Anda di halaman 1dari 8

Mewariskan Cagar Budaya

Oleh: Engkos Koswara

(Dokumentasi Penulis, Benteng Gunung Kunci Sumedang, 2012)

Saya awali tulisan ini dengan peribahasa yang barang tentu tidak asing lagi
di telinga kita, menjadi kata-kata yang selalu diulang-ulang ketika seorang guru
sejarah mendidik murid-muridnya, kurang lebih seperti ini pepatahnya “bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Saya pribadi
mengakui jika memang benar harus seperti itu, saya sepakat karena tidak mungkin
suatu bangsa dapat menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar, yang disegani
oleh bangsa-bangsa lain di dunia tanpa ia mengenali, memahami, bahkan
mengambil pelajaran dari sejarah bangsanya sendiri. Dewasa ini mari kita
tegaskan jika di zaman sekarang bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu
melanjutkan kejayaan bangsanya seperti apa yang dicita-citakan para
pendahulunya, bukan hanya sekedar menghargai tapi melakukan aksi nyata. Bung
Karno pun sang proklamator kemerdekaan republik ini pernah berkata jika bangsa
Indonesia jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah atau biasa kita kenal dengan
istilah jasmerah.
Pembelajaran sejarah sendiri sebagai salah satu mata pelajaran yang
diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar secara tematik, kemudian secara
terpadu menjadi ilmu pengetahuan sosial di sekolah menengah pertama, dan
menjadi mata pelajaran khusus di sekolah menengah atas. Pelajaran sejarah dari
zaman ke zaman mengalami tantangan yang saya anggap semakin berat. Image
sejarah yang membosankan, ngantuk, gagal move on dan hal-hal negatif lainnya
menjadi stigma yang melekat di sebagian besar siswa kita. Oleh karena itu
dibutuhkan pengemasan pembelajaran sejarah yang menyenangkan, dekat dengan
siswa, dan tentunya membuat siswa tergugah untuk peduli akan sejarahnya.
Pembelajaran sejarah sendiri tentunya bisa kita lakukan tidak hanya di dalam
kelas saja, karena kalau kita hanya terpaku di dalam kelas tentunya siswa akan
merasa jika sejarah hanya berbicara tetang ceramah, tentang buku-buku tebal, dan
tentang peristiwa yang sudah pasti tidak pernah mereka ketahui bahkan mereka
alami. Sehingga model pembelajaran di luar kelas bisa digunakan sebagai solusi
dari problema yang mengemuka tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan oleh
Sudjana dan Rivai (2013, hlm. 208) jika guru dan siswa bisa mempelajari keadaan
sebenarnya di luar kelas dengan menghadapkan para siswa kepada lingkungan
aktual untuk dipelajari, diamati dalam hubungannya dengan proses belajar
mengajar, maka pembelajaran akan lebih mudah dipahami.

Pembelajaran sejarah di luar kelas akan lebih konkret apabila siswa diajak
untuk melakukan site tours ke situs-situs bersejarah di daerahnya. Berkunjung ke
tempat bersejarah atau melihat langsung benda-benda tinggalan purbakala yang
disebut cagar budaya. Dalam UU No. 11 Tahun 2010 disebutkan bahwa cagar
budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya,
bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan
cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan yang melalui proses penetapan
(https://www.kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo).

Secara nasional sedikitnya ada 13 warisan milik Indonesia yang telah


dicatat UNESCO menjadi Warisan Dunia (The World Heritage). Ke-13 warisan
itu dikelompokkan dalam tiga kategori berbeda, yaitu warisan alam, cagar alam
atau situs, dan karya tak benda. Untuk warisan alam Indonesia yang sudah diakui
dunia ada empat. Yaitu Taman Nasional Ujung Kulon, Banten yang diakui pada
tahun 1991, Taman Nasional Komodo, di Nusa Tenggara Timur yang diakui pada
tahun 1991, Taman Nasional Lorentz di Papua yang diakui tahun 1999, dan hutan
tropis Sumatera yang mencakup Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat,
dan Bukit Barisan, yang diakui tahun 2004.

