Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kronologi dan urutan erupsi gigi desidui dan permanen merupakan kejadian
yang penting dalam perkembangan gigi anak (Poureslami et al. 2015). Manusia
melalui dua fase pertumbuhan gigi geligi yaitu gigi desidui dan gigi permanen.
Gigi desidui mulai erupsi pada usia kurang lebih 6 bulan hingga erupsi lengkap
pada anak berusia 2 Tahun dengan jumlah akhir 20 buah gigi. Sedangkan, pada
usia kurang lebih 6 Tahun anak-anak akan mulai memasuki periode gigi
campuran. Periode gigi campuran yaitu gigi desidui dan gigi permanen dapat
berada dalam satu lengkung gigi yang sama. Periode ini diawali dengan erupsinya
gigi molar pertama permanen pada usia 6 Tahun dan dilanjutkan dengan erupsi
kedelapan gigi insisivus permanen. Setelah usia 12 Tahun, maka hampir seluruh
gigi desidui tanggal dari soketnya dan digantikan oleh gigi permanen. Gigi
permanen akan mencapai waktu erupsi lengkap pada usia 21 Tahun (Scheid and
Weiss 2013).

Erupsi gigi adalah gerakan gigi secara bertahap dari posisi pembentukannya
melalui tulang alveolar menuju dataran oklusal hingga mencapai posisi
fungsionalnya dalam rongga mulut (Praveenkumar 2012). Sebelum erupsi,
mahkota gigi akan mengalami proses kalsifikasi dalang tulang rahang. Setelah
kalsifikasi mahkota selesai, akar gigi mulai terbentuk dan gigi bergerak melewati
tulang kearah permukaan. Akar akan terus mengalami pembentukan hingga
terbentuk sempurna. Akar gigi desidui berada dalam keadaa sempurna hingga usia
3 Tahun. Setelah 3 Tahun, akar gigi desidui akan mulai mengalami resorpsi.
Resorpsi akar gigi desidui terjadi bersamaan dengan gigi pengganti yang bergerak
mendekati permukaan (Scheid and Weiss 2013).

Pada keadaan umum, gigi desidui akan tanggal beberapa saat sebelum gigi
permanen penggantinya erupsi. Gigi desidui yang tetap bertahan pada lengkung
gigi melebihi waktu normal disebut persistensi gigi sulung atau over retained
primary tooth (Siagian 2008). Waktu erupsi gigi permanen memiliki banyak
variasi. Pada beberapa daerah seperti Afrika dan Amerika, gigi permanen erupsi

1
lebih awal dibanding anak-anak di daerah Asia dan Kaukasia (Almonaitiene et al.
2010). Sedangkan, menurut penelitian yang dilakukan di salah satu daerah di
Indonesia, yaitu Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, erupsi gigi permanen biasanya
terjadi pada usia 6 Tahun (Indriayanti 2016).

Erupsi gigi adalah proses yang sangat kompleks dan dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu faktor genetik, hormonal, lokal, ras, jenis kelamin, status
ekonomi, gizi, dan pertumbuhan (Kutesa et al. 2013). Gizi merupakan faktor
penting dalam pertumbuhan dan perkembangan gigi serta rahang. Pada tahap awal
proses pertumbuhan gigi dipengaruhi oleh beberapa faktor dan elemen seperti
kalsium (Ca), posfor (P), flour (F), dan vitamin yang terdapat dalam makanan.
Defisiensi gizi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral akan
memicu gangguan pertumbuhan, pertumbuhan gigi, dan rahang. Hal ini akan
menyebabkan gangguan pada erupsi sehingga erupsi gigi terjadi keterlambatan
(Alhamda 2012).

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis sangat


tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perkembangan erupsi gigi desidui
ke permanen yang dimana melalui tahapan kegoyangan gigi fisiologis serta
faktor-faktor yang memengaruhi hal tersebut.

1.2 Tujuan Penulisan


Laporan kasus ini dibuat untuk membahas definisi gigi desidui,
pertumbuhan dan perkembangan gigi desidui, urutan erupsi gigi desidui dan
permanen serta faktor yang memengaruhi keterlambatan erupsi gigi permanen.
Selain itu, juga dibahas mengenai tatalaksana dalam pencabutan kasus gigi
goyang fisiologis pada anak-anak.

