Anda di halaman 1dari 6

PATOFISIOLOGI STEMI

Acute Coronary Syndrome (ACS) mencakup semua sindrom klinis yang sesuai dengan
infark miokard akut akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
miokard. ACS diklasifikasikan menurut perubahan elektrokardiogram (EKG) menjadi STEMI
atau NSTE-ACS (NSTEMI dan UA). STEMI (ST Segment Elevation Myocardial Infarction)
terjadi ketika gejala iskemia miokard terjadi bersamaan dengan STE baru yang disertai
pelepasan biomarker nekrosis miokard, terutama troponin T atau I. STEMI biasanya
menyebabkan cedera yang menembus ketebalan dinding miokard (Dipiro dkk., 2017).
Sebagian besar ACS terjadi akibat oklusi arteri koroner akibat pembentukan trombus di atas
plak ateromatosa kaya lipid yang telah mengalami fissuring atau ruptur. Plak yang lebih
rentan terhadap ruptur ditandai dengan fibrous cap yang tipis, inti lemak yang besar,
kandungan sel inflamasi yang tinggi seperti makrofag dan limfosit, jumlah otot polos yang
terbatas, dan bentuknya yang eksentrik. Pemicu seperti lonjakan aktivitas simpatis dengan
peningkatan mendadak tekanan darah, denyut nadi, kontraktilitas miokard, dan aliran darah
koroner dapat menyebabkan erosi, fissuring, atau pecahnya fibrous cap yang rapuh di
sekitar plak ateromatosa. Setelah pecah, komponen trombogenik dari plak yang terdiri dari
kolagen dan faktor jaringan akan terbuka. Hal ini akan mendorong aktivasi kaskade
trombosit, yang pada akhirnya mengarah pada pembentukan trombus serta iskemia di area
miokard. Tingkat trombosis intrakoroner dan embolisasi distal menentukan jenis ACS. Pada
kasus STEMI, terdapat oklusi trombotik total dan persisten (Kimble, 2013).
Secara umum, proses aterosklerotik dimulai ketika terdapat luka pada sel endotel
sehingga permukaan sel endotel yang semula licin menjadi kasar, akibatnya zat-zat pada
darah menempel dan masuk ke lapisan dinding arteri. Penumpukan plak yang semakin
banyak akan membuat lapisan pelindung arteri menebal secara perlahan dan jumlah sel
otot bertambah, hingga pada akhirnya akan mengurangi elastisitas arteri. Semakin lama
proses aterosklerotik terjadi maka semakin banyak plak yang terbentuk dan membuat
lumen arteri mengecil. Adapun STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun
secara paksa setelah oklusi pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Di
samping itu, pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika aterosklerosis plak mengalami
fisura, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis
sehingga mengakibatkan oklusi arteri koroner. Pada STEMI, gambaran patologis terdiri dari
trombus merah kaya fibrin. Pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen, ADP
epinefrin dan serotonin dapat memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Aktifitas
trombosit juga akan memicu terjadinya agregasi trombosit dan mengaktifasi faktor VII dan X
sehingga menkonversi protombin menjadi trombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Trombus
pada kaskade koagulasi akan menyebabkan oklusi oleh trombus sehinga menyebabkan
aliran darah berhenti secara otomatis dan mengakibatkan STEMI (Abdul Majid, 2007;
Darliana, 2010).

ETIOLOGI STEMI
STEMI (ST Segment Elevation Myocardial Infarction) merupakan bagian dari Acute
Coronary Syndrome (ACS). Etiologi ACS secara umum berasal dari erosi atau ruptur plak yang
tidak stabil di dalam arteri koroner sehingga plak yang ruptur tersebut mengalir pada
pembuluh darah dan dapat menyebabkan pembentukan thrombus yang oklusif maupun
nonoklusif. Sedangkan etiologi terjadinya STEMI adalah aterosklerosis serta rupturnya plak
aterosklerosis yang menyebabkan trombosis intravaskular dan gangguan suplai darah
miokard. Aterosklerosis merupakan kondisi patologis dengan ditandai oleh endapan
abnormal lipid, trombosit, makrofag, dan leukosit di seluruh lapisan tunika intima dan pada
akhirnya ke tunika media. Hal ini dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi dari
arteri koroner serta terjadi penurunan aliran darah ke miokard. Selain itu, rupture plak yang
menyumbat arteri coroner dapat menyebabkan perubahan gejala klinik yang tiba-tiba dan
tak terduga (Abdul Majid, 2007; Dipiro dkk., 2017),

