe dan Tan Siang Djie

4b PERANCANG/ : Tan Siang Hoe dan Tan Siang Djie


ARSITEK

4c PELAKSANA : Tan Siang Hoe dan Tan Siang Djie


KONSTRUKSI

4d TAHUN : 1830
DIBANGUN

4e. Sejarah : Pada tahun 1830 dimana Gubernur Jendral Belanda yaitu Johanes Graaf Van Bosch
berkuasa di Indonesia, yang pada waktu itu di sebut penjajahan Hindia Belanda,
datanglah seorang Tionghoa Totok dari Tiongkok bernama Tan Siang Boe. Kepergian
Boe dari Tiongkok menuju ke Asia Tenggara tersebut perlu mencari Tan Siang Djie
(kakak dari tan siang boe) di Indonesia. Sewaktu berangkat dari Tiongkok bersamaan
dalam satu perahu ada seorang Tasugagu “Pendeta“ dimana Tasu tersebut habis
bersemedi dari Pho To San di wilayah daratan Tiongkok, merupakan suatu tempat
dimana pertapaan dari paduka menteri/ Kaisar “Hian Thian Siang Tee“. Ditengah
perjalanan, Tasu tersebut jatuh sakit, dengan rasa kesetiakawanan dan saling tolong
menolong sesama manusia sehingga Tan Siang Boe merawat dengan bekal obat–
obatan yang ia bawa dari Tiongkok, sehingga dapat menyembuhkan penyakit yang
diderita Tasugagu tersebut.

Tasu tersebut mendarat di Singapura dia memberikan tanda mata sebagai ucapan
terima kasih kepada Tan Siang Boe berupa satu kantong “semacam tas“ yang berisi
barang – barang pusaka kuno Tiongkok yang terdiri dari: sehelai Sien Tjiang “Kertas
Halus bergambar Paduka Hian Thian Siang Tee”, sebilah Po Kiam “Pedang
Tiongkok”, satu Hio Lauw “Tempat Abu”, dan satu jilid Tjioe Hwat “Buku Pengobatan
atau Ramalan”. Setelah Tan Siang Boe tiba di Semarang, menginap di rumah
perkumpulan “Kong Kwan”, dan dia memperoleh keterangan bahwa Tan Siang Djie
ada di daerah Welahan Jepara, maka beliau pergi untuk bertemu di tempat tersebut.
Di sana beliau dapat berjumpa dengan Tan Siang Djie yang masih mondok berkumpul
dalam satu rumah dengan keluarga Liem Tjoe Tien. Rumah tersebut masih ada
terletak di Gang Pinggir Welahan dan rumah itu sampai sekarang dipergunakan
tempat untuk menyimpan pusaka kuno “Klenteng” sebagai tempat pemujaan dan
dihormati oleh setiap orang Tionghoa yang percaya. Setelah beberapa waktu
lamanya, Tan Siang Boe menetap dengan kakaknya di Welahan, maka pada suatu
hari pergilah ia bekerja di lain daerah, sedangkan barang yang berisi pusaka kuno
tersebut dititipkan kepada Djie. Mengingat keselamatan akan barang-barang titipan
tersebut maka oleh Tan Siang Djie barang tersebut dititipkan kepada pemilik rumah
Liem Tjoe Tien yang selalu disimpan di atas loteng dari rumah yang didiami.
2
Pada waktu itu, masih belum mengetahui barang pusaka gerangan apakah yang
tersimpan di atas loteng itu. Selama dalam penyimpanan di atas loteng tersebut
setiap tanggal tiga yaitu hari lahir “Sha Gwe” yakni hari Imlek Seng Tam Djiet dari
Hian Thian Siang Tee, keluarlah daya ghaib dari barang pusaka tersebut dan
mengeluarkan cahaya api seperti barang terbakar. Sewaktu-waktu keluarlah ular naga
dan kura-kura yang sangat menakjubkan bagi seisi rumah. Setelah kejadian itu,
dipanggilah Tan Siang Boe yang semula menitipkan barang tersebut untuk kembali ke
Welahan guna membuka pusaka yang tersimpan di dalam kantong tersebut. Setelah
dibuka dan diperlihatkan kepada orang-orang seisi rumah sambil menuturkan tentang
asal mula barang tersebut sehingga ia dapat memiliki pusaka kuno Tiongkok. Pusaka
tersebut berupa kertas halus bergambar Paduka Hian Thian Siang Tee, pedang
tiongkok, tempat abu, buku resep pengobatan dan ramalan. Keberadaan pusaka
tersebut membuat orang-orang seisi rumah percaya bahwa pusaka kuno itu adalah
wasiat peninggalan dari Paduka Hian Thiam Siang Tee maka dipuja menurut adat
leluhur. Pada suatu hari Lie Tjoe Tien sakit keras dan penyakit tersebut dapat
disembuhkan kembali dengan kekuatan ghaib yang ada di pusaka, akibat kejadian itu
maka dari percakapan mulut ke mulut oleh banyak orang sehingga pusaka itu dikenal,
dihormati, dan dipuja-puja oleh orang yang mempercayai hingga sekarang.

