Anda di halaman 1dari 7

BA B 2

UNSUR PEMBENTUK LALU LINTAS

2.1. PENDAHULUAN

Lalu lintas merupakan pergerakan kendaraan (sarana) di prasarana sebenarnya meliputi


seluruh moda yang ada seperti: moda jalan raya, moda jalan rel, moda angkutan laut dan
sungai, dan moda angkutan udara. Dalam kajian ini, lalu lintas yang dibahas dibatasi hanya
pada moda angkutan jalan raya atau lalu lintas jalan raya dan selanjutnya pemakaian istilah
lalu lintas dimaksud adalah sebagai lalu lintas jalan raya.

Lalu lintas tersusun dari berbagai unsur yakni manusia sebagai pemakai jalan (road user
yang dapat berfungsi sebagai: pengemudi, penumpang, dan pejalan kaki), kendaraan (vehicle),
prasarana jalan (infrastruktur), dan lingkungan (environment). Keempat unsur tersebut saling
berinteraksi sehingga membentuk lalu lintas.

2.2. MANUSIA

Manusia merupakan salah satu unsur dalam lalu lintas yang spesifik, artinya setiap individu
mempunyai komponen fisik dasar tertentu dan nonfisik yang barangkali berbeda antara satu
dengan yang lainnya dalam hal kemampuannya. Komponen tersebut meliputi pendengaran,
penglihatan, tenaga, pendidikan, dan psikologis. Kombinasi dari komponen tersebut akan
menghasilkan satu perilaku pengambilan keputusan yang berbeda pada saat menghadapi satu
permasalahan lalu lintas.

2.2.1. Pengemudi
2.2.1.1. Karakteristik Pengemudi (PIEV)
1. Perception
Suatu kesadaran akan adanya suatu obyek atau rangsangan yang datang dari luar
sehingga dibutuhkan suatu respon atau tindakan.

9
10

2. Intelection atau identification


Proses identifikasi atau interprestasi terhadap obyek atau rangsangan.
3. Emotion atau decision
Penentuan sikap atas hasil telaah terhadap obyek atau rangsangan tersebut,
sehingga dihasilkan suatu kesimpulan akan tindakan apa yang perlu diambil,
apakah harus berhenti, cukup mengurangi kecepatan saja, membelok
ringan/membanting stir, menyalip, atau cukup membunyikan klakson).
4. Volition atau reaction
Suatu tindakan nyata yang dilakukan sebagai hasil dari keputusan tahap
sebelumnya.

Waktu PIEV
Total waktu yang dibutuhkan oleh kendaraan mulai saat pengemudi melihat adanya
suatu obyek, rangsangan, atau penghalang sampai dengan saat pengemudi melakukan
tindakan nyata ataupun menginjak rem yang dilakukan secara berurut (sequence) pada
proses PIEV.
Waktu PIEV biasanya berkisar antara 0,2 – 1,5 detik, dan untuk keperluan disain
ditetapkan 2,5 detik (AASHTO).

Jarak PIEV
dp = 1,468 v.t
dp = jarak PIEV (feet)
v = kecepatan kendaraan (mph)
t = waktu PIEV (secon)
1,468 = faktor konversi satuan dari mph ke fps
Atau:
dp = 0,278 v.t
dp = jarak PIEV (meter)
v = kecepatan kendaraan (km/jam)
t = waktu PIEV (detik)
0,278 = faktor konversi satuan dari km/jam ke m/det
11

Faktor-faktor yang mempengaruhi PIEV


1. Usia : tua, muda
2. Kondisi fisik : capai, sakit,mabuk, dll
3. Lingkungan (environment : CBD,urban, rural, macet,dll )
4. Pendidikan : berpendidikan tinggi, dll
5. Visual : ketajaman penglihatan
6. Macam/tipe rangsangan

a. Faktor Usia
Usia merupakan faktor yang dapat mempengaruhi besarnya nilai PIEV. Kondisi mental dan
emosi antara orang muda dan tua sangat berbeda. Semakin tua tingkat kepekaan dan
agresifitas terhadap rangsangan semakin menurun, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan PIEV juga semakin meningkat. Untuk itu sebaiknya ada pembatasan usia
maksimum untuk dapat mengendarai kendaraan seperti halnya adanya pembatasan usia
minimum yang diijinkan untuk memiliki Surat Ijin Mengemudi.

b. Kondisi Fisik
Mengemudikan kendaraan bermotor memerlukan konsentrasi penuh, mengingat bahwa
tingkat pengambilan keputusan dalam mengemudi sangatlah singkat dalam hitungan detik.
Keterlambatan pengambilan keputusan dalam waktu yang singkat tersebut dapat
menyebabkan kondisi fatal seperti kecelakaan misalnya. Untuk dapat berkonsentrasi maka
dibutuhkan kondisi fisik yang sehat, tidak dalam kondisi kecapaian, dan mabuk. Kondisi fisik
yang kurang prima juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi besarnya nilai PIEV
yakni waktu yang dibutuhkan semakin meningkat.

