Anda di halaman 1dari 5

Jamaah Jum’at rahimakumullah,

Hidup secara benar di dunia ini memang penuh perjuangan. Sebab mayoritas manusia berkecenderungan tidak
benar atau tidak sadar. Berjuang tampaknya merupakan hakikat hidup manusia; apalagi bagi manusia yang jelas
arah hidupnya, konkret cita-citanya, harapannya juga kemauannya. Berjuang berarti mewujudkan keadaan
sehingga menjadi ideal; atau minimal berjuang mengatasi masalah yang menyerimpung langkah. Sementara kita
ketahui masalah hidup selalu ada, bahkan kalau kita cermati tampaknya bertambah hari justru bertambah banyak
dan meningkat kualitasnya. Dari masalah pribadi, masalah keluarga, masalah lingkungan, hingga masalah umum
dan masalah negara. Itulah permasalahan hidup yang sebenarnya merupakan lahan perjuangan hidup kita.

Banyak dan beragamnya masalah yang menghadang hidup merupakan lahan kita memperjuangkan hidup kita
agar menjadi lebih benar, lebih baik juga lebih indah. Oleh karena itu sungguh terlarang kita untuk berputus-asa
bila tertumbuk masalah besar. Larangan ini tidak hanya karena sikap berputus-asa bisa menciptakan hal-hal
negatif dan destruktif bagi jiwa dan hidup manusia melainkan berputus asa juga berarti meniadakan iman karena
memilih sikap kufur atas nikmat yang telah diterimanya. Bagaimana rincian dan penjelasan terlarangnya berputus
asa? Bagaimana pula cara mengubah sikap dan keadaan dari berputus asa menjadi yang sebaliknya, optimistis
namun tetap realistis?
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,

Masalah yang menghadang gerak langkah hidup kita ke depan memang tidak sedikit dan tidak ringan. Konon
menurut pengamatan para ahli, dewasa ini polusi dan tingkat stress manusia jauh lebih hebat dibanding 5 atau 10
tahun lalu. Itulah hidup yang sudah berubah, bergerak dan bahkan bertambah. Menjalani hidup berarti
menghadapi dan mengatasi masalah yang menghadangnya. Kadang masalah kecil dan kadang besar. Apapun
masalah yang hadir di hadapan kita sesungguh-sungguhnya mampu kita atasi manakala kita yakin serta berupaya
secara optimal. Sebab Allah SWT dzat yang mencipta kita dan Sumber segala sumber itu telah menetapkan
kelayakan-kepatutan hadirnya masalah itu dengan kualitas kepribadian kita guna menghadapinya. Dibuat-Nya
setara, pas, sesuai antara masalah hidup dengan kemampuan masing-masing manusia. Ketetapan tersebut
ditegaskan Allah dalam firman pada Qs Al-Baqarah [2]: 286.

Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Renungan dari firman ini adalah setiap masalah yang dihadapi seseorang sudah diformat sesuai serta pas untuk
dihadapi oleh orang tersebut. Masalahnya kemudian adalah, apakah orang tersebut meyakini bahwa
sesungguhnya dirinya mampu dan berupaya secara optimal? Untuk inilah maka renungan, pengertian yang
mendasar serta doa tulus dan keyakinan menjadi kunci penting untuk suksesnya menghadapi masalah hidup kita.

Mari kita urai, masalah apa yang sesungguhnya menghadang kita serta bagaimana solusinya? Pertama, apakah
sumber masalah kita itu berasal dari perilaku kita sendiri? Jika benar demikian maka solusinya hanya dengan cara
mengubah kebiasaan kita, misalnya boros, malas, takut, setengah hati, serakah, dll. Kedua, apakah sumber
masalah itu menyangkut perilaku orang lain? Jika benar demikian maka solusinya dengan cara mengubah metode
pengaruh^ kita, misalnya pengaruh terhadap teman, bawahan, atasan, tetangga, dll. Ketiga, apakah sumber
masalah itu menyangkut hal di luar kendali kita? Jika benar demikian maka solusinya dengan mengubah cara
pandang kita terhadapnya sebab hal itu hanya bisa diterima, misalnya terhadap gempa bumi, gunung meletus,
musibah, dll. Tampak bahwa apapun masalah hidup kita pasti ada solusinya yang dimulai dari sikap dalam diri
kita: mengubah kebiasaan, mengubah metode-pengaruh atau mengubah cara-pandang.
Jamaah yang dirahmati Allah,