5 GAYA/LANGGAM
5a GAYA : Tionghoa
5b LANGGAM Tionghoa

6 PEMANFAATAN
6a KINI 1900-2023
Tempat peribadatan dan pariwisata
6b SEMULA 1830-1900
Tempat peribadatan

7 GAMBARAN FISIK
7a DESKRIPSI Klenteng Hian Thian Siang Tee merupakan sebuah bentuk bangunan yang memiliki
ciri spesifik dengan warna yang khas sehingga dapat dikenali dengan mudah sebagai
tempat rumah ibadah.
Pada Bandar Utama (Tiong-Cit), Klenteng selalu berbentuk setengah lingkaran yang
mirip bangunan rumah adat Minangkabau. Di atasnya terdapat hiasan dua ekor naga,
bangunan selalu memakai warna merah.
Di depan pintu utama terdapat arca berbentuk kilin dan pada pintu dihiasi dua orang
jendral.
Di dalam ruangan Klenteng dapat dilihat aneka macam benda dan senjata pusaka,
serta ornamen bunga, Burung Hong dan Kilin.
Klenteng ini memiliki ruang depan dengan pembakar uang kertas yang berbentuk
Pagoda. Ruang ini menuju ke ruang suci utama yang berpintu ganda, dan di depan
pintu terlukis dengan dua penjaga kuil tradisional. Ciri mencolok yang membedakan
Klenteng dengan bangunan disekitar adalah genting atap yang rumit dan bagian
depan diberi hiasan-hiasan.
Atap atau genting Klenteng Hian Thian Siang Tee berbentuk susun dan bagian atas
diberi hiasan dua ekor naga dan dua ekor ikan (patung) sebagai simbol kemakmuran.
Bagian dalam ruang suci juga dihiasi dengan lukisan dan ukiran kayu yang indah.
Di depan setiap altar ada meja dengan pembakar dupa dan lilin.
Kuil berisi altar untuk dewa tambahan, dan terdapat meja persembahan di depan,
ruang suci dihiasi dengan deretan patung terkemuka.

3
7b FOTO :

Gambar 7.1. Strafgevangenis te Pekalongan circa 1935


Sumber. digitalcollections.universiteitleiden.nl

4
Gambar 7.2. Lapas Kelas II A Pekalongan tampak depan (Tenggara)
Sumber. Dok. TPCB Kota Pekalongan, 2022

5
Gambar 7.3. Detail ornamen pedang di dinding luar bagian depan Menara
Sumber. Dok. TPCB Kota Pekalongan, 2022

Gambar 7.4. Lapas Kelas II A Pekalongan tampak belakang (Barat Laut)


Sumber. Dok. TPCB Kota Pekalongan, 2022

6
Gambar 7.5. Tangga naik ke lantai dua (kiri) dan tangga naik ke lantai tiga (kanan)
Sumber. Dok. TPCB Prov. Jateng, 2022

Gambar 7.6. Pintu di lantai dua (atas) dan


bak penampungan air di lantai tiga menara sisi Barat Daya (bawah)
Sumber. Dok. TPCB Kota Pekalongan, 2022

Gambar 7.7. Plafon di lantai dua


Sumber. Dok. TPCB Prov. Jateng, 2022

7
Gambar 7.8. Bangunan sisi Barat Daya dilihat dari Tenggara
Sumber. Dok. TPCB Prov. Jateng, 2022

Gambar 7.9. Bangunan sisi Barat Daya dilihat dari Tenggara


Sumber. Dok. TPCB Prov. Jateng, 2022

8
Gambar 7.10. Besluit keluar dari penjara milik Soewardi Soerjaningrat
Sumber. Dok. TACB Prov. Jateng, 2022

9
7.11. Baju yang dipakai oleh Soewardi Soerjaningrat ketika berada di penjara Pekalongan,
saat ini disimpan sebagai koleksi Museum Dewantara Kirti Griya.
Sumber: Dok. TACB Pekalongan 2022

