Anda di halaman 1dari 2

HAK BAGI WNA MELAKUKAN PENGUJIAN UU

TERHADAP UUD 1945

Dewan juri yang terhormat dan rekan berpikir ku sekalian, kami dari tim pro dan saya
pembicara kedua akan melanjutkan argumentasi dari pembicara pertama kami mengenai mosi
perdebatan yang kita cintai ini.
Harus dan penting untuk kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara hukum, negara
yang memiliki peraturan perundang-undangan dan negara yang sangat menjunjung tinggi
HAM. Disisi lain, jika memang Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi
HAM, mengapa WNA yang tercederai hak-haknya di NKRI tidak dapat memohon untuk
melakukan Judicial Review terhadap undang-undang yang merugikannya? Bukankah setiap
orang berhak mendapatkan keadilan dimanapun ia berada? Yang mana telah disampaikan
oleh International Convenan on Civil Political Rights pada Pasal 16 yang dapat diartikan dan
berbunyi :
"Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dimanapun ia
berada"
Dalam mosi perdebatan ini kita tengah membicarakan Hak Asasi Manusia yang dalam
pembicaraannya sangat harus berhati-hati sebab hal ini menyangkut keadilan dan
keberlangsungan hidup manusia, serta membuktikan adanya relevansi terhadap hak WNA
agar dapat melakukan permohonan pengujian Undang-Undang oleh UUD 1945.

Dewan juri yang kami hormati, kelemahan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003
berdampak besar terhadap Hak Asasi Manusia yang telah dijelaskan pada Pasal 28 D Ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."
Argumentasi ini juga didukung pada tiap-tiap pasal yang tertera pada BAB X UUD
1945, yang mana hampir tiap pasalnya menggunakan frasa kata "Setiap orang" yang dapat
kita maknai bahwa setiap orang maknanya dilindungi haknya oleh UUD 1945 adalah semua
orang yang berada di wilayah Republik Indonesia baik WNI maupun WNA.
Terlepas dari pembicaraan HAM pada mosi kali kami dapat membuktikan secara De
Facto bahwa UU nomor 24 Tahun 2003 yang telah di Junto kan sebanyak dua kali
bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengenai Hak Asasi Manusia, bukan
hanya itu namun UU ini bertolak belakang dengan International Convenan on Civil Political
Rights terlebih lagi Pasal 16nya, sehingga melalui perdebatan kali ini kami sebagai tim pro
dengan tegas dan lugas mengatakan harus adanya pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi. Sebab pada dasarnya setiap orang, setiap individu, dan setiap insan berhak atas
keadilan terhadap diri dan keberlangsungan hidupnya.
Jika boleh kita kembali kepada peristiwa Mochicca Mochtar yang melakukan
permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terhadap kejelasan hukum anak yang
lahir dari hasil pernikahan sirihnya. Yang mana Mochicca Mochtar berjuang dan meminta
keadilan terhadap dirinya dan seorang anaknya. Memang dalam peristiwa ini Mochicca
Mochtar merupkan WNI, lantas bagaimana jika hal yang hampir sama terjadi kepada WNA
yang tercederai hak-haknya di mata hukum? Memohon Judicial Review? Mahkamah
Konstitusi bahkan tidak mengizinkan.
Perlu kami tegaskan bahwa kami sangat yakin dan percaya bahwa Mahkamah
Konstitusi menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan. Namun dalam kacamata tim
pro saat ini, nampaknya UU Nomor 24 Tahun 2003 junto UU Nomor 8 Tahun 2011 junto UU
Nomor 7 Tahun 2020 justru mencederai Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Dewan juri yang terhormat, hak permohonan Judical Review harus bisa diberikan
kepada WNA namun bukan hanya kepada WNI saja, sebab hukum harus dilihat dari berbagai
kacamata dan sudut pandang demi mendapatkan keadilan hukum bagi setiap golongan
masyarakat
Justru dengan membuka peluang bagi WNA akan membantu dan menguatkan peraturan
di Indonesia yang pastinya memberikan batasan-batasan tersendiri dalam mekanismenya.

Untuk itu, kami dari tim pro secara tegas mendukung mosi ini. Perihal argumentasi
lainnya akan diteruskan dan dipaparkan secara rinci oleh pembicara ketiga.

Anda mungkin juga menyukai