c. Kondisi Lingkungan
Lingkungan sekitar, di kanan kiri jalan, dapat menyebabkan terciptanya kondisi yang
berlainan pada pengemudi. Perasaan pengemudi ketika melewati daerah tengah kota (CBD,
central business distric) yang rumit tentu memerlukan konsentrasi yang penuh dibandingkan
dengan ketika melintas di jalan antar kota dengan pemandangan yang hijau di kanan kiri jalan
yang kadang justru kurang berkonsentrasi, sehingga nilai PIEV juga berlainan.
12

d. Faktor Pendidikan
Faktor perbedaan tingkat pendidikan dapat pula berpengaruh pada perilaku mengemudi.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula kesadaran dalam mematuhi
aturan lalu lintas karena pengetahuan tentang bahaya yang akan terjadi apabila melanggar lalu
lintas akan semakin dimengerti. Disamping itu, pendidikan yang tinggi akan dapat
membentuk watak serta kepribadian yang lebih baik, lebih bertoleransi terhadap pengendara
lain, dan ada perasaan malu untuk melanggar aturan. Demikian pula pendidikan yang lebih
tinggi akan lebih cepat menganalisis terhadap datangnya rangsangan sehingga pengambilan
keputusan dalam mengambil tindakan akan semakin cepat atau dapat menurunkan nilai PIEV.

e. Ketajaman Penglihatan Pengemudi


Ketajaman penglihatan pengemudi sangat diperhatikan dan perlu dalam estimasi pengemudi
terhadap jarak dan kecepatan kendaraan lain serta pada penempatan rambu-rambu. Pengemudi
dengan estimasi waktu dan jarak yang buruk berakibat lambannya mengemudi dan sangat
berhati-hati pada saat mengemudikan kendaraan pada malam hari.
1. Ketajaman mata pengemudi terhadap suatu obyek digambarkan sebagai berikut :

Peripheral Vision (120o – 180o)

Clear vision (3o – 5o)

Fairly vision (10o–12o)

Sumber: Mc.Shane, W.R, and Roes, R.P,1990,, Traffic Engineering, Pentice Hall, Inc.,New Jersey
Gambar 2.1. Panglihatan terhadap obyek

Accute Vision / Clear Vision:


Merupakan sudut penglihatan yang paling tajam dimana pengemudi dapat membedakan
secara jelas akan obyek, baik gambar atau tulisan dari suatu obyek/rambu, yang terjadi pada
sudut pandang 3o-5 o.
13

Fairly Vision:
Merupakan sudut penglihatan yang masih memungkinkan adanya pengenalan obyek dengan
membedakan bentuk dan warna, namun tidak bisa mengenali secara lebih spesifik, yang
terjadi pada sudut pandang 10o-12 o.
Peripheral Vision :
Merupakan sudut penglihatan yang hanya bisa mengenali adanya suatu obyek tanpa bisa
mengenali lebih lanjut tentang obyek tersebut secara spesifik baik bentuk maupun warna,
yang terjadi pada sudut pandang 120o-180 o.

2. Waktu Penglihatan
Diperlukan waktu yang cukup oleh pengemudi untuk mengenali suatu obyek atau
memindahkan pandangan dari satu obyek ke obyek lainnya sementara kendaraan tetap dalam
kondisi berjalan, sehingga pengetahuan tentang waktu penglihatan sangat penting. Waktu
untuk menggerakkan mata dari satu obyek ke obyek lainnya, menurut AASHTO adalah (0,15
– 0,33) detik dan waktu untuk memusatkan pandangan pada satu obyek adalah (0,1 – 0,33)
detik.

3. Pandangan yang Silau dan Waktu Pemulihan (Glare Vision and Recovery)
Pada saat berjalan pada malam hari pengemudi akan berhadapan dengan kendaraan lain yang
berpapasan dengan cahaya lampu depan yang menyilaukan sehingga terjadi kebutaan
sementara. Kondisi kebutaan yang sementara tersebut tidak boleh berlangsung lama karena
akan membahayakan pengemudi dalam menjalankan kendaraannya, untuk itu dibutuhkan
pemulihan ke dalam kondisi normal. Waktu yang dibutuhkan oleh pengemudi untuk
mengembalikan mata menjadi kondisi normal kembali setelah mengalami silau disebut Glare
recovery time .
Waktu yang dibutuhkan untuk peralihan:
- Dari gelap ke terang: 3 detik
- Dari terang ke gelap: 6 detik
Faktor usia sangat dominan terhadap waktu ini (batas ambang 40 th).
14

f. Macam Rangsangan
Waktu respon seseorang tergantung pada macam rangsangan. Biasanya seseorang akan
memberikan respon yang cepat untuk rangsangan sentuhan dan suara, sedangkan memerlukan
waktu yang sedikit lebih lama untuk memberikan respon terhadap rangsangan visual.
2.2.1.2 Faktor Pendengaran
Faktor pendengaran tidak begitu penting bagi pengemudi, namun akan sangat penting bagi
pengguna jalan lainnya seperti pejalan kaki (pedestrian) dalam hal bunyi klakson, bunyi
musik, atau juga bunyi mesin.

