Anda di halaman 1dari 10

TEKNOLOGI MENJADIKAN MANUSIA SEBAGAI BUDAK MESIN PADA MASA

REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Equality Before The Law –Semua Orang Sama Didepan Hukum

shalom, om swastiastu, namo buddhaya, salam kebajikan. assalamualaikum


warahmatullahi wabarakatu. 
terimakasih kepada moderator, yang mulia dewan juri, kolega kami dari tim pro serta
pemerhati hukum dan konstitusi
perkenalkan disini saya selaku pembicara pertama dari tim PRO atas mosi perdebatan
kali ini yaitu teknologi menjadikan manusia sebagai budak mesin pada masa
revolusi industri 4.0

dewan juri yth izinkan saya membuka alur perdebatan kali ini, dengan membagi ranah
pembicaraan saya menjadi 6 bagian yaitu, kata kunci, limitasi, latar belakang,
urgensitas, beban pembuktian dan status quo. 
kata kunci 
dimulai dengan menyebutkan kata kunci atas mosi perdebatan kali ini yakni : 
1. Teknologi : menurut KBBI, metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis, ilmu
pengetahuan terapan atau keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-
barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia;
2. Budak : menurut kominfo, golongan manusia yg dimiliki oleh tuan,bekerja tanpa
gaji dan tidak mempunyai hak asasi manusia
3. mesin : menurut KBBI, perkakas untuk menggerakkan atau membuat sesuatu yg
melakukan tugas yg telah di setel juga menggunakan bahan bakar
4. Revolusi industry 4.0 : menurut kominfo,upaya transformasi menuju perbaikan dg
mengintregasikan dunia online dan lini produksi di industry,dimana semua
prosesproduksi berjalan dg internet sebagai penopang utama atau secara
sederhana perpindahan cara kerja yg konvensional menjadi modern..

limitasi
dewan juri yth disini kami sebagai tim PRO memberikan limitasi atas perdebatan kali ini
yaitu teknologi menjadikan manusia sebagai budak mesin pada masa revolusi industri
4.0
latar belakang
sebagaimana yang kita ketahui bersama,
urgensitas
LANTAS MENGAPA MANTAN TERPIDANA KORUPSI BOLEH MENDUDUKI
JABATAN PUBLIK?
Dewan juri yth,
● berdasarkan pasal 27 ayat 1 undang-undang dasar negara republic Indonesia
tahun 1945 menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
● sementara pasal 28D ayat 1 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum”
● dan menurut pasal 28 J ayat 2 “dimungkinkannya pembatasan hak dan
kebebasan seseorang berdasarkan undang-undang”.

Yang mana dewan juri yth pencabutan hak politik seseorang hanya diizinkan bila
berlandaskan undang-undang. Dan Narapidana yang telah selesai menjalani
hukumannya berhak mendapatkan kembali hak asasi sebagaimana yang telah
diatur oleh undang-undang.
BEBAN PEMBUKTIAN
Dewan juri yth, disini kami sebagai tim kontra membawa beberapa beban pembuktian :
1.

status quo

dewan juri yth berdasarkan data boks, sepanjang tahun 2004 hingga 2021 kpk
mencatat terjadi 1194 kasus korupsi

dari kurun waktu tahun 2013-2017 terdapat 27 kasus korupsi yang mendapat hukuman
tambahan berupa pencabutan ha ku k politik.

sementara dari tahun 2018-2021 terdapat tambahan 639 kasus korupsi.

dewan juri yth, apabila rekan kami dari tim pro menyatakan bahwa pencabutan hak
politik merupakan cara yang efektif dalam menghentikan kasus korupsi lalu mengapa
lebih dari 500 kasus korupsi terus terjadi di atas tahun 2017?

bukankah harusnya terpidana yang dicabut hal politiknya mampu memberikan efek jera
bagi terpidana lain? hal ini jelas mengatakan ketidakefektifan pidana tambahan
tersebut.