8 ANALISIS
8a KRITERIA 1 Mewakili kepentingan pelestarian kawasan cagar budaya lintas kabupaten/ kota
1. Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pekalongan pada awalnya
merupakan Lapas dan rumah tahanan bagi masyarakat Hindia Belanda yang
berada di eks Keresidenan Pekalongan yang wilayanya mencakup beberapa
kabupaten / kota di Jawa Tengah. Keberadaan Lembaga Pemasyarakatan perlu
dilestarikan karena mempunyai arti penting terkait perkembangan sejarah
Lembaga pemasyarakatan pada masa Hindia Belanda dan masa Republik
Indoenesia.
2. Berdasarkan peran penting keberadaan Lembaga Pemasyarakatan tersebut di
atas, maka eksistensi bangunan ini perlu dilestarikan karena terkait juga dengan
perubahan sistem Lembaga pemasyaratan pada masa HIndia Belanda dan masa
Republik Indonesia.

Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih


Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pekalongan eks Pekalongan
strafgevangenis en huis van bewaring diketahui dibangun pada tahun 1913. Angka
tahun ini dapat dilihat pada dinding luar menara bangunan. Dengan demikian hingga
tahun 2022, bangunan ini telah berusia 109 tahun.

8b KRITERIA 2 Mewakili karya kreatif yang khas dalam wilayah provinsi


Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pekalongan memiliki arsitektur
kolonial art deco. Arsitektur ini merupakan karya kreatif yang menandai telah
diterapkannya pembaharuan dalam seni arsitektur bangunan di Hindia Belanda.

Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun


Bangunan utama mencerminkan arsitektur kolonial dengan langgam Indische Modern.
Arsitektur Kolonial terlihat dari bentuk ruang simetris, plafon yang tinggi, dan bukaan
dinding yang lebar. Selain itu, gaya Indis yang ditampilkan pada bangunan ini misalnya
karena adanya elemen tipe pintu dan jendela krepyak, ragam ventilasi yang berada di
dinding, dan selasar yang luas. Keberadaan menara kembar yang menjadi karakter
bangunan ini juga dapat ditemukan di beberapa bangunan masa Kolonial lain, seperti
Pasar Beringharjo (Yogyakarta) dan Lawang Sewu (Semarang). Gaya bangunan ini
berkembang di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20. Penggunaan jendela dengan
bentuk-bentuk geometris seperti lingkaran dan persegi panjang merupakan
karakteristik modern dari gaya arsitketur Indis.

10
8c KRITERIA 3 Langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di provinsi
Keberadaan 2 (dua) menara pada fasad Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
Pekalongan memberi penanda ciri khas bangunan arsitektur yang berbeda dengan
bangunan Lapas lainnya di Jawa Tengah. Bangunan Lapas bermenara ini merupakan
satu-satunya di Jawa Tengah yang unik rancangannya.

Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan
1. Arti penting bagi Sejarah
Tokoh nasional Ki Hadjar sempat menghabiskan waktu selama 3 (tiga) bulan di
penjara Pekalongan yang kala itu disebut dengan Gevangenis te Pekalongan.
Baju penjara dan surat pembebasan beliau dari penjara di Pekalongan saat ini
tersimpan di Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta.
Ki Hadjar ditangkap oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada bulan Agustus
1920 karena tulisannya yang “pedas”, beliau dijatuhi hukuman penjara di Mlaten
Semarang, yang kemudian dipindahkan ke Pekalongan. Beliau dibebaskan dari
penjara Pekalongan pada 27 September 1921. Walaupun menurut peraturan
pemerintah Hindia-Belanda seorang turunan bangsawan seharusnya dibedakan
penjaranya dengan hukuman biasa, tetapi Ki Hadjar Dewantara (saat itu bernama
Suwardi Surjaningrat) berkumpul dengan tahanan umum lainnya.
2. Arti penting bagi Ilmu Pengetahuan
Keberadaan bangunan Lapas Pekalongan menjadi sumber pengetahuan tentang
penanganan kriminalitas atau tindak pidana di Pekalongan secara khusus dan
Jawa Tengah secara umum pada masa Kolonial. Pada masa itu, kejahatan
(violence) dan kriminalitas (crime) di Jawa terbagi menjadi dua kelompok. Di
wilayah perkotaan, umumnya kejahatan terjadi dari individu dan kelompok yang
terorganisir. Namun di pedesaan, kejahatan dilakukan oleh kelompok yang
disebut dengan rampok-bandit, jago, jawara, dan preman (berasal dari kata dalam
Bahasa Belanda-vrijman-orang bebas). Berdasarkan fenomena tersebut
kelompok kejahatan yang terjadi di Kota Pekalongan pada masa itu bisa
digolongkan pada kejahatan perkotaan.

