Saya awali tulisan ini dengan peribahasa yang barang tentu tidak asing lagi
di telinga kita, menjadi kata-kata yang selalu diulang-ulang ketika seorang guru
sejarah mendidik murid-muridnya, kurang lebih seperti ini pepatahnya “bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Saya pribadi
mengakui jika memang benar harus seperti itu, saya sepakat karena tidak mungkin
suatu bangsa dapat menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar, yang disegani
oleh bangsa-bangsa lain di dunia tanpa ia mengenali, memahami, bahkan
mengambil pelajaran dari sejarah bangsanya sendiri. Dewasa ini mari kita
tegaskan jika di zaman sekarang bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu
melanjutkan kejayaan bangsanya seperti apa yang dicita-citakan para
pendahulunya, bukan hanya sekedar menghargai tapi melakukan aksi nyata. Bung
Karno pun sang proklamator kemerdekaan republik ini pernah berkata jika bangsa
Indonesia jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah atau biasa kita kenal dengan
istilah jasmerah.
Pembelajaran sejarah sendiri sebagai salah satu mata pelajaran yang
diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar secara tematik, kemudian secara
terpadu menjadi ilmu pengetahuan sosial di sekolah menengah pertama, dan
menjadi mata pelajaran khusus di sekolah menengah atas. Pelajaran sejarah dari
zaman ke zaman mengalami tantangan yang saya anggap semakin berat. Image
sejarah yang membosankan, ngantuk, gagal move on dan hal-hal negatif lainnya
menjadi stigma yang melekat di sebagian besar siswa kita. Oleh karena itu
dibutuhkan pengemasan pembelajaran sejarah yang menyenangkan, dekat dengan
siswa, dan tentunya membuat siswa tergugah untuk peduli akan sejarahnya.
Pembelajaran sejarah sendiri tentunya bisa kita lakukan tidak hanya di dalam
kelas saja, karena kalau kita hanya terpaku di dalam kelas tentunya siswa akan
merasa jika sejarah hanya berbicara tetang ceramah, tentang buku-buku tebal, dan
tentang peristiwa yang sudah pasti tidak pernah mereka ketahui bahkan mereka
alami. Sehingga model pembelajaran di luar kelas bisa digunakan sebagai solusi
dari problema yang mengemuka tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan oleh
Sudjana dan Rivai (2013, hlm. 208) jika guru dan siswa bisa mempelajari keadaan
sebenarnya di luar kelas dengan menghadapkan para siswa kepada lingkungan
aktual untuk dipelajari, diamati dalam hubungannya dengan proses belajar
mengajar, maka pembelajaran akan lebih mudah dipahami.
Pembelajaran sejarah di luar kelas akan lebih konkret apabila siswa diajak
untuk melakukan site tours ke situs-situs bersejarah di daerahnya. Berkunjung ke
tempat bersejarah atau melihat langsung benda-benda tinggalan purbakala yang
disebut cagar budaya. Dalam UU No. 11 Tahun 2010 disebutkan bahwa cagar
budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya,
bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan
cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan yang melalui proses penetapan
(https://www.kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo).
Cara ini akan terasa lebih bermakna disebabkan para siswa dihadapkan
dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya mereka alami, sehingga lebih
nyata, lebih faktual, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Membawa para siswa keluar kelas dalam rangka kegiatan belajar tidak terbatas
oleh waktu. Artinya tidak selalu bisa diperkiranakan, bisa saja dalam satu atau dua
jam bahkan bisa saja lebih tergantung kepada apa yang akan dipelajarinya dan
bagaimana cara mempelajarinya. Dimana pengemasannya bisa dengan survey,
kemping atau berkemah, karyawisata, dharmawisata sampai praktek lapangan.
Saya sendiri punya gagasan dimana pembelajaran sejarah yang nyata bagi siswa
ini bisa diwadahi oleh suatu komunitas peduli kesejarahan yang tentunya
dilegalkan dipersekolahan dalam bentuk estrakulikuler. Dengan begitu siswa akan
diwadahi minatnya dalam bidang sejarah untuk mengeksplorasi lingkungan
sekitarnya, benda-benda tinggalan purbakala, sampai untuk melakukan
wawancara dengan tokoh-tokoh sejarawan dan budayawan setempat.
Edgar Dale (Dimyati dan Mudjiono, 2013, hlm. 45) mengemukakan jika
belajar haruslah dilakukan sendiri oleh siswa, belajar adalah mengalami, belajar
tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Edgar Dale sendiri dalam
pengelompokkan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut
pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar
melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa
tidak sekedar mengamati secara langsung saja tetapi ia bisa menghayati, terlibat
langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Sebagai
contoh seorang yang membuat tempe yang paling baik adalah ia bisa terlibat
langsung dari pembuatan (direct performance) bukan sekedar melihat bagaimana
orang membuat tempe (demonstrating) apalagi kalau hanya sekedar mendengar
orang bercerita bagaimana cara pemuatan tempe (telling).
Untuk konten materinya pun tidak akan jauh dengan konten sejarah lokal,
tetapi tidak menutup kemungkinan ada juga tinggalan-tinggalan atau peristiwa di
lingkungan sekitar sekolah tersebut yang masuk ke dalam kategori sejarah
nasional. Tetapi pada umumnya pasti akan dihadapkan pada sejarah lokal di
wilayah tersebut. Ini akan menjadi tantangan juga bagaimana fasilitator disini
mengintegrasikan dan menghubungkan sejarah local dengan materi pembelajaran
sejarah di persekolahan yang biasanya didominasi oleh sejarah nasional saja.
Sebagai contoh apabila sedang membahas terjadinya revolusi fisik
mempertahankan kemerdekaan, di Jawa Barat sebagai contohnya mengalami
revolusi fisik seperti halnya di wilayah-wilayah lainnya. Seperti di Bandung,
Karawang, Sumedang, dan lain-lain. Pastinya peristiwa sejarah akan revolusi fisik
tersebut ada di daerah, di Sumedang terdapat pertempuran 11 april misalnya, dan
di beberapa wilayah lainnya pun ada. Atau apabila kita mundur ke belakang dalam
kaitanya dengan dunia pendidikan. Tentunya di setiap daerah bisa ditelusuri bukti-
bukti peninggalan sekolah pada masa kolonial misalnya, baik itu HIS, MULO,
HBS, dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya pada tahun 1914 didirikan juga
sekolah MULO-HIS yang merupakan sambungan dari Sekolah Rendah Belanda
(Agung dan Suparman, 2012, hlm. 25). Di Bandung sendiri terdapat peninggalan
sekolah-sekolah zaman kolonial yang masih tersisa seperti bangunan SMPN 1
Bandung, SMAN 3 dan SMAN 5 Bandung, dan lain sebagainya. Sehingga objek
tujuan yang bisa didatangi oleh siswa begitu beraneka ragam.
Dimyati dan Mudjiono. 2013. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Harahap, L. 2012. Daftar Warisan Indonesia yang Diakui UNESCO. Diakses dari:
https://www.merdeka.com/peristiwa/daftar-warisan-indonesia-yang-diakui-
unesco.html