lalu bagaimana dengan terpidana yang dicabut hak politiknya yang bangkit kembali dari
kesalahannya namun terhalang dengan pidana tambahannya.

dewan juri yth rekan kami dari tim pro tidak dapat menyatakan bahwa narapidana akan
terus mengulangi kesalahannya. pemberian hukuman yang tepat sebagaimana yang
akan disampaikan oleh rekan pembicara ketiga kami, sangat kami yakini akan
menghentikan kasus korupsi dan tetap menjunjung ham.

disini kami berdiri tegak sebagai tim kontra dan mengajak rekan intelektual kami dari tim
pro untuk meninggalkan keberpihakannya dan bergabung bersama kami dalam
meruntuhkan mosi perebatan kali ini. demikian pernyataan dari saya selaku pembicara
pertama, yang kemudian akan dielaborasikan oleh pembicara kedua dan ditegaskan
ulang oleh pembicara ketiga. sekian dan terimakasih

MANTAN NARAPIDANA KORUPSI TIDAK BOLEH MENDUDUKI JABATAN PUBLIK

Lex superior derogat legi inferiori -Hukum yang lebih tinggi menyampingkan undang-
undang yang lebih rendah tingkatannya

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, shalom, om swastiastu, namo


buddhaya, salam kebajikan. Terima kasih kepada moderator, dewan juri yang terhormat
dan rekanku dari tim pro.

Perkenalkan saya selaku pembicara KEDUA dari tim kontra, yang kali ini akan
membuka wawasan berpikir kita, demi meruntuhkan mosi perdebatan kita yang
bertajuk, MANTAN NARAPIDANA KORUPSI TIDAK BOLEH MENDUDUKI JABATAN
PUBLIK.

Selanjutnya saya akan membagi ranah pembicaraan saya menjadi 2 pokok


pembahasan yakni ranah bidasan dan ranah argumentasi.

Baiklah, dewan juri yang terhormat, pertama-tama saya akan membidas beberapa
pernyataan rancu yang telah disampaikan oleh rekan kami dari tim pro.
Pertama, tim pro menyatakan bahwa pencabutan hak politik tidak melanggar hak asasi
manusia. dewan juri yth, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwasanya seluruh
rakyat indonesia memiliki hak politik sebagai hak asasi mereka. dan bukannya negara
sudah menjamin hak asasi manusia sebagaimana yang telah di atur oleh undang-
undang?. lalu kami mempertanyakan kembali bagaimana tim pro dapat menyatakan
bahwa pencabutan hak politik tidak melanggar hak asasi manusia. perlu di ingatkan
kembali bahwa mantan narapidana korupsi juga seorang rakyat yang harus dijunjung
hak asasinya, bahkan dalam undang-undang sendiri sudah terdapat pelegalan
pencalonan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif. bukankah itu sudah
menjawab penyataan yang telah disampaikan oleh rekan kami dari tim pro?

Kedua, tim pro menyatakan bahwa hukuman penjara belum cukup untuk membuat
mantan narapidana korupsi jera sehingga diperlukan adanya pencabutan hak politik.
Dewan juri yang terhormat, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM sejatinya telah
bersungguh-sungguh dalam menghukum koruptor, salah satu buktinya adalah telah
dibuatnya penjara khusus yang akan lebih tegas dan ketat bagi para koruptor seperti
sel yang ada di Lapas Cipinang, Jakarta. Diharapkan koruptor akan mendapat
perlakuan yang adil karena tidak dapat menyuap petugas lapas untuk mendapatkan
fasilitas yang berlebih. Dengan demikian, koruptor akan jera tanpa perlu dicabut hak
politiknya.

Selanjutnya, izinkanlah saya untuk membuka argumen saya dengan menjawab


urgensitas yang telah dibawakan oleh rekan saya dari pembicara pertama mengenai
mengapa Mantan Narapidana Korupsi boleh untuk kembali menduduki jabatan
publik.