Apapun masalah kita dan seberapapun skalanya sungguh tidak pantas menjadikan kita berputus asa. Konon
bunuh diri merupakan wujud ekstrem dari sikap berputus asa. Menurut penelitian terdapat tiga faktor pemicu
atau penyebab seseorang melakukan bunuh diri. Ketiga faktor tersebut adalah: kekurangan ekonomi, penyakit
menahun (kronis) dan harga-diri atau rasa-malu. Tiga pemicu itu bisa mengantarkan seseorang menuju bunuh diri
jika dia merasakan hidupnya sudah buntu, capek, dan tanpa ada titik-terang. Namun pasti hal itu hanya sebatas
perasaan pada si pelaku. Biasanya perasaan dan pilihan begitu itu menimpa pada jenis orang yang introvert,
perasa, kurang dipedulikan orang lain, tidak dihormati lingkungannya, serta hanya dibiarkan saja. Oleh karena itu
untuk mengatasi agar tidak terjerumus ke berputus asa perlu adanya dukungan dan perhatian dari keluarga, dan
bisa melihat-merasakan adanya teman yang sependeritaan, ataupun adanya tempat untuk mencurahkan isi
hatinya sehingga tidak menjadikannya gelap mata.
Penegasan Allah mengenai larangan putus asa tertuang pada Qs Yusuf [12]: 87:

Berputus-asa tergotongkan perilaku kufur? Inilah penggolongan resmi dari Allah yang pasti benar, tegas dan perlu
kita cermati. Barangsiapa berputus asa niscaya tergolongkan kaum kufur. Kufur di sini berarti mengingkari nikmat
yang telah diterima dan juga kufur dari ke-Mahakuasaan Allah SwT, bahkan kemudian kufur dari keyakinan akan
adanya Allah SwT. Bukankah hanya yang kufur saja yang berani berputus-asa? Berani melanggar ketentuan-Nya?
Sebab jika ada keyakinan meskipun tipis pasti tidak akan berani berputus-asa. Begitulah larangan langsung dari
Allah SwT kepada kita hamba-Nya.

Jamaah rahimakumullah,

Sikap berputus-asa ini dari tinjauan ilmu psikologi selalu berkecenderungan negatif, bahkan merusak-destruktif.
Seseorang yang berputus-asa berarti telah menutup diri secara kejiwaan dari proses hidup yang selalu bergerak,
berkembang. Seseorang yang berputus-asa adalah yang jiwanya mati atau mematikan diri sendiri. Sebagai
akibatnya adalah ketiadamaknaan hidup baginya sehingga mudah saja untuk merusak jiwanya, hidupnya, bahkan
tidak sedikit yang juga berusaha merusak hidup dan jiwa orang lain di lingkungannya. Dia merasakan dirinya telah
rusak kemudian mengajak orang-orang lain agar juga rusak. Inilah logika psikologis seorang teroris yang berawal
dari sikap putus-asa.

Guna meniadakan sikap berputus-asa, mari kita berikhtiar untuk selalu memiliki sikap mental positif (SMP)
terhadap apapun yang menghadang. Berdoa sehabis shalat sesungguhnya juga dimaksudkan untuk hal ini.
Dengan membaca subhanallah ‘Maha Suci Allah’ berarti meniadakan pandangan negatif dan salah sangka kepada
Allah. Dengan
membaca alhamdulillah ‘segala puji bagi Allah’ berarti menanam prasangka baik dan sikap positif. Lantas
dengan allahu akbar ‘Allah Maha Besar’ berarti menegaskan diri bahwa selain Allah SwT itu kecil serta bertekad
menjalani hidup dengan keyakinan bersama Allah tersebut. Lengkaplah sudah unsur mental positif kita dengan
ketiga doa tersebut yang kita lantunkan sepenuh jiwa dan berulang 33 kali sehingga terinternalisasikan dalam
jiwa kita.

