Anda di halaman 1dari 8

Patomekanisme terjadinya keluhan

Sebagian besar pasien diabetes melitus tipe 2 memiliki berat badan berlebih, yang
bisa dsebabkan oleh disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak, atau
aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Adanya ketidakseimbangan antara suplai dan
pengeluaran energi mengakibatkan konsentrasi asam lemak dalam darah
meningkat. Kemudian akan terjadi penurunan penggunaan glukosa di otot dan
jaringan lemak. Hal ini menyebabkan terjadi resistensi insulin peningkatan
pelepasan insulin. Selanjutnya akibat regulasi menurun pada reseptor, resistensi
insulin semakin meningkat. Walaupun obesitas merupakan suatu faktor pencetus
yang penting, namun faktor yang lebih penting adalah disposisi genetik yang
menurunkan sensitivitas insulin, karena sering kali didapati pelepasan insulin yang
tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen pencetus
terjadinya obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Bila terdapat disposisi gen yang
kuat, diabetes melitus tipe 2 dapat terjadi pada usia muda (MODY).1,2
Defisiensi insulin dapat terjadi karena adanya autoantibodi terhadap reseptor atau
insulin, serta adanya kelainan yang sangat jarang pada biosintesis insulin, reseptor
insulin, atau transmisi intrasel.1,2

Gambar 1. Mekanisme terjadinya diabetes tipe 2


(Sumber: Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology1)

Pada diabetes melitus yang tidak diterapi secara adekuat, pada beberapa tahun atau
dekade berikutnya akan menyebabkan perubahan yang luas dan bersifat ireversibel
pada tubuh. Hal ini terutama disebabkan oleh terjadinya hiperglikemia kronis.1
Glukosa akan direduksi menjadi sorbitol di dalam sel yang mengandung enzim
aldosereduktase. Sorbitol yang terbentuk bersifat lipofilik dan tidak dapat melalui
membran sel, hal ini akan menyebabkan pembengkakan sel yang berisi sorbitol
tersebut. Pada lensa mata, terjadi penarikan air yang selanjutnya menyebabkan
kerusaka kejernihan lensa, yang dikenal dengan katarak. Sedangkan penumpukan
pada sel Schwann dan neuron akan mengurangi konduksi saraf, sehingga timbul
polineuropati, terutama yang mempengaruhi sistem saraf otonom, refleks dan
fungsi sensorik. Untuk mengurangi pembengkakan, sel akan mengeluarkan
mioinositol sebagai mekanisme kompensasi.1,3,4
Sel yang tidak dapat mengambil glukosa yang cukup akan megalami penyusutan.
Hal ini terjadi karena peningkatan osmolaritas ekstraseluler. Bila ini terjadi pada sel
limfosit, maka salah satu dampaknya adalah pembentukan superoksida yang
penting bagi tubuh akan terganggu yang berdampak pada kerentanan terhadap
infeksi, seperti infeksi kulit (furunkel), dan ginjal (pielonefritis).1
Hiperglikemia akan meningkatkan pembentukkan protein plasma yang
mengandung gulaseperti fibrinogen, haptoglobin, serta faktor pembekuan V-VIII,
sehingga kecenderungan pembekuan dan viskositas darah mungkin meningkat
sehingga risiko trombosis meningkat.1
Glukosa juga dapat berikatan dengan gugus protein yang bebas aminomembentuk
glikosilasi lanjut produk akhir (AGE), yang jika berikatan dengan reseptor-
reseptornya di membran sel dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membran
basalis pembuluh darah yang juga disebabkan oleh rangsangan transforming
growth factor ß (TGF-ß). Hal ini menyebabkan penebalan membran basalis
pembuluh darah dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen, yang
jika terjadi pada pembuluh-pembuluh darah kecil akan menyebabkan terjadinya
mikroangiopati. Di retina, mikroangiopati akan berdampak pada kebutaan akibat
retinopati. Di ginjal, mikroangiopati akan menyebabkan terjadinya
glomerulosklerosis yang dapat mengakibatkan proteinuria, penurunan laju filtrasi
glomerolus, hipertensi, dan gagal ginjal, yang juga disebabkan akibat hiperfiltrasi
karena kadar asam amino yang tinggi dalam darah.1,3,4
Bersama dengan peningkatanVLDL dalam darah dan peningkatan kecenderungan
pembekuan darah, akan mendorong terjadinya makroangiopati. Makroangiopati
akan semakin merusak ginjal, serta dapat mengakibatkan infark miokard, infark
serebri, dan penyakit pembuluh darah perifer.1,2
Glukosa dapat bereaksi dengan hemoglobin (HbA) untuk membentk HbA1c yang
peningkatan konsentrasinya dalam darah menunjukkan adanya hiperglikemia
kronis. HbA1c memiliki tingkat afinitas oksigen yang lebih tinggi daripada HbA,
sehingga sukar melepaskan oksigen di perifer.1
Ibu yang mengalami diabetes lebih besar kemungkinan untuk melahirkan bayi
dengan berat badan yang lebih dari berat normal (4000 gram), yang mngkin terjadi
akibat peningkatan asam amino dalam darah yang merangsang peningkatan
pelepasan somatotropin.1
Gambar 2. Komplikasi kronik diabetes melitus
(Sumber: Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology1)