Kriminalitas yang terjadi pada masa Kolonial kurun waktu 1870–1930 memiliki
tingkat yang tinggi, hal ini dikarenakan situasi masyarakat dan pemerintah yang
mengalami suatu pergeseran dari sistem kolonial cultuurstelsel menuju liberalisme
ekonomi. Pada tahun 1919–1930 juga terjadi melaise, yang tentunya berpengaruh
terhadap kehidupan sosial di Hindia-Belanda secara umum. Bagi masyarakat
agraris masa ini barangkali merupakan suatu masa penderitaan yang semakin
berat.
Seperti yang dilaporkan dalam Algemeent Batavia 1891 pada masa Kolonial
bentuk-bentuk kriminalitas yang terjadi pada umumnya adalah pencurian,
perampokan, pembakaran rumah, perampokan perkebunan dan pembunuhan. Di
antara tindakan-tindakan kriminal tersebut yang paling sering terjadi adalah
pencurian hewan karena barang yang dianggap berharga pada masa itu adalah
hewan ternak.
Dalam pelaksanaan hukuman penjara tentunya sangat berkaitan dengan
penyediaan rumah tahanan. Pada masa Kolonial, menurut arsip Batavia 1873,
dilakukan pembangunan rumah–rumah tahanan dan poliklinik kota bagi para
tahanan yang baru. Pembangunan rumah-rumah tahanan diatur dengan
sistematis dan disediakan anggaran untuk proyek pembangunannya. Hal ini dapat
dikatakan sesuai dengan era pembangunan gevangenis te Pekalongan pada
tahun 1913.
Pengetahuan lain yang bisa didapatkan dari keberadaan bangunan ini adalah
tentang sejarah hukum di Indonesia. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda
selain hukuman mati (gantung), juga dilaksanakan hukuman penjara dan kerja

11
paksa. Perubahan sistem peradilan ini terjadi akibat Reformasi Hukum di Negeri
Belanda. Hukuman cambuk Hindia Belanda dihapuskan pada tahun 1864, diganti
dengan sistem isolasi diri bagi orang yang dihukum, sehingga prosedur dan tipe
baru untuk lembaga penjara direncanakan dan dikembangkan. Namun,
penerapan hukuman bagi orang Jawa lebih dikembangkan untuk melakukan kerja
paksa daripada menjatuhkan hukuman isolasi diri atau kurungan di dalam sel.
3. Arti penting bagi Pendidikan
Aspek yang bisa menjadi pembelajaran secara khusus yaitu di bidang hukum dan
penanganan kriminalitas. Keberadaan penjara dan sejarah kriminalitas pada masa
Kolonial memberikan pembelajaran bahwa sistem hukum yang dianut di Indonesia
masa kini sangat dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda. Sistem hukum di
Belanda yang mengalami reformasi pada tahun 1864 berpengaruh juga di Hindia-
Belanda dengan dihapuskannya hukum cambuk dan diganti dengan hukuman
penjara dan kerja paksa. Hukuman penjara saat ini masih bertahan dan diadopsi
oleh Pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan, karena merupakan bentuk
hukuman universal.
4. Arti penting bagi Kebudayaan
Sejarah yang melekat pada bangunan Lapas Pekalongan memiliki arti penting bagi
kebudayaan terkait dengan pembinaan karakter narapidana ke arah yang lebih
baik. Narapidana mendapatkan pembinaan dan pembekalan keterampilan salah
satunya adalah dengan melakukan aktivitas yang sesuai dengan kekhasan kota
Pekalongan yaitu membatik, dan aktivitas lain yang berguna untuk meningkatkan
keahlian pribadi yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan eks narapidana setelah
bebas dari penjara.

8d KRITERIA 4 Sebagai bukti evolusi peradaban bangsa dan pertukaran budaya lintas wilayah
kabupaten/kota, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat
Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pekalongan merupakan lembaga
hukuman (detention center) dampak dari pemikiran pemerintah Hindia Belanda, bahwa
sejak tahun 1870 warga Belanda dan warga asing lainnya membutuhkan penjara
sebagai tempat hukuman. Hukuman penjara merupakan tindak lanjut dari
penghapusan hukum cambuk yang diterapkan di negara Belanda.
Keberadaan Lembaga ini sebagai bukti adanya evolusi peradaban pelembagaan
sistem hukum di Hindia Belanda.

Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa


Bangunan ini menunjukkan nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa yang
tercermin dari hadirnya perpaduan arsitektur kolonial dengan gaya Indis. Bentuk dan
ornamen bangunan yang unik dan langka jumlahnya menambah nilai penting
bangunan Lapas Pekalongan untuk dilestarikan.