1.3 Manfaat Penulisan


Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi
agar kemudian dapat diterapkan dan dilaksanakan pada praktiknya di lapangan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gigi Desidui/ Gigi Sulung


Gigi desidui atau yang umumnya dikenal sebagai gigi susu akan mengalami
fase erupsi secara lengkap saat anak-anak berusia ±2,5 Tahun. Gigi desidui
berkembang mulai dari usia 6 Bulan sampai dengan 6 Tahun. Saat anak berusia 6-
13 Tahun, gigi permanen sudah mulai erupsi menggantikan gigi desidui. Namun
beberapa gigi desidui masih ada di rongga mulut, Ketika hal ini terjadi, maka
dinamakan fase gigi bercampur. Gigi desidui akan tanggal seluruhnya dan hanya
ada gigi permanen di rongga mulut pada saat anak berusia 13 Tahun ke atas.
Periode ini dinamakan periode gigi permanen (Bakar 2013).
Gigi desidui merupakan gigi yang penting karena memiliki fungsi mastikasi,
fonasi, estetika dan pendukung jaringan periodontal pada anak. Orang tua sering
kali kurang memperhatikan kesehatan gigi desidui anaknya karena menganggap
bahwa gigi desidui ini hanya sementara dan nantinya akan digantikan oleh gigi
permanen, padahal pertumbuhan dan perawatan yang baik pada gigi desidui akan
mempengaruhi pertumbuhan gigi permanen nantinya (Scheid 2012).
Gigi desidui berbeda dengan gigi permanen. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dari ukuran, struktur, dan warnanya. Mahkota gigi desidui memiliki ukuran
yang lebih kecil dan akar yang lebih pendek dibandingkan dengan gigi permanen.
Email gigi desidui lebih tipis dua kali lipat dan permukaan gigi desidui memiliki
struktur yang lebih halus. Gigi desidui berwarna putih opak (Avery & Cheiego
2016).

Gambar 2.1 Perbedaan morfologi gigi sulung (kanan) dan gigi permanen (kiri)

3
2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi Desidui
Pertumbuhan dan perkembangan gigi desidui sudah dimulai sejak sebelum
lahir. Perkembangan gigi melibatkan sel-sel epithelial rongga mulut dan sel-sel
mesenkimal. Sel-sel epithelial akan membentuk organ enamel yang nantinya
berperan pada pembentukan enamel gigi, sedangkan sel-sel mesenkimal akan
membentuk dental papilla yang berperan dalam pembentukan dentin (Avery &
Cheigeo 2016).

Pada saat proses pertumbuhan dan perkembangan, gigi akan mengalami


proses aposisi dan kalsifikasi. Proses aposisi adalah pengendapan matriks dari
struktur jaringan keras gigi seperti enamel dan dentin. Sedangkan, proses
kalsifikasi adalah pengendapan garam kalsium anorganik. Hipoplasia enamel dan
hipokalsifikasi enamel dapat terjadi apabila terdapat gangguan pada saat proses
aposisi dan kalsifikasi gigi (Harsanur 2015).

Menurut Hiatt & Gartner (2019) dalam bukunya yang berjudul Textbook of
Head and Neck Anatomy menjelaskan mengenai tahapan pembentukan gigi, yaitu
sebagai berikut:

a. Tahap Bud Stage


Bud stage merupakan tahap pembentukan lamina dura. Lamina dura
adalah jaringan epitel yang mengalami penebalan di tempat gigi akan
muncul nantinya. Lamina dura merupakan primordium bagian gigi yang
berasal dari jaringan ectoderm. Lamina dura ini terbentuk disepanjang
rahang atas dan bawah, kemudian menghasilkan tunas gigi yang
berkembang pada 10 tempat tertentu pada setiap lamina sehingga nantinya
menjadi 20 gigi desidui. (Hiatt & Gartner 2019).
b. Tahap Cap Stage
Cap stage adalah tahap proliferasi sel-sel menjadi organ enamel. Sel-sel
yang mengalami proliferasi akan mengalami pembesaran dan membentuk
seperti topi/cap. Permukaan dalam tunas gigi tersebut nantinya akan
mengalami invaginasi menghasilkan cap stage. Cap stage merupakan
stadium pertumbuhan gigi, yang mana terjadi pembesaran tunas gigi karena

