Anda di halaman 1dari 3

Nama : Agung Dwi K

NIM : 071811733099

Mata Kuliah : Antropologi Gender dan Seksualitas

Resume Webinar

“Membangun Ketangguhan Budaya Menghadapi Pandemi Covid-19

Melalui Komunitas Perempuan dan Anak”

Pada hari Rabu, tepatnya tanggal 23 September diadakannya seminar dengan tema
“Membangun Ketangguhan Budaya Menghadapi Pandemi Covid-19 Melalui komunitas
Perempuan dan Anak” yang diisi oleh keempat pembicara yang diawali oleh Bapak Hilman
Farid selaku Ditjen Kebudayaan yang menyampaikan terkait merdeka belajar dengan
kebudayaan sebagai tujuan dan sumber, yang mana sebagai sumber artinya adalah sebagai
warisan dalam nilai budaya. Satu hal menarik yang saya tangkap dari pernyataan beliau adalah
ketika beliau berbicara mengenai persoalan atas pendidikan formal. Sekolah seperti menjadi
salah satu ranah sendiri yang hubngannya dengan komunitas agak berjarak bahkan dalam setting
urban. Guru dianggap sebagai tokoh di dalam masyarakat, tetapi ketika lembaga pendidikan
tidak lagi menduduki hubungan yang signifikan dengan suatu komunitas, maka kepemimpinan
masyarakat dan budaya menjadi salah satu tongkat untuk merealisasikan merdeka belajar.

Sebelumnya Bapak Hilman Farid sempat menyampaikan terkait dengan komunitas yang
sejatinya adalah ujung tombak dari kebudayaan dan pemerintah hanya berfungsi untuk
memfasilitasi. Sangat berkaitan dengan pembicara selanjutnya, Ibu Farha Ciciek yang
merupakan aktivias perempuan yang memberdayakan sebuah komunitas yang dikenal dengan
Tanoker yang berada di Desa Ledokombo. Ibu Farha Ciciek menyampaikan bahwa Ledokdombo
di dalamnya terdapat sebuah harapan dan pengalaman, komunitas Tanoker yang di dalamnya
terdapat kearifan local yang terus dilestarikan dengan kohesi soial yang diupayakan sejak dini
untuk Indonesia yang lebih optimis dan Indonesia yang lebih berdaya. Perubahan sosial terjadi di
Desa Ledokdombo yang dimotorkan oleh anak-anak yang bisa dikatakan adalah anak-anak yang

1
kurang beruntung dalam artian anak-anak yang mendapatkan pola pengasuhan yang sangat
minim dari kedua orang tuanya. Kecamatan Ledokombo dikenal sebagai wilayah “yatim piatu
sosial”, dimana sebagian penduduk usia produktifnya kebanyakan perempuan. Wilayah
Ledokdombo ini juga disebut sebagia wilayah yang sulit untuk maju, karena pekerjaannya
mayoritas buruh tani, petani, pekerja serabutan, sektor non formal, dan pegawai negri swasta.
Satu hal yang menarik adalah hasil dari rumusan anak-anak Tanoker dan Kecamata Ledokdombo
ini menjadi kawasan ramah anak-anak. Anak-anak disana sangat penasaran dengan egrang dan
dibuatlah ketiga pasang egrang yang digunakan untuk bermain, dari egrang domestik sampai ke
ranah public yang mereka suarakan. Mereka juga membentuk sebuah tarian egrang yang
didukung dengan segala dukungan dari kementerian, sehingga sampai terjadinya sebuah festival
egrang sebagai modal budaya dan modal sosial yang berkahnya dirasakan. Sungguh disayangkan
bahwa festival egrang ke-11 tidak dapat terlaksanakan karena kondisi masa pandemi, tetapi
anak-anak tidak patah semangat dengan mengadakan alternative lain seperti tiktok egrang, tidak
hanya dalam negri tetapi egrang yang disuarakan juga sempat keluar ke kancah internasional dan
memperkenalkan egrang sebagai kearifan local. Hal yang menarik adalah di Ledokdombo ini ada
yang namanya Sekolah Yang Eyang, dimana bukan hanya sebagai tempat pembentukan karakter
anak-anak saja tetapi juga untuk mewujudkan lansia atau para eyang yang berkualitas.

Masih berkaitan dengan komunitas, Ibu Prof Myrta membahas mengenai cara
memperkuat jejaring ketangguhan komunitas dalam aspek biokultur. Memperkuat adalah berarti
dari tidak kuat menjadi kuat, yaitu dengan cara memberdayakan. Memberdayakan itu adalah
membuat berdaya yang untuk masyarakat adalah upaya atau memberikan daya atau
empowerement atau strenghthening kepada masyarakat. Perspektif biokultur dikaitkan dengan
masa pandemi ini, karena seringkali penyakit dipandang dari sisi biologis. Terjadinya pandemi
ini sangat berkaitan juga dengan kultur, sebagai contoh pada penularannya yang terjadi karena
ketidakpatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan yang sangat berkaitan dengan
unsur budaya yang mempengaruhi suatu individu. Cara masyarakat merespon, khususnya pada
virus yang ada pada dunia saat ini. Bagaimana mereka merespons adalah sebuah reaksi dari yang
mereka pelajari, banyak sekali dampak yang terjadi mulai dari ekonomi. Salah satu jawabannya
adalah dengan pemberdayaan komunitas untuk mengatasi masa pandemi ini. Dalam menanggapi
pandemic ini, tentu networking perlu dilakukan karena saling mendukung antara satu sama lain
dengan penyampaian informasi dan jejaring yang diberikan.

2
Pembicara terakhir, Ibu Dr. Pinky yang menyampaikan terkait belajar dari komunitas
membaca pluralism dan feminism. Khususnya pada Desa Ledokdombo yang bisa kita analisis
sebagai secara praktisnya mereka bisa baca tulis, bisa menambah nilai ekonomi akibat dari
kuliner yang dijal, dan secara stratified mereka berani mengambil keputusan dan karena sebuah
keputusan tersebut mereka mempunyai sebuah aktivitas yang berjangka panjang. Semua
kalangan dilibatkan dalam Ledokdombo dan membuktikan bahwa yang dilakukan sejalan dan
sesuai dengan peryataan John Stuart dan Hariet Mill yang menolak pemikiran bahwa perempuan
secara intelektual dan emosional dikatakan inferior. Adanya pemberdayaan komunitas
memberikan posisi tawar dalam proses mengambil keputusan.

Anda mungkin juga menyukai