PATOFISIOLOGI DM TIPE 2
Diabetes mellitus (DM) secara umum disebabkan oleh gangguan sekresi insulin,
glukagon, dan hormon lainnya serta mengakibatkan metabolisme karbohidrat dan lemak
yang tidak normal. Dalam keadaan puasa, 75% dari total pembuangan glukosa tubuh terjadi
di jaringan, termasuk otak dan saraf perifer yang tidak memerlukan insulin. Pengambilan
glukosa otak selama periode makan dan puasa terjadi pada tingkat yang sama. 25% glukosa
yang tersisa dimetabolisme pada hati dan otot, proses metabolisme ini bergantung pada
keberadaan insulin. Dalam keadaan puasa, sekitar 85% produksi glukosa berasal dari hati,
dan 15% diproduksi oleh ginjal. Glukagon yang diproduksi oleh sel pankreas disekresikan
dalam keadaan puasa untuk melawan kerja insulin dan merangsang produksi glukosa hati
dan glikogenolisis. Glukagon dan sekresi insulin memiliki hubungan erat sehingga sekresi
yang tepat dari kedua hormone tersebut diperlukan untuk menjaga kadar glukosa plasma
tetap normal. Dalam keadaan makan, konsumsi karbohidrat meningkatkan konsentrasi
glukosa plasma dan merangsang pelepasan insulin dari sel ꞵ pankreas. Akibat dari hal
tersebut adalah terjadi hiperinsulinemia sehingga akan menekan produksi glukosa hepatik,
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer, dan menekan pelepasan glukagon
(bersama dengan hormon inkretin). 80%-85% glukosa yang ada pada darah diambil oleh
otot dan 4%-5% dimetabolisme oleh jaringan lemak (Dipiro dkk., 2017).
DM tipe 2 ditandai dengan peningkatan hiperinsulinemia, resistensi insulin, dan
defisiensi sel pancreas yang ditunjukkan dengan hilangnya sel ꞵ pancreas hingga 50% saat
diagnosis. Hilangnya sel ꞵ pancreas terjadi lebih cepat pada pasien muda yang berusia 10-17
tahun, hal inilah yang umumnya menyebabkan kegagalan pengobatan dini pada pasien yang
didiagnosis pada usia muda. Organ yang terlibat dalam perkembangan diabetes tipe 2
termasuk pancreas, hati, otot rangka, ginjal, otak, usus kecil, dan jaringan adiposa. Efek
inkretin, perubahan pada usus besar dan mikrobioma, disregulasi imun, dan inflamasi juga
dikenal sebagai faktor patofisiologis pada DM tipe 2. Mekanisme lain untuk terjadinya
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler yang disebabkan oleh hiperglikemia adalah
disfungsi endotel, pembentukan produk akhir glikasi lanjut, hiperkoagulabilitas, peningkatan
reaktivitas trombosit, dan hiperekspresi natrium-glukosa co-transporter-2 (SGLT-2)
(Chatterjee dkk., 2017).
Secara umum, DM tipe 2 disebabkan oleh beberapa gangguan yaitu gangguan
sekresi insulin, defisiensi dan resistensi terhadap hormon incretin, resistensi insulin yang
melibatkan otot, hati, dan adiposit, sekresi glukagon berlebih, serta peningkatan regulasi
kotransporter natrium-glukosa di ginjal (Dipiro dkk., 2017). DM tipe 2 ditunjukkan dengan
terjadinya gangguan sekresi insulin dan resistensi terhadap kerja insulin. Adanya resistensi
insulin dapat mengganggu pemanfaatan glukosa oleh jaringan, selain itu juga bisa
meningkatkan glukosa hepatik dan produksi asam lemak bebas, serta mengakibatkan
kelebihan glukosa yang terakumulasi dalam sirkulasi atau disebut hiperglikemia.
Hiperglikemia ini dapat merangsang pankreas untuk memproduksi lebih banyak insulin
dalam upaya mengatasi resistensi insulin. Meskipun merupakan bentuk diabetes yang paling
umum, patogenesis yang tepat dari tipe 2 kurang dipahami dengan baik. Tingkat insulin
basal pada pasien DM tipe 2 umumnya normal atau meningkat pada saat diagnosis.
Pelepasan insulin fase pertama atau awal sebagai respons terhadap glukosa sering
berkurang, dan tidak ada sekresi insulin pulsatil sehingga mengakibatkan hiperglikemia
postprandial. Efek zat insulinotropik lain seperti hormon inkretin yang berkontribusi pada
pelepasan insulin yang dirangsang oleh makanan juga diketahui berubah. Seiring waktu, sel
akan kehilangan kemampuannya untuk merespons peningkatan konsentrasi glukosa, yang
menyebabkan peningkatan hilangnya kontrol glukosa. Pada pasien dengan hiperglikemia
berat, jumlah insulin yang disekresi sebagai respons terhadap glukosa berkurang dan
resistensi insulin memburuk (toksisitas glukosa) (Kimble, 2013).
Kebanyakan pasien dengan DM tipe 2 menunjukkan penurunan responsivitas
jaringan terhadap insulin. Kelebihan berat badan atau hiperglikemia dapat menyebabkan
hyperinsulinemia yang dapat menyebabkan penurunan regulasi jumlah reseptor insulin
pada permukaan jaringan dan organ target. Resistensi juga dapat terjadi secara sekunder
akibat penurunan jumlah reseptor insulin pada permukaan sel, penurunan afinitas reseptor
terhadap insulin, atau gangguan pada pensinyalan dan aksi insulin yang mengikuti
pengikatan reseptor. Pasien dengan DM tipe 2 juga menunjukkan peningkatan produksi
glukosa hepatik (glikogenolisis dan glukoneogenesis) yang ditunjukkan oleh peningkatan
gula darah puasa. Pada pasien dengan DM tipe 2, perubahan produksi glukosa hepatik juga
dapat menyebabkan hiperglikemia postprandial. Glukagon yang diproduksi oleh sel  di islet
pankreas dan disekresikan sebagai respons terhadap glukosa darah rendah akan
merangsang produksi glukosa hepatik dimana produksinya dihambat oleh insulin. Pada
pasien DM tipe 2 juga terjadi perubahan respon glukagon terhadap konsumsi karbohidrat.
Jika hiperglikemia puasa dan postprandial yang disebabkan oleh penurunan ambilan glukosa
dan peningkatan produksi glukosa hati, hiperinsulinemia, dan resistensi insulin tidak
ditangani maka akan menyebabkan siklus yang bisa menimbulkan kerusakan berkelanjutan
pada jaringan dan organ (Kimble, 2013; Pandey dkk., 2015).