4
terjadi multiplikasi sel yang lebih lanjut. Maka dari itu, stadium ini juga
disebut dengan stadium proliferasi. Cap stage ini terdiri dari epitel gigi luar
sebagai lapisan luar, retikulum stelatum di bagian tengah, dan epitel gigi
dalam lapisan paling dalam (Hiatt & Gartner 2019).
c. Tahap Bell Stage
Pada tahap bell stage, sel-sel akan mengalami histodiferensiasi dan
morfodiferensiasi. Histodiferensiasi adalah perubahan sel secara histologis.
Contohnya, organ enamel menjadi ameloblast yang akan membentuk
enamel gigi. Morfodiferensiasi adalah perubahan sel-sel membentuk garis
luar dari mahkota dan akar sehingga akan menjadi bentuk morfologi dari
tiap-tiap gigi (Hiatt & Gartner 2019).

Gambar 2.2 Tahap perkembangan gigi. A) Bud Stage, B) Cap Stage, C) Bell Stage

Pembentukan akar gigi dimulai ketika lapisan epitel gigi menembus


mesenkim dibawahnya dan membentuk selubung akar epitel (selubung Hertwig).
Sel mesenkim yang terletak di luar gigi dan berkontak dengan dentin akar
berdiferensiasi menjadi sementoblas yang kemudian menjadi sementum. Di luar
lapisan tersebut, mesenkim menghasilkan ligamentum periodontal yang berfungsi
sebagai peredam kejut dan mempertahankan gigi pada posisinya. Semakin
panjangnya akar gigi maka semakin terdorong pula mahkota gigi untuk muncul ke
permukaan hingga akhirnya terlihat di rongga mulut (Hiatt & Gartner 2019).

5
2.3 Erupsi Gigi
Erupsi gigi mulai terjadi ketika gigi mulai menonjol keluar dari tulang
rahang melalui jaringan lunak dan mukosa epithelial rongga mulut dan menduduki
posisinya di lengkung rahang dan mencapai kontak oklusi hingga bisa digunakan
untuk mastikasi. Erupsi gigi dapat terjadi akibat pertumbuhan akar gigi atau
pertumbuhan tulang di bawah gigi yang secara progresif mendorong gigi ke atas.
Sebelum terjadi erupsi, bantalan maksila dan mandibula akan sering menunjukkan
adanya benjolan yang sesuai dengan lokasi gigi yang hampir erupsi (Avery &
Cheiegeo 2016).
Erupsi gigi susu pada anak terkadang ditandai dengan rasa tidak nyaman
yang hanya dirasakan di lokasi gigi yang hampir erupsi, iritasi pada gingiva
sekitar gigi tersebut, bengkak dan kebiruan akibat hematoma lokal, atau yang
paling jarang adalah bisa terjadi kista erupsi yang tidak memerlukan pengobatan.
Mulainya erupsi gigi susu merupakan pertanda penting bagi perubahan kebiasaan
makan anak. Bertambahnya jumlah gigi menandakan anak mulai siap menerima
asupan makanan yang lebih bervariasi. Erupsi gigi susu pada anak mulai
berlangsung sekitar umur 6 Bulan dan biasanya diawali oleh gigi insisivus
mandibula tengah (Avery & Cheiegeo 2016). Adapun tahap-tahap erupsi gigi
adalah sebagai berikut:
a. Pre-eruptive phase
Pada tahap ini, gigi mengalami perkembangan dan pembentukan
mahkota serta akar di dalam tulang rahang. Gigi belum muncul di dalam
rongga mulut (Avery & Cheiegeo 2016).
b. Pre-functional eruptive
Prefunctional eruptive adalah tahap dimana terjadi pembentukan akar
dan pergerakan gigi ke arah rongga mulut. Akar yang mulai terbentuk
mendorong mahkota gigi untuk berpenetrasi menembus jaringan lunak dan
mukosa rongga mulut sehingga gigi muncul di dalam rongga mulut sampai
mencapai kontak oklusi (Avery & Cheiegeo 2016).
c. Functional eruptive

6
Pada tahap ini, gigi desidui mencapai kontak oklusi dan dapat berfungsi
untuk mastikasi. Atrisi dan abrasi dapat terjadi pada permukaan insisal gigi
sehingga gigi akan terus mengalami erupsi sebagai kompensasi adanya
kehilangan struktur gigi untuk dapat mencapai kontak oklusi (Avery &
Cheiegeo 2016).

