Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS

“ Stroke Like Syndrome pada Abses Serebri Toxoplasmosis ”

Oleh:

dr. Ngakan Gde Aditya Permadi

Pembimbing:

dr. Dian Kusumastuti Anggraeni Putri, M.Kes, Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS/PPDS-1


SMF/DEPARTEMEN NEUROLOGI

FK UNIVERSITAS UDAYANA/RSUD MANGUSADA


DENPASAR

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat- Nyalah Laporan Kasus yang berjudul “Stroke Like Syndrome pada
Abses Serebri Toxoplasmosis” ini dapat terselesaikan.
Referat berupa tinjauan pustaka ini disusun untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pendidikan PPDS-1 di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Prof IGNG Ngoerah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S (K) selaku Kepala
Bagian Ilmu Penyakit Saraf FKUNUD/RSUP Prof IGNG
Ngoerah.
2. Dr. dr. I Putu Eka Widyadharma, M.Sc Sp.S (K) selaku Ketua
Program Studi Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Prof IGNG
Ngoerah.
3. dr. Dian Kusumastuti Anggraeni,M.Kes, Sp.S(K) selaku Kepala
Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSU Mangusada dan sebagai
pembimbing penulis dalam penyusunanlaporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih sangat jauh dari
sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, penulis berharap semoga referatini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, Oktober 2022

Penulis
LAPORAN KASUS

Stroke Like Syndrome pada Abses Serebri Toxoplasmosis


Ngakan Gde Aditya Permadi1, Dian Kusumastuti Anggraeni 2

1
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi, FK Universitas
Udayana, RSUP Prof IGNG Ngoerah Denpasar, Bali, Indonesia
2
Departemen Neurologi RSD Mangusada, Bali, Indonesia

ABSTRAK

Latar Belakang : Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik


biasanya menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab
paling sering terhadap abses serebral pada pasien-pasien ini. Penyakit ini bisa
diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan berakhir
dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang
merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia.
Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara
berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi. Faktor resiko untuk terkena
infeksi toksoplasma gondii pada pasien HIV termasuklah umur, ras dan faktor
demografik lainnya. Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya organ sefal,
menyebabkan kasus ini menjadi lebih serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.
Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya menyerang
pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap
abses serebral pada pasien-pasien ini.

Laporan kasus: Pasien laki laki usia 41 tahun datang ke IGD RSU Mangusada
dengan keluhan kelemahan separuh tubuh bagian kiri. Keluhan ini terjadi sejak hari
Sabtu malam 1/10/22 saat pasien sedang naik sepeda. Saat itu kaki kiri pasien
terasa kram dan kesemutan, kemudian pasien meminggirkan sepedanya dan duduk
di sisi jalan. Setelah duduk pasien merasakan tangan kirinya juga berat dan
kesemutan. Kemudian pasien dibawa ke rumah dan tangan serta kaki pasien dipijat.
Keluhan bibir mencong, pandangan kabur/ganda, suara pelo, nyeri kepala, pusing
berputar, dada berdebar disangkal. Keesokan harinya 2/10/22 pasien merasakan
kaki kirinya seperti kejang yang berlangsung kurang lebih 2 menit. Setelah dipijat
pijat kejang pada kakinya menghilang. Kaki kiri sama sekali tidak dapat
digerakkan dan tangan kiri juga tidak dapat diangkat, namun pasien masih bisa
menggenggam dengan tangan kirinya. Keluhan tersebut menetap hingga akhirnya
pasien dibawa ke rumah sakit. Pasien memiliki riwayat batuk lama dan terdiagnosa
TB sejak 3 bulan lalu, dan sempat menjalani rawat inap di salah satu rumah sakit
swasta di Denpasar. Disana sempat dilakukan tindakan pungsi cairan paru. Pasien.
Sejak 3 bulan terakhir rutin mengkonsumsi OAT 1 kali sehari malam hari. Sejak
saat itu, pasien mengalami penurunan berat badan hingga kurang lebih 12kg.
Riwayat demam, kaku pada leher, diare lama disangkal.
Pada pemeriksaan fisik awal didapatkan pasien dalam kondisi sadar
Glasgow Coma Scale 15 (E4V5M6) dengan tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 82
kali/menit regular, laju nafas 22 kali/menit, suhu 36.2 0C dan numeric pain rating
scale (NPRS) yaitu 0/10, berat badan 50 kg, tinggi badan 165 cm. Pemeriksan
fisik didapatkan tidak ditemukan tanda meningeal dan paresis nervus kranialis
dalam batas normal, motorik mengalami hemiparesis sinistra grade 1, tidak
ditemukan reflek patologis. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, kadar natrium dan kalium dalam batas
normal, terdapat hiperklorida. Pada Pemeriksaan IgG antitoxo tanggal 4 oktober
2022 hasil reaktif dengan nilai 226.7. Pada pemeriksaan anti HIV didapatkan hasil
Reaktif. Pada pemeriksaan CT-Scan kepala dengan kontras tanggal 7 Oktober
2022 didapatkan gambaran lesi hipodens dengan ring enchancement post injeksi
kontras disertai perifocal edema relative luas dengan ukuran 31.9 x 23.1 mm
(axial view) area lobus temporal kanan; 36.8 x 20.2mm (axial view) lobus parietal
kanan; 46.4 x 31.7 mm (axial view) lobus temporooccipital kiri. Selama menjalani
perawatan pasien mendapatkan terapi toksoplasmosis serebri, namun terapi abses
serebri belum diberikan karena saat hasil bacaan pemeriksaan penunjang CT Scan
kepala menyatakan abses serebri, pasien sudah pulang atas permintaan sendiri.
Kemudian direncanakan pemberian terapi abses serebri dan pemeriksaan CD4
akan diberikan saat pasien kontrol post MRS namun pasien tidak datang untuk
kontrol ke poli saraf.

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. IGPY


Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 41 tahun
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Status : Menikah
Alamat : Denpasar

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kelemahan separuh tubuh kiri

Perjalanan Penyakit : Pasien laki laki usia 41 tahun datang ke IGD RSU
Mangusada dengan keluhan kelemahan separuh tubuh bagian kiri. Keluhan ini
terjadi sejak hari Sabtu malam 1/10/22 saat pasien sedang naik sepeda. Saat itu
kaki kiri pasien terasa kram dan kesemutan, kemudian pasien meminggirkan
sepedanya dan duduk di sisi jalan. Setelah duduk pasien merasakan tangan
kirinya juga berat dan kesemutan. Kemudian pasien dibawa ke rumah dan tangan
serta kaki pasien dipijat. Keluhan bibir mencong, pandangan kabur/ganda, suara
pelo, nyeri kepala, pusing berputar, dada berdebar disangkal. Keesokan harinya
2/10/22 pasien merasakan kaki kirinya seperti kejang yang berlangsung kurang
lebih 2 menit. Setelah dipijat pijat kejang pada kakinya menghilang. Kaki kiri
sama sekali tidak dapat digerakkan dan tangan kiri juga tidak dapat diangkat,
namun pasien masih bisa menggenggam dengan tangan kirinya. Keluhan tersebut
menetap hingga akhirnya pasien dibawa ke rumah sakit. Pasien memiliki riwayat
batuk lama dan terdiagnosa TB sejak 3 bulan lalu, dan sempat menjalani rawat
inap di salah satu rumah sakit swasta di Denpasar. Disana sempat dilakukan
tindakan pungsi cairan paru. Pasien. Sejak 3 bulan terakhir rutin mengkonsumsi
OAT 1 kali sehari malam hari. Sejak saat itu, pasien mengalami penurunan berat
badan hingga kurang lebih 12kg. Riwayat demam, kaku pada leher, diare lama
disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