Aquulu qouli haadza, wa astaghfirullaahal Adzim, lii wa lakum walisaairil muslimiina wal muslimat,
Fas tagh firuuh,
innahu huwal Ghafuurur Rokhiim.

______________________________ duduk sebentar lanjut khutbah kedua _______________________________

Alhamdulillahi rabbil’alamin
Wabihii nasta’inu ‘alaa umuurri dun ya waddiin
Washolaatu wassalamu’ala nabiyyina Muhammad wa’alaa aalihi wa ashhabihi ajma’in
amma ba’du.
Yaa aayyuhalladzina aamanut taqullooha haqqo tuqootih, walaa tamuutunna illa wa antum muslimuun
Innallooha wamalaa ikatahu yushollu alan nabi, yaa ayyuhalladziina aamanuu shollu ‘alayhi wasallamuu tasliimaa

Jamaah Jum’ah rahimakumullah,

Bagaimanapun beratnya masalah hidup yang kita hadapi tetap terlarang kita untuk berputus-asa. Sebab masalah
apapun yang nyata hadir di hadapan kita jelas sudah diukur dan disesuaikan oleh Allah SwT dzat yang Maha
Mengatur dengan kualitas kepribadian kita masing-masing. Tidak pernah meleset ukuran itu. Kita pasti kuasa
menghadapi bahkan mengatasi masalahnya. Kuncinya adalah kita yakin mampu serta berikhtiar secara optimal.
Berputus-asa hanya bermakna menujukan diri ke golongan orang kufur; selain itu juga akan mengarahkan jiwa
kita menjadi negatif bahkan rusak. Rusak diri juga rusak sekitarnya.

Diriwayatkan dalam atsar bahwa Sahabat Umar ibn Khatab ra selalu mampu bersyukur kendatipun masalah yang
dihadapinya besar bahkan berupa musibah. Mengapa? Pertama, musibah itu tidak mengenai akidah dan tidak
mencabut keyakinan agama kita. Kedua, musibah itu bukanlah yang terbesar atau tidak yang
terberat. Ketiga, adanya janji Allah SwT kepada siapapun yang berhasil menghadapinya dengan balasan dan
kedudukan yang mulia di sisi-Nya. Begitulah tiga alasan kuat mengapa Sahabat Umar ra selalu mampu bersyukur
meskipun menghadapi musibah yang maha berat.
Demikianlah khutbah yang kami sampaikan. Semoga mendapat ridla dari Allah SwT dan memberikan manfaat
bagi kita semuanya. Mari kita jaga iman-takwa, dan mari kita berdoa memohon kekuatan fisik dan mental
sehingga mampu menghadapi dan menyelesaikan apapun masalah yang menghadang kita.

Bismillaahirrahmanirrahiim... alhamdulillaahirabbil'alamiin...

Allaahumagh fir lil mu’miniina wal mu’minaat, wal muslimiina wal muslimaat, al ahya iminhum wal amwaat, innaka samii’ul qoriibum
mujiibud da’wat, wa yaa qodiyal haajaat.
Robbanaagh firlanaa wali waali dayya, warhamhuma kama robbayaana sighaara

Robbana firlana wali ikhwaninalladziina sabaquuna bil iiman, walaa taj’alfii quluubina ghilallilladziina aamanu, robbana innaka
ro’ufurrokhiim
Allaahumma innanas alukal huda, wattuqo, wal ‘afaafa wal ghinaa
Subhana robbika robbil izzati ‘amma yusrifuun, wa salaamun ‘alal mursaliin, walhamdulillaahirabbil’aalamin

Anda mungkin juga menyukai