Casamassimo et al. (2013) dalam bukunya yang berjudul Pediatric


Dentistry Infancy Through Adolescence menuliskan tentang waktu erupsi gigi
desidui sebagai berikut:

Tabel 1. Waktu Erupsi Gigi Desidui

Insisivus Insisivus Kaninus Molar Molar


Sentral Lateral (Bulan) Pertama Kedua
(Bulan) (Bulan) (Bulan) (Bulan)

Maksila 7,5 9 18 14 24

Mandibula 6 7 16 12 20

Berdasarkan data dari Tabel 1, dapat dihitung berapa jumlah normal yang
seharusnya tumbuh pada saat usia tertentu. Jumlah gigi susu sesuai dengan
usianya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Gigi Susu pada Anak Sesuai dengan Usia

Usia (Bulan) Jumlah Gigi Minimal

9-11 4 gigi

12-17 8 gigi

18-24 12 gigi

Adapun beberapa kondisi bisa menyebabkan jumlah gigi desidui anak yang
terlambat menurut usia. Terdapat beberapa penyebab jumlah gigi desidui anak
terlambat menurut usianya, Penyebab tersebut antara lain adalah hipodonsia

7
(kekurangan jumlah gigi) dan erupsi gigi susu yang terlambat (Casamassimo et al.
2013).

a. Hipodonsia
Beberapa penyebab terjadinya hipodonsia adalah keturunan (agenesis
soliter), serta oligodonsia dan anodonsia. Hipodonsia pada gigi desidui anak
sangat jarang terjadi (kurang dari 1%). Kejadian hipodonsia pada gigi
desidui anak hampir selalu mengenai gigi insisivus lateral. Agenesis soliter
dapat terjadi jika satu atau beberapa elemen gigi tidak terbentuk. Sangat
jarang terlihat terutama jika tidak mengakibatkan diastema (ruang antargigi)
atau pergeseran dan perputaran gigi yang berada disebelahnya.
Oligodonsia dapat terjadi jika terdapat reduksi multiple pada elemen gigi,
sedangkan anodonsia terjadi bila semua gigi tidak terbentuk akibat dari
agenesis multiple. Yang membedakan antara oligodonsia dan anodonsia
didapatkan hubungan dengan penyakit sistmik yang melibatkan epitel dan
derivatnya (Casamassimo et al. 2013).
b. Erupsi Gigi Desidui Terlambat
Keterlambatan dalam erupsi gigi desidui dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti kekurangan gizi berat, rubella, gangguan endokrin, faktor
keturunan, dan idiopatik atau tidak diketahui. Disebutkan juga oleh Rudolf
(2016) dalam buku ajarnya, bahwa keterlambatan dalam erupsi gigi desidui
juga dapat terjadi karena sindrom hormonal seperti trisomy 21,
hipotiroidisme dan hipopituitarisme. Selain itu, down syndrome, hyperplasia
gingiva herediter dan distosis kleidokranial juga dapat menyebabkan
keterlambatan erupsi gigi desidui.

Casamassimo et al. (2013) juga menuliskan mengenai urutan erupsi gigi


sulung ke permanen yang bisa dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Urutan Erupsi Gigi Permanen
Benih Mulai Tumbuh
Gigi Erupsi
Tumbuh Sempurna