• Pasein menderita TB paru aktif sejak 3 bulan terakhir


• Riwayat pungsi cairan pleura 3 bulan yang lalu
• Riwayat diabetes mellitus disangkal
• Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


• Istri pasien terdiagnosa TB Paru sejak 2 bulan lalu

II PEMERIKSAAN FISIK STATUS INTERNA SINGKAT

Keadaan Umum : Keadaan sakit : tampak sakit berat

Kesadaran : Komposmentis, GCS


E4V5M6Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 82 kali /menit
Respirasi : 22 kali/menit
Suhu : 36,2oC
BB : 50 Kg
Kepala
- Reflek meningen : Kaku kuduk (-).
- GBM : Bebas ke segala arah, pupil bulat isokor.
- Reflek cahaya : Pupil miosis normal.
- Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-).
- Leher : JVP meningkat (-), KGB tidak membesar.

Thoraks
- Pulmo : Suara napas vesikuler,wheezing (-/-) dan ronki (-/-).
- Cor : S1S2 reguler, bising jantung (-)

Abdomen : tampak datar, bising usus (+) normal,


hepar dan lien tidakteraba, massa (-)

Ekstremitas : edema ka/ki(-/-), parese ka/ki (-/-), akral hangat

II. KLINIS NEUROLOGIS


A. Kesan Umum:
Kesadaran : GCS E4V5M6
Pembicaraan : Disartri (-)
Monoton (-)
Scanning (-)
Afasia :
Motorik (-)
Sensorik (-)
Anomik (-)
Pemeriksaan Khusus :
1. Rangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : (-)
Kernig : (-)/(-)
Laseque : (-)/(-)
Bruzinski I : (-)/(-)
Bruzinski II : (-)/(-)
2. Nervus kranialis

Nervus kranialis Kanan Kiri


N.I Daya penghiduan Baik Baik
N.II Daya penglihatan Baik Baik
Penglihatan warna Baik Baik
Lapang pandang Baik Baik
N.III Ptosis (-) (-)
Gerakan mata ke medial (+) (+)
Gerakan mata ke atas (+) (+)
Gerakan mata ke bawah (+) (+)
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat bulat
Reflek cahaya langsung (+) (+)
Reflek cahaya tidak langsung (+) (+)
Strabismus divergen (-) (-)
N.IV Gerakan mata ke lateral bawah (+) (+)
Strabismus konvergen (-) (-)
N.V Menggigit (+) (+)
Membuka mulut (+) (+)
Sensibilitas muka (+) (+)
Reflek kornea (+) (+)
Trismus (-) (-)
N.VI Gerakan mata ke lateral (+) (+)
Strabismus konvergen (-) (-)
Diplopia (–)
N.VII Kedipan mata Dbn dbn
Lipatan nasolabial Dbn dbn
Sudut mulut Dbn dbn
Mengerutkan dahi Dbn dbn
Mengerutkan alis Dbn dbn

Menutup mata Dbn dbn


Meringis simetris
Menggembungkan pipi dapat dilakukan
Daya kecap lidah 2/3 depan Dbn Dbn
N.VIII Mendengar suara berbisik (+) (+)
Tes Rinne Tidak dilakukan
Tes Webber Tidak dilakukan
Tes Schwabach Tidak dilakukan

N.IX Arkus faring Simetris


Daya kecap lidah 1/3 belakang (+) (+)
Reflek muntah Tidak dilakukan
Sengau (+) (+)
Tersedak (+) (+)
N.X Denyut nadi 82 x/ menit, isi cukup
Bersuara Jelas
Menelan (+)
N.XI Memalingkan kepala Dbn
Sikap bahu Simetris
Mengangkat bahu Dbn dbn
Trofi otot bahu Eutrofi
N.XII Sikap lidah Dbn
Artikulasi Jelas
Tremor lidah (-) (-)
Menjulurkan lidah Dbn
Trofi otot lidah Eutrofi Eutrofi

3. Sistem Motorik
Kekuatan Otot 555/111

555/111

Besar Otot :

Atrofi :-
Pseudohypertrofi :-
Palpasi Otot :

Nyeri :-
Kontraktur :-
Konsistensi :-
Tonus Otot : Lengan Tungkai
Kanan Kanan Kiri
Kiri
Hipotoni - + - +
Spastik - - - -
Rigid - - - -
Rebound - - - -
phenomen

5. Refleks-refleks

Refleks Tendon

• Refleks biceps : + / menurun


• Refleks triceps : + / menurun
• Refleks patella :+/ -
• Refleks achilles :+/ -

Refleks Patologis
Tungkai

Refleks Babinsky : (-) / (-)


Refleks Chaddock : (-) / (-)
Refleks Rossolimo : (-) / (-)
Refleks Gordon : (-) / (-)
Refleks Schaefer : (-) / (-)
Lengan
Refleks Hoffman Tromer : (-) / (-)

Reflaks Leri : (-) / (-)


Reflaks Meyer : (-) / (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

DARAH RUTIN
Hasil
Parameter Nilai Rujukan
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin 11.0 14,0-18,0 g/dl
Leukosit 4.42 4,0-11 Ribu/ul
Eritrosit 3.79 4,5-5,5 juta/ul
Hematokrit 33.7 42-52 %
Trombosit 192 150-450 ribu/ul
Hitung jenis
Eosinofil 4.8 2-4 %
Basofil 0 0-1%
Batang 0 2-5 %
Segmen 67 51-67 %
Limfosit 37.1 20-35 %
Monosit 13.8 4-8 %
GDS 117 80-200 mg/dl
Fungsi hati
SGOT 53 0-46 U/L
SGPT 18 0-45 U/L
Fungsi Ginjal
Creatinin 1.0 0.90-1.30 mg/dl
Ureum 18 17-43 mg/dl
Elektrolit
Natrium 137 137-145 mmol/l
Kalium 4.0 3.50-5.10 mmol/l
Chlorida 112 98.0-107.0 mmol/l
Sero Imunologi

Ig G anti Toxoplasma 226.7 Neg :<4


Equivocal :4-8
Positip : > 8
Ig M anti Toxoplasma 0.07 Neg :<0.55
Equivocal : =0.55-<0.65
Positip : > =0.65

Rapid Anti HIV Reaktif Non Reaktif

CT-Scan Kepala tanpa kontras tanggal 3 Oktober 2022

Uraian hasil pemeriksaan :


Telah dilakukan pemeriksaan CT scan tampilan axial, coronal, dan sagital ,
tanpa dengan bahan kontras. Hasil :
- Tampak lesi hipodens, berbatas tidak tegas, finger like app di area lobus
parietalis kanan curiga mengarah ke edema mass efek; lesi hiperdens maupun
hipodens sulit diidentifikasi
CT-Scan Kepala tanpa kontras tanggal 7 Oktober 2022

Uraian hasil pemeriksaan :


Telah dilakukan pemeriksaan CT scan tampilan axial, coronal, dan
sagital , dengan bahan kontras. Hasil :
- Gambaran lesi hipodens dengan ring enchancement post injeksi kontras disertai
perifocal edema relative luas dengan ukuran 31.9 x 23.1 mm (axial view) area
lobus temporal kanan; 36.8 x 20.2mm (axial view) lobus parietal kanan; 46.4 x
31.7 mm (axial view) lobus temporooccipital kiri.