ETIOLOGI DM TIPE 2
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan resistensi
terhadap kerja insulin, sekresi insulin yang tidak mencukupi, atau keduanya. Manifestasi
klinis gangguan ini adalah hiperglikemia, yaitu kadar glukosa darah pasien di atas kadar
normal atau kadar glukosa darah puasa >100 mg/dL dan glukosa darah acak >200 mg/dL.
DM terdiri dari beberapa kategori yaitu: DM tipe 1 yang disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut, DM tipe 2 yang didefinisikan oleh adanya resistensi insulin dan disfungsi sel, dan
DM gestational yang merupakan jenis DM yang dialami oleh ibu hamil. DM tipe 2
disebabkan oleh kombinasi dari beberapa penyebab seperti adanya resistensi insulin dan
kurangnya sekresi insulin dalam tubuh. Adanya hal tersebut menyebabkan insulin dalam
tubuh tidak cukup untuk menormalkan kadar glukosa plasma. Selain itu, pada DM tipe 2
juga terjadi kerusakan sel ꞵ pancreas secara progresif dari waktu ke waktu (Dipiro dkk.,
2017).
Etiologi dari resistensi insulin dan kerusakan sel ꞵ pancreas diketahui memiliki
perbedaan. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh defek pensinyalan insulin, defek
transporter glukosa, atau lipotoksisitas, sedangkan kerusakan sel ꞵ pancreas diduga
disebabkan oleh deposisi amiloid di islet, stres oksidatif, kelebihan asam lemak, atau
kurangnya efek incretin. Pasien dengan DM tipe 2 juga menunjukkan berbagai tingkat
resistensi jaringan terhadap insulin, gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi
glukosa hepatik basal. Akhirnya, faktor lingkungan seperti obesitas dan gaya hidup yang
tidak aktif juga berkontribusi terhadap perkembangan resistensi insulin. Resistensi insulin
yang dialami pasien dengan kondisi DM tipe 2 umumnya terjadi akibat obesitas. Selain itu
juga sering terjadi hiperkoagulasi yang disebabkan beberapa faktor, seperti hipertensi
(tekanan darah >120/80), dislipidemia (kadar trigliserida tinggi dan kadar kolesterol HDL
rendah), dan peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1). Pasien dengan
DM tipe 2 memiliki resiko tinggi dalam mengalami komplikasi makrovaskular dan komplikasi
mikrovaskular. x Secara genetic, gangguan ini memiliki kecenderungan yang kuat dan lebih
sering terjadi pada semua kelompok etnis selain keturunan Eropa. Predisposisi genetik
mungkin berperan dalam perkembangan DM tipe 2. Orang dengan DM tipe 2 memiliki
riwayat keluarga diabetes yang lebih kuat dibandingkan dengan tipe 1 (Taylor, 2013; Dipiro
dkk., 2017).

Abdul Majid. 2007. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, Dan Pengobatan
Terkini. E-Joernal USU Repository Universitas Sumatra Utara. 1(1):1–53.
Chatterjee, S., K. Khunti, Dan M. J. Davies. 2017. Type 2 Diabetes. The Lancet. 389(10085):
2239–2251.
Darliana, D. 2010. Manajemen Pasien St Elevasi Miokardial Infark (Stemi). Idea Nursing
Journal. 1(1):14–20.
Dipiro, J. T., G. C. . Talbert, G. R. . Yee, B. G. . Matzke, Dan L. M. P. Wells. 2017.
Pharmacotherapy: A Pathophysiology Approach, 10th Edition. Mc-Graw Hill Medical.
6007–6048.
Kimble, K. 2013. Koda-Kimble And Young’s Applied Therapeutics: The Clinical Useof Drugs
10th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Koda-Kimble And Young’s
Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs.
Pandey, A., S. Chawla, Dan P. Guchhait. 2015. Type-2 Diabetes: Current Understanding And
Future Perspectives. IUBMB Life. 67(7):506–513.
Taylor, R. 2013. Type 2 Diabetes: Etiology And Reversibility. Diabetes Care. 36(4):1047–1055.

Anda mungkin juga menyukai