8
Maksila
Insisivus Sentral 3-4 Bulan 7-8 Tahun 10 Tahun
Insisivus Lateral 10-12 Bulan 8-9 Tahun 11 Tahun
Caninus 4-5 Bulan 6-7 Tahun 13-15 Tahun
Premolar 1 1,5 Tahun 10-11 Tahun 12-13 Tahun
Premolar 2 2 Tahun 10-12 Tahun 12-14 Tahun
Molar 1 Saat lahir 6-7 Tahun 9-10 Tahun
Molar 2 2-3 Tahun 12-13 Tahun 14-16 Tahun
Molar 3 7-9 Tahun 17-21 Tahun 18-25 Tahun
Mandibula
Insisivus Sentral 3-4 Bulan 6-7 Tahun 9 Tahun
Insisivus Lateral 3-4 Bulan 7-8 Tahun 10 Tahun
Caninus 4-5 Bulan 9-10 Tahun 12-14 Tahun
Premolar 1 1-2 Tahun 10-12 Tahun 12-13 Tahun
Premolar 2 2-2,5 Tahun 11-12 Tahun 13-14 Tahun
Molar 1 0-3 Bulan 6-7 Tahun 9-10 Tahun
Molar 2 2-3 Tahun 11-13 Tahun 14-15 Tahun
Molar 3 8-10 Tahun 17-21 Tahun 18-25 Tahun

2.4 Karakteristik Perbedaan Gigi Desidui dan Permanen


Casamassimo et al. (2013) juga menuliskan mengenai perbedaan
karakteristik dari gigi desidui dan permanen yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbedaan Karakteristik Gig Desidui dan Permanen

Kriteria
Gigi Desidui Gigi Permanen
Perbedaan
Jumlah, Perbedaan jumlahnya: Gigi Perbedaan jumlahnya. Gigi tetap: I
Bentuk, susu: i 2/2 c 1/1 m 2/2 = 10. 2/2 C 1/1 P 2/2 M 3/3.  
Warna, Jumlah= 20 Jumlah= 32
dan
Ukuran

9
Ukuran mesio-distal korona gigi
desidui lebih lebar daripada
Ukuran mesio-distal korona gigi
ukuran serviko-insisalnya,
permanen lebih sempit daripada
kecuali incisivus sentral, lateral,
ukuran serviko-insisalnya.
kaninus bawah, dan incisivus
lateral atas.

Pada gigi desidui tidak ada gigi


Pada gigi permanen terdapat gigi
premolar atau gigi yang
premolar
menyerupai premolar.
Permukaan bukal dan lingual Permukaan bukal dan lingual lebih
lebih datar bergelombang

Keterangan: Gigi desidui (kiri) Gigi permanen (kanan)

Gigi geligi desidui lebih putih Gigi geligi permanen lebih kuning

Jaringan

Ket: Jaringan pembentuk gigi (Harshanur, Itjiningsih W. Anatomi Gigi.


Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995)
Tanduk pulpa lebih tinggi dan Tanduk pulpanya lebih rendah dan
ruang lebih lebar. ruang pulpanya lebih sempit
Pulpa pada gigi desidui lebih
Pulpa pada gigi permanen lebih kecil
besar dari gigi permanen jika
dari gigi desidui jika dibandingkan
dibandingkan dengan ukuran
dengan ukuran mahkotanya
mahkotanya
Pada gigi permanen terbentuk
sekunder dentin
Pada gigi desidui tidak
terbentuk sekunder dentin

10
Mahkota Ket: Mahkota Gigi (Nasution MI. Morfologi gigi desidui dan gigi
Gigi permanen. Medan: USU Press, 2010 Nasution MI. Morfologi gigi
desidui dan gigi permanen. Medan: USU Press, 2010)

Lebih pendek, Mengecil


ukurannya di bagian servikal Lebih panjang
dan lebih cembung
Enamel dan dentin lebih tipis Enamel dan dentin lebih tebal
Daerah kontak antara gigi molar Daerah kontak antar gigi molar tetap
sulung lebar dan datar tidak lebar dan tidak datar

Ket: Kontak area antar molar


Pada gigi desidui Enamel Rod
Pada gigi desidui Enamel Rod pada
pada 1/3 gingival sedikit ke
1/3 gingival berjalan ke arah apikal
arah oklusal

Servikal

11
Ket: Perbedaan Servikal gigi (Nasution MI. Morfologi gigi desidui dan
gigi permanen. Medan: USU Press, 2010 Nasution MI. Morfologi gigi
desidui dan gigi permanen. Medan: USU Press, 2010)

Dilihat dari pandangan labial


Dilihat dari pandangan labial dan
dan lingual, servikal ridge dari
lingual, servikal ridge dari enamel
enamel pada sepertiga servikal
pada sepertiga servikal korona gigi
korona gigi depan desidui
depan permanen kelihatan lebih datar
kelihatan lebih prominent