Dewan juri yang terhormat, sangat disayangkan, karena tim pro sepertinya menaruh
stigma bahwa sekali penjahat tetap selamanya akan menjadi penjahat. dewan juri yth,
Kami percaya bahwa dengan pemidanaan yang tegas dan adil akan membuat
narapidana korupsi jera dan tidak mengulangi kesalahannya. karna seperti yang kita tau
bahwa tujuan pemidanaan adalah permasyarakatan. Hal tersebut dapat kita lihat pada
kasus mantan narapidana korupsi tahun 2009 yaitu Hamid Rizal yang kembali terpilih
menjadi Bupati Natuna dan mendapat trophy serta piagam penghargaan Indonesia
leadership government award pada tahun 2016 dari yayasan Citra Prestasi Anak
Bangsa. bukankah itu membuktikan bahwa pemidanaan melakukan tugasnya dengan
baik?

Kemudian mengapa kami dengan lantang menyatakan bahwa mantan Narapidana


korupsi boleh kembali menduduki jabatan publik? Dewan juri yang terhormat, pertama-
tama marilah kita kembali mengingat bahwa Indonesia adalah negara hukum yang
menjunjung hak asasi manusia.
dan tidak lupa bahwa negara indonesia memiliki dasar negara yaitu pancasila yang
menjadi landasan dalam bernegara, yang mana dewan juri yth sila ke 5 pancasila
menyebutkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia” maka tidak ada
perbedaan termasuk bagi mantan narapidana korupsi didalamnya.

pasal 281 ayat 4 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab
negara,” yang mana hak politik merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Kemudian diperjelas pada pasal 43 ayat 1 UU nomor 39 tahun 1999 yang menyatakan
bahwa “setiap orang memiliki persamaan hak dalam memilih dan dipilih sesuai asas
pemilu yang berlaku.”

Selain itu, Undang-undang tersebut juga didukung oleh Deklarasi HAM pada pasal 21
yang berbunyi "bahwa setiap orang berhak untuk turut serta dalam pemerintahan
negerinya sendiri, baik langsung maupun dengan wakil-wakil yang dipilih dengan
bebas, dan juga setiap orang memiliki kesempatan yang sama atas hal tersebut."

Maka dari itu, dewan juri yang terhormat, dengan dijaminnya hak asasi manusia oleh
peraturan perundang-undangan, pemerintah sejatinya wajib melindungi hak asasi
warga negaranya termasuk mantan narapidana korupsi, yang juga sesuai dengan
pelaksanaan pasal 71 UU nomor 39 tahun 1999 yang menyatakan “Pemerintah wajib
dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak
asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan
lain, dan hukum HAM sejenisnya yang diterima oleh negara Republik Indonesia”.

Oleh karena itu dewan juri terhormat, tindakan melarang mantan narapidana korupsi
menduduki kembali jabatan publik adalah hal yang berlebihan dan bertentangan
dengan HAM serta dengan undang-undang yang mendukung hal tersebut.

Selanjutnya dewan juri yang terhormat, berangkat dari isu permasalahan tadi, kita
mengetahui akar permasalahan dari polemik tersebut.

Dewan juri yang terhormat, pelarangan mantan Narapidana Korupsi kembali menduduki
jabatan publik ternyata didasarkan pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018
tentang pencalonan anggota legislatif tepatnya pada pasal 7 ayat 1 huruf g yang
menyatakan bahwa syarat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif yaitu " tidak
pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap".
KPU menyatakan pembentukan PKPU tersebut bertujuan untuk mengurangi angka
korupsi di pemerintahan. Namun, dewan juri yang terhormat, perlu kita cermati kembali
bahwa KPU sebenarnya tidak memiliki wewenang dan landasan yang kuat dalam
pembentukan peraturan tersebut. Karena selain berbenturan dengan isu hak asasi
manusia, peraturan tersebut sesungguhnya juga bertentangan dengan Undang-undang
lebih tinggi yang telah ada sebelumnya, yaitu pada UU No. 7 tahun 2017 pasal 240
ayat 1 huruf g tentang pemilihan umum yang menyatakan bahwa mantan narapidana
korupsi, boleh mencalonkan diri kembali dengan syarat bahwa yang bersangkutan wajib
secara terbuka dan jujur menyampaikan kepada publik tentang status mantan
narapidananya. Adapun terkait dengan terpilihnya kembali mantan narapidana sebagai
pejabat publik semuanya kembali kepada masyarakat sebagai pemilik hak suara yang
sah.