Kesan sesuai gambaran proses inflamasi – abses cerebri DD/ toxoplasmosis.


III. DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis : Abses cerebri toxoplamosis


Diagnosis Etiologis : Toxoplasmosis
HIV/AIDS

Diagnosis Topis : Cerebri


Diagnosis Banding : Suspek Brain Metastasis

IV. PENATALAKSANAAN

Terapi medikamentosa:
1. Infus NaCl 0.9% 20 tetes per menit

2. Pantoprazole 40mg tiap 12 jam IV

3. Metil Prednisolone 125mg tiap 8 jam IV

4. Pirimetamin 75mg tiap 24 jam IO

5. Klindamisin 600mg tiap 6 jam IO

V. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam


Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
TOXOPLASMOSIS SEREBRI

DEFINISI
Toksoplasmosis serebri adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya
menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling
sering terhadap abses serebral pada pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii juga
dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru,mata,
dan selaput otak. Infeksi paling umum dapat didapat dari kontak dengan kucing-
kucing dan feces mereka atau daging mentah atau yang kurang masak.
Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak
dirawat, akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit
Toxoplasma gondii, yang merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat
ditularkan ke manusia. Infeksi toksoplasma gondii biasanya bersifat laten dan
dormant asimptomatik pada individu baik dengan imunokompeten atau dengan
HIV-AIDS. Namun pasien dengan HIV lebih cenderung terkena toksoplasmosis
akut karena proses reaktivasi organisme ini apabila jumlah CD4 T sel mereka
kurang di bawah 100sel/µL atau apabila jumlah CD4 T sel di bawah 200 sel/µL
tetapi ada infeksi- infeksi oportunistik lainnya atau malignansi. Reaktivasi
toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS umumnya akan
menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan jiwa jika
diagnosis dan terapi tidak tepat. Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi,
terutama di negara-negara berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat
tinggi.(1) Faktor resiko untuk terkena infeksi toksoplasma gondii pada pasien HIV
termasuklah umur, ras dan faktor demografik lainnya. Berdasarkan gejala klinis
dan terlibatnya organ sefal, menyebabkan kasus ini menjadi lebih serius dari
toksoplasmosis ekstraserebral. 2
Toksoplasma gondii dengan pewarnaan H.A.

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai daerah geografik, seperti
pada ketinggian yang berbeda di daerah rendah prevalensi zat anti lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah yang tinggi. Prevalensi zat anti ini juga lebih
tinggi di daerah tropik.Pada umumnya prevalensi zat anti T. gondii yang positif
meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita.
Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari makan tinja kucing atau
bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing, yang merupakan
instrumen penyebaran secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa
secara praktis juga penting dalam penyebarannya. 9
Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut:
• kucing 35-73 %,
• babi 11-36 %,
• kambing 11-61 %
• anjing 75 %
• ternak lain kurang dari 10 % . 9
ETIOLOGI

Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing,


burung dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja
kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Apabila parasit
masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di dalam tubuh tetapi sistem
kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas
dan dapat mencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila
memakan daging babi atau domba yang mentahyang mengandungoocyst (bentuk
infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak
langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat
transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu
yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas
tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak. 6

Gambar : Siklus Hidup Toxoplasmosis


Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuktrofozoit,
kista,dan Ookista:

• Tachyzoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel
mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama
masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis tachyzoit dalam jaringan
akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit. 6

Gambar : Tachyzoit

• Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah
ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling
banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat. 6

Gambar : Kista
• Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um.
Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan
dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual
atau schizogoni dan siklus atau gametogenic dan sporogoni. Yang
menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces kucing. Kucing yang
mengandung toxoplasma gondii dalam sekali ekskresiakan mengeluarkan jutaan
ookista. Bila ookista ini tertelan oleh pejamu perantara seperti manusia,
sapi,kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan pejamu perantara akan
dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif. Pada pejamu
perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista.
Bila kucing makan tikus yang mengandung kista maka terbentuk Kembali stadium
seksual di dalam usus halus kucing tersebut. 6

Gambar :Ookista

PATOMEKANISME
Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst
diikuti oleh terinfeksinyasel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites
secaraberturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini
menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darahatau limfatik. Parasit ini
berubah bentuk menjadi tissue cysts begitumencapai jaringan perifer. Bentuk ini
dapat bertahan sepanjanghidup pejamu,danberpredileksi untuk menetap pada
otak,myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi
dari infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik
dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive
tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus
nekrosis. 5 8

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan
berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV
mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor
CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit,
selmakrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sellangerhans.
Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatanvirus kepermukaan sel
reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat
apoptosispada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh,
infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dandapat mengakibatkan kelainan
pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh
pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang
membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV
menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini
meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-
gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang
terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara
invitro danpenurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii. 10
16
Tachyzoit

Aktivasi CD4 sel T

ekspresi CD154

sel dendritik dan


makrofag

IL-12

Sel T→INF-y

Respon

Gambar :Respon Imun

GAMBARAN KLINIS

Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk
dibedakan dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV
akut. Toksoplasmosis dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala.
Gejala yang ditemui pada dewasa maupun anak-anak umumnya ringan.
Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam,
nyeri otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis
posterior, supraklavikula dan suoksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang,
dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis,
miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang. 4
Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan
kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu
gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat.
Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak
termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap
pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan
meningkat, masalah penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada
ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung karena adanya
pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan
sistem immunonya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan
penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran. 4
Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala
fokal nerologik. Walau bagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai
kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering
ditemui sebagai gejala klinis awal.
Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan
mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah
atau koma. Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik
dan sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung kemih atau
kesakitan fokal. 4

DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan,


isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit. Pada
pasien dengan suspek toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik
Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya
digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi empirik untuk toxoplasmosis
cerebral harus dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi HIV. Biopsi
dicadangkan untuk diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi
empirik. 1 13

Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan
IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG
dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test,
tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2
bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang
dalam beberapa minggu setelah infeksi. 13 15

Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis


toxoplasmosis cerebral dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dengan melakukan pungsi lumbal.
Temuan dari pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan adanya pleositosis
ringan dari mononuclear predominan dan elevasi protein. 1
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T
gondii dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. PCR untuk T gondii dapat
juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor
dari penderita toxopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada
jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan
lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai sensitifitas
yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS. 1 11

Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur


cairan tubuh atau spesimen biopsi jaringan tapi diperlukan waktu lebih dari 6
minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Diagnosis pasti dari toxoplasmosis
adalah dengan biopsi otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu dan dana
sering biosi otak ini tidak dilakukan. Upaya isolasi parasit dapat dilakukan
dengan inokulasi mouse atau inokulasi dalam jaringan kultur sel dari hampir
semua jaringan manusia atau cairan tubuh. Pasien dengan toxoplasmosis cerebral
ditemukan histopatologitachyzoitpadajaringanotak. 1 15

Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral, CT


scan menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan
biasanya menunjukkan beberapa lesi terletak di wilayah korteks serebral ,
corticomedullary junction , atau ganglia basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga
kadang-kadang muncul pada penderita toxoplasmosis cerebral. Karakteristik
toxoplasmosis cerebral adalah asimetris, yang memberi gambarn abses cincin
dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat memperlihatkan lesi
hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain, namun ,
CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran
khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. 14
Pada T1 – weighted MRI , toxoplasma memprelihatkn lesi dengan intensitas
sinyal rendah berhubung dengan sisa dari jaringan otak . Pada T2 – weighted
MRI, lesi biasanya dengan intensitas sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan
untuk mendiagnosis dan memantau respon terhadap pengobatan toxoplasmosis
karena lebih sensitif dari CT untuk mendeteksi beberapa lesi. 1 15

AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan


penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga toxoplasmosis cerebral
selama 2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan
secara klinis maupun radiologik, diagnosis adanya toxoplasmosis cerebral
dapat ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari 90% pasien
menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial
selama 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan
untuk dilakukan biopsi otak. 1
DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding untuk lesi bentuk cincin (ring-enhancing lesions) di
1
otak pada pasien dengan HIV ialah seperti berikut:
o Toksoplasmosis serebral akut
o Limfoma sistem saraf pusat primer
o Tumor otak primer
o Metastasis otak
o Penyakit demielinasi (misal: sklerosis multipel)
o Infeksi (misal : tuberkuloma)
o Infark multifokal
o Malformasi vena-arteri
Penyebab abnormalitas sistem saraf pusat pada pasien HIV yang sudah berat
(CD4 T sel <50 sel/µL) termasuklah toksoplasmosis serebral (19% dari semua
pasien dengan gejala lesi di otak), limfoma sistem saraf pusat primer (4%- 7%),
leukoensefalopati multifokal progresif, HIV ensefalopati dan ensefalitis
sitomegalovirus. Infeksi-infeksi dari etiologi lain ialah tuberkulosis,
stafilokokkus, streptokokkus, salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis dan
meningovaskuler syphilis. 1
ABSES SEREBRI

DEFINISI
Abses serebri adalah suatu penumpukan bahan piogenik yang terlokalisir di
dalam parenkim otak.18

EPIDEMIOLOGI
Insiden abses serebri diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000 penduduk per tahun
dimana perbandingan pria dan wanita yaitu 2:1 sampai 3:1 22. Di Amerika Serikat
didapati sekitar 1500-2500 kasus setiap tahunnya. Abses serebri jarang dijumpai
di negara berkembang tetapi merupakan masalah yang sulit di Negara
berkembang 17. Pada umumnya dapat terjadi pada setiap usia, sering pada dekade
pertama sampai ketiga karena tingginya insiden penyakit mastoid dan sinus
paranasal. 20

Tabel. Penderita dengan peningkatan resiko munculnya abses serebri

Ket: AVM : Arteriovenous Malformation; BMT : Bone Marrow Transplant; SCT : Stem
Cell Transplant
ETIOLOGI
Pada era preantibiotika, dari hasil analisa pus intrakranial didapati bahwa
Staphylococcus Aureus terdapat pada 25-30% penderita, Streptococcus pada
30%, Coliform pada 12% dan tidak adanya pertumbuhan kuman dijumpai sekitar
50% kasus.22
Organisme yang sering menyebabkan infeksi adalah Staphylococcus Aureus,
Streptococcus, Enterobacteriaceae, Pseudomonas dan Bacteroides, sementara
penyebab yang jarang adalah Pneumococcus, Meningococcus dan Haemophilus
Influenza.19
Lokasi dari abses serebri atau faktor predisposisinya sering memberikan
gambaran kemungkinan besar agen penyebab terjadinya abses serebri.

Tabel. Lokasi dan flora mikroba abses serebri


PATOGENESIS

Abses serebri selalu bersifat sekunder terhadap fokus infeksi purulen di


tempat lain pada tubuh manusia 19. Abses serebri dapat disebabkan oleh inflamasi
intrakranial. Kira-kira 15% daripada kasus ini tidak dapat diketahui sumber
infeksinya 1. Infeksi ini terjadi melalui 3 cara, yaitu: 17
1. Infeksi fokus yang berdekatan
Perluasan secara langsung terjadi melalui daerah nekrosis osteomielitis di
dinding posterior sinus frontal melalui sinus sphenoid dan ethmoid. Jalur
perluasan langsung ke intrakranial pada umumnya disebabkan oleh otitis kronik,
mastoiditis, dibandingkan dengan sinusitis. Infeksi gigi dapat meluas ke
intrakranial melalui jalur langsung atau secara hematogen. Perluasan daerah
yang berdekatan dapat menyebar ke beberapa tempat di sistem saraf pusat,
menyebabkan trombosis sinus kavernosus, meningitis, epidural abses, subdural
abses dan abses serebri.17
2. Penyebaran hematogen dari fokus yang jauh
Penyebaran abses serebri secara hematogen memberikan beberapa karakteristik,
yaitu 22:
• Fokus infeksi jauh, paling sering berasal dari daerah rongga dada
• Berlokasi pada area distribusi arteri serebri media
• Lokasi awal pada daerah gray matter-white matter junction
• Mortalitas tinggi
Umunya dijumpai lesi multipel dan multilokulated dan biasanya
ditemukan didistribusi daerah arteri serebri media. Infeksi ini
berhubungan dengan cyanotic heart disease, endocarditis, infeksi paru,
kulit dan juga Human Immunodeficiency Virus (HIV).19

3. Trauma kranial
Gambar. Penyebaran hematogen pada susunan saraf pusat

Untuk membatasi perluasan dari infeksi, respon imun memegang peranan


penting dalam pembentukan abses dan juga merusak sekitar jaringan otak yang
normal. Oleh karena itu, membatasi intensitas dan atau durasi respon imun anti
bacterial dapat meminimalkan kerusakan disekitar jaringan otak. Mekanisme
yang menjelaskan imunopatogenesa abses otak dapat dilihat pada gambar.
Gambar. Imunopatogenesis Abses Serebri