Ukuran mesio-distal akar-akar Ukuran mesio-distal akar-akar gigi


gigi desidui depan sempit permanen depan lebar

Akar-akar dan korona molar Akar-akar dan korona molar


susu mesio-distal dan sepertiga permanen mesio-distal dan sepertiga
servikal lebih sempit servikal lebih lebar

Akar-akar gigi desidui Akar-akar gigi permanen tidak


mengalami resorpsi. mengalami resorpsi

Akar dan
Servikal

Ket: Perbedaan Gigi Desidui (bawah) dan Gigi Permanen (atas)

Akar-akar molar susu relatif


Akar-akar molar permanen lebih
lebih sempit/ramping, panjang
lebar, pendek, dan lebih konvergen
dan lebih divergen (memancar)

2.5 Faktor yang Memengaruhi Keterlambatan Erupsi Gigi Permanen


2.5.1 Faktor Genetik
Terdapat beberapa kelainan genetik tertentu yang memengaruhi erupsi gigi.
Sebagian besar dari kelainan genetik tersebut dapat menunda erupsi gigi
permanen. Kelainan genetik dapat dibagi menjadi dua yakni kelainan yang
memengaruhi pembentukan enamel dan atau folikel gigi (misal amelogenesis

12
imperfekta, sindrom Hurler, mucopolysaccharidosis VI) dan kelaianan yang
menganggu aktivitas osteoklastik (displasia cleidocranial, osteopetrosis)
(Almonaitience et al. 2015). Daftar sindrom genetik yang dapat memengaruhi
erupsi gigi:
Tabel 5. Kelainan genetik yang dapat memengaruhi erupsi gigi permanen

2.5.2 Jenis Kelamin


Erupsi gigi permanen anak perempuan terjadi lebih awal dibandingkan
dengan anak laki-laki. Perbedaan antara waktu erupsi rata-rata adalah dari 4
hingga 6 Bulan. Perbedaan terbesar adalah untuk gigi caninus permanen. Erupsi
gigi permanen yang lebih awal pada wanita disebabkan oleh permulaan awal dari
maturase (Nystrom et al. 2011).

2.5.3 Nutrisi dari ASI


Salah satu asupan nutrisi anak didapatkan dari pemberian ASI oleh Ibu pada
saat masih bayi. Menurut Roesli (2018) pemberian ASI secara eksklusif dapat
berpengaruh terhadap pertumbuhan gigi melalui gerakan menghisap payudara Ibu.
Daya tahan tubuh bayi juga akan meningkat karena ASI memiliki berbagai
kandungan zat anti kekebalan sehingga bayi akan lebih jarang sakit.
Kalsium merupakan mineral utama yang terdapat di dalam ASI yang
mempunyai fungsi untuk partumbuhan jaringan otot dan rangka, transmisi
jaringan saraf dan pembekuan darah. Penyerapan kalsium ini dipengaruhi oleh
kadar fosfor, magnesium, vitamin D dan lemak. Kekurangan kadar kalsium dalam

13
darah dan kejang otot lebih banyak ditemukan pada bayi yang mendapatkan susu
formula dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI (Variani 2018).
Berdasarkan hasil penelitian Variani (2018) secara deskriptif rata-rata waktu
erupsi gigi susu insisivus pertama pada bayi yang diberi ASI lebih cepat
dibandingkan waktu erupsi gigi insisivus pertama pada bayi yang diberi susu
formula, dimana pada bayi yang diberi ASI erupsi pada usia 4-5 Bulan sedangkan
pada bayi yang diberi susu formula erupsi pada usia 6-7 Bulan. Akan tetapi secara
statistic tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap waktu erupsi gigi
insisivus pertama pada bayi yang diberi ASI dan yang diberi susu formula (Variani
2018).
2.5.4 Faktor Sosial Ekonomi
Berdasarkan hasil penelitian Clements et al (2017) ditemukan bawah anak-
anak dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih tinggi menunjukkan terjadinya
erupsi gigi lebih awal daripada anak-anak dari kelas sosial ekonomi rendah.
Diperkirakan bahwa anak-anak dari kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi
mendapatkan perawatan kesehatan yang lebih baik, nutrisi, dan faktor-faktor ini
memengaruhi perkembangan gigi. Clements et al. (2017) juga menemukan bahwa
urutan erupsi ggii permanen memiliki perbedaan antara anak-anak dari kelas
sosial ekonomi yang berbeda. Gigi permanen pertama yang muncul dari rongga
mulut anak berlatar belakang sosial ekonomi tinggi adalah gigi insisivus
mandibula, hal ini berlawanan dengan anak-anak dari latar belakang kelas sosial
ekonomi bawah yang awal erupsi giginya terjadi pada molar pertama mandibula.