2.2.1.3. Perilaku Pengemudi


Kombinasi kondisi fisik dan psikologis seseorang akan menggambarkan suatu perilaku
pengemudi. Perilaku pengemudi dapat dipelajari dari pengawasan yang ditail dari aksi
pengemudi, tujuan pengemudi, dan kondisi psikologis dari pengemudi pada saat mengemudi
di jalan raya. Informasi perilaku pengemudi dapat dikumpulkan dari intreaksi sesama
pengemudi, interaksi pengemudi terhadap lingkungan jalan dan interaksi pengemudi dengan
perlengkapan kendaraannya. Interaksi sesama pengemudi menciptakan suatu kondisi arus lalu
lintas yang tertentu seperti terbentuknya platoon, terjadinya gerakan menyiap, jarak bebas
antar kendaraan, maupun distance headway yang ada dalam suatu arus lalu lintas. Sedangkan
interaksi antara pengemudi terhadap lingkungan jalan bisa dilihat dari kepatuhan pengemudi
terhadap rambu-rambu yang ada di sekitar jalan sebagai contoh kepatuhan pengemudi
terhadap batas kecepatan yang diijinkan, menaikkan atau menurunkan penumpang pada
tempatnya, melanggar marka jalan, ngetem di sembarang tempat, dan lain sebagainya.
Interaksi pengemudi terhadap perlengkapan kendaraan antara lain bisa dilihat dari
penggunaan lampu belok kanan atau belok kiri, penggunaan bel, dan lain sebagainya.

Perilaku pengemudi akan menentukan kinerja lalu lintas yang terjadi, selain itu perilaku
pengemudi diperlukan untuk mendisain alat kontrol kendaraan, rambu, dan efek obat
terlarang dan minuman beralkohol terhadap kinerja pengemudi. Beberapa studi perilaku
pengemudi yang dilakukan saat ini memberikan kontribusi terhadap pemahaman akan
keselamatan (safety).

2.2.2. Penumpang
Penumpang sebenarnya merupakan pihak yang pasif dalam suatu aliran lalu lintas, namun
demikian mempunyai andil dalam penciptaan ketertiban lalu lintas terutama pada angkutan
15

/kendaraan umum (public transport) . Perilaku penumpang yang tidak tertib terhadap aturan
akan memperburuk kondisi lalu lintas. Penumpang yang baik akan memahami akibat yang
akan terjadi terhadap tindakan yang diperbuatnya, misalkan menghentikan kendaraan di
sembarang tempat sehingga kendaraan berhenti mendadak dan berada di tengah jalan atau
bahkan di tengah simpang sehingga akan mengganggu kendaraan lainnya. Atau
memerintahkan sopir untuk berhenti di tempat yang tidak layak sesuai dengan keinginannya
agak dia tidak perlu berjalan kaki. Semua tindakan tersebut akan memicu terjadinya
kemacetan dan bahkan mungkin kecelakaan. Memang sebenarnya sekalipun penumpang
melakukan hal-hal tersebut tetapi pengemudi tetap dalam kondisi tertib, pelanggaran tidak
akan terjadi. Masalahnya sekarang ini pengemudi merasa takut akan kehilangan penumpang
karena diserobot oleh kendaraan lain apabila tidak memenuhi keinginan penumpang.
Kesimpulannya, pengemudi dan penumpang perlu diberikan pemahaman tentang bagaimana
berlalu lintas yang baik agar keduanya dapat saling menjaga. Selain itu diperlukan tindakan
hukum yang jelas terutama kepada para pengemudi yang melanggar agar ada efek jera.

2.2.3. Pejalan Kaki (Pedestrian )


Sama dengan penumpang sebenarnya merupakan pihak yang pasif dalam suatu aliran lalu-
lintas, namun demikian mempunyai andil dalam penciptaan kelancaran arus lalu lintas
terutama saat menyeberang jalan sehingga tidak menciptakan hambatan samping baru.
Karakteristik utama pejalan kaki adalah berupa kecepatan tempuh yang sangat rendah
sehingga perlu diperhitungkan secara teliti dalam perencanaan fasilitas untuk penyeberangan
agar tidak mengganggu lalu lintas dan mengurangi kinerja jalan.

Anda mungkin juga menyukai