Hal tersebut juga diperkuat pada Putusan mahkamah konstitusi nomor 14-17/PUU-
V/2007 yang isinya “menjamin hak konstitusional mantan narapidana untuk turut serta
sebagai calon legislative dalam pemilihan umum”.

Dewan juri yang terhormat, mengacu dari undang-undang tersebut seperti yang kita
ketahui bersama bahwa Indonesia menganut paham dimana hukum yang lebih tinggi
menyampingkan hukum yang lebih rendah tingkatannya. Hal tersebut juga diatur pada
pasal 8 UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan yang menyatakan bahwa sebuah undang-undang diakui dan memiliki
kekuatan hukum yang mengikat selama tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berada diatasnya. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa
KPU telah bertindak di luar kewenangannya dengan membuat peraturan yang
membatasi hak asasi manusia sekaligus bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya, sehingga KPU wajib mencabut atau merevisi
PKPU tersebut.

Oleh karena itu, dewan juri yang terhormat, kami sebagai tim kontra berdiri tegak pada
hari ini dan tetap pada pendirian awal kami yang dengan tegas, lugas dan mantap
menyatakan sangat tidak setuju dengan mosi perdebatan kita kali ini. Kemudian kami
juga mengajak kepada rekan kami tim pro untuk meninggalkan ketidakberpihakannya
dan bergabung bersama kami untuk menjatuhkan mosi perdebatan kali ini.

MANTAN NARAPIDANA KORUPSI TIDAK BOLEH MENDUDUKI JABATAN PUBLIK


Lex Nemini Operatur Iniquum, Neminin Facit Injuriam -Hukum Tidak Memberikan
Ketidakadilan dan Tidak Melakukan Kesalahan Kepada Siapapun.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu. Shalom, om swastiastu, namo


buddahaya, salam kebajikan. Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita semua.
Dewan juri yang kami muliakan dan rekan-rekan intelektual yang berbahagia, pada
kesempatan kali ini saya sebagai pembicara ketiga dari tim kontra akan membuka
cakrawala berfikir kita semua, dimana kami sebagai tim kontra menolak dengan tegas
adanya mosi perdebatan kita pada kali ini, dengan mosi perdebatan mantan narapidana
korupsi tidak boleh menduduki jabatan publik. Kemudian saya akan membagi ranah
pembahasan saya menjadi 3 bagian yakni ranah bidasan, ranah perbandingan
komprehensif dan ranah solusi cerdas.

Baiklah saya akan masuk kepada ranah pembicaraan saya yang pertama, dimana saya
akan membidas beberapa pernyataan pernyataan rancu yang disampaikan oleh rekan
intelektual kami dari tim pro.

BIDASAN

1. rekan kami dari tim pro mengatakan bahwa pejabat publik harus memiliki image
yang baik. Dewan juri yang terhormat, secara filosofis dan sosiologis sistem
pemasyarakatan yang diterima oleh narapidana memandang narapidana sebagai
subjek hukum yang sama dengan manusia lainnya yang dapat melakukan kesalahan
dan dikenakan pidana. Pemidanaan adalah suatu upaya untuk menyadarkan
narapidana agar menyesali perbuatannya dan kembali hidup secara wajar. Mahkamah
Konstitusi juga mengatakan bahwa seseorang yang telah menjalani hukuman pidana
pokok dan keluar dari lembaga permasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang
telah menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi
perbuatannya. sehingga dapat kembali menjadi subjek hukum yang tidaklah tepat jika
dicabut hak politiknya. Disini kami sangat percaya bahwa tidak ada keraguan terkait hal
tersebut.