2.6 Pencabutan Gigi


2.6.1 Definisi Pencabutan Gigi
Pencabutan gigi adalah tindakan bedah mulut yang bertujuan untuk
mengeluarkan seluruh bagian gigi bersama jaringan patologisnya dari dalam soket
gigi serta menanggulangi komplikasi yang mungkin ditimbulkan. Pencabutan gigi
yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit satu gigi utuh, atau akargigi, dengan
trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga bekar pencabutan
dapat sembuh dengan sempurna (Pedlar & Frame 2011).
2.6.2 Indikasi Pencabutan Gigi Sulung
a. Gigi yang sudah goyang dan sudah waktunya untuk tanggal

14
b. Gigi yang masih kuat tertanam di dalam tulang, tetapi gigi penggantinya
sudah keluar
c. Gigi yang sudah waktunya tanggal, tetapi masih persistensi. Bila pada
rontgen foto tampak penggantinya sudah akan keluar
d. Gigi desidui yang akarnya meninggalkan ulcus decubitus
e. Gigi desidui yang seringkali menimbulkan abses
f. Gigi desidui yang merupakan fokal infeksi
g. Gigi desidui yang merupakan penyebab infeksi jaringan sekitarnya
2.6.3 Kategori Derajat Kegoyangan Gigi
Kegoyangan gigi adalah pergeseran gigi yang berubah dari posisi yang
sebenarnya di dalam lengkung rahang yang dapat disebabkan adanya kelainan
pada jaringan pendukungnya, trauma, ataupun bersifat fisiologis. Menurut Rose
dkk. (2014) terdapat system klasifikasi sederhana untuk mengetahui derajat
kegoyangan gigi, yaitu:
a. Derajat 1: apabila gigi dapat digerakkan (tetap pada aksisnya) pada
pergerakan bukolingual atau mesiodistal kurang dari 1 mm
b. Derajat 2: apabila gigi dapat digerakkan 1 mm atau lebih pada gerakan
abnormal ke arah oklusoapikal
c. Derajat 3: apabila gigi dapat digerakkan 1 mm lebih ke kedua arah, baik
bukolingual maupun mesiodistal dan oklusoapikal
Sedangkan menurut Miller (2011) terdapat klasifikasi kegoyangan gigi yang
tidak jauh berbeda dan diukur berdasar indeks Miller, yaitu:
a. Derajat 1: apabila kegoyangan gigi sampai 1 mm pada arah horizontal
b. Derajat 2: apabila kegoyangan gigi antara 1-2 mm pada arah horizontal
c. Derajat 3: apabila kegoyangan gigi lebih dari 2 mm dan dapat disertai
dengan vertical displacement

15
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


a. Nama : Anak Agung Raka Permana Putra
b. Umur : 6 Tahun 7 Bulan
c. No. Rekam Medis : 00489477
d. Jenis Kelamin : Laki-laki
e. Agama : Hindu
f. Status Perkawinan : Belum Menikah
g. Alamat : Banjar Belang Kaler, Kecamatan Singapadu Kaler
h. Tanggal Periksa : Senin, 19 Juni 2023

3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama : Goyang fisiologis gigi 81
b. Perjalanan Penyakit : Pasien laki-laki berusia 6 Tahun datang ingin
melakukan pencabutan pada gigi depan bawah
kanannya yang goyang
c. Gambaran Klinis :