PATOLOGI
Perkembangan abses serebri berlangsung dalam empat tahap yaitu :
• Stadium serebritis dini (early cerebritis stage)
Stadium serebritis dini berlangsung mulai dari hari 1-3 dan ditandai
dengan penumpukan neutrofil, jaringan nekrosis dan edema
disekeliling white matter serta dijumpai aktivasi mikroglia dan
astrosit.24
• Stadium serebritis lanjut (late cerebritis stage)
Stadium ini berlangsung dari hari ke 4-9 dan ditandai dengan adanya
infiltrasi makrofag dan limfosit 24. Inti dari serebritis menjadi nekrosis
serta meluas dan mulai terbentuk kapsul fibroblast. Infeksi menjadi
lebih fokal dengan daerah nekrosis. Pembuluh darah mengelilingi
proliferasi infeksi. Bagian tengah infeksi mengalami nekrosis,
dikelilingi sel inflamasi berbentuk cincin, makrofage, jaringan
granulasi dan fibroblast.25
• Stadium formasi kapsul dini (early capsule stage)
Berlangsung mulai dari hari ke 10-13 ditandai dengan penurunan
ukuran inti nekrosis. Kapsul sudah terbentuk dengan proliferasi
fibroblast, dikelilingi proliferasi astrosit dan edema.18
Ketika stadium pembentukan kapsul dimulai, kolagen dan reticulum
membentuk kapsul berbatas jelas. Bagian inti tengah terdiri dari
jaringan nekrotik dan debris inflamasi. Kapsul semakin menebal
dengan bertambahnya kolagen. Pembentukan kapsul yang semakin
tegas, efek massa dan edema yang mengelilinginya mulai berkurang.
Selanjutnya gliosis di sekitar pinggir abses mempertegas area ini.25
• Stadium formasi kapsul lanjut (late capsule stage)
Stadium ini berlangsung pada hari ke 14. Kapsul yang matang dan
tebal mengelilingi bagian tengah yang berongga yang mengandung sel
18
debris dan sel-sel polimorfnuklear . Secara patologi dinding dari
kapsul abses disusun dari tiga lapisan yaitu lapisan sebelah dalam yang
merupakan suatu jaringan granulasi, lapisan tengah yang relative tebal
terdiri dari kolagen dan lapisan paling luar yang membentuk
jaringan glial.26

GAMBARAN KLINIS
Sakit kepala merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan pada
abses serebri. Trias klasik dari abses serebri berupa sakit kepala, demam dan
defisit neurologi fokal ditemukan pada kurang dari 50% penderita. Edema yang
berada disekitar jaringan otak dapat meningkat tekanan intrakranial dengan cepat
sehingga memperberat sakit kepala, mual dan muntah merupakan gejala awalnya.
Sakit kepala yang memberat dengan tiba-tiba dengan kaku kuduk menunjukkan
terjadinya ruptus abses otak ke ruang ventrikel. Kejang baik fokal maupun umum
sering dijumpai.21
Gejala fokal seperti gangguan mental dan hemiparesis tampak pada 50%
penderita abses tergantung dari lokasinya. Pada abses serebellar gejala yang
muncul adalah nistagmus, ataksia dan intention tremor.20
Pada pemeriksaan neurologis bisa dijumpai papil edema dan tanda neurologi
fokal tergantung dari lokasi abses. Pasien dengan abses serebri multipel lebih
cepat terjadi peningkatan intrakranial dengan sakit kepala, drowsinnes dengan
cepat menjadi stupor.18

Tabel. Gejala dan tanda penderita abses serebri

PROSEDUR DIAGNOSTIK
Secara klinis abses serebri dapat diduga bila dijumpai nyeri kepala, kejang,
tanda neurologis fokal atau peningkatan tekanan intrakranial (TIK) pada
penderita dengan penyakit jantung kongenital atau dengan infeksi akut atau
kronik pada telinga tengah, sinus nasalis,jantung dan paru.20
• Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah pada abses serebri jarang membantu dalam menegakkan
diagnosis 22. Dijumpai peningkatan lekosit dan Laju Endap Darah (LED) 17. Nilai
22
serum C Reaktif Protein (CRP) pada umumnya meningkat . Pada kultur darah
hanya positif pada 30% penderita. Hasil kultur darah ini sebagai dasar dalam
menentukan antibiotik yang sesuai 21.

• Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)


Lumbal pungsi sebaiknya tidak dilakukan pada kasus dengan dugaan abses
serebri dengan peningkatan TIK karena dapat menyebabkan terjadinya herniasi
dan kematian20. Prosedur ini jarang memberikan informasi tambahan yang
signifikan dan dikaitkan dengan resiko herniasi pada sejumlah kasus. 19
Perubahan CSS tidak spesifik, dan harus dihindari.20
Pada CSS dijumpai sejumlah sel berkisar 0-100.000 sel/Ul, didominasi oleh
PMN, protein mulai dari normal sampai lebih dari 500 mg/dl dan konsentrasi
gula darah normal atau menurun 20. Kultur CSS positif hanya dilaporkan sekitar
6% kecuali ditemukan ruptur abses ke sistem ventrikel atau ruang subarachnoid
maka dijumpai lebih dari 20% kasus dengan kultur CSS positif.22

• Computed Tomography ( CT) Scan


Pemeriksaan CT Scan baik dalam menentukan ukuran, jumlah dan lokasi
21
abses dan juga untuk memantau keberhasilan terapi . Tetapi pemeriksaan ini
tidak dapat membedakan abses dengan tumor.26
Pada pemeriksaan CT Scan tanpa kontras, stadium serebritis pada awalnya
terlihat sebagai suatu area hipodens di white matter dengan batas yang tidak jelas
dengan efek suatu massa regional atau tersebar luas yang mencerminkan kongesti
vaskular dan edema. Pada pemberian kontras dapat dijumpai sedikit atau tidak
dijumpai kontras enhancement pada stadium ini.18
Pada kontras dijumpai oval atau circular peripheral ringlike contrast
enhancement yang menggambarkan kapsul abses. Dinding kapsul biasanya tipis
(3-6 mm) dan ketebalannya sama meskipun beberapa abses memperlihatkan
dinding tebal irregular yang mirip dengan dinding suatu glioblastoma.26
• Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan MRI paling sensitif untuk abses. Menunjukkan adanya


hypointense pada area nekrosis (abses) dikelilingi sinyal hyperintense (edema)
pada T2-weighted atau fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) images.23
Pemeriksaan ini lebih baik dalam menunjukkan stadium serebritis serta
perluasan inflamasi ke ruang ventrikel dan subarachnoid.17
Pada stadium serebritis awal, dapat dilihat hyperintense pada subkortikal
pada T2- weighted imaging. Lesi yang tampak hyperintense pada diffusion-
weighted imaging (DWI) dengan apparent-diffusion-coefficient (ADC), dengan
nilai <0.9 menunjukkan abses serebri, dimana lesi hypointense pada DWI dengan
ADC > 2 menunjukkan lesi kistik nonabses.25
Pada stadium serebritis lanjut, menunjukkan area nekrosis sentral yang
hyperintense padajaringan otak dan rangkaian T2-weighted. Penebalan irregular
di pinggir lingkaran tampak isointense menuju mild hyperintense pada spin-
echo T1-weighted images dan isointense serta hypointense pada T2-weighted.
Edema perifer dan lesi satelit tampak.25 Pada stadium formasi kapsul dini dan
lanjut, kapsul abses kolagen lebih jelas dengan gambaran penebalan dinding
cincin isointense sampai hyperintense ringan dan menjadi hypointense pada T2-
weighted. Diffusion Weighted Imaging menunjukkan gambaran khas. Bila terjadi
rupture abses ke sistem ventricular, DWI menunjukkan gambaranspesifik. Bahan
purulen di dalam ventrikel tampak sama dengan kavitas abses sentral, dengan
sinyal hyperintense pada DWI.25
Pada saat ini DWI dapat digunakan dalam menilai keberhasilan terapi abses.
Adanya pengurangan sinyal intensitas dari DWI dan peningkatan nilai ADC pada
kavitas abses dihubungkan dengan keberhasilan terapi.24

• Biopsi Otak
19
Terkadang hanya tindakan operatif yang dapat menegakkan diagnosa .
Biopsi otak aman dilakukan jika lokasi abses di permukaan otak. Jika abses
dalam, aspirasi jarum dengan bantuan stereotactic mungkin diperlukan.22