2. Rekan kami dari tim pro mengatakan bahwa pada kasus tindak pidana korupsi,
hakim menentukan adanya hukuman tambahan pencabutan hak tertentu berdasarkan
analisis hukum pada kasusnya. Dewan juri yang terhormat, sepertinya rekan kami dari
tim pro terlalu tergesa-gesa memahami argumen pada mosi kita kali ini. Lalu apakah
ketika seseorang yang berbuat tindak pidana karena sebuah perintah dan terikat relasi
dinasti politik yang kuat dan sebenarnya bertentangan dengan hati nurani dan tidak ada
niat, layak untuk diberikan hukum tambahan? Dewan juri yang terhormat, suatu
perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus
dipenuhi dua unsur yaitu adanya unsur actus reus dan unsur mens rea . Unsur actus
reus adalah perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin
pelaku pada saat melakukan perbuatan. Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya
karena orang itu telah melawan hukum. Sehingga meskipun perbuatannya memenuhi
rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan, namun hal
tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. sesuai dengan salah satu
asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana dan dianggap adil dalam
mempertanggungjawabkan perilaku delik, yaitu asas kesalahan, yang memiliki bunyi
actus non facit reum nisi mens sir rea. Yang artinya “Tidak dipidana, jika tidak ada
kesalahan” .

PERBANDINGAN KOMPREHENSIF

Dewan juri yang terhormat, seperti yang kita ketahui bersama, ciri dari suatu negara
hukum ialah perlindungan HAM yang tidak dapat dihilangkan. seperti yang dikatakan
oleh pembicara 2 kami, pasal 43 UU No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
jelas mengatur bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan
juga memilih, dan kalaupun ada pembatasan terhadap hak asasi manusia maka
sejatinya haruslah ditetapkan berdasarkan undang-undang. Oleh sebab itu, sangatlah
keliru apa yang disampaikan oleh tim pro yang menggaungkan pembatasan terhadap
hak politik terpidana. karena hal ini sejatinya telah melanggar hak asasi manusia yang
telah mengamanatkan bahwa hak politik seseorang tidak boleh dirampas untuk selama-
lamanya.

Selain itu PKPU no 20 tahun 2018 yang menjadi landasan berpegang dari pihak pro,
sejatinya tidaklah sejalan dan tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik dan benar, karena seperti yang kita ketahui bersama,
bahwa pembatasan hak seorang warga negara haruslah diatur di dalam Undang-
undang dan bukan diatur oleh peraturan dibawah undang-undang. Oleh sebab itu
PKPU No 20 Tahun 2018 dikatakan bertentangan dengan UU No 7 Tahun 2017 tentang
undang-undang pemilu dan juga UU No 12 Tahun 2011 tentang peraturan
pembentukan perundang-undangan.

SOLUSI CERDAS

Dewan juri yang kami muliakan dan rekan” intelektual yang berbahagia, sesuai dengan
mosi perdebatan kali ini, kami sebagai tim kontra menolak dengan tegas berdirinya
mosi perdebatan ini, sehingga kami juga memaparkan solusi cerdas untuk menjawab
permasalahan pada mosi perdebatan kali ini. Dimana saya akan membagi menjadi 2
bagian yakni sebelum dan sesudah dipidananya seorang koruptor.

a) Sebelum terjadinya pidana


Sebelum korupsi tersebut muncul dan merugikan beberapa sektor, munculnya korupsi
ini dapat kita hindari dengan beberapa cara, yaitu

· yang pertama adalah mengatur dan menerapkan aturan prinsip


keterbukaan (sunshine regulation). Dengan menerapkan prinsip
keterbukaan akan memberikan dua fungsi utama yaitu akuntansi dan
akuntabilitas yang berfungsi sebagai tindakan pencegahan dan alat
monitoring dalam memerangi korupsi. fungsi akuntansi dapat memberikan
laporan tentang uang yang masuk dan yang dikeluarkan oleh pejabat
publik. Sedangkan fungsi akuntabilitas adalah pemaparan laporan
tersebut kepada masyarakat sehingga masyarakat mendapat informasi
yang cukup dalam memilih seseorang yang akan menempati jabatan
publik. dengan adanya keterbukaan maka akan terbentuk sebuah
komunitas pengawas dan media yang memberikan analisa tentang
keuangan para politisi dan menciptakan masyarakat yang lebih terdidik