Gambar 3.1 Gambaran klinis rongga mulut pasien sebelum dilakukan pencabutan

16
3.3 Status Generalis
3.3.1 Keadaan Umum
a. Kesadaran : Compos mentis
b. Tekanan Darah : 83/62 mmHg
c. Denyut Nadi : 72 x/menit
d. Respirasi : 20 x/menit
e. Suhu : 360C
3.3.2 Keadaan Gizi
a. Tinggi Badan : 114 cm
b. Berat Badan : 19 Kg
c. Lingkar Perut : 49 cm
d. IMT : 14.62 (gizi baik)
3.3.3 Riwayat Penyakit Dahulu
a. TAK
3.3.4 Riwayat Penggunaan Obat
a. TAK
3.4 Diagnosis
Goyang Fisiologis Gigi 81
3.5 Tatalaksana Pencabutan Kegoyangan Fisiologis
a. Persiapan Alat dan Bahan:
1) Dental Unit
2) Gelas Kumur
3) Satu set alat oral diagnostic (kaca mulut, sonde, ekskavator, pinset)
4) Tang cabut mahkota anak rahang bawah anterior
5) Cotton pellet
6) Povidone iodine
7) Chlor ethyl (CE)
8) APD (Masker, handscoon, nurse cap)
b. Lakukan pemeriksaan subjektif:
S: Pasien laki-laki berusia 6 Tahun datang dengan keluhan ingin
melakukan pencabutan pada gigi depan bawahnya yang goyang.
c. Dilakukan pemeriksaan objektif:

17
O: Perkusi (-), Druk (-), Palpasi (-), Kegoyangan 03
A: Goyang fisiologis gigi 81
P: Ekstraksi gigi 81 dengan chlor ethyl (CE) dan KIE pasca pencabutan

d. Penatalaksanaan pencabutan gigi:


1) Pasien dipersilahkan duduk di dental unit
2) Pasien diinstruksikan untuk berkumur menggunakan campuran
larutan povidone iodine gargle 2%
3) Lakukan pemeriksaan subjektif dan objektif pada pasien
4) Gunakan topikal anastesi jenis chlor ethyl (CE) yang diletakkan di
atas cotton pellet
5) Gunakan tang anak jenis mahkota rahang bawah anterior untuk
melakukan pencabutan
6) Tempelkan cotton pellet pada gingiva bagian labial dan lingual,
kemudian adaptasikan tang seservikal mungkin pada gigi 81
7) Lakukan gerakan luksasi dan ekstraksi untuk pencabutan

Gambar 3.2 Gambaran klinis pasca pencabutan gigi 81

8) Periksa anatomi gigi 81 yang sudah di ekstraksi, jika sudah lengkap


instruksikan pasien untuk berkumur dengan perlahan dan hanya 1
kali

18
9) Instruksikan pasien untuk menggigit tampon yang sudah ditetesi
povidone iodine selama 30 menit
10) Berikan KIE pasca pencabutan pada pasien:
a) Gigit tampon selama 30 menit-1 jam hingga darah tidak keluar
lagi
b) Jangan memainkan bekas pencabutan dengan lidah
c) Jangan berkumur-kumur terlalu keras
d) Makan dan minum yang dingin

19
DAFTAR PUSTAKA

Casamassimo, Paul S., Fields, Henry W., Mctigue Dennis J., & Nowak, Arthur J.
2013. Pediatric Dentistry Infancy Through Adolesence. 5th edition.
Missouri: Elsevier Inc.

Cameron, Angus C., & Widmer, Richard P. 2008. Handbook of Pediatric


Dentistry. 3rd edition. USA: Elsevier Limited.

Fragiskos FD. Oral Surgery. Berlin Heidelbeg: Springer.2007. 55-63, 186-188.

Howe, Geoffrey L., 1999, Pencabutan Gigi Geligi Ed. II, Jakarta: EGC.

Mc Donald, Ralph E. 2008. Dentistry for the Child and Adolescent. 8th edition.
USA: Mosby.

Moore UJ. Principles of oral maxillofacial surgery. 5th Ed.


Oxford:WileyBlackwell. 2011.Pp 123-135, 160-5

Nasution, Minasari Imran. 2008. Morfologi Gigi Desidui dan Gigi Permanen.
Medan: USU Press

Pedersen, G.W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (terj.), Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 29-100

20
21

Anda mungkin juga menyukai