Gangguan penglihatan merupakan salah satu kompikasi kronik yang disebabkan


oleh diabetes melitus tipe 2. Hiperglikemia kronik akan mengakibatkan perfusi
yang kurang adekuat karena kerusakan pada pembuluh darah organ, termasuk pada
retina itu sendiri. Ada 4 proses biokimia yang terjadi pada hiperglikemia kronis
yang berhubungan dengan gangguan penglihatan, antara lain:3,4
a. Akumulasi sorbitol
Akumulasi sorbitol terjadi akibat glukosa yang berlebih dalam sel-sel
tertentu yang memiliki enzim aldosereduktase seperti pada jaringan saraf,
retina, lensa,, glomerulus, dan pembuluh darah akat berikatan dengan
alkohol. Senyawa yang terbentuk ini tidak dapat melewati membran sel
sehingga akan tertimbun dalam jumlah banyak dalam sel, dan sifatnya yang
hidrofilik akan menyerap cairan sehingga membuat sel menjadi bengkak.1,3
Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga
menurunkan uptake mioinositol, yang berperan sebagai prekursor sintesis
fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-KATPase yang berperan dalam
konduksi saraf.3
b. Pembentukan protein kinase ( (PKC)
Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKCdi retina dan sel endotel
pembuluh darah akan meningkat akibat sintesis de novo dari diasilgliserol,
yang merupakan regulator PKC dari glukosa. PKC berpengaruh terhadap
agregasi trombosit, permeabilitas vaskular, sistesis growt factor dan
vasokostriksi.3
Peningkatan permeabilitas vaskular akan mengakibatkan ekstravasasi
plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai
peningkatan agregasi trombosit. Kedua hal ini akan menyebabkan
terjadinya trombosis. Selain itu, sintesis groth factor akan mengakibatkan
peningkatan proliferasi dari otot polos vaskular dan matriks ekstraselular
termasuk jaringan fibrosa. Hal ini mengakibatkan penebalan dinding
pembuluh darah, ditambah efek vasokonstriksi akibat aktivasi endotelin-1
membuat lumen semakin menyempit.3
c. Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)
AGE yang terbentuk dari gabungan glukosa dan gugus asam amino akan
menimbulkan efek sinergis dengan PKC dalam proses peningkatan
permeabilitas vaskular, sintesis growth factor aktivasi endotelin-1 serta
akan menghambat aktivasi nitrit okside yang meningkatkan risiko
terjadinya oklusi vaskular retina.1,3
d. Pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS)
ROS terbentuk dati oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang
menghasilkan hidrogen peroksida dan soperokside.Pembentukan ROS
meningkat melalui autooksidasi jalur poliol dan degradasi AGE. ROS
memiliki efek stress oksidatif yang mengakibatkan kerusakan sel.3

Gambar 3. Patomekanisme gangguan penglihatan pada penderita DM


(Sumber: Pandelaki K. Buku ajar penyakit dalam. Sudoyo AW, et al, editor3)
Kerusakan sel pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan lensa
akan terjadi akibat keempat proses biokimiawi tersebut.Gangguan konduksi saraf
pada retina akan menyebabkan hambatan fungsi retina dalam mengangkap cahaya
yang masuk, yang dikeluhkan oleh penderita diabetes dengan pandangan kabur.
Pandangan kabur juga disebabkan oleh ekstravasasi plasma di retina yang
menyebabkan edema makula. Hal ini ditandai dengan hilangnya refleks fovea pada
pemeriksaan funduskopi.2-4
Neovaskularisasi muncul akibat angiogenesis karena peningkatan growth factor,
yaitu Vascula Endothelial Growth Factor (VEGF). Kelemahan pembuluh darah
dapat menyebabkan mikroaneurisma. Mikroaneurisma dapat pecah dan
mengakibatkan perdarahan, yang sering dikeluhkan pasien sebagai benda yang
melayang-layang pada penglihatan yang disebut floaters.2-4
Peningkatan groeth factor pada retinopati diabetik akan mengakibatkan
pembentukkan jaringan fibrosa yang meningkatpada retina dan corpus vitreus.
Kontraksi dari jaringan fibrosa dapat membuat retina ikut tertarik dan terlepas dari
tempat melekatnya di koroid. Hal inilah yang disebut dengan ablasio retina.3
Katarak dapat juga terjadi, berhubungan dengan akumulasi sorbitol yang
menyebabkan hidrasi (peningkatan cairan) di lensa, dan terjadinya denaturasi
protein plasma lensa (kristalin) akibat stress oksidatif yang merupakan efek dari
pembentukan ROS.1,4
Gambar 4. Lanjutan patomekanisme gangguan penglihatan pada penderita DM
(Sumber: Pandelaki K. Buku ajar penyakit dalam. Sudoyo AW, et al, editor3)

Daftar Pustaka:
1. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. Stuttgart, New York:
Thieme; 2000
2. Price SA, Wilson LMC. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit
(Pathophysiology clinical concepts of disease processes). Ed. 6. Vol. 2.
Pendit BU, Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA, penerjemah. Jakarta:
EGC; 2005
3. Pandelaki K. Buku ajar penyakit dalam. Sudoyo AW, et al, editor.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007
4. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006

Anda mungkin juga menyukai