Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PERMASALAHAN SOSIAL BUDAYA

Kekerasan Perempuan dan Anak serta Lunturnya Unggah-ungguh Pada


Masyarakat Yogyakarta

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Permasalahan


Sosial Budaya

Dosen Pengampu : Dra. V Indah Sri Pinasti,. M.Si

Oleh Kelompok 4

1. Tawang Kanthi Utami (19413244008)


2. Tsuroyya Aniqoh (19413241042)
3. Fahra Raihan Destiarini (19413241046)
4. Chantika Dinah Putri (19413249004)
5. Muhammad Fadhel Rasyid (19413241033)

PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

TAHUN 2020
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Permasalahan sosial dan budaya di Indonesia kerap menjadi perhatian semua


orang terutama para aktivis. Tidak melulu tentang masalah ekonomi yang menjadi
sorotan, namun perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sering
diabaikan karena patriarki yang kuat. Begitu pula masalah budaya di Yogyakarta
salah satunya, unggah-ungguh yang terkenal di masyarakat Yogyakarta mulai luntur
tergeser dengan budaya baru.

Unggah-ungguh dalam bahasa Indonesia berarti tata krama sopan santun.


Masyarakat jogja dikenal dengan unggah-ungguh yang lembut secara sikap dan tutur
kata. Tata krama yang menjadi budaya masyarakat jogja bukan semata-mata sikap
anak muda kepada orang yang lebih sepuh/ tua atau orang yang memiliki kedudukan
khusus. Namun, tata krama ini berlaku bagi semua orang. Setiap orang berhak
dihargai dan dihormati dengan menunjukkan sopan santun. Sebagai budaya, sebuah
ciri khas warga jogja, unggah-ungguh memiliki pakemnya sendiri yang
menjadikannya istimewa baik perilaku (patrap) mau pun bahasa.

Seiring berjalannya waktu menuju pergantian era yang menyebabkan dinamika


sosial memberikan dampak pada warga Jogja. Pergantian zaman akan selalu
menyebabkan pergeseran dan perubahan dalam hal apa pun, termasuk budaya yang
dinilai menjadi keistimewaan sebuah masyarakat menjadi makin luntur bahkan hilang.

Sejatinya setiap masalah sosial dan budaya tercipta karena adanya kesenjangan
sosial baik dari faktor jenis kelamin, stereotip budaya, dan nilai serta norma yang
berlaku. Maka dari itu masalah yang sensitif terhadap jenis kelamin dan budaya pada
suatu peradaban di masyarakat menjadi pilihan untuk dibicarakan.

B. Rumusan masalah

1. Kekerasan terhadap perempuan dan anak

a. Bagaimana kondisi kekerasan perempuan dan anak di indonesia

b. Penyebab terjadinya kekerasan perempuan dan anak


c. Solusi kekerasan perempuan dan anak

2. Lunturnya unggah-ungguh di Yogyakarta

a. Apa saja penyebab lunturnya unggah-ungguh masyarakat Jogja?

b. Apa saja dampak yang ditimbulkan?

c. Apa saja solusi yang ditawarkan?

d. Bagaimana pandangan akademisi tentang masalah budaya


tersebut?

C. Tujuan

a. Memaparkan dan mengidentifikasi permasalahan.

b. Memberikan pandangan solusi yang dapat diambil.

c. Memberikan pendapat dan membuka wawasan mengenai permasalahan yang


diangkat.
PEMBAHASAN

A. Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Perempuan dan anak merupakan golongan yang termasuk kelompok


yang tertinggal pada aspek pembangunan, kesetaraan gender sehingga
perlunya dipemberdayakan dan dilindungin. Namun terkadang perempuan dan
anak tidak dilindungin dan malah menjadi korban kekerasan oleh oknum yang
tidak bertanggung jawab. Hal itu terjadi karena perempuan dan anak dianggap
kelompok yang lemah sehingga lebih mudah terkena kekerasan.

Data kekerasan yang dilaporkan mengalami peningkatan signifikan


sepanjang lima tahun terakhir. Sepertinya beberapa tahun ini kemunduran
moral dan nilai dalam masyarakat kita yang katanya menyukai harmoni dan
membenci konflik, apalagi kekerasan. Perempuan dan anak sebagai korban
tindak kekerasan bukan merupakan fenomena baru, kitab sejarah
mengungkapkan praktek-praktek masa lalu yang mengorbankan perempuan,
baik dewasa (pengorban depan altar) maupun korban anak-anak (pembunuhan
bayi berjenis kelamin perempuan).