Tabel Pendekatan dalam diagnosis abses serebri

DIAGNOSA BANDING
i. Tumor Intrakranial
Abses serebri dapat menyerupai suatu tumor intrakranial dalam hal
progresifitas dan tanda-tanda neurologi fokal. Adanya riwayat
infeksi serta gambaran CT Scan dan MRI dapat membedakan kedua
keadaan ini.18
ii. Meningitis
Infeksi otak stadium awal memberikan gambaran serebritis fokal
yang menyerupai meningitis dengan adanya demam, nyeri kepala
dan menigismus akan tetapi abses yang telah terbentuk lengkap
biasanya memberikan gambaran sebagai suatu lesi massa dengan
tanda-tanda fokal dan papil edema.18
iii. Hematoma subdural kronik
Adanya riwayat trauma, tidak ada tanda-tanda infeksi serta gambaran
CT Scan dan MRI dapat menegakkan diagnosis hematoma
subdural.18
iv. Empyema subdural
Empiema subdural biasanya merupakan komplikasi dari sinusitis
paranasalis dan dapat sangat mirip dengan suatu abses serebri.
Pemeriksaan CT Scan atau MRI dapat membedakan kedua keadaan
ini.
v. Infark Serebri
Onset infark serebri lebih bersifat tiba-tiba dan dari pemeriksaan CT
Scan terdapat gambaran abses berupa typical ring.18
vi. Tuberkuloma
Adanya riwayat tuberculosis dan gambaran CT Scan dapat
membedakan abses dan tuberkuloma.18
PENATALAKSANAAN

PENATALAKSANAAN TOKSOPLASMOSIS SEREBRI

Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin (obat anti
malaria) dan sulfadiazine. Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazin
(antibiotik) ini menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma
gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara terus menerus terhadap jalur
sintesis asam folat. Leucovorin haruslah ditambah untukmencegah komplikasi
pendarahan karena efek samping untuk regimen kombinasi ini adalah penurunan
jumlah trombosit atau trombositopenia. Pengobatan untuk ibu hamil yang
terinfeksi toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain, tetapi para ibu
haruslah diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan bayinya
hiperbilirubinemia dan kernikterus.1 Terdapat regimen alternatif untuk pasien
yang intoleransi terhadap sulfadiazin atau pirimetamin. Kombinasi yang sering
dipakai dalam menangani kasus toksoplasma serebral selain pirimetamin dan
sulfadiazin ialah trimetoprim dengan sulfamethoxazole, klindamisin dengan
pirimetamin, dan claritromisin dengan pirimetamin. Klindamisin dengan
pirimetamin diberikan pada pasien yang tidak bisa toleransi terhadap
sulfonamid.1,2
Atovaquone adalah bagian dari naftoquinon yang unik dengan aktivitas
antiprotozoa yang spektrumnya luas . Atovaquone telah dibuktikan efektif
terhadap takizoit toksoplasma in vitro dan akan membunuh bradizoit dalam kista
jika dalam konsentrasi yang tinggi. Atovaqoune sering digunakan dalam
kombinasi obat-obat lain. Menurut penelitian atovaqoune menjadi lebih efektif
apabila dikombinasikan dengan obat lain seperti pirimetamin, sulfodiazin,
klindamisisn atau claritromisin.2
Regimen terapi untuk toksoplasmosis serebral akut

Terapi pilihan dan lama pengobatan Regimen Alternatif

▪ Pirimethamine (200-

Pirimethamin (200-mg oral mg oral dosis inisial,

dosis inisial, dilanjutkan dilanjutkan dengan

dengan 50–75 mg/hari secara 50–75 mg/day secara

oral), sulfadiazine (1000–1500 oral) and


mg klindamisin(600 mg
4 kali/hari), and leucovorin intravena IV
(10–20 mg/hari) atau oral 4 kali sehari).
▪ TMP (5 mg/kg) and SMX (25
Lama pengobatan :6 minggu mg/kg) IV atau oral 2 kali sehari.
▪ Atovaquone* (1500
mg oral2 kali sehari)
+ pirimethamin (50–
75 mg/hari) dan
leucovorin (10– 20
mg/hari).
▪ Atovaquone* (1500 mg oral dua kali
sehari) + sulfadiazin
(1000–1500mg 4 kali
sehari).
▪ Atovaquone* (1500 mg oral 2 kali
sehari)
▪ Pirimethamin (50–
75 mg/hari) dan
leucovorin (10–20
mg/hari) +
azithromisin (900–
1200 mg/hari bisa toleransi terhadap
oral) medikasi oral, TMP (10
Untuk pasien yang mg/kg/hari) and SMX
sakit berat dan tidak (50
mg/kg/hari) IV.

TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.


*Atovaquone harus diambil bersama makanan.

Regimen profilaksis

Indikasi Terapi pilihan Regimen alternatif


Profilaksis primer 1 kekuatan-ganda dua TMP- ▪ 1 kekuatan tunggal
SMX (160 mg TMP/ 800 mg TMP/SMX tablet setiap
SMX) tablet setiap hari hari.
▪ Dapsone 50 mg tiap hari +
pirimethamin 50 mg tiap
minggu dan leucovorin 25
mg tiap minggu.
Atovaquone 1500 mg tiap
hari.

TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.

Efek samping pirimetamin ialah timbulnya bercak-bercak merah yang


menyebabkan pasien tidak mau meneruskan pengobatannya. Keadaan ini bisa
ditangani dengan pemberian antihistamin secara bersamaan. Sulfadiazin juga bisa
menyebabkan nefropati karena kristal. Pada pasien yang kritis, yang tidak bisa
mengambil obat secara oral, trimethoprim(TPM) intravena 10mg/kg setiap hari
bersama sulfamethoxazole (SMX) 50mg/kg setiap hari dapat diberikan.1
Terapi akut harus lebih dari tiga minggu dan bisa 6 minggu jika bisa
ditoleransi. Lebih panjang terapi akut diperlukan pada pasien dengan gejala klinis
yang berat dan ada bukti terinfeksi pada foto radiologi. Hampir 65% hingga 90%
pasien memberi respon terhadap terapi dengan pirimetamin, leucovorin dan
sulfadiazine. Perbaikan klinis secara cepat dapat dilihat setelah memulai terapi
yang tepat pada toksoplasmosis serebral akut. Setelah beberapa hari, 3.5% pasien
menunjukkan perbaikan neurologis dan 9.1% menunjukkan perbaikan neurologis
setelah hari ke empat belas. Perbaikan pada foto radiologi bisa dilihat pada
minggu ketiga terapi. Pada pasien yang tidak ada respon terhadap terapi dalam
jangka waktu 10 hingga 14 hari, biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit limfoma. Terapi kortikosteroid bisa diberikan pada pasien dengan
kondisi klinis yang memburuk dalam waktu 48jam atau pasien yang pada foto
radiologinya terdapat perubahan garis tengah (midline shift) dan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Dexametasone (4mg setiap 6jam) paling sering
diberikan dan diturunkan dosisnya setelah beberapa hari. Penggunaan steroid
pada pasien HIV-AIDS harus hati-hati karena obat ini bisa melindungi infeksi-
infeksi oportunistik yang lain. Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien yang
kejang tapi tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin.1
Terapi pemeliharaan dilanjutkan untuk mencegah penyakit kambuh kembali.
Pasien-pasien yang tidak mendapatkan terapi pemeliharaan setelah mendapat
terapi akut sering terjadi kekambuhan. Pasien harus mendapat terapi profilaksis
sekunder yaitu dengan terapi pemeliharaan selama 6 minggu setelah terapi fase
akut. Regimen terapi fase pemeliharaan sama dengan terapi fase akut, tetapi
dosisnya minimal danmemberikan hasil yang efektif.1