8E KRITERIA 5 Berasosiasi dengan Tradisi yang masih berlangsung


1. Keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pekalongan menunjukkan
adanya keberlangsungan Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan yang
berlangsung pada abad ke-19 sampai saat ini sebagai suatu system hukum
modern.
2. Ketidaksediaan Soewardi Soerjaningrat untuk tidak mendapatkan hak istimewa
sebagai seorang keturunan bangsawan menunjukkan bukti adanya perubahan
tradisi dari pemikiran feudal ke pemikiran demokratis dengan bukti dia tetap
dipenjara di Lapas Pekalongan Bersama rakyat.
8f NILAI 1. Nilai keunggulan tercermin bahwa bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
KEUNGGULAN LAIN A Pekalongan menjadi saksi tempat hukuman tokoh nasional Soewardi
YANG MENDUKUNG Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara).
2. Dari aspek arsitektur keberadaan bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
Pekalongan menunjukkan pola arsitektur yang unik dan jumlahnya terbatas di
12
Jawa Tengah pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.

Nilai sejarah, pendidikan, dan budaya yang dimiliki bangunan penjara ini terutama
karena bangunan ini sejak awal didirikan hingga saat ini tetap berfungsi sebagai
penjara atau rumah tahanan. Bangunan ini juga memberikan informasi yang baik
tentang sistem keamanan penjara pada masa kolonial, yang dapat diterapkan pada
masa sekarang sesuai dengan perubahan zaman.
9 REKOMENDASI :  Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pekalongan eks Pekalongan
strafgevangenis en huis bewaring dapat dinaikkan peringkat cagar budaya dari
peringkat kota ke peringkat provinsi karena memenuhi kriteria dalam Pasal 43
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya huruf a, b, c, dan d.
 Terkait dengan pemanfaatan dan perubahan bangunan maka diperlukan
pendampingan dan kajian sesuai dengan peraturan perundangan.
 Terkait perlindungan dalam kaidah pelestarian, maka Bangunan Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Pekalongan yang saat ini dicat dengan warna yang
tidak sesuai dengan kaidah pelestarian.
10 SUMBER : Gevangenis te Pekalongan, KITLV 17254, http://hdl.handle.net/1887.1/item:786884
PUSTAKA
Handoko, Susanto T, Prof. Dr. Djoko Suryo. 2002. Kriminalitas di Semarang 1906-1942: Suatu
masalah sosial perkotaan pada masa kolonial . Tesis S2 Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Hartatik, Endah Sri; Wasino; Shintasiwi, Amalia Fitri. 2021. From Individual to Collective
Thuggery in Coastal Environment Semarang (from Dutch Colonial Period to Post
Independence Revolution). E3S Web of Conferences 317, 04005 (2021) ICENIS 2021.
https://doi.org/10.1051/e3sconf /202131704005.

Hoogervorst, Tom; Nordholt, Henk Schulte. 2017. Urban Middle Classes in Colonial Java (1900-
1942): Images and Language. Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde 173
(2017); 442-474. doi: 10.1163/22134379-17304002.

Inventaris Arsip Departement van Burgerlijke Openbare Werken: Seri Grote Bundel 1854-1933
Jilid I (Nomor 1-2941) Direktorat Pengolahan Deputi Bidang Konservasi Arsip Arsip
Nasional Republik Indonesia.
Suratman, Darsiti. 1981/1982: 76: Ki Hajar Dewantara, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional: Jakarta

Norbruis, Obbe. 2020. Arsitektur Di Nusantara, Para Asitek dan Karya Mereka di Hindia-
Belanda dan Indonesia pada Paruh Pertama Abad ke-20.

Pribadi, Yanwar. 2014. The Historical Roots and Identities of Local Strongmen Groups in
Indonesia. Kawalu: Journal of Local Culture Vo. 1, No.2 July-December, 2014.

Purwaningsih, Sri Mastuti. Aji, Thomas Nugroho. 2020. Kriminalitas Masa Kolonial di Batavia
tahun 1870-1930 dalam Sejarah Sosial. Surabaya: Unesa University Press.

Profil Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekalongan Tahun 2022.

Tipologi Ragam Hias Bangunan/Ornamen dalam Arsitektur Kolonial Belanda.


http://antariksa.lecture.ub.ac.id/

Google earth. 2022.

Ditandatangani Ketua 1 ...................


oleh
Anggota 2 ...................

13
Anggota 3 ...................

Anggota 4 ...................

Anggota 5 ...................

Anggota 6 ...................

Anggota 7 ...................

. Anggota 8 ...................

Anggota 9 ...................

Tanggal
Hr bln Thn

14

Anda mungkin juga menyukai