Sedangkan warisan berupa bangunan cagar alam di Indonesia, sudah ada


tiga tempat yang diakui UNESCO. Di tahun 1991, dua candi terbesar di Pulau
Jawa yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan diakui oleh UNESCO.
Kemudian di tahun 2004, Situs Manusia Purba Sangiran kembali diakui oleh
UNESCO. Kemudian, untuk budaya tak benda milik Indonesia yang sudah dan
akan diakui UNESCO, yakni wayang di tahun 2003, keris diakui tahun 2005,
batik pada tahun 2009, angklung pada tahun 2010, Tari Saman pada tahun 2011
lalu, subak yang akan dikukuhkan sebagai warisan dunia menurut UNESCO pada
Juni 2012. Kemudian kain Noken khas Papua kembali mendapat pengakuan dari
UNESCO (www.merdeka.com).

Kondisi di daerah tentunya beragam terkait pendataan, pemeliharaan, dan


pelestarian cagar budaya tersebut. Tidak jarang kita temui banyak bangunan cagar
budaya atau diduga cagar budaya beralih fungsi menjadi pertokoan, pasar, rumah
pribadi, bahkan restoran. Hal ini menjadi dilematis, karena selama bangunan
tersebut belum ditetapkan sebagai benda cagar budaya, baik di tingkat
kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun dunia. Apalagi belum sekali pun
didaftarkan sebagai benda cagar budaya. Pihak pemilik bangunan tersebut berhak
melakukan apapun terkait pengelolaan maupun pemanfaatan bangunan, struktur,
atau benda tersebut.

Kepedulian masyarakat umum terhadap bangunan maupun benda-benda


cagar budaya ditambah dengan peran aktif pemerintah dalam memfasilitasi
program pendataan, pengajuan, penetapan, dan pemeliharaan banguanan, struktur,
dan benda cagar budaya adalah harga mati. Untuk apa? Ini semata-mata untuk
mewariskan bukti-bukti sejarah pada generasi mendatang, anak cucu kita, para
pelajar, dan masyarakat secara umum. Karena dengan adanya bukti sejarah kita
akan lebih paham tentang sejarah, lebih memaknai, serta lebih peduli dengan
sejarah itu sendiri.

Semua elemen masyarakat harus peduli tentang kelestarian dari cagar


budaya di wilayahnya. Pemerintah, swasta, maupun masyarakat lainnya harus
menjadi bagian utuh dari upaya ini. Sehingga para generasi muda, khususnya
pelajar akan memperoleh pengalaman berharga dari bukti-bukti sejarah yang ada
tersebut. Generasi muda yang sebelumnya menganggap jika cagar budaya adalah
benda-benda kuno yang tidak ada artinya, tidak berarti dalam hidupnya, akan
berubah pandangannya. Pemanfaatan benda cagar budaya menjadi sarana lain
yang menunjang kehidupan, pendidikan, ekonomi, dan budaya. Selama tetap
mempertahnkan unsur orisinalitas dari banguanan atau benda cagar budaya
tersebut hal tersebut sah-sah saja untuk dilakukan.

Cara ini akan terasa lebih bermakna disebabkan para siswa dihadapkan
dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya mereka alami, sehingga lebih
nyata, lebih faktual, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Membawa para siswa keluar kelas dalam rangka kegiatan belajar tidak terbatas
oleh waktu. Artinya tidak selalu bisa diperkiranakan, bisa saja dalam satu atau dua
jam bahkan bisa saja lebih tergantung kepada apa yang akan dipelajarinya dan
bagaimana cara mempelajarinya. Dimana pengemasannya bisa dengan survey,
kemping atau berkemah, karyawisata, dharmawisata sampai praktek lapangan.
Saya sendiri punya gagasan dimana pembelajaran sejarah yang nyata bagi siswa
ini bisa diwadahi oleh suatu komunitas peduli kesejarahan yang tentunya
dilegalkan dipersekolahan dalam bentuk estrakulikuler. Dengan begitu siswa akan
diwadahi minatnya dalam bidang sejarah untuk mengeksplorasi lingkungan
sekitarnya, benda-benda tinggalan purbakala, sampai untuk melakukan
wawancara dengan tokoh-tokoh sejarawan dan budayawan setempat.