PENATALAKSANAAN ABSES SEREBRI

A. Terapi Konservatif
Sebelum abses terbentuk kapsul dan terlokalisasi, pengobatan konservatif
bermanfaat pada penderita abses 17. Pengobatan segera dengan antibiotika
intravena pada saat infeksi masih stadium serebritis dapat menyebabkan
terjadi resolusi total tanpa perlu tindakan intervensi.18
1. Antibiotika
• Abses dengan ukuran lebih kecil dari 2,5 cm secara umum
respon dengan terapi antimikrobial, sementara abses dengan
ukuran lebih dari 2,5 cm tidak memberikan respon terhadap
terapi tersebut.17
• Pasien dengan gejala kurang dari 1 minggu memiliki respon
yang baik terhadap terapi medis dibandingkan dengan gejala
menetap lebih dari 1 minggu.17
• Sebagai terapi empiris awal untuk abses serebri :19
- Penicillin G 10-20 juta unit/hari/iv ditambah
- Chloramphenicol 3 gr/hari/iv diberikan setiap 8 jam,
ditambah
- Metronidazole 2 gr/hari/iv, diberikan setiap 6 jam
• Terapi antimikrobial pada abses serebri biasanya lama (6-8
minggu) dikarenakan dibutuhkan waktu yang panjang untuk
perbaikan jaringan otak dan ruang abses yang tertutup.
Perjalanan awal melalui rute intravena, sering diikuti dengan
tambahan 2-6 bulan pemberian oral.17
• Jika abses serebri berasal dari prosedur operasi :19
- Vancomycin 1 gr/12 jam/iv
• Computed Tomography Scanning dan MRI menunjukkan
pengurangan dari ukuran lesi, pengurangan edema, serta
berkurangnya enhancement ring. Perbaikan pada CT Scan
secara umum dan dapat dilihat dalam 1-4 minggu (rata-rata 2.5
minggu) dan resolusi yang komplit dalam 1-11 bulan (rata-
rata 3.5 bulan).
2. Anti Edema Serebri
Penggunaan dari kortikosteroid ini masih kontroversial. Dimana
steroid dapat memperlambat proses encapsulation, meningkatkan
nekrosis, mengurangi penetrasi antibiotika ke tempat abses,
17
meningkatkan resiko rupture ventrikel . Penggunaan jangka panjang
dari kortikosteroid tidak dianjurkan, dikarenakan steroid dapat
20
mengganggu pembentukan jaringan granulasi . Sehingga bila untuk
mengurangi edema serebri, terapi harus dalam durasi yang singkat,
dosis yang tepat dan waktu yang tepat.17
Pemberian kortikosteroid untuk dewasa, dosis awal : 10-12 mg IV dan
dosis lanjutan4 mg IV/6 jam. Sedangkan untuk anak-anak, dosis awal :
1-2 mg/kg/dosis IV dan dosis lanjutan 1-1,5 mg/kg/ IV.17
3. Anti Konvulsan
Antikonvulsan yang digunakan seperi diphenylhidantoin atau
karbamazepin untuk profilaksis ataupun untuk mencegah berulangnya
kejang. Umumnya, obat ini diberikan sampai 3 bulan setelah operasi
abses.20
B. Terapi Operatif
Indikasi dilakukan operasi pada abses serebri, yaitu :17
• Penekanan pada otak dan gejala bertambah buruk
• Ukuran dari abses serebri tidak berkurang dengan terapi
konservatif Penanganan dengan terapi operatif berupa : stereotactic-
17
guided aspiration dan eksisi .Aspirasi menyebabkan sedikit kerusakan
dari jaringan otak dibandingkan dengan eksisi,CT (atau MRI) –guided
aspirasi streotaksik melalui burr hole dipertimbangkan menjadipilihan 22.
Beberapa keuntungan dari aspirasi streotaktik yaitu :25
• Dapat dilakukan secara cepat dan aman melalui single burr
hole denganpasien dalam anestesi lokal
• Aspirasi dari abses memungkinkan konfirmasi patologis dari
diagnosis,dimana sangat membantu dalam membedakannya
dengan tumor
• Prosedur dasar dari sterotaksik dengan tindakan invasif yang
minimal
• Kultur bakteri dari sampel diambil secara langsung dari abses
yang diaspirasi
• Aspirasi tambahan dapat memberikan keuntungan dan
secara mudah dapatdilakukan prosedur streotaksik berulang
dengan anestesi lokal
Tindakan eksisi abses dilakukan pada sejumlah keadaan seperti: 17
• Multiloculated abses
• Abses yang meluas dengan pemberian antibiotika
• Herniasi
• Lesi unencapsulated akibat infeksi jamur dan helminthes
• Infeksi yang diakibatkan trauma kepala (untuk mengeluarkan
benda asing)
• Penurunan kesadaran
• Tidak ada perbaikan dalam 7 hari, dan atau terjadi
progresifitas dariperkembangan abses

KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling penting pada abses serebri :21

1. Herniasi
2. Ruptur abses ke ruang ventrikel dan subarachnoid
3. Rekuren abses
4. Hidrosefalus obstruktif
5. Sekuele defisit neurologi (kejang, hemiparesis)
PROGNOSIS
Survival rate untuk abses serebri baik. Prognosis baik berkaitan dengan :21

1. Usia muda
2. Tidak dijumpai defisit neurologi pada awal penyakit
3. Tidak dijumpai perburukan klinis
4. Tidak dijumpai penyakit komorbid
Sementara prognosis buruk pada abses serebri berhubungan dengan :17,21
1. Dijumpai gambaran herniasi pada awal penyakit
2. Diagnosis terlambat atau salah diagnosis
3. Gambaran perluasan lesi pada radiologi (peningkatan ukuran, lokasi berbahaya, lesi
multipel, perluasan edema/midline shift)
4. Ruptur ventrikel
5. Penyebabnya infeksi jamur
6. Usia > 60 tahun
DISKUSI KASUS