Cerita tentang korban tindak kekerasan dikalangan perempuan dan


anak memang sedikit sekali ditemukan di dalam berbagai literatur yang ada,
karena itu jarang terungkap bahwa kekerasan terhadap perempuan melalui
tindak kekerasan diajukan ke peradilan pidana. Kalangan perempuan
terkadang menyembunyikan viktimisasi (proses dimana seseorang menjadi
korban kejahatan) terhadap dirinya karena berbagai alasan, namun yang utama
adalah karena mereka tidak ingin dirinya diketahui orang lain atau mungkin
akan mencoreng harga sendirinya.

Tindak kekerasan terhadap anak dalam kasus seksual, di mana posisi


anak dibuat tidak berdaya oleh orang tua. Terdapat juga beberapa kasus yang
berkaitan dengan eksploitasi, penganiayaan dan pembunuhan terhadap anak
oleh orang tuanya. Secara garis besar, anak yang mengalami tindak kekerasan
dapat terjadi karena :

(a) Working Children, di mana banyak anak-anak yang menjadi pekerja,


perdagangan anak, prostitusi anak, perbudakan anak, ponografi anak akibat
meningkatnya “sex tourism”’

(b) Street Childern, di mana diperkirakan terdapat sekitar kurang lebih 100 hingga
150 juta anak jalanan diseluruh dunia saat ini. Yang memprihatinkan adalah,
bahwa di samping mereka berjuang untuk mempertahankan hidup secara
materiil, juga menjadi sasaran penyalahgunaan dan eksploitasi,

(c) Childern in Armed Conflict, di mana dalam sutiasi konflik, banyak anak-anak
yang menjadi korban, seperti terbunuh, cacat, mengungsi bahkan ada yang
hilang. Belum lagi yang menjadi korban perkosaan dan menderita tekanan
kejiwaan (stress dan trauma).

(d) Urban war zones, di mana suasana kekerasaan dan ketidak-terntraman dalam
lingkungan kehidupan sehari-hari baik di kota maupun pada wilayah “zona
peperangan” yang menempatkan anak-anak dalam resiko yang sangat gawat.

Tingginya korban kekerasan tersebut tentu saja di sayangkan oleh


berbagai pihak namun kesadaran akan melaporkan mulai meningkat.
Walaupun masih ada beberapa korban yang enggan melaporkan kekerasan
tersebut. Oleh karena itu dapat dilakukan beberapa solusi diantaranya :

1.  Pribadi yang kuat


Membentuk pribadi yang kuat dan sehat merupakan salah satu cara
agar terhindar dari kekerasan. Orang tua dan guru memiliki peranan
penting untuk mendidik serta mengedukasi anak perempuan dan laki-laki
agar tidak terjerumus pada kekerasan baik sebagai pelaku atau korban
2. Pembekalan Ilmu Bela Diri
Pembekalan ilmu bela diri pun dapat menjadi salah satu solusi agar
anak dan perempuan tidak menjadi korban kekerasan. Mengenai disiplin
dan membentuk mental juga jasmani yang kuat, bela diri dapat digunakan
untuk membela diri sendiri dari ancaman-ancaman yang ada.
3. Maksimalkan Peran Sekolah
Sekolah harus memiliki fungsi kontrol sosial, yakni sekolah
memiliki assessment (penilaian) terhadap perilaku anak. Sekolah juga
harus menggagas aktivitas-aktivitas internal sekolah yang bersifat positif,
memfasilitasi aktivitas orang tua siswa dan siswa. Sekolah juga bisa
membentuk petugas breaktime watch dari kalangan pengurus sekolah
yang bertugas berkeliling dan memantau kegiatan siswa.
4. Laporkan kepada Pihak Berwajib
Hal terakhir yang harus dilakukan bila terjadi kekerasan fisik, psikis,
ataupun seksual adalah segera melaporkan kepada pihak berwajib. Hal
ini bertujuan agar segera diambil tindakan lebih lanjut terhadap tersangka
dan mengurangi angka kejahatan yang sama terjadi. Adapun korban
kekerasan harus segera mendapatkan bantuan ahli medis serta dukungan
dari keluarga.

B. Lunturnya Unggah-ungguh pada Masyarakat Yogyakarta

Peradaban yang maju tidak lepas dari budaya suatu masyarakat. Kemajuan
pada berbagai bidang seperti ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi pola
perilaku masyarakat sehingga menyebbakan pergeseran dan atau perubahan
secara signifikan. Pergerakan ke arah yang lebih maju juga membuat beberapa
budaya dalam masyarakat luntur dan tergantikan dengan budaya baru yang
dianggap lebih fleksibel, efisien, dan pas untuk menjalankan kehidupan di zaman
sekarang. Negara besar akan terlihat lebih maju jika dapat menyesuaikan diri
dengan kondisi zaman, begitu pun masyarakat pada suatu wilayah lebih kecil
seperti provinsi, kota, sampai desa akan terdampak.