Edgar Dale (Dimyati dan Mudjiono, 2013, hlm. 45) mengemukakan jika
belajar haruslah dilakukan sendiri oleh siswa, belajar adalah mengalami, belajar
tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Edgar Dale sendiri dalam
pengelompokkan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut
pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar
melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa
tidak sekedar mengamati secara langsung saja tetapi ia bisa menghayati, terlibat
langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Sebagai
contoh seorang yang membuat tempe yang paling baik adalah ia bisa terlibat
langsung dari pembuatan (direct performance) bukan sekedar melihat bagaimana
orang membuat tempe (demonstrating) apalagi kalau hanya sekedar mendengar
orang bercerita bagaimana cara pemuatan tempe (telling).

Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John


Dewey dengan learning by doing (Dimyati dan Mudjiono, 2013, hlm. 46). Belajar
sebaiknya dialami melalui pengalaman langsung. Belajar harus dilakukan secara
aktif, baik individual maupun kelompok, dengan cara memecahkan masalah
(problem solving). Dimana guru harus bertindak sebagai pembimbing dan
fasilitator. Hal ini akan selaras dengan proses pembelajaran yang diharapkan dari
kurikulum 2013 sebagai kurikulum yang hari ini telah diterapkan di Indonesia,
dimana dalam prosesnya siswa diharapkan mampu untuk mengamati, menanya,
mencoba, mengasosiasikan, mengkomunikasikan, dan mencipta. Saya secara
pribadi meyakini jika dengan menggunakan wadah berupa ekstrakulikuler
kesejarahan, maka para siswa akan memiliki waktu lebih untuk bisa mengenali,
memahami dan memaknai sejarah dan cagar budaya. Karena dengan waktu yang
leluasa diluar jam pelajaran siswa bisa diarahkan untuk melakukan eksplorasi
langsung ke tempat-tempat bersejarah di lingkungan sekitarnya. Sehingga kembali
lagi diharapkan bisa mendekatkan pembelajaran sejarah ini dengan dunia nyata
dari siswa tersebut.

Pengemasan dari ekstrakulikuler ini bisa dilakukan dengan menunjuk tim


dari guru-guru sejarah yang ada di sekolah tersebut untuk menjadi pembina dari
komunitas kesejarahan ini sebagai langkah awalnya. Kemudian setelah terbentuk
pembina, maka langkah selanjutnya adalah mengeluarkan surat keputusan dari
kepala sekolah akan legalitas dari ekskul ini. Langkah selanjutnya adalah
melakukan sosialisasi sekaligus rekruitmen dari siswa-siswi yang memiliki
ketertarikan akan mata pelajaran sejarah, bisa atas rekomendari guru atau bersifat
rekruitmen terbuka. Setelah itu mulai merencang kepengurusan dari siswa sendiri,
sehingga komunitas ini dijalankan lebih utama oleh siswa secara aktif. Tetapi,
tidak menutup kemungkinan jika apabila dibutuhkan, guru bisa mengajukan untuk
mendatangkan ahli sejarah atau ahli budaya dari luar sekolahnya. Hal ini supaya
pembelajaran sejarah tersebut lebih bermakna dan lebih komprehensif tidak hanya
disampaikan oleh guru yang bersangkutan yang tentunya sudah pasti sering
mereka temui di dalam pembelajarn di kelas. Dengan begitu akan menimbulkan
nuansa belajar yang berbeda kepada siswa.

Adapun untuk para pemateri atau narasumber bisa mengundang dari


komunitas-komunitas lain di kabupataen/kota sekolah tersebut, para tokoh-tokoh
sejarawan lokal, bahkan bisa saja sharing dengan mahasiswa-mahasiswi di
lingkungan sekitar, lebih khususnya yang mengambil konsentrasi di bidang
keilmuan sejarah atau pendidikan sejarah. Dengan begitu sekali lagi, pembelajaran
sejarah akan lebih variatif, tidak monoton di dalam kelas saja tetapi memberikan
kesan yang berbeda kepada para siswa yang tergabung di dalam eksul tersebut.
Untuk pola kegiatannya sendiri, untuk awal-awal bisa dilakukan dengan cara
ekskursi ke tempat-tempat bersejarah di lingkungan sekitar sekolah, lalu
meningkat ke lingkungan kabupaten/kota dan apabila memungkinkan ke luar kota.
Siswa atau anggota ekskul ini diajak untuk berpetualang, menjelajah, bahkan
adventure secara menyenangkan.

