Anda di halaman 1dari 2

HUKUM IJAB QOBUL DAN BERSALAMAN DALAM AKAD ZAKAT

Dalam fiqih, untuk menandai telah terjadinya akad maka diperlukan sebuah lafadz ijab-qabul
seperti dalam jual beli, hibah dan wasiat. Lalu bagaimana halnya dengan hadiah, zakat, dan
shodaqoh lainnya ?

Zakat merupakan ibadah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan jalan mengeluarkan
sebagian porsi dari harta yang dimilikinya. Ada dua bentuk penyerahan zakat, yaitu :
(1) kepada petugas amil zakat, atau
(2) kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) secara langsung.

Jika dirunut dari hukum asalnya, sebenarnya fungsi dari ijab dan qabul sendiri adalah hanya
sebagai wasilah yang menguatkan telah terjadinya akad sehingga terjadi perpindahan
kepemilikan atau tanggung jawab. Dan bila ijab qabul itu dilakukan pada transaksi jual beli
dan zakat, atau hibah dan wakaf, maka begitu ijab dan qabul itu selesai diucapkan, tanggung
jawab kepemilikan barang pun beralih dari pemilik asal ke pihak yang diserahi, baik itu yang
berperan selaku pembeli, penerima hadiah, atau penerima hak kelola wakaf.

Pada zakat, jika ijab qabul itu selesai ditunaikan, maka hak kepemilikan dan tasharruf
(pengelolaan) zakat menjadi kewenangan dari pihak amil untuk disalurkan, atau menjadi hak
milik dari mustahiq sehingga ia bebas menggunakannya. Zakat dalam fiqih hanya fokus
pada keharusan menyertakan niat saat menunaikan, dan penyalurannya kepada asnaf
zakat yang berjumlah 8 itu (QS Al-Baqarah [9] ayat 60).

“Para ulama berpendapat boleh menyerahkan zakat kepada orang yang tidak tahu bahwa
itu sesungguhnya adalah zakat. Alasannya, karena ketentuan penyertaan lafadh niat itu
adalah tanggungan pemilik harta, dan hal itu bisa dilakukan saat tidak ada pihak penyalur
(amil) yang menanganinya. Adapun, bila ada pihak penyalur, maka niat menagih bagian dari
zakat kepada pemilik harta merupakan bentuk pendapat lain, sehingga tidak boleh tanpa
adanya niat mengeluarkan zakat.” (Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj wa Hawasy al-
Syarwany, juz 3, halaman 242).

Di dalam kitab Tharhu al-Tatsrib, juz 4, halaman 415 secara tegas dinyatakan:
“Tidak disyaratkan di dalam pemberian hadiah dan shadaqah (zakat) adanya lafadh ijab
dan qabul. Akan tetapi yang terpenting dan sudah mencukupi adalah serah terima dan
sekaligus terjadinya perpindahan kepemilikan” (Tharhu al-Tatsrib, juz 4, halaman 415).

As-Suyuthi – ulama syafiiyah – dalam karyanya tentang kaidah fikih, Al-Asybah wa An-
Nadzair 1/468, beliau mencontohkan akad yang tidak membutuhkan ijab qabul dengan
dilafalkan yaitu pemberian hadiah. Pendapat yang benar, tidak disyaratkan adanya ijab qabul
dengan dilafalkan. Namun cukup memberikan hadiah dari si pemberi, dan diterima oleh
orang yang mendapatkannya… termasuk juga; sedekah. Ar-Rafii mengatakan, „Sedekah
seperti hadiah, tidak ada perbedaan.‟ Karena zakat termasuk akad searah, sebagaimana hadiah
dan sedekah, seperti yang disebutkan As-Suyuthi. Sehingga statusnya sah dengan diserahkan
kepada yang berhak, sekalipun tidak ada kesepakatan.

Kesimpulan :
1. Ulama fiqih menegaskan syah atau tidaknya zakat semuanya tergantung niatnya.
2. Ijab dan Qabul bukan syarat mutlak sahnya akad zakat.
3. Jika ijab dan qabul saja bukan merupakan ketentuan mutlak, apalagi salaman.

Ammi Nur Baits - Dewan Pembina KonsultasiSyariah


Muhammad Syamsudin - Peneliti Bidang Ekonomi Syariah

Anda mungkin juga menyukai