Sebagaimana budaya yang dikenal sebagai keistimewaan warga Yogyakarta,


yakni patrap dan unggah-ungguh. Patrap artinya sikap/ perilaku, sedangkan
unggah-ungguh berarti tata krama yang lebih mengarah dalam penggunaan
bahasa Jawa. Perilaku masyarakat Jogja yang terkenal lembut dan sopan memang
masih dielu-elukan, namun siapa sangka kata lembut dan sopan tersebut mulai
berkurang. Berbagai kalangan terlihat mengalami penurunan moral dilihat dari
kacamata budaya dalam masyarakat Yogyakarta. Berikut beberapa perilaku yang
menunjukkan lunturnya patrap dan unggah-ungguh pada masyarakat Yogyakarta.

Pertama, tidak lagi terlalu memperhatikan penggunaan bahasa dalam percakapan


sehari-hari sebagaimana dalam basa Jawa terdapat beberapa jenis basa Jawa yang
bergantung pada lawan bicara. Penggunaan basa jawa Krama contohnya, kawula
muda dan orang dewasa sekarang ini memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia
saat berbicara dengan orang yang lebih tua bahkan ketika menanggapi pertanyaan dari
orang tua yang menggunakan basa Jawa. Selaras dengan hal tersebut, banyak orang
sepuh di Yogyakarta tidak mengajarkan basa Jawa yang baik dan benar dalam
kehidupan sehari terutama saat terjadi percakapan dengan orang tua sendiri. Jadi, saat
ini terlihat semua kalangan memang kurang memperhatikan penggunaan basa Jawa
yang tepat kepada lawan bicaranya. Golongan muda dan tua sama-sama memilih
untuk menggunakan bahasa yang praktis saat melakuka percakapan. Basa Jawa
Ngoko sudah biasa didengar dalam percakapan antara anak muda dan orang tua
sekarang. Padahal dahulu, menggunakan basa Jawa Ngoko kepada orang yang lebih
tua dianggap hal yang tidak sopan/ elok.

Kedua, patrap atau perilaku warga Jogja yang kian hari terbawa arus perubahan.
Transformasi transportasi dan teknologi lainnya membawa kemudahan untuk
mobilitas dan kegiatan lainnya. Contohnya, yaitu kendaraan yang semula banyak
warga Jogja menaiki sepeda ontel kemudian banyak yang menimilih mengendarai
sepeda motor bahkan mobil agar lebih cepat sampai tujuan dan tidak lelah. Hari ini
pesepeda yang sering dijumpai adalah pedagang di pasar, pemulung, sol sepatu
keliling, dan orang tua yang tidak bisa atau tidak memiliki motor. Sedangkan anak
muda dan orang dewasa lainnya memilih untuk mengedarai motor karena tunggangan
ini lebih cepat dan tidak memakan banyak tenaga. Walau pun banyak komunitas
pesepeda aktif mengampanyekan kepada orang-orang dan mengajak untuk bersepeda,
tetap saja praktis dan efisien adalah pilihan banyak orang agar cepat sampai tujuan.
Tidak dipungkiri banyak orang dewasa dan bahkan orang sepuh yang turut
mengendarai sepeda motor ke suatu tempat yang bahkan terkadang jaraknya tidak
jauh.

Perilaku pengendara motor yang baik sering dilanggar, berikut hal yang biasa
dilanggar ketika berkendara baik perjalanan jarak jauh mau pun jarak dekat; 1) tidak
memakai helm, 2) tidak menyalakan lampu sen dan lupa mematikannya, 3) belok atau
putar balik secara tiba-tiba, 4) tidak berhenti saat lampu merah yang biasa terjadi di
persimpangan daerah yang tidak dijaga polisi, 5) berbonceng tiga, 6) parkir di sisi
jalan mengganggu kendaran lain yang melintas, dan lain sebagainya. Sebagai orang
tua seharusnya memberikan tulada atau contoh yang baik pada generasi yang lebih
muda, sebaliknya anak muda tidak mencontoh sikap yang kurang baik tanpa perlu
mencela orang tua yang konservatif terhadap aturan modern.

Ada pun tata krama yang banyak ditemukan pada anak kecil zaman sekarang, saat
dipanggil orang yang lebih tua sapaan balik mereka kebanyakan kurang sopan,
semisal “Apa (opo)?” sebagai jawaban dari bentuk tegur sapa yang diberikan.
Padahal, jawaban yang baik ketika disapa dalam basa Jawa adalah “Inggih” atau iya.
Bukan hanya satu dua anak yang melakukan hal tersebut, hampir semua anak kecil
dan remaja yang didikan dalam unggah-ungguhnya kurang akan menjawab dengan
hal yang serupa.

Dampak dari permasalah budaya ini adalah masyarakat Yogyakarta yang terkenal
dengan lembut dan sopan santunnya mulai dipertanyakan. Sopan santun pada orang
tua semakin luntur. Rasa hormat dan menghargai kian menurun. Serta budaya yang
sudah ada sejak dulu luntur. Anak muda akan menganggap orang tua seperti teman
yang dalam berbicara dan perilaku sepadan.

Pendidikan sejak dini merupakan hal utama yang dapat dilakukan orang tua
zaman sekarang agar anaknya kelak memiliki patrap dan unggah-ungguh yang
baik. Memiliki rasa hormat pada orang yang lebih tua. Bagi anak muda zaman
sekarang, tidak ada kata terlambat untuk belajar kembali unggah-ungguh yang
benar dengan merasa bangga bahwa basa Jawa yang digunakan tergantung pada
lawan bicara akan menampilkan budaya masyarakat Yogyakarta yang mulai
luntur. Bagi orang tua mengajarkan dengan sikap yang halus dan membenarkan
tanpa menyalahkan generasi muda yang belum bisa atau masih memperbaiki
unggah-ungguhnya akan membuat lebih dihargai daripada hanya mencela dan
tidak memberikan bekal yang baik. Pihak Kraton Jogja sudah memberikan
fasilitas berupa les gratis yang bertempat di pojok Kraton Jogja. Disana diajarkan
menulis aksara Jawa, Basa Jawa, tata perilaku menurut pakem Jogja, dan kegiata
lain seperti latihan macapat. Tempat ini sendiri dikelola oleh para abdi dalem
yang notabene paham dengan budaya Jawa (Jogja) sehingga dapat dipercaya.

Kesadaran warga Yogyakarta dan sensitivitas terhadap budaya yang dimiliki


sangat diperlukan untuk mempertahankan keistimewaan dan label atas dampaik
positif budaya sendiri. Sebagaimana pepatah mengatakan “Ajining raga tumata
ing busana, ajining dhiri gumantung kedaling lathi.” maknanya seseorang
dapat dinilai dari penampilan dan cara bicara. Penampilan disini ditujukan
pada sikap atau perilaku yang ditunjukkan kepada yang lain.

Pandangan akademisi terhadap patrap dan unggah-ungguh masyarakat Jogja


sendiri merupakan hal yang menjadi tolak ukur kesopanan yang berlaku di Jogja.
Hidup di suatu masyarakat artinya menghormati dan menghargai budaya yang
berlaku serta berkolaborasi. Maka, mengajarkan tata krama ala orang Jogja pada
setiap orang terutama bagi penduduk dan pendatang yang tinggal di Jogja adalah
hal yang penting. Mengingat faktor internal dan eksternal seperti perubahan dan
parenting memengaruhi pergeseran dan perubahan pada budaya.
KESIMPULAN

Dengan demikian kita harus melindungi perempuan dan anak yang dianggap
lemah oleh masyarakat. Hal itu supaya tidak adanya lagi kekerasan yang ada.
Luka dan trauma disembuhkan. Para korban kekerasan pun akan terbuka dan
bersuara dengan apa yang mereka alami.

Budaya yang sudah dibangun menjadi suatu ciri khas bagi masyarakat
tertentu tak ubahnya menjadi nilai lebih untuk dijaga kelestariannya. Tujuannya
tak lain untuk memelihara suasana yang nyaman dan tentram serta rukun terkait
dengan budayanya sendiri walau pun kemajuan zaman sudah terealisasikan tak
lantas budaya sendiri dilupakan. Selaama budaya tersebut membentuk masyarakat
memiliki harga diri dan tidak merugikan maka perlu dijaga dan dijunjung.
DAFTAR PUSTAKA

Hayati, Ika U. (2019). Unggah Ungguh dalam Bahasa Jawa yang Kian Terlupa.
Yogyakarta. https://etnis.id/unggah-ungguh-dalam-
bahasa-jawa-yang-kian-terlupa/

Pasalbessy, J. D. (2010). Dampak tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak


serta solusinya. Jurnal Sasi, 16(3).

CNN Indonesia. 2018. Agar Perempuan Terhindar dari Kekerasan. Diakses pada
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20181206121647-284-351575/
agar-perempuan-terhindar-dari-kekerasan

Tempo.co. 2015. Kiat Mencegah Kekerasan Pada Anak. Diakses pada


https://gaya.tempo.co/read/702371/5-kiat-mencegah-kekerasan-pada-anak/
full&view=ok

Anda mungkin juga menyukai