Untuk konten materinya pun tidak akan jauh dengan konten sejarah lokal,
tetapi tidak menutup kemungkinan ada juga tinggalan-tinggalan atau peristiwa di
lingkungan sekitar sekolah tersebut yang masuk ke dalam kategori sejarah
nasional. Tetapi pada umumnya pasti akan dihadapkan pada sejarah lokal di
wilayah tersebut. Ini akan menjadi tantangan juga bagaimana fasilitator disini
mengintegrasikan dan menghubungkan sejarah local dengan materi pembelajaran
sejarah di persekolahan yang biasanya didominasi oleh sejarah nasional saja.
Sebagai contoh apabila sedang membahas terjadinya revolusi fisik
mempertahankan kemerdekaan, di Jawa Barat sebagai contohnya mengalami
revolusi fisik seperti halnya di wilayah-wilayah lainnya. Seperti di Bandung,
Karawang, Sumedang, dan lain-lain. Pastinya peristiwa sejarah akan revolusi fisik
tersebut ada di daerah, di Sumedang terdapat pertempuran 11 april misalnya, dan
di beberapa wilayah lainnya pun ada. Atau apabila kita mundur ke belakang dalam
kaitanya dengan dunia pendidikan. Tentunya di setiap daerah bisa ditelusuri bukti-
bukti peninggalan sekolah pada masa kolonial misalnya, baik itu HIS, MULO,
HBS, dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya pada tahun 1914 didirikan juga
sekolah MULO-HIS yang merupakan sambungan dari Sekolah Rendah Belanda
(Agung dan Suparman, 2012, hlm. 25). Di Bandung sendiri terdapat peninggalan
sekolah-sekolah zaman kolonial yang masih tersisa seperti bangunan SMPN 1
Bandung, SMAN 3 dan SMAN 5 Bandung, dan lain sebagainya. Sehingga objek
tujuan yang bisa didatangi oleh siswa begitu beraneka ragam.

Memang kesulitan yang akan timbul apabila kita mau menekankan


pengajaran sejarah lokal ialah bagaimana mengintegrasikan pengajaran sejarah
lokal itu dalam kurikulum yang belaku sekarang (Widja, 1991, hlm. 122). Untuk
itu diperlukan solusi supaya hal ini bisa teratasi salah satunya dengan kegiatan
penjelajahan lingkungan. Disini sudah ada usaha memberi porsi yang lebih nyata
dari kegiatan belajar siswa dengan aktivitas kesejarahan di luar kelas, diajak ke
lingkungan sekitar sekolah untuk mengamati langsung sumber-sumber sejarah
serta mengumpulkan data sejarah. Aspek-aspek yang diamati kadang-kadang tidak
semata-mata berupa sejarah dalam artian urutan peristiwa, tapi juga berbagai
aspek kehidupan yang terkait seperti masalah geografi, sosial, ekonomi, folklore,
pertanian, dan sebagainya. Selanjutnya bisa juga dikemas dalam bentuk studi
kasus kesejarahan di lingkungan sekitar siswa. Dimana siswa diharapkan mampu
menerapkan prosedur dalam penelitian sejarah, mulai dari pemilihan topik,
membuat perencanaan kegiatan, membuat analisa, sampai pada penyusunan hasil
studi. Dengan begitu diharapkan ada bukti nyata berupa tulisan siswa atau anggota
dari ekskul kesejarahan ini dalam kegiatan yang ia lakukan tersebut. Hal ini
semata-mata untuk lebih menggali sejarah dari lingkungan terdekat. Dengan
semua tantangannya hal ini adalah suatu perjuangan yang membutuhkan
kontribusi dari semua elemen yang ada. Sehingga belajar sejarah melalui
peninggalan berupa cagar budaya akan lebih bermakna.
Sumber Referensi:

Agung, L dan Suparman, T. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Ombak.

BPCB Gorontalo. 2014. Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar


Budaya. Diakses dari:
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo/2014/06/05/undang-
undang-no-11-tahun-2010-tentang-cagar-budaya-pdf/

Dimyati dan Mudjiono. 2013. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Harahap, L. 2012. Daftar Warisan Indonesia yang Diakui UNESCO. Diakses dari:
https://www.merdeka.com/peristiwa/daftar-warisan-indonesia-yang-diakui-
unesco.html

Sudjana, N dan Rivai, A. 2013. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru


Algesindo.

Widja, I. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.


Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai