Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke adalah onset mendadak defisit neurologis fokal sekunder akibat

peristiwa vaskular yang berlangsung lamalebih dari 24 jam. Stroke akut mengacu

pada periode 24 jam pertama dari kejadian stroke.Stroke diklasifikasikan sebagai

iskemik (disebabkan oleh trombosis atau emboli) atau hemoragik (terutama

disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah atau aneurisma)2.

Oklusi arteri serebral menyebabkan penurunan aliran darah dan iskemia.

Tergantung pada keparahan iskemia, infark (kematian sel) akan terjadi dalam

beberapa menit, menyebabkankerusakan ireversibel bahkan setelah aliran darah

dipulihkan. Ini disebut "inti" dari infark. Inti yang mengelilingi adalah jaringan

yang terpengaruh tetapi secara fungsional dapat pulih jika aliran darah dipulihkan.

Ini disebut “penumbra iskemik”. Kebanyakan orang akan memiliki penumbra

iskemik yang dapat diobati dalam tiga jam pertama setelah oklusi arteri serebral,

tetapi banyak pasien mungkin memilikinya hingga 12 jam. Inilah yang disebut

"jendela terapi". Jadi identifikasi yang tepat dari pasien yang dapat diobati sangat

penting untuk keberhasilan terapi2.

Stroke adalah penyebab kematian nomor dua di dunia dan di kawasan

Eropa. Sepuluh persen dari 55 juta kematian yang terjadi setiap tahun di seluruh

dunia disebabkan oleh stroke. Secara keseluruhanangka kematian akibat stroke

telah menurun baik di seluruh dunia maupun di Eropa. Hal ini terutama

disebabkan karena adanya peningkatkan akses perawatan kesehatan yang tepat

dengan konsekuensi kenaikan biaya perawatan kesehatan2.

1
Manajemen stroke akut yang berhasil didasarkan pada pendekatan yang

diikuti oleh dua strategi utama: rekanalisasi vaskular dan perawatan

suportif.Meskipun ada perbaikan dalam perawatan, gejala sisa stroke tetap

menjadi masalah utama. Lima puluh hingga tujuh puluhpersen dari mereka yang

selamat dari stroke iskemik akan memulihkan independensi fungsional tigabulan

setelah onset, tetapi 20% akan membutuhkan perawatan institusional. Perbaikan

besar diperlukan dalam rantai perawatan untuk identifikasi stroke oleh keluarga

(edukasi keluarga pasien), pengobatan dini (mungkin dengan aspirin), rujukan

cepat dan fasilitas darurat, diagnosis yang tepat, perawatan yang cepat dan tepat,

pilihan terapi yanglebih efektifserta meminta rujukan ke layanan rehabilitasi2.

Diabetes adalah penyakit metabolik atau sekelompok penyakit yang tidak

diketahui penyebabnyadari perubahan ketersediaan dan penggunaan hormon

insulin pankreasdan penyimpangan dalam sistem endokrin yang mungkin

melibatkan hormon lain dankemampuan tubuh untuk menggunakan insulin.

Penyakit ini telah dikenal selama berabad-abad, meskipun penelitian telah

menjelaskan banyak misteri dan menghasilkandesain perawatan yang

menyelamatkan jiwa, penyebab dan pencegahan diabetestetap sulit dipahami.

Kata diabetes berasal dari kata Yunani yang berartimenyedot dan mengacu pada

tanda paling jelas dari penyakit ini ditandai hilangnya airmelalui buang air kecil,

atau poliuria. Kata mellitus berasal dari kata Latin untuk kata manisatau madu dan

karenanya membedakan diabetes mellitus (penyakit urin manis) daridiabetes

insipidus (penyakit urin hambar)3.

2
Sejak awal, asupan makanan dipandang sebagai pengobatan. Jika

seseorangtidak makan terlalu banyak, orang itu tidak banyak buang air kecil. Jika

seseorang makan makanan tertentu, seperti lentil atau daging, mereka tidak buang

air kecil sebanyak ketika merekamakan permen. Sekitar 1790-an, ditentukan

bahwa makanan mengandung tertentujumlah karbohidrat, dan mereka diorganisir

menjadi 3%, 6%, dan 12% kelompok.Pendekatan untuk manajemen diet orang

yang menderita diabetes berkembang adalah jenis danjumlah makanan (kelaparan

dekat) yang digunakan dalam pengobatan3.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke Iskemik

2.1.1 Definisi

Stroke adalah penurunan sistem syaraf utama secara tiba-tiba yang

berlangsung selama 24 jam dan diperkirakan berasal dari pembuluh darah.

Serangan iskemia sementara atau transient ischemia attacks (TIAs) adalah iskemia

sistem syaraf utama menurun selama kurang dari 24 jam dan biasanya kurang dari

30 menit8.

2.1.2 Epidemiologi

Stroke adalah penyebab kematian kedua terbesar di dunia dan penyebab

kematian ketigadi Amerika Serikat, setelah penyakit kardiovaskulardan kanker.

Meskipun ada peningkatan dalam angka kematian akibat strokepada pertengahan

abad ke-20, stroke terjadi pada lebih dari700.000 orang per tahun dan

menyebabkan 150.000 kematian.Saat ini ada 4,6 juta penderita stroke di Amerika

Serikat,dan stroke adalah penyebab utama kecacatan orang dewasa. Sekitar

20%pasien di panti jompo mengalami stroke, dan stroke juga memimpin

diagnosis dalam rehabilitasi rawat inap2.

Risiko stroke meningkat pada populasi umum dikalangan pria lanjut usia

di Amerika Afrika.Sebagai tambahan,ada perbedaan geografis dalam kejadian

stroke, sehingga beberapawilayah tenggara Amerika Serikat memiliki angka

kematian akibat strokelebih dari dua kali lipat rata-rata nasional. Fenomena

ini,awalnya menggambarkan daerah pesisir Carolina dan Georgia, telahdinamai

"Stroke Belt."2

4
2.1.3 Etiologi

Stroke iskemik disebabkan oleh pembentukan trombus lokal atauoleh

fenomena embolik, mengakibatkan oklusi arteri serebral.Aterosklerosispembuluh

darah serebral merupakan penyebabutama stroke iskemik. Emboli dapat timbul

baik dari arteri intrakranial atau ekstrakranial (termasuk lengkung aorta) atau

seperti halnya pada 20% dari semua stroke iskemik. Emboli kardiogenik diduga

terjadi jikapasien mengalami fibrilasi atrium secara bersamaan, penyakit jantung

valvular, ataukondisi jantung lainnya yang dapat menyebabkan pembentukan

gumpalan. Membedakan antara emboli jantung dan penyebab lainstroke iskemik

penting dalam menentukan farmakoterapi jangka panjang pada pasien tertentu3.

2.1.4 Patofiologi

Pada aterosklerosis karotid, akumulasi lipid dan progresif sel-sel

inflamasi didalam arteri yang terkena, dikombinasikandengan hipertrofi sel otot

polos arteri dan menghasilkan plak. Akhirnya, stres dapat menyebabkan pecahnya

plak,paparan kolagen, agregasi trombosit, dan pembentukan gumpalan. Jika

gumpalan tetap berada didalam pembuluh darah, maka dapat menyebabkan

penyumbatan lokal atau emboli masuk kedalam aliran darah yang akhirnya

bermuara di pembuluh darah otak. Dikasus emboli jantung, stasis darah di atrium

atauventrikel jantung mengarah pada pembentukan gumpalan lokal yang

bisamenjadi lepas dan melakukan perjalanan langsung melalui aorta kesirkulasi

otak. Hasil akhir dari pembentukan kedua trombusdan emboli adalah oklusi arteri,

mengurangi aliran darah otakdan menyebabkan iskemia distal ke oklusi2.

Aliran darah otak normal rata-rata 50 mL / 100 g per menit, danini

dipertahankan melalui berbagai tekanan darah (arteri rata-rata tekanan 50 hingga

5
150 mmHg) dengan proses yang disebut autoregulasi otak. Pembuluh darah otak

melebar dan menyempit sebagai respons terhadapperubahan tekanan darah, tetapi

proses ini dapat terganggu oleh aterosklerosis dan cedera akut seperti stroke. Saat

aliran darah otak lokal berkurang dibawah 20 mL / 100 g per menit, terjadi

iskemia dan ketika pengurangan lebih lanjut di bawah 12 mL / 100 g per menit

bertahan. Kerusakan permanen pada otak terjadi dan ini disebut infark.Jaringan

yang iskemik tetapi mempertahankan integritas membran disebutsebagai

penumbra iskemik karena biasanya mengelilingi infarkinti. Penumbra ini

berpotensi diselamatkan melalui terapiintervensi2.

Pengurangan dalam pemberian nutrisi ke sel iskemik akhirnya

menyebabkan penipisan fosfat berenergi tinggi misalnya adenosin triphosphate

(ATP) diperlukan untuk pemeliharaan membranintegritas. Selanjutnya, kalium

ekstraselular terakumulasi, disaat yang sama natrium dan air disaring secara

intraseluler,menyebabkan pembengkakan sel dan akhirnya lisis.

Ketidakseimbangan elektrolit jugamenyebabkan depolarisasi sel dan masuknya

kalsium ke dalam sel.Peningkatan kalsium intraseluler menghasilkan aktivasi

lipase, protease, endonuklease dan pelepasan asam lemak bebasdari fosfolipid

membran. Depolarisasi neuronmenyebabkan rangsanganpelepasan asam amino,

seperti glutamat dan aspartat yang menyebabkan kerusakan total pada neuron saat

dilepaskan secara berlebihan. Akumulasi asam lemak bebas, termasuk asam

arakidonat, menghasilkan pembentukan prostaglandin, leukotrien, dan radikal

bebas. Pada iskemia, besarnya produksi radikal bebas melebihi sistem

pengikatannormal. Hal ini meninggalkan molekul-molekul reaktif untuk

menyerang membran sel dan berkontribusi pada asidosis intraseluler pemasangan.

6
Semua peristiwa ini terjadi dalam 2 hingga 3 jam sejak awaliskemia dan

berkontribusi pada kematian sel2.

Target selanjutnya untuk intervensi dalam proses patofisiologisterlibat

setelah iskemia serebral termasuk teraktivasi sel inflamasi, mulai dari 2 jam

setelah timbulnya iskemia danberlangsung selama beberapa hari. Juga, inisiasi

apoptosis (kematian sel yang diprogram), diperkirakan terjadi berjam-jam setelah

akutdan dapat mengganggu pemulihan serta perbaikan jaringan otak2.

2.1.5 Manifestasi Klinik

a. Pasien tidak dapat memberikan informasi yag dapat dipercaya, karena

penurunan lemampuan kognitifatau bahasanya. Informasi ini

perludidapatkan dari anggota keluarga atau saksi lain .

b. Pasien mengalami kelemahan pada satu sisi tubuh, ketidakmampuan

berbicara, kehilangan melihat, vertigo, atau jatuh. Stroke iskemia

biasanya tidak menyakitkan, tapi sakit kepala dapat terjadi dan lebih

parah pada stroke pendarahan.

c. Pasien biasanya memiliki berbagai pertanda disfungsi sistem syaraf pada

pemeriksaan fisik. Penurunan spesifik bergantung pada daerah otak yang

berpengaruh. Penurunan hemi- atau monoparesis dan hemisensori biasa

terjadi. Pasien dengan pengaruh sirkulasi posterior dapat mengalami

vertigo dan diplipia. Stroke sirkulasi anterior biasanya terjadi dalam

aphasia. Pasien juga dapat mengalami dysarthria, kerusakan daerah

penglihatan dan perubahan tingkat kesadaran8.

7
2.1.6 Terapi 3

2.1.6.1 Tujuan Terapi

Tujuan terapi stroke akut:

a. Mengurangi luka system syaraf yang sedang berlangsung dan

menurunkan kematian dan cacat jangka panjang.

b. Mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas dan disfungsi system

syaraf.

c. Mencegah kekambuhan stroke.

2.1.6.2 Pendekatan umum

a. Memastikan dukungan pernafasan dan pemeriksaan stroke secara cepat

dengan Ct-Scan.

b. Pasien stroke iskemia menunjukkan dalam beberapa  jam terjadinya

gejala seharusnya dievaluasi untuk terapi perfusi.

c. Peningkatan tekanan darah seharusnya mengingatkan

tidak  terobatinya periode akut (7 hari pertama) setelah strok

iskemia  karena resiko penurunan aliraan darah ke otak dan gejala yang

lebih buruk. Tekanan seharusnya  diturunkan jika meningkat hingga

220/120 atau terdapat pembedahan aortic, infark miokard akut, edema

pulmonary, atau ensefalopati hipersensitif. Jika tekanan darah diobati

dalam fase akut, senyawa parenteral kerja cepat (labetolol, nikardipine,

nitropusid) lebih baik digunakan.

d. Pasien pendarahan stroke seharusnya diperiksa untuk mengetahui

apakah mereka perlu dioperasi melalui endovaskuler atau pendekatan

kraniotomi.

8
e. Setelah fase hiperakut lewat, perhatian ditujukan pada pencegahan

penurunan bertahap , minimalisir komplikasi dan merancang strategi

pencegahan sekunder yang tepat.

2.1.6.3 Terapi Non Farmakologi

Pada pasien Pendarahan subarachnoid oleh rusaknya aneurisme

intracranial atau cacatarteriovenosus, operasi untuk memotong atau

memindahkan pembuluh darah penting dilakukan untuk mengurangi

kematian dan pendarahan. Pada pasien hematomas intraserebral , insersi

pada saluran pembuluh darah dengan pemantauan tekanan intracranial

umum dilakukan.Operasi dekompresi hematoma masih diperdebatkan

sebagai penyelamat terakhir dalam kondisi terancamnya hidup

2.1.6.4 Farmakoterapi stroke

Farmakoterapi penanganan stroke terdiri dari :

1. Prevensi Primer

Mencegah stroke yang mempunyai factor resiko stroke tapi belum

mengalamistroke.

2. Penatalaksanaan akut

Penanganan pada pasien baru yang terkena serangan storke selama 72

jam atau 3 hari.

3. Prevensi sekunder

Penanganan stroke untuk mencegah stroke berulang pada pasien yang

sudah pernah mengalami stroke.

9
4. Rehabilitasi

Rehabilitasi dilakukan untuk pemulihan pada pasien stroke seperti

fisioterapi, terapi wicara dan okupasi.

2.1.6.5 Terapi farmakologi Stroke Pendarahan

Pendarahan subarachnoid disebabkan aneurisme berhubungan

dengan kejadian iskemia serebral tertunda dalam dua minggu setelah

terjadinya pendarahan. Vasopasmus vaskulatur serebral diduga

bertanggung jawab untuk iskemia tertunda dan terjadi antara 4 dan 21 hari

setelah pendarahan. Calcium canal bloker nimodipin, direkomendasikan

untuk mengurangi kejadian dan keparahan stroke ini.

2.1.7 Penatalaksanaan Umum Stroke Akut6

2.1.7.1 Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat

1. Evaluasi cepat dan diagnosis

Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat

pendek, maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat,

sistematik, dan cermat (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:

a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan,

aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual,

muntah, rasa berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual,

penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi,

diabetes, dan lain-lain).

b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi,

oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher

10
(misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan

tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif).

Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan

ekstremitas

c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis

terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak,

sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik

dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah

NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA,

Class 1, Level of evidence B).

2. Terapi umum Stroke

a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan

- Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis,

nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen

dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit

neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP)

- Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi

oksigen < 95% (ESO, Class V, GCP)

- Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada

pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien

yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar

dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence C).

11
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence C).

- Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak

mernerlukan terapi oksigen(AHA/ASA, Class III, Level of

evidence B).

- Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal

Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02

50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk

terjadi aspirasi

- Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2

minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka

dianjurkan dilakukan trakeostomi

b. Stabilisasi hemodinamik

- Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari

pernberian cairan hipotonik seperti glukosa).

- Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter),

dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai

sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi.

- Usahakan CVC 5 -12 mmHg.

- Optimalisasi tekanan darah (Iihat Bab V.A Penatalaksanaan

Tekanan Darah pada Stroke Akut)

- Bila tekanan darah sistolik

12
c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum

- Tekanan darah

- Pemeriksaan jantung

- Pemeriksaan neurologi umum awal:

i Derajat kesadaran

ii. Pemeriksaan pupil dan okulomotor

iii. Keparahan hemiparesis

d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)

- Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema

serebral harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan

gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah

serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

- Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS 3

- Pelaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan

intrakranial meliputi

 Tinggikan posisi kepala 15-30

 Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena

jugular

 Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik

 Hindari hipertermia

 Jaga normovolernia

 Osmoterapi atas indikasi: o Manitol 0.25 - 0.50

gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam

13
dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III,

Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya diperiksa

2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.

Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1

mg/kgBB i.v.

- Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40

mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan

dilakukan tindakan operatif.

- Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang

adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara

mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena

akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class

III-IV, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti

vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada

histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan

(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan

kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot

sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative.

- Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi

edema otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke

iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada

kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).1

x.

14
- Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat

stroke iskemik serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence B).

- Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal

yang menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat

menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)

e. Penanganan transformasi hemoragic

Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi

perdarahan asimptomatik (AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence

B).1 Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan

terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi

serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-

hati.

f. Pengendalian kejang

- Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg

dan diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus

dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.

- Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.

- Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke

iskemik tanpa kejang tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III,

Level of evidence C).

- Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan

profilaksis dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian

15
diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama

pengobatan (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).3

g. Pengendalian suhu tubuh

- Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati

dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence C).

- Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC

(AHA/ASA Guideline)1 atau 37,5 oC (ESO Guideline).

- Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus

dilakukan kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan

diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa

cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi

meningitis.

- Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi

antibiotic (AHA/ASA Guideline).

h. Pemeriksaan penunjang

- EKG

- Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal

hemostasis, kadar gula darah, analisis urin, analisa gas darah,

dan elektrolit)

- Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan

punksi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal

16
- Pemeriksaan radiologi

 Foto rontgen dada

 CT Scan

2.1.7.2 Penatalaksanaan Umum Diruang Rawat

1. Cairan

a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga

euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12

mmHg.

b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral

maupun enteral).

c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin

sehari ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan

(produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan

yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius

pada penderita panas).

d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu

diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai

normal.

e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa

gas darah.

f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah

dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemia.

17
2. Nutrisi

a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,

nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan

baik.

b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan,

nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.

c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan

komposisi:

- Karbohidrat 30-40 % dari total kalori

- Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi

35-55 %);

- Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein

1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal<0,8

g/kg/hari)

d. Apabila kemungkinanan pemakaian pipa nasogatrik diperkirakan

>6 minggu pertimbangkan untuk gastrostomi.

e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak

memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara

parenteral.

f. Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan

yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak

mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.

18
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi

a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut

(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli

paru, dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu

dilakukan (AHA/ASA, Level of evidence B and C).

b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes

kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai

dengan pola kuman (AHA/ASA, Level of evidence A)

c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau

memakai kasur antidekubitus

d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.

e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena

dalam, heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH

atau heparinoid perlu diberikan (AHA/ASA, Level of evidence

A).

f. Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral perlu

diperhatikan.Pada pasien imobilisasi yang tidak bias menerima

antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin

direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena dalam.

(AHA/ASA, Level of evidence A and

4. Penatalaksanaan Medis Lain

a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia

(kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati

19
dengan titrasi insulin (AHA/ASA,Class I, Level of evidence C).

Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia

berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dektrosa 40%intravena atau

infusa glukosa 10-20%.

b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor

dan mayor tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau

propofol biasa digunakan.

c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.

d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).

e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau

memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TTIK.

f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil

g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan

kateterisasi intermiten

h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium,

MRI, Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE,

TEE, dan lain-lain sesuai dengan indikasi.

i. Rehabilitasi.

j. Edukasi.

k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah

sakit).

20
2.1.8 Pencegahan Sekunder Stroke Iskemik

Pengendalian faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi bersifat

tidak dapat dirubah dan dapat dipakai sebagai penanda (marker) stroke

pada seseorang.Pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi

adalah salah satunya diabetes.

Penggunaan dari guideline yang telah ada untuk kontrol gula darah

dan sasaran tingkat tekanan darah pada penderita dengan diabetes

direkomendasikan untuk penderita yang pernah menderita stroke atau

TIA (ANA/ASA, Class II A, Level Of evidence B)9. Rekomendasi ESO

2008 mengenai Diabetes Mellitus adalah sebagai berikut:

a. Gula darah diperiksa secara teratur. Direkomendasikan

bahwa diabetes ditangani dengan modifikasi gaya hidup

dan secaraa individu diberikan terapi farmakologi (ESO,

Class IV GCP)10.

b. Pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang tidak dibutuhkan

insulin, pengobatan dengan pioglitazon direkomendasikan

setelah stroke (Class III, Level of Efidace B)secara

protektif, double blind PROaktive trial randomized dari

5238 pasien DM tipe 2 dan riwayat makrovasculardisease

pada pioglitazon atau placebo. Pasien dengan riwayat

stroke sebelumnya (n=486 pada grup pioglitazon, n=498

pada grup plasebo) menunjukkan manfaat yang bermakna

dengan pioglitazon dengan combined end point of death

21
and major vascular events (HR 0,78; Cl 0,60-1,2; P=0,067).

Dalam analisa sekunder pioglitazon mengurangi angka

kejadian stroke fatal dan non fatal (HR 0,53;95% Cl0,34-

0,85; P=0,0085), dan cardiovascular death, nonfatal

myocardiac infarction, atau nonfatal stroke (HR 0,72; 95%

Cl 0,52-1,00; P=0,0467)10.

2.2 Diabetes

2.2.1 Definisi

Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai

dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme

karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi

insulin atau penurunan sensitivitas, insulin, atau keduanya dan

menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan

neuropati6.

2.2.2 Etiologi

1. Diabetes Militus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit

populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi

penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya

terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh

reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-

macamvirus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan

lain sebagainya6.

22
Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1,

antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell

surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid

decarboxylase)6.

2. Diabetes Militus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak

penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2

mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya

berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di

kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Etiologi DM

Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan

jelas.Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam

menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak

dan rendah serat, serta kurang gerak badan.Obesitas atau kegemukan

merupakan salah satu faktor pradisposisi utama.Penelitian terhadap mencit

dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang

bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan

faktor pradisposisi untuk DM Tipe 26.

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama

yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin

yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi.

Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya

sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu

merespon insulin secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai

23
“Resistensi Insulin”.Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara

maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya

hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi

insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi

insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.Namun demikian,

tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun

sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi

fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak

absolut.Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan

terapi pemberian insulin6.

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase

pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan

glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah,

sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada

awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada

sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi

resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada

perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami

kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang

seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya

penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan

bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor

tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin6.

24
3. Diabetes Militus Gastrointestinal

Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus)

adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa

kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer.

Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya

terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.Diabetes dalam masa

kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat

setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang

dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lainmalformasi

kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya

risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita

GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa

depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko

tersebut6.

2.2.3 Patofiologi6

 DM tipe 1 (IDDM) terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Secara

umum, DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa

dewasa yang disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas akibat autoimun,

sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Reaksi autoimun umumnya

terjadi setelah waktu yang panjang (9-13 tahun) yang ditandai oleh adanya

parameter-parameter sistem imun ketika terjadi kerusakan sel β.

Hiperglikemia terjadi bila 80-90% dari sel β rusak. Penyakit DM dapat

25
terjadi penyakit menahun dengan resiko komplikasi dan kematian. Faktor-

faktor yang menyebabkan terjadinya autoimun tidak diketahui, tetapi

proses itu diperantarai oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi

yang bersirkulasi ke berbagai antigen sel β (misalnya antibodi sel islet,

antibodi insulin).

 DM tipe 2 (NIDDM) terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan

biasanya ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif.

Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan liposis dan produksi asam

lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan

pengambilan glukosa pada otot skelet. Disfungsi sel β mengakibatkan

gangguan pada pengontrolan glukosa darah. DM tipe 2 lebih disebabkan

karena gaya hidup penderita diabetes (kelebihan kalori, kurangnya

olaharag, dan obesitas) dibandingkan pengaruh genetik.

 Diabetes yang disebabkan oleh faktor lain (1-2% dari semua kasus

diabetes) termasuk gangguan endokrin (misalnya akromegali, sindrom

Cushing), diabetes melitus gestational (DMG), penyakit pankreas eksokrin

(pankreatitis), dan karena obat (glukokortikoid), pentamidin, niasin, dan α-

interferon).

 Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa terjadi pada

pasien dengan kadar glukosa plasma lebih tinggi dari normal tetapi tidak

termasuk dalam DM. Gangguan ini merupakan faktor resiko untuk

berkembang menjadi penyakit DM dan kardiovaskular yang berhubungan

dengan sindrom resistensi insulin.

26
 Komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati, dan nefropati

sedangkan komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner,

stroke, dan penyakit vaskular periferal.

2.2.4 Manifestasi Klinik6

DM tipe 1

 Penderita DM tipe 1 biasanya memiliki tubuh yang kurus dan cenderung

berkembang menjadi diabetes ketoasidosis (DKA) karena insulin sangat

kurang disertai peningkatan hormon glukagon.

 Sejumlah 20-40% pasien mengalami DKA setelah beberapa hari

mengalami poliuria, polidipsia, polifagia, dan kehilangan bobot badan.

DM tipe 2

 Pasien dengan DM tipe 2 sering asimptomatik. Munculnya komplikasi

dapat mengindikasikan bahwa pasien telah menderita DM selama

bertahun-tahun, umumnya muncul neuropathi.

 Pada diagnosis umumnya terdeteksi adanya letargi, poliuria, nokturia, dan

polidipsia sedangkan penurunan bobot badan secara signifikan jarang

terjadi.

2.2.5 Diagnosa

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas

DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita

antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur,

disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita.Apabila ada keluhan

27
khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup

untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa

>126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.

Tabel3. Kriteria penegakan diagnose.

Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk

menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut

dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang

abnormal tinggi (>200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang

abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral

didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan >200 mg/dL.

2.2.6 Tatalaksana3

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan

morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2

target utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal

28
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi

diabetes.

1. TERAPI INSULIN

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada

DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga

tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM

Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolism

karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar

penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30%

ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.

2. TERAPI OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu

penanganan pasien DM Tipe II.Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat

hipoglikemik oral dapatdibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

 Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik

oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan

turunanfenilalanin).

 Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel

terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida

dantiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan

insulin secara lebih efektif.

 Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang

29
bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan

untukmengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal

hyperglycemia).Disebut juga “starch-blocker”.

Tabel1. Penggolongan obat hipoglikemik oral

30
Gambar 1. Algoritma pengelolaan DM tipe II

31
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1. Data Pasien

Nama : Tn. ZL

Umur : 59 tahun

Jenis Kelamin :Laki-laki

Alamat :Pasar Lubuk Landai

Tanggal Masuk : 6 mei 2019

Tanggal Keluar : 10 mei 2019

No. Rekam Medik : 001xxxxx

3.2 Anamnesa

Pasien laki - laki berusia 59 tahun dibawa ke IGD RSSN Bukittinggi pada

tanggal 6 Mei 2019 pukul 19 :30 WIB, dengan keluhan lemah anggota gerak

sebelah kiri, sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami bicara

sedikit pelo, dapat menelan, pasien tidak muntah, tidak mengalami sakit kepala,

dan pasien memiliki riwayat hipertensi sebelumnya.

32
3.1.2. Keluhan utama

Anggota gerak sebelah kiri lemah lebih kurang 1 hari yang lalu

ketika selesai makan.

3.1.3. Riwayat penyakit sekarang

Lemah anggota gerak sebelah kiri, tidak mengalami sakit kepala,

bicara sedikit pelo, pasien dapat menelan

3.1.4. Riwayat penyakit terdahulu

Tidak ada

3.1.5. Riwayat penyakit keluarga

Berdasarkan hasil wawancara, keluarga pasien mengatakan tidak

ada riwayat hipertensi dan stroke pada keluarga pasien.

3.3. Pemeriksaan fisik

Hasil pemeriksaan fisik di IGD RSSN pada tanggal 6 Mei 2019 :

a.Pemeriksaan Umum

 Kondisi umum : Sedang

 Kesadaran : Compos Mentis

 Tekanan darah : 170/100 mmHg

 Frekuensi Nadi : 86 kali

 Frekuensi Nafas : 20 kali

 Suhu : 36,50 C

 BB : 65 kg

33
b. Pemeriksaan khusus

 GCS : E 4 , M6, V3

 Motorik : 5 3

5 4

3.4. Diagnosa Utama

Susp Stroke Iskemik

3.5. Diagnosa Sekunder

Hemifaresis sinister

3.6. Diagnosa Kerja

Hemifaresis sinister ec. Susp stroke iskemik, dan diabetes mellitus

tipe II tidak terkontrol.

3.7. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium tanggal 6 Mei 2019 pada pukul 20 : 19 WIB :

Nama Has Satuan Nilai


Pemeriksaan il Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 16,5 g/dl LK : 13,5
(HGB) -17,5
Leukosit (WBC) 10,0 103/µL 4,4 -11,3
5
Eritrosit ( RBC) 5,37 103106/ LK : 4,5-
µL 5,9
Trombosit 244 103/µL 150-450
(Platelet)
Hematokrit 48 % LK: 35-45
HITUNGAN JENIS
- Basofil 0,9 % 0-1
- Eosinofil 5,6 % 0-4
- Neutrofil 62,3 % 55-80
- Limposit 27,7 % 22-44
- Monosit 3,5 % 0-7
MCV 89,4 fL 80-96
MCH 30,7 Pg 28-33

34
MCHC 34,4 g/dl 33-36
RDW 11 % 11,6-14,6
FUNGSI GINJAL
Ureum 31 mg/dl 10 -50
Kreatinin 0,83 mg/dl Lk: 0,9
-1,3
GLUKOSA DARAH
Glukosa 447 mg/dl <200
sewaktu
ELEKTROLIT
Natrium 133 mmol/L 136-145
Kalium 4 mmol/L 3,3-5,1
Chlorida 99 mmol/L 96-105
b. Pemeriksaan Labor pada tanggal 7 mei 2019 pada pukul 11: 32 WIB

Nama Has Satuan Nilai


Pemeriksaan il Rujukan
Fungsi GINJAL
Asam Urat 4,3 mg/dl LK : 2,4
-7,0
Leukosit (WBC) 10,0 103/µL 4,4 -11,3
5
Eritrosit ( RBC) 5,37 103106/ LK : 4,5-
µL 5,9
Trombosit 244 103/µL 150-450
(Platelet)
Hematokrit 48 % LK: 35-45
LEMAK
Cholestrol 133 mg/dl 50-200
Total
Trigliserida 78 mg/dl <200
HDL – 35 mg/dl 30-63
Cholestrol
LDL - 78 mg/dl 66-147
Cholestrol
GLUKOSA
DARAH
Glukosa 231 mg/dl 70-114
Puasa
Glukosa 2 235 mg/dl <200
jam PP

c. Pemeriksaan Labor pada Tanggal 7 mei 2019 pada pukul 17 : 56 WIB

Nama Hasil S Nilai


Pemeriksaan atuan Rujukan

35
GLUKOSA DARAH
Glukosa 293( jam m <200
Sewaktu 18:00 wib) g/dl

d. Pemeriksaan Labor pada Tanggal 8 mei 2019 pada pukul 08 : 51 WIB

Nama Hasil S Nilai


Pemeriksaan atuan Rujukan
GLUKOSA DARAH
Glukosa 259 jam 06 wib m <200
Sewaktu g/dl

e. Pemeriksaan Labor pada Tanggal 8 mei 2019 pada pukul 11: 34 WIB

Nama Hasil S Nilai


Pemeriksaan atuan Rujukan
GLUKOSA DARAH
Glukosa 229 (jam 12 m <200
Sewaktu wib) g/dl

3.8. Terapi / Tindakan

a. Terapi yang diberikan di IGD :

 O2 2 Liter/ menit

 IVFD NaCl 0,9 % / 12 jam

 Inj. Ranitidin 2x1 (IV)

 Simvastatin 20 mg 1 x 1 tab

 Piracetam 1200 mg 2 x1 tab

 Amlodipin 10 mg 2 x 1 tab

 Sliding scale ( 8 jam)

b. Pemeriksaan penunjang :

36
 GDR (Gula Darah Random)

 DL (Darah Lengkap)

 Ur (Ureum)

 Cr (Kreatinin)

 Elektrolit

 EKG (Elektrokardiogram)

 Head CT Scan

c. Terapi yang diberikan di rawat inap :

 Simvastatin 20 mg 1x1 tab (malam)

 Piracetam 1200 mg 2 x 1 tab

 Amlodipine 10 mg 1 x1 tab (malam)

 Diltiazem 2 x1 tab

 Neurodex 1x 1 tab (pagi)

 Ranitidin inj 2x1 (IV)

 Sliding scale 8 jam insulin

 Citicolin 500 mg 2x1 (IV)

 Novorapid 3 x 6 unit

37
Follow Up Pemakaian Obat

6 mei 2019 7 mei 2019 8 mei 2019 9 mei 2019 10 mei 2019
6 1 1 2 6 1 1 2 6 1 1 2 6 1 1 2 6 1 1 2
4
Nama Obat Reg a 2 8 4 a 2 8 4 a 2 8 4 a 2 8 4 a 2 8 pm
m am pm pm m am p p m am p p m am pm p m am pm
m m m m m
Simvastatin 1x1
20 mg m (PO)    
Piracetam 2x
 
1200 mg 1(PO)
Amlodipine 1x1

10 mg m (PO)
Diltiazem 30 2x
     
mg 1 (PO)
Neurodex 1x 1
P (PO)   

Nacl 0,9 % /12


               
jam infus
Ranitidin inj 2x1
       
(IV)
sliding scale /8
    
jam insulin
Citicolin 500 2x1
    
mg (IV)
Novorapid 3x
     
6 unit

38
Observasi Pasien Harian

6 mei 7 mei 2019 8 mei 2019 9 mei 2019 10 mei 2019


2019
Pemeriksaan
6 am 6 am 12 am 18 pm 6 am 12 am 18 am 6 am 12 am 18 pm 6 am 12
am
Tekanandarah 170/100 140/90 130/90 170/100 140 /90 110/90 120/90 140/80 120/80 120/80 140/80 150/
(mmhg) 00
Frekuensi 18 x /i 1 18x/ 20 20x/i 20x/i 20x/i 20x/i 20x/i 20x/i 20x/i 20x/i
pernafasan 8 x/i i x/i
(menit)
Temperatur 36,5 o C 36,5 o C 36,5 o C 36,5 o C 36,5 o C 36,5 o
36,5 o C 36,5 o
36,5 o C 36,5 o
36,5 o
36,5
o
C C C C C

39
FOLLOW UP

Senin, 6 Mei 2019

S : Klien mengatakan anggota gerak sebelah kiri lemah sejak 1 hari

yang lalu, bicara sedikit pelo, dan dapat menelan.

O : Kesadaran (CM), GCS (15), tekanan darah 170/100 mmhg,

BAK/BAB normal.

A : Ketidak efektifan perfusi jaringan cerebral

P : perfusi jaringan cerebral adeloxat , monitoring TTV, CT-scan

Selasa, 7 Mei 2019

S : Kelemahan anggota gerak sebelah kiri

O : Kesadaran (CM), GCS (15)

A : SNH

P : Diltiazem 2 x 30 mg

: Piracetam 1200 mg

: citicolin 2 x 500 mg (IV)

: Neurodex 1 x 1 tab

: Konseling IPD ( ilmu penyakit dalam)

40
Rabu, 8 Mei 2019

S : Keluarga menyarankan pasien sering lupa, sakit kepala dan

bicara kurang jelas.

O : Kesadaran (CM), GCS (15).

A : Ketidak efektifan perfusi jaringan cerebral

P : perfusi jaringan cerebral adeloxat , monitoring TTV , cek

GDR/hari, novorapid 3 x 6 unit, sliding scale stop

Kamis, 9 Mei 2019 ( 11 : 40 wib )

S :-

O : Kondisi umum ( Sedang ), kesadaran (CM)

A : DM tipe 2 tidak terkontrol

P : Stop shiliding scale

: Novarapid 3 x 6 unit

: Cek GDR/ hari

Kamis, 9 mei 2019 (16:30 wib)

S : Kelemahan anggota gerak sebelah kiri

O : Kesadaran (CM), GCS (15)

A : SNH + Hemiferises lebih kurang 4 hari

P : Terapi dilanjutkan

41
Jum’at, 10 mei 2019

S : kelemahan anggota gerak sebelah kiri

O : kesadaran (CM), GCS (15)

A : SNH + hemiferises + DM

P : Insulin

: Metformin 2 x 500 mg

: Glimepirid 1 x 2 mg

: Citicolin 2 x 500 mg

: Arovastatin 1 x 10 mg (m)

: Clopidogrel 1x 75 mg (p)

: Neurodex 1x 1 tab (p)

: ACC Pulang

42
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. DISKUSI

Pasien laki-laki berusia 59 tahun dibawa ke IGD RSSN Bukittinggi pada

tanggal 6 Mei 2019 pukul 19.30 WIB, dengan keluhan lemah anggota gerak

sebelah kiri sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, bicara sedikit pelo, masih

bisa menelan, tidak ada sakit kepala sebelumnya, tidak ada muntah, ada riwayat

hipertensi, tidak ada DM, jantung dan stroke sebelumnya.

Dari hasil pemeriksaan fisik pasien di IGD dinyatakan bahwa kesadaran

compos mentis, kesadaran umum sakit sedang, dengan vital sign pada tekanan

darah 170/100 mmHg, nadi 86 kali per menit, pernafasan 20 kali permenit, suhu

36,5 ºC, GCS E = 4, M = 6 dan V = 3

Berdasarkan diagnosa kerja, pasien dinyatakan Hemifaresis sinister suspect

stroke iskemik, dan diabetes mellitus tipe II tidak terkontrol, sehingga dilakukan

pemeriksaan penunjang berupalab (GDR, DL, Ur, Cr Elektrolit), EKG, HCIS,

head CT scan. CT scan merupakan pemeriksaaan khusus mutakhir, tidak

berbahaya, sederhana, cepat dikerjakan dan banyak memberikan informasi yang

dapat diandalkan. Pada penyakit stroke, CT scan merupakan pemeriksaan baku

emas untuk membedakan infark dengan pendarahan.1

Stroke iskemik didefenisikan sebagai kekurangan atau menurunnya

oksigen sehingga tidak ada ada aliran darah ke miokardium yang dihasilkan dari

arteri koroner yang mengalami penyempitan atau obstruksi4, dan diabetes

mellitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar

glukosa di dalam darah. Klasifikasi DM ada DM type 1, DM type 2 dan DM type

43
3. DM type 2 bervariasi mulai dari yang dominan resistensi insulin, defisiensi,

insulin relative dengan kelainan sekresi insulin. Resistensi insulin adalah keadaan

inlsulin tidak dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel

lemak dan sel hati.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 6 Mei 2019

pukul 20:19, menunjukkan semuanya normal, kecuali nilai hematokrit, eosinofil,

RDW, kreatinin, glukosa sewaktu dan natrium. Nilat Hematrokrit pasien tinggi

yaitu 48% (normalnya 35-45%), nilai eusinofil pasien tinggi yaitu 5,6 %

(normalnya 0-4%). Nilai RDW pasien kecil yaitu 11 % (normalnya 11,6-14,6%).

Kreatinin pasien rendah yaitu 0,83 mg/dl dengan nilai normal yaitu (lk : 0,9-1,3),

sedangkan untuk guloksa sewaktunya pasien memiliki nilai 447 mg/dL dengan

(nilai normal < 200 mg/dL), dan untuk Na nya pasien memiliki 133 mmol/dL

dengan nilai (normalnya 136-145 mmol/dL).

Nilai hematokrit adalah besarnya volume sel eritrosit di dalam 100 mm3

darah dan dinyatakan dalam persen. Nilai hematokrit akan meningkat

(hemokonsentrasi) karena peningkatan kadar sel darah atau penurunan kadar

plasma darah 8. Kreatinin pasien juga memiliki nilai yang rendah, sehingga dapat

dihitung clearen creatin pasien untuk melihat fungsi ginjal pasien dengan

menggunakan rumus cockroff dan gault 5:

44
( 140−umur ) x BB
cLcr =
kreatini serum X 72

( 140−59 tahun ) X 65 kg
sehingga :
0,83 X 72

5265
=
59,76

= 88,102

Nilai clearen creatinin pasien adalah 88,102 sehingga dapat dikatan pasien

tidak ada gangguan fungsi ginjal. Nilai natrum pasien juga mengalami penurunan,

nilai natrium yang turun mengakibatkan hiponatremia ringan (yaitu kisaran 130

-135 mmol/dL).

Berdasarkan hasil pemeriksaan labor pasien tanggal 6 Mei 2019, diperoleh

gula darah pasien senilai 447 mg/dL, dimana ini terdiri dari 2 kali lipat nilai

normalnya. Ini artinya pasien memilik DM tipe 2 dimana pasien mengalami

resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas 5.

Berdasarkan hasil pemeriksaan labor tanggal 7 Mei 2019 pukul 11:32 WIB

, menunjukan semuanya normal kecuali pada pemeriksaan glukosa darah terjadi

peningkatan pada glukosa puasa yaitu 231 mg/dL dengan nilai (normal 70 – 114

mg/dL), dan glukosa 2 jam post prandial yaitu 235 mg/dL dengan nilai (normal <

200 mg/dL). Disini nilai glukosa pasien tinggi,menunjukkan pasien mengalami

DM tipe II. dan pemeriksaan masih dilanjutkan pada tanggal 7 mei 2019 pukul

17:56 WIB dengan hasil glukosa sewaktu 293 mg/dL (nilai normal <200 mg/dL).

Pukul 23:39 WIB hasil glukosa sewaktu pasien adalah 262 mg/dL.

45
Pada tanggal 8 mei 2019 pukul 08:51 WIB glukosa sewaktu pasien adalah

259 mg/dL. Dan pada pukul 11:34 WIB glukosa sewaktu pasien adalah 229

mg/dL, pukul 18:21 WIB glukosa sewaktu pasien 224 mg/dL , pada pukul 23:58

WIB glukosa pasien 233 mg/dL dengan nilai normal < 200 mg/dL.

Pada tanggal 9 mei pukul 08:13 WIB 202 mg/dL dan pada tanggal 10 mei

2019 pukul 10: 27 WIB didapat nilai glukosa pasien 188 mg/dL. Dari hasil lab

tiap melakukan pengukuran glukosa mengalami penurunan nilai glukosa sewaktu

pasien dari dari tangal 6 mei 2019 sampai tanggal 10 mei 2019. Terjadi kenaikan

tanggal 8 mei pukul 23:59 lalu selanjutnyaterjadi penurunan sampai akhirnya

normal.

Selama dirumah sakit Selama dirawat dirumah sakit pasien mendapatkan

terapi, oksigen 2L/ menit, IVFD NaCl 0,9 %/ 12 jam, injeksi ranitidin2x1 ampul

iv, simvastatin 20 mg 1 X 1 tab, piracetam 1200 mg 2 X 1 tab, amblodipin 10 mg

1 X 1 tab, diltiazem 30 mg 2 X 1, neurodex 1 X 1, citicolin 500 injeksi 2 X 1 dan

novorapid 3 X 6 unit. Dan obat pulaang pasien mendapatkan neurodex, lisinopril

5 mg, metformin 500 mg, glimepirid 2 mg, citicolin 500 mg , atrrovastatin 10 mg,

clopidogrel 75 mg.

Menurut Asosisasi jantung amerika pedoman stroke council untuk

pengelolahan iskemik akut stroke memberikan rekomendasi grade A (bukti yang

didukung oleh data dari uji coba secara acak) hanya dua terapi farmakologi :

1. jaringan IV aktifator plasminogen (alteplase) dalam waktu 3 jam dari

onset

2. dan aspirin dalam 48 jam sejak onset.

46
Alteplase dimulai dalam 3 jam setelah onset gejala telah ditunjukkan

mengurangi kecacatan total akibat stroke iskemk. Dosis alteplase adalah 0,9 mg /

kg (maksimum 90 mg) 2.

Pada kasus ini pasien mengalami stroke 1 hari sebelum masuk rumah

sakit, maka pasien tidak mendapatkan terapi alteplase karena omset pemberian

Alteplase dimulai dalam 3 jam setelah onset gejala telah ditunjukkan.Di IGD

Pasien di beri O2 2 liter permenit untuk stabilisasi jalan napas dan pernapasan

pasien agar tidak terjadi hipoksia pada pasien 5sehingga pemberian sudah tepat,

IVFD NaCl 0,9 % / 12 jam sebagai sumber cairan elektrolit tubuh pasien dan

menjaga perfusi serebral dan menjaga euvolemia 5. sehingga pemberian NaCl 0,9%

sudah sesuai indikasi pasien.Euvolemia adalah status volume normal cairan tubuh

yang menghasilkan pengisian ruang jantung secara adekuat dan memungkinkan

47
jantung menghasilkan cardiac output yang dapat memenuhi kebutuhan oksigen

tubuh.

Pemeberian ranitidin sudah tepat karena, Ranitidin diberikan untuk

mengatasi stress ulcer pada pasien karena pasein mengalami kondisi fisiologi

yang tertekan. Dosis yang digunakan sudah tepat yaitu 25 mg/ mL. Dosis yang

digunakan sudah tepat pada pasien stress ulcer dan rute pemberian juga sudah

tepat secara intra vena7 .

Kegemukan atau obesitas juga merupakan pencetus meningkatnya

tekanan darah. Hal ini disebabkan tidak adanya keseimbangan kadar lipid dalan

darah. Tingginya kadar kolesterol total dapat menimbulkan plake pada dinding

arteri sehingga akan mempersempit pembuluh darah dan kekakuan yang akhirnya
3.
dapat menimbulkan naiknya tekanan darah Pada penderita diabetes dewasa,

khususnya mereka yang memilliki faktor risiko tambahan, pemberian statin

direkomendasikan untuk menurunkan risiko terkena stroke5 .

Piracetam merupakan obat untuk mengatasi gejala – gejala involusi

yang berhubungan dengan usia lanjut seperti kemunduran daya pikir, astenia,

gangguan adaptasi, reaksi psikomotorik yang terganggu. Piracetam juga bisa

digunakan sebagai terapi pasca trauma (disfungsi serebral sehubungan dengan

akibat pasca trauma seperti sakit kepala,vertigo,agitasi, gangguan ingatan dan

astenia).

Amlodipin diberikan untuk sebagai antihipertensi pada pasien, karena

tekanan darah pasien cukup tinggi, pasien mengalami DM sehingga obat

antihipertensi yang dianjurkan adalah antagonis kalsium (CCB), dan tidak

dianjurkan untuk memberikan obat-obat penghambat beta-13 . Pada tanggal 7 mei

48
2019 penggunaan amlodipin pada malam hari sudah dihentikan.Dosis yang

digunakan sudah tepat yaitu tidak lebih 10 mg/hr yang berikan secara peroral.

Diltiazem merupakan obat golongan antihipertensi golongan Ca Chanel

Bloker (non dihidropiridin) yang diberikan setelah obat amlodipin di stop, jadi

pemberian obat diltiazem cocok untuk pasien4

Pemberian citicolin sudah tepat karena citicolin untuk meningkatkan

aliran darah dan konsumsi oksigen di otak..karena pasien mengalami stroke

sehingga aliran darah diotak kurang lancar. Maka diberi citicolin untuk

meningkatkan aliran darah dan konsumsi oksigen ke otak.

Pemberian sliding scale untuk pasie dirumah sakit sudah cocok, karena

sliding scaleuntuk terapi diabetes melitus pada pasien dirumah sakit. Lalu dua hari

setelah itu digantikan novorapid. novorapid pada pasien sudah tepat. karena

pasien memiliki glukosa darah cukup tinggi, sehinggadiberikan insulin novorapid

pada pasien.

Pemberian lisinopril untuk obat pulang pasien sudah tepat. karena

lisinopril merupakan obat golongan ACE inhibitor. Karena untuk pasien

hipertensi disertai DM di anjurkan memberikan ACE Inhibitor atau ARB atau

CCB.Clopidpgrel untuk antiplatelet pasien, karena pasien mengalami stroke

iskemik dimana adanya penyumbatan pada pembuluh darah otak pasien.

Faktor resiko penyebab stroke pada pasien ini adalah DM, maka

pemberian obat pulang pasien berupa metformin dan glimepirid pada pasien sudah

tepat, karena metformin akan menambah sensitivitas insulin sedangkan glimepirid

akan memicu sekresi insulin melalu perangsangan sel B pankreas pasien. Karena

pasien DM tipe 2 maka terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin adalah keadaan

49
dimana insulin tidak dapat bekerja secara optimal pada sel-sel target seperti otot,

lemak dan hati. Maka cocok diberikan metformin dan glimerid 2 .Dosis glimepirid

diberikan sudah tepat yaitu 2 mg yang diberikan secara peroral setelah sarapan

satu kali sehari. Dosis metformin yang digunakan sudah tepat yaitu 500 mg secara

peroral pada saat makan diberikan 2 kali sehari.

Terdapat interaksi obat pada pasien. Yaitu pada penggunaan diltiazem

dengan simvastatin. Diltiazem digunakan pada tanggal 7 mei pukul 18:00. Dosis

simvastatin yang diberikan adalah 20 mg dan dosis diltiazem adalah 30 mg.

Penggunaan simvastatin dan diltiazem yang berbarengan dapat meningkatkan efek

simvastatin. Maka perlu dibatasi dosis simvastatin hingga tidak lebih dari 10

mg/hr dan dosis diltiazem tidak lebih dari 240 mg/hr bila digunakan bersamaan.

Maka disarankan pada tanggal 7 mei 2019 pukul 18:00 dosis simvastatin harus

diturunkan menjadi 10mg/hr .

Semua obat yang digunakan pasien dirumah sakit tidak ada muncul reaksi

alergi obat pada pasien.Pada tanggal 10 pukul 15:00 WIB pasien sudah

dibolehkan pulang oleh dokter dalam keadaan perbaikan.

50
4.2. Tabel Korelasi

Ta Kondisi Gejala Data T K Komentar /


nggal medis penunjang erapi yang esesuaian rekomendasi
didapatka terapi
n
- lemah anggota EKG, Lab, O S untuk stabilisasi
6- Hemifaresis gerak sebelah HCO. ksigen esuai jalan napas dan pernapasan
5-2019 sinister suspect stroke kiri sejak 1 Tekanan 2L/menit pasien agar tidak terjadi
iskemik hari sebelum darah 170/100 hipoksia pada pasien
dan masuk rumah mmHg, gula darah I S
diabetes mellitus tipe sakit, random 447 mg/dL VFD esuai menjaga perfusi serebral dan
II tidak terkontrol - bicara sedikit pelo NaCl menjaga euvolemia
- masih bisa 0,9% / 12
menelan, jam
- tidak ada sakit
kepala
sebelumnya,
- tidak ada muntah
I S mengatasi stress
njeksi esuai ulcer pada pasien karena
ranitidin pasein mengalami kondisi
fisiologi yang tertekan

S S menurunkan
imvastatin esuai risiko terkena stroke
20 mg
p S neuroprotektor
iracetam esuai
a S sebagai
mlodipin esuai antihipertensi

S S Untuk menurukan
leading esuai gula darah pasien
sacale
7- Stokre Kelema Tekanan d S Sebagai
5-2019 non hemoragik han anggota gerak darah 130/90 mmHg iltiazem esuai antihipertensi. Tapi ada
kiri lebih kurang 2 terjadi interaksi antara
hari, simvastatin dengan
diltiazem, dimana akan
meningkatkan efek
simvastatin, maka
penggunaan simvastatin
dosis harus diturunkan jadi
10 mg.
O S untuk stabilisasi
ksigen esuai jalan napas dan pernapasan
2L/menit pasien agar tidak terjadi
hipoksia pada pasien
N S menjaga perfusi
aCl 0,9% eusai serebral dan menjaga
12 jam euvolemia

I S mengatasi stress
njeksi esuai ulcer pada pasien karena
ranitidin pasein mengalami kondisi
fisiologi yang tertekan
S S Untuk menurukan
leading esuai gula darah pasien
sacale
I S meningkatkan
njeksi esuai aliran darah dan konsumsi
citicolin oksigen di otak
s S menurunkan

51
imvastatin esuai risiko terkena stroke. Tapi
ada terjadi interaksi antara
simvastatin dengan
diltiazem, dimana akan
meningkatkan efek
simvastatin, maka
penggunaan simvastatin
dosis harus diturunkan jadi
10 mg.
n S Sumber vitamin
eurodex esuai B1, B6, B12, untuk pasien.

8- Stroke non - Keluarga Tekanan d S Sebagai


5-2019 hemoragik dan menyarankan darah 120/90 mmHg iltiazem esuai antihipertensi. Tapi ada
diabetes melituss tipe pasien sering Gula terjadi interaksi antara
II lupa, darah random pasien simvastatin dengan
- sakit kepala pukul 08:51 WIB diltiazem, dimana akan
dan glukosa sewaktu meningkatkan efek
- bicara kurang pasien adalah 259 simvastatin, maka
jelas. mg/dL. Dan pada penggunaan simvastatin
pukul 11:34 WIB dosis harus diturunkan jadi
glukosa sewaktu 10 mg.
pasien adalah 229
mg/dL, pukul 18:21
WIB glukosa
sewaktu pasien 224
mg/dL , pada pukul
23:58 WIB glukosa
pasien 233 mg/dL
N S menjaga perfusi
aCl 0,9% eusai serebral dan menjaga
12 jam euvolemia
I S mengatasi stress
njeksi esuai ulcer pada pasien karena
ranitidin pasein mengalami kondisi
fisiologi yang tertekan
I S meningkatkan
njeksi esuai aliran darah dan konsumsi
citicolin oksigen di otak
s S menurunkan
imvastatin esuai risiko terkena stroke. Tapi
ada terjadi interaksi antara
simvastatin dengan
diltiazem, dimana akan
meningkatkan efek
simvastatin, maka
penggunaan simvastatin
dosis harus diturunkan jadi
10 mg.
n S Sumber vitamin
eurodex esuai B1, B6, B12, untuk pasien.
n S Untuk
ovorapid esuai menurunkan gula darah
pasien
9- Stroke non Kelemahan Tekanan d S Sebagai
5-2019 hemoragik dan anggota gerak darah 115/75 mmHg iltiazem esuai antihipertensi. Tapi ada
Hemiferises lebih sebelah kiri Glukosa terjadi interaksi antara
kurang 4 hari darah random 202 simvastatin dengan
mg/dL diltiazem, dimana akan
meningkatkan efek
simvastatin, maka
penggunaan simvastatin
dosis harus diturunkan jadi
10 mg.
N S menjaga perfusi
aCl 0,9% eusai serebral dan menjaga
12 jam euvolemia

52
I S mengatasi stress
njeksi esuai ulcer pada pasien karena
ranitidin pasein mengalami kondisi
fisiologi yang tertekan
I S meningkatkan
njeksi esuai aliran darah dan konsumsi
citicolin oksigen di otak
s S menurunkan
imvastatin esuai risiko terkena stroke. Tapi
ada terjadi interaksi antara
simvastatin dengan
diltiazem, dimana akan
meningkatkan efek
simvastatin, maka
penggunaan simvastatin
dosis harus diturunkan jadi
10 mg.
n S Sumber vitamin
eurodex esuai B1, B6, B12, untuk pasien.
10- Pasien Acc N S Sumber vitamin
5-2019 pulang eurodex esuai B1, B6, B12, untuk pasien.
Ob
at pulang L S antihipertensi
isinopril esuai
5mg
M S memicu sekresi insulin
etformin esuai
500mg
G S menambah sensitivitas
limepirid esuai insulin melalui
2 mg perangsangan sel B pankreas
pasien

C S meningkatkan
iticolin esuai aliran darah dan konsumsi
500 mg oksigen di otak
A S Pemberian statin
trovastatin esuai untuk menurunkan resiko
10 mg terkena stroke

C S Sebagai
lopidogrel esuai antiplatelet
75 mg

53
BAB V

KESIMPULAN, SARAN DAN EDUKASI

5.1. Kesimpulan

Pasien pria (59 Tahun) masuk Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi
(RSSN) pertama kali ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada tanggal 6Mei 2019
pukul 19:30 WIB. Pasien didiagnosa menderita hemifaresis sinister suspect stroke
iskemik, dan diabetes mellitus tipe II tidak terkontrol.
Pada penatalaksanaan stoke non hemoragik (SNH) pasien ini ada memiliki
DRP yaitu penggunaan diltiazaem dengan simvastatin. Dimana penggunaan yang
bersamaan dapat meningkatkan efek dari simfastatin.
5.2. Saran
Disarankan untuk menurunkan dosis simvastatin menjadi kurang dari 10
mg/hr.
5.3. Edukasi

1. Menjelaskan pada keluarga pasien cara pemakain obat dan aturan


pemakaiannya.
2. Menjelaskan pada keluarga pasien bahwa menyimpan obat pada tempat yang
sejuk, kering dan terlindung dari cahaya matahari.
3. Hindari stress
4. Menjelaskan pada keluarga pasien untuk mengatur pola makan,
menyeimbangkan gizi, menghindari makanan berlemak dan kolesterol tinggi,
manis dan asin.
5. Kontrol tekanan darah, kadar gula darah dan kolesterol secara berkala.
6. Menjelaskan agar pasien selalu melakukan latihan ringan pada anggota gerak
yang lemah.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Dharma, surya. 2016. BUKU AJAR PRAKTIS PATOFISIOLOGI,


FARMAKOLOGI, DAN FARMAKOTERAPI. Gre Publishing : Yogyakarta
(hal 70, 102, 179, 184)

2. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke G.R., Wells, B.G. & Posey
L.M. 2011. Pharmacotheraphy : A Pathophysiologic Approach (7th Ed). New
York : McGraw-Hill Ghani, L.

3. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke G.R., Wells, B.G. & Posey
L.M. 2011. Pharmacotheraphy : A Pathophysiologic Approach (9th Ed). New
York : McGraw-Hill Ghani, L.

4. Novita T.A Parinding , dkk. Gambaran hasil pemeriksaan CT-Scan kepala


pada penderita stroke hemoragik dibagian radiologi FK Unsratif RSUP Prof
Dr.Kandou Manado. Jurnal e-Clinik volume 3 nomor 1 januari –april 2019.

5. PANDUAN PRAKTIKKLINISDIAGNOSIS
DANTATALAKSANAHIPONATREMIA. Parlindungan Siregar On behalf
of The Indonesian Society Of Nephrology. Transalate by Nila, Sari, dkk.

6. PERDOSSI. 2011. Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta : PERDOSSI.

7. Sukandar Elin Yulinah, dkk. 20009. ISO Farmakoterapi Buku 1. Jakarta: isfi
Penerbitan

8. WHO., 2006.Prevention of Diabetes Melitus, Technical Report Series.

9. AHA/ASA Guideline. Guideline for the Prevention of Stroke in Patien with


Stroke or Tansient Ischemic Attack. Stroke 2011;42;227-276

10. The European Stroke Organization (ESO) : Guidelines for Management


Ischaemic Stroke and Tansient Ischaemic Attack 2008

55
Lampiran 1. Tabel DRP

No Drug Therapy Problem Chc Rekomendasi


. k
List
1 Terapi obat yang tidak pasien mendapat terapi sesuai
diperlukan indikasi dan tidak terdapat
Terdapat terapi tanpa
tidak duplikasi terapi.
indikasi medis
Pasien mendapatkan
terapi tambahan yang tidak
tidak diperlukan
Pasien masih memungkin
kan menjalani terapi tidak
non farmakologi
Terdapat duplikasi terapi tidak
Pasien mendapat
penanganan terhadap
tidak
efek samping yang
seharusnya dapat dicegah
2 Kesalahan obat Pasien mendapat obat yang tepat,
Bentuk sediaan tidak tepat tidak
tidak ditemukan kontra indikasi
Terdapat kontra indikasi tidak
Kondisi pasien tidak pada terapi, dan pasien
dapat disembuhkan oleh tidak mengalami perbaikan
obat
dengan pemberian
Obat tidak diindikasikan
tidak
untuk kondisi pasien terapi. Semua obat diindikasi
Terdapat obat lain yang untuk penyakit yang diderita pasien.
tidak
lebih efektif
3 Dosis tidak tepat Terdapat interaksi obat pada pasien
Dosis terlalu rendah tidak
yaitu penggunaan diltiazem dengan
Dosis terlalu tinggi Tida
k simvastatin dimana jika diberikan
Frekuensi penggunaan Tida

56
tidak tepat k bersamaan akan meningkatkan efek
Penyimpanan tidak tepat Tida
dari simvastatin. Maka dari itu dosis
k
Administrasi obat tidak simfastatin harus kecil dari 10 mg/hr
-
Tepat
Terdapat interaksi obat ya
4 Reaksi yang tidak
Diinginkan
Obat tidak aman untuk Tida
Pasien k
Terjadi reaksi alergi Tida Terdapat interaksi obat pada
k
pasien yaitu penggunaan diltiazem
Terjadi interaksi obat Ya
Dosis obat dinaikkan dengan simvastatin dimana jika
Tida
atau diturunkan terlalu diberikan bersamaan akan
k
cepat
Muncul efek yang Tida meningkatkan efek dari simvastatin.
tidak diinginkan k Maka dari itu dosis simfastatin harus
Administrasi obat yang Tida kecil dari 10 mg/hr
tidak tepat k
5 Ketidak sesuaian Tidak ada masalah untuk
kepatuhan pasien penyediaan obat pasien. Semua
Obat tidak tersedia Tida
k obat yang dibutuhkan pasien
Pasien tidak Tida telah tersedia diapotik. Pada
mampu menyediakan obat k
penggunaan obat pasien dapat
Pasien tidak bisa menelan Tida
atau menggunakan obat k menelan obat dengan baik,.
Pasien tidak mengerti Tida Pemberian obat pada pasien
intruksi penggunaan obat k
Pasein tidak patuh didampingioleh keluarga pasien.
Tida Intruksi penggunaan obat sudah
atau memilih untuk
k
tidak menggunakan obat dejelaskan oleh apoteker
6 Pasien membutuhkan pasien sudah mendapatkan terapi
terapi tambahan sesuai indikasi dan pasien perlu terapi
Terdapat kondisi yang Tida
tidak diterapi k profilaksis ketika pasien pualng.
Pasien membutuhkan obat Tida Karena pasien memiliki DM dan
lain yang sinergis k
Hipertensi
Pasein membutuhkan
ya
terapi profilaksis

57
Lampiran 2. Tinjauan Obat

1. IVFD NATRIUM KLORIDA 0,9%

 Komposisi :

Setiap 1.000 ml larutan mengandung :

Natrium Klorida, NaCl 9 gram

Air untuk injeksi ad 1.000 mL

 Kemasan : Botol plastik 500 mL

Botol plastik 1.000 mL

 Indikasi : Mengganti cairan plasma isotonik yang hilang, penggantian

cairan

pada kondisi alkalosis hipokloremia dan berperan

penting dalam memelihara tekanan osmosis darah dan jaringan.

 Kontra Indikasi : Pasien dengan kondisi hipermatremia, asidosis,

hipokalemia.

 Efek Samping :

 Reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara

pemberiannya, termasuk timbulnya panas, iritasi atau infeksi pada

58
tempat penyuntikan, trombosis vena atau flebtis yang meluas dari

tempat penyuntikan dan ekstravasasi.

 Bila terjadi reaksi efek samping, pemakaian harus dihentikan dan

dilakukan evaluasi terhadap pasien.

 Peringatan :

 Hati-hati bila diberikan pada pasien gagal jantung kongesif, gangguan

fungsi ginjal, hipoproteinemia, edema perifer atau pulmonari.

 Hati-hati bila diberikan pada anak-anak dan pasien lanjut usia, pada

kasus hipertensi atau toksemia pada kehamilan.

 Untuk pemberian jangka panjang sebaiknya lakukan uji laboratorium

secara periodik untuk memonitor serum ionogram, keseimbangan asam

basa dan cairan.

 Hindari pemberian yang berlebihan untuk mencegah terjadinya

hipokalemia.

 Perhatian :

 Jangan gunakan bila botol rusak, larutankeruh atau berisi partikel.

 Hanya untuk sekali penusukan.

2. Ranitidine HCl Injeksi

 Komposisi :

Tiap ml injeksi mengandung :

Ranitidine HCl setara dengan Ranitidine 25 mg.

 Kemasan : Ampul @ 2 mL

 Dosis : Injeksi i.m. 50 mg (tanpa pengenceran) tiap 6-8 jam.

59
 Indikasi : Untuk pasien rawat inap rumah sakit dengan keadaan

hipersekresi patologis atau ulkus dua belas jari yang sulit diatasi, atau

sebagai pengobatan alternatif jangka pendek yang tidak bisa diberi

Ranitidine oral.

 Kontra Indikasi : Pasien yang hipersensitif terhadap Ranitidine.

 Efek Samping :

 Sakit kepala.

 Susunan saraf pusat, jarang terjadi : malaise, pusing, mengantuk,

insomnia, vertigo, agitasi, depresi, halusinasi.

 Kardiovaskular, jarang dilaporkan : aritmia seperti takikardia,

bradikardia, atrioventricular block, premature venticular beats.

 Gastrointestinal : konstipasi, diare, mual, muntah, nyeri perut. Jarang

dilaporkan : pankreatitis.

 Muskuloskeletal, jarang dilaporkan : atralgia dan mialgia.

 Hematologik : leukopenia, granulositopenia, trombositopenia (pada

beberapa penderita). Kasus jarang terjadi seperti agranulositopenia,

pansitopenia, trombositopenia, anemia aplastik pernah dilaporkan pada

penderita pria.

 Endokrin : Ginekomastia, impoten dan hilangnya libido pernah

dilaporkan pada penderita pria.

 Kulit, jarang dilaporkan : ruam, eritemia multiforme, alopesia

 Lain-lain, kasus hipersensitivitas yang jarang ( contoh : Bronkospasme,

demam, eosinofillia), anafilaksis, edema angioneurotik, sedikit

peningkatan kadar dalam kreatinin serum.

60
 Interaksi Obat :

 Ranitidin tidak menghambat kerja dari sitokrom P450 dalam hati.

 Pemberian bersama Warfarin dapat meningkatkan atau menurunkan

waktu protrombin.

 Peringatan dan Perhatian :

 Hati-hati penggunaan pada wanita menyusui.

 Karena Ranitidin diekskresikan terutama melalui ginjal, dosis

Ranitidin harus disesuaikan pada penderita dengan gangguan fungsi

ginjal.

 Pemberian pada wanita hamil hanya jika benar-benar sangat

dibutuhkan.

 Hindarkan pemberian pada penderita dengan riwayat porfiria akut.

3. Piracetam

 Komposisi :

Tiap kaplet salut selaput mengandung :

Piracetam 1200 mg

 Indikasi : gejala involusi yang berhubungan dengan usia lanjut,

alkoholisme kronik dan adiksi, dan gejala pasca trauma.

 Kontraindikasi :

 Penderita dengan cerebral haemorrhage

61
 Penderita dengan insufisiensi ginjal yang berat (bersihan kreatinin , 20

mL/min).

 Penderita yang hipersensitif terhadap piracetam atau derivat pirolidon

lainnya, termasuk komponen obat.

 Efek Samping :

 Nervousness, Irritabilitas, insomnia, anxietas, tremor dan agitasi.

 Gangguan gastro-intestinal (nausea, voiting, diare, gastralgia, sakit

kepala dan vertigo).

 Mulut kering, meningkatnya libido, meningkatnya berat badan dan

reaksi hipersensitif pada kulit.

 Peringatan dan perhatian :

 Karena piracetam seluruhnya dieliminasi melalui ginjal, peringatan

harus diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal.

 Penderita dengan gangguan hemostatis, operasi besar atau perdarahan

berat.

 Hindari penghentian obat secara tiba-tiba, karena dapat menginduksi

mioklonus atau kejang umum pada penderita mioklonus.

4. Neurodex

 Komposisi :

Tiap tablet mengandung :

Vitamin B1 mononitrat 100 mg

Vitamin B6 200 mg

Vitamin B12 250 mcg

62
 Indikasi : Pencegahan dan pengobatan defisiensi Vitamin neurotropik,

polineuritis, neuritis optika dan diabetika, migren, anemia, masa

penyembuhan dan gangguan kulit.

 Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap obat ini.

 Efek Samping : Pemakaian vitamin B6 dosis besar dalam jangka waktu

lama dapat menyebabkan sindrom neuropati.

 Perhatian dan Peringatan : Jangan berikan pada pasien dengan anemia

megaloblastik.

 Interaksi Obat : Dosis tinggi vitamin B6 dapat mengurangi efek Levodopa.

5. Metformin

 Komposisi :

Tiap tablet mengandung :

Metformin 500 mg

 Indikasi : Pengobatan diabetes mellitus yang tak tergantung insulin

 Kontraindikasi : Koma diabetikum, ketoasidosis, gangguan fungsi ginjal

serius, penyakit hati kronis, gagal jantung, infark miokard

 Efek Samping : Gangguan GI, asidosis laktat

 Perhatian dan Peringatan : Gangguan hati dan ginjal, hamil, laktasi

 Interaksi Obat : Antikoagulan, simetidine

6. Simvastatin

 Komposisi :

Tiap tablet mengandung :

Simvastatin 10 mg, 20 mg

 Indikasi :

63
 Terapi dengan “lipid-altering agents” dapat dipertimbangkan

penggunaannya pada individu yang mengalami peningkatan resiko

“artherosclerosis” vaskuler yang disebabkan oleh hiperkolesterolemia.

 Terapi dengan “lipid-altering agents” merupakan penunjang pada diet

ketat, bila respon terhadap diet dan pengobatan non-farmakologi

tunggal lainnya tidak memadai.

 Penyakit jantung koroner

 Hiperkolesterolemia.

 Kontraindikasi :

 Hipersensitif terhadap simvastatin atau komponen obat.

 Penyakit hati aktif atau peningkatan transaminase serum yang menetap

yang tidak jelas penyebabnya.

 Wanita hamil dan menyusui.

 Efek Samping : Abdominal pain, konstipasi, flatus, astenia, sakit kepala,

miopati, rabdomiolisis. Pada kasus tertentu terjadi angioneurotic edema.

 Perhatian dan Peringatan : Pada penggunaan jangka panjang, monitor

fungsi hati tiap 3 bulan.

 Interaksi Obat : Antikoagulan, derivate asam nikotinat, gemfibrozil.

7. Inj. Cercul (Sitikolin)

 Komposisi :

Tiap ampul mengandung :

sitikolin

64
 Indikasi : kehilangan kesadran akibat kerusakan otak, gangguan

psikis/syaraf

 Efek Samping : hipotensi, ruam, insomnia, mengantuk

 Perhatian dan Peringatan : pasien dengan gangguan kesadaran akut dan

progresif, pemberian hemostatik. Hindari dosis tinggi pada pendarahan

intracranial

8. Amlodipin

 Komposisi :

Tiap tablet mengandung : 2,5 mg ; 5 mg ; dan 10 mg

 Indikasi : antihipertensi golongan Calsium Antagonis

 Efek samping : pusing, sakit kepala, udem pergelangan kaki, edema,

memerah, kelelahan, jantung berdebar, sakit perut, mual, kram otot.

 Interaksi :

- Serius : diltiazem, simvastatin

-Monitor closely : diltiazem, metformin,

 Kontra indikasi : hipotensi, syok kardiogenik, obstruksi saluran keluar

ventrikel kiri.

9. Diltiazem

 Komposisi :

Tiap tablet mangandung : 30 mg, 60 mg, 90 mg, dan 120 mg.

 Indikasi : angina pectoris

 Interaksi :

-Serius : amlodipin

65
 Efek samping : sakit kepala, hipotensi, pusing, kelelhan, edema

pergelangan kaki, gangguan mood, bradikardi

10. Lisinopril

 Komposisi :

Tiap tablet mangandung : 2,5 mg, 5 mg, 10 mg, 20 mg, 30 mg, dan

40 mg.

 Indikasi : antihipertensi

 Interaksi :

- Monitor : glimepirid

 Efek samping : sakit kepala, kelelahan, batuk terus menerus, pusing,

mual, muntah, diaere, hipotensi

11. glimepirid

 komposisi :

tiap tablet mengandung : 1 mg, 2 mg, dan 4 mg.

 Indikasi : anti diabetes melitus

66
67

Anda mungkin juga menyukai