Pada kasus ini telah dirawat di RSUD Mangusada seorang Laki -laki, 41
tahun, suku Bali, Hindu, pekerja swasta, didiagnosa menderita suatu Abses serebri
et causa Toxoplasmosis berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
Pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama kelemahan separuh tubuh kiri.
Hal ini dialami os sejak 2 hari sebelum masuk RS. Keluhan terjadi secara
mendadak. Diawali dengan adanya kram pada dan kesemutan pada kaki kiri
kemudian tangan kiri juga terasa berat. Keesokan harinya keluhan semakin
memberat hingga tidak dapat digerakkan. Riwayat nyeri kepala, demam, bicara
pelo, serta mual muntah disangkal. Pasien sejak 3 bulan terakhir menderita TB
paru aktif dan rutin mengkonsumsi OAT. Pasien juga mengalami penurunan berat
badan hingga 12 kg sejak 3 bulan.
Pada pemeriksaan fisik awal didapatkan pasien dalam kondisi sadar
Glasgow Coma Scale 15 (E4V5M6) dengan tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 82
kali/menit regular, laju nafas 22 kali/menit, suhu 36.2 0C dan numeric pain rating
scale (NPRS) yaitu 0/10, berat badan 50 kg, tinggi badan 165 cm. Pemeriksan
fisik didapatkan tidak ditemukan tanda meningeal dan paresis nervus kranialis
dalam batas normal, motorik mengalami hemiparesis sinistra grade 1, hal ini
sesuai dengan gejala klinis yang tderjadi pada penderita toksoplasmis maupun
abses serebri Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan pemeriksaan darah
lengkap, fungsi hati, kadar natrium dan kalium dalam batas normal, terdapat
hiperklorida. Pada Pemeriksaan IgG antitoxo tanggal 4 oktober 2022 hasil reaktif
dengan nilai 226.7. Pemeriksaan ini untuk menegakkan diagnosis toksoplasmosis
serebri dimana merupakan gold standar pemeriksaan serologi untuk penegakan
diagnosis. Pada Pemeriksaan anti HIV didapatkan hasil reaktif, hal ini sesuai
dengan etiologi yang terjadi pada penderita toksoplasmosis dimana
imunodefisiensi adalah salah satu penyebab dari reaktifasi toksoplasmosis. Pada
pemeriksaan CT-Scan kepala dengan kontras tanggal 7 Oktober 2022 didapatkan
gambaran lesi hipodens dengan ring enchancement post injeksi kontras disertai
perifocal edema relative luas dengan ukuran 31.9 x 23.1 mm (axial view) area
lobus temporal kanan; 36.8 x 20.2mm (axial view) lobus parietal kanan; 46.4 x
31.7 mm (axial view) lobus temporooccipital kiri. Pencitraan dari imaging yang
menunjukkan ring enchancement merupakan tanda penting yang dapat ditemukan
pada penderita abses serebri.
Selama menjalani perawatan pasien mendapatkan terapi toksoplasmosis
serebri, namun terapi abses serebri belum diberikan karena saat hasil bacaan
pemeriksaan penunjang CT Scan kepala menyatakan abses serebri, pasien sudah
pulang atas permintaan sendiri. Kemudian direncanakan pemberian terapi abses
serebri dan pemeriksaan CD4 akan diberikan saat pasien kontrol post MRS namun
pasien tidak datang untuk kontrol ke poli saraf.

KESIMPULAN

1. Diagnosa Abses serebri multipel ditegakkan berdasarkan anamnesa,


pemeriksaan fisik,pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang dan
imaging.
2. Penyakit HIV merupakan salah satu faktor predisposisi yang dijumpai pada
kasus ini
3. Penatalaksanaan Abses serebri pada kasus ini belum dilakukan karena pasien
tidak melakukan kontrol pasca rawat inap ke poli saraf RSUD Mangusada.

SARAN

1. Sebaiknya diterangkan kepada keluarga mengenai penyakit dan sekuele


yang mungkin terjadi setelah mendapat pengobatan
2. Uji resistensi dan kultur sebaiknya dilakukan untuk mendapatkan antibiotik
yang sesuai
DAFTAR PUSTAKA

1. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with

HIV Infection. Hospital Physician. 2008:17-24.

2. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living Legacy. Southeast Asian J Trop Med Public

Health. 2009;40(6):1158-70.

3. Madi D, Achappa B, Rao S, Ramapuram JT, Mahalingam S. Successful Treatment of Cerebral

Toxoplasmosis with Clindamycin: A Case Report. Oman Med J. 2012;27(5):411-2.

4. Ganiem AR, Dian S, Indriati A, Chaidir L, Wisaksana R, Sturm P, et al. Cerebral Toxoplasmosis

Mimicking Subacute Meningitis in HIV-Infected Patients; a Cohort Study from Indonesia. PLOS

Neglected Tropical

5. Disease J. 2013:1-6.

6. Communicable Disease Manageent Protocol : Toxoplasmosis. Mantoba Health Public Health.

November 2001.

7. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in Relation to Toxoplasma in

the Food Chain.

8. The Center for Food Security & Public Health: Toxoplasmosis. May 2005.

9. Chapter 2.9.10 TOXOLASMOSIS. OIE Terrrestrial Manual 2008

10. Ir. INDRA CHAHAYA S,Msi. EPIDEMIOLOGI “TOXOPLASMAGONDII”. Bagian Kesehatan

Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitasn Sumatera Utara.

11. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department of Biomedical

Science and Pathology, Virginia. 2002.

12. Pereira-ChioccolaRoberta S. Nogueira, Roberto Focaccia and Vera LuciaOliveira, Adrián V.

Hernandez, Francisco Bonasser-Filho,Fabio A. Colombo, José E. Vidal, Augusto C. Penalva de

Oliveira. Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in AIDS Patients in Brazil: Importance of Molecular

and Immunological Methods Using Peripheral Blood Samples. Journal of Clinical Microbiology.

2005.

13. Sara Mathew George, MD, FRCPath, Ashok Kumar Malik, MD, FRCPath,Fayek Al Hilli, PhD.

Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: ACase Report and Review ofPathogenesis and

Laboratory Diagnosis.
14. Bahrain Medical Bulletin. June 2009.

15. Jose G. Montoya.The Journal of Infectious Diseases.Laboratory Diagnosis of Toxoplasma gondii

Infection and Toxoplasmosis, Stanford University School of Medicine, Stanford California. 2002.

16. Dalton Silaban, KikingRitarwan, danRusliDhanu. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41.

DepartemenNeurologi, FakultasKedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Juni 2008.

17. Murat Hökelek, MD, PhD; Chief Editor: Burke A Cunha, MD.Toxoplasmosis

Workup,Medscape.Diunduh dari:http://emedicine.medscape.com/article/229969-workup

18. Sushrut Kamerkarand Paul H. Davis. Toxoplasma on the Brain:Understanding Host-

PathogenInteractions in Chronic CNSInfection. August 2011.

19. Brook I. Brain Abcess. 2008. Available From : http://www.emedicine.com/MED/topic.htm

20. Gilroy J. Basic Neurology, 3rd ed. New York : McGraw-Hill ; 2000

21. Adam RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology, 7th edition. New York : McGraw-Hill ;

2000

22. Bernardini GL. Focal Infections. In : Rowland LP, editor. Merrit’s Neurology. 10th edition.

Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins ; 2000. P.128-133

23. Thomas LE. Brain Abscess. 2008. Available from :

http://www.emedicine.medscape.com/article/781021-overview

24. Kastenbauer S, Pfister HW, Wispelwey B, Scheld WM. Brain Abcess. In : Scheld WM, Whitely RJ,

Marra CM, editors. Infections of The Central Nervous System, 3rd edition. Philadelphia : Lippincott

Williams & Wilkins ; 2004. P. 479-501

25. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. 2nd ed. New York : Thieme ;2004

26. KielianT.Immunopathogenesis of Brain Abcess. 2004. Available from:

http://www.jneuroinflammation.com-content/1/1/16

Anda mungkin juga menyukai