· melalui digitalisasi di segala aspek. Reformasi berbasis digital ini bisa


mulai diterapkan pada area-area dengan risiko korupsi tinggi, terutama
pada kerangka sistem pemerintahan. Salah satu contohnya adalah
digitalisasi pembayaran. digitalisasi pembayaran ini merupakan salah satu
penerapan prinsip keterbukaan. Yang mana hal ini memungkinkan
pemerintah untuk melakukan pembayaran-pembayaran melalui saluran
digital yang aman, dan transparan. Melalui saluran digital, transfer uang
dapat dipastikan diterima pihak yang dituju atau kembali ke penyimpanan
negara. Dengan mengoptimalkan data pembayaran dan analisis
menyeluruh, pemerintah dapat menghemat ratusan milyar kebocoran
dana. Penipuan, pola-pola transaksi yang mencurigakan, pembayaran
cacat dapat diketahui dengan mudah dan cepat. Dengan
mengimplementasikan digitalisasi pembayaran secara bertanggung
jawab, pemerintah dapat mengurangi jumlah kasus korupsi dengan
signifikan.

b) Sesudah terjadinya pidana

· Memberikan hukuman vonis yang berat kepada koruptor. berdasarkan


pemantauan vonis-vonis pada setiap tingkatan pengadilan, rata-rata vonis
yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) kepada koruptor masih lebih
tinggi ketimbang Pengadilan Tinggi dan Tindak pidana korupsi. MA rata-
rata menjatuhkan hukuman 71 bulan penjara, sementara Pengadilan
Tinggi dan Tindak pidana korupsi rata-rata memberikan vonis 44 dan 36
bulan penjara. Melihat realita tersebut, wajar jika praktik korupsi akan
terus menerus terjadi. Vonis ringan seharusnya dianggap sebagai sinyal
melemahnya komitmen pengadilan untuk memberantas korupsi.

· Memiskinkan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Menurut


Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar, hal yang membuat koruptor
jera adalah kehilangan banyak harta. Bagi tindak pidana korupsi,
bagaimana jika dilakukan dengan memiskinkan koruptor. Dengan
pendekatan asset recovery, semua akses narapidana koruptor mesti
ditutup. Hal Ini yang akan lebih menjerakan koruptor ketimbang hukuman
pencabutan hak politik.

· Tidak memberikan kemewahan bagi para koruptor. Misalnya, lapas


khusus yang menyediakan berbagai fasilitas bagi koruptor. Baru-baru ini
di lembaga pemasyarakatan (lapas) Sukamikin, bandung, jawa barat
ditemukan adanya sel narapidana yang dilengkapi dengan mesin
pendingin udara (AC), televisi, dan kulkas. Penangkapan dan
penggeledahan ini terkait dengan dugaan suap dalam bisnis fasilitas sel
dan jual-beli kamar. Jika hal ini terus terjadi koruptor akan hidup mewah di
penjara dan tentunya tidak akan jera dengan hukuman yang diterimanya.

Dewan juri yang terhormat, dapat dilihat bahwa banyak hal lain yang
dapat dilakukan dan dijadikan sanksi kepada narapidana dan sudah
sangat cukup untuk membuat mereka jera. maka tidak sepantasnya lah
apabila mereka dilarang untuk menduduki jabatan publik.

PENUTUP

Kami sebagai tim kontra dengan tugas lugas dan berwibawa sangat tidak setuju dengan
mosi perdebatan kita kali ini dan sangat yakin untuk menjatuhkan mosi perdebatan ini.
Kami juga mengajak rekan kami tim pro untuk meninggalkan keberpihakannya dan
bergabung dengan kami untuk meruntuhkan mosi perdebatan kita kali ini. Sekian
terimakasih

Anda mungkin juga menyukai