Anda di halaman 1dari 17

KONSEP PEMBAGIAN MAHRAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah
“FIQIH MUNAKAHAT”

Dosen Pengampu :
Zain Zuhri Sholeh, Lc., M.H.
Disusun Oleh:
Muhammad Rafiq Annashih

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NGAWI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas segala karunia Allah Swt., berkat
ridhoNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat. Taklupa
kami haturkan Sholawat salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad
Saw., beserta keluarga, para sahabatnya, dan semua umatnya hingga akhir
zaman, semoga kita mendapat syafaatNya.
Penulisan makalah ini memiliki tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fikih Munakahat. Dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang “Konsep
Pembagian Mahram.” Dalam menyelesaikan tugas makalah ini kami mendapat
bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Maka dari itu, sudah sepantasnya kami
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Zain Zuhri Sholeh, Lc., M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah
Fikih Munakahat.
2. Kedua orang tua kami yang selalu mendukung dan mendoakan kami
dengan tulus.
3. Seluruh pihak yang tak mungkin kami sebutkan satu persatu.

Akhirul kalam kami sadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan sarannya demi
menyempurnakan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat
bagi kemaslahatan umum dan khususnya bagi penulis. Aamiin.

Ngawi, 29 Januari 2023

Penulis

2 |FIIQIH MUNAKAHAT
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................ 2


Daftar Isi ......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 4

A. Latar Belakang .................................................................................. 4


B. Rumusan Masalah ............................................................................. 4
C. Tujuan ............................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 5

A. Pengertian Mahram ........................................................................... 5


B. Dasar Hukum .................................................................................... 5
C. Klasifikasi Mahram .......................................................................... 7

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 16


DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 17

3 |FIIQIH MUNAKAHAT
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pernikahan adalah salah satu ibadah yang wajib kita ketahui hukum
hukum dasarnya, tatacara pelaksanaannya bahkan pembagian mahromnya
yang telah diatur dalam Alquran dan As-sunnah sehingga semua orang tidak
boleh sembarangan dalam melaksanakan ibadah tersebut. pembagian
mahrom juga termasuk hal yang utama dalam menjalankan suatu pernikahan
supaya terhindarnya kemudharatan satu sama lain dan guna mewujudkan
kemaslahatan. Dalam hal ini banyak yang perlu dikaji dalam melaksanakan
pernikahan terutama pembagian mahram fiqih dan kompilasi hukum Islam.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka ada beberapa rumusan
sebagai berikut:
1. Bagainana pengertian mengenai mahram?
2. Bagaimana dasar hukum mengenai mahram?
3. Bagaimana konsep pembagian mahram?

C. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini selain sebagai salah satu tugas mata
kuliah munakahat, juga agar pembaca memahami dan mengambil ibrah
yang didapat dalam makalah ini.

4 |FIIQIH MUNAKAHAT
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MAHRAM
Kata mahram di Indonesia sering disebut dengan kata muhrim. Yang
mana berasal dari kata harama yang artinya mencegah bentuk mashdar dari
kata harama yang artinya yang diharamkan atau dilarang. Dari pengertian
secara bahasa tersebut maka dapat diartikan bahwa mahram merupakan
seseorang yang haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi.1
Pengertian lain menurut beberapa pendapat dijelaskan pula pengertian
tentang mahram, yakni menurut Ibnu Qudamah. Menurut beliau pengertian
mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya
karena sebab nasab, persusuan, dan pernikahan.2
Sedangkan menurut Imam Ibnu Atsir mahram adalah orang-orang
yang haram untuk dinikahi selamanya, yakni bapak, anak, saudara, paman,
dan lain-lain.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat
ditarik interpretasi terkait dengan pengertian mahram. Mahram, jika
dikaitkan dengan pengharaman mengenai pernikahan berarti bahwa
larangan orang-orang yang haram untuk dinikahi karena sebab nasab atau
keturunan, sebab sepersusuan, ataupun sebab pernikahan.

B. DASAR HUKUM MAHRAM


Ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang mahram, antara lain
seperti dijelaskan di bawah ini:
1. QS. An-Nisa’ ayat 22
ِ َ‫انَ ف‬BB‫لَفَ ۗ اِنَّهٗ َك‬B‫ ْد َس‬Bَ‫ا ق‬BB‫ ۤا ِء اِاَّل َم‬B‫اُؤ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس‬Bۤ Bَ‫َواَل تَ ْن ِكحُوْ ا َما نَ َك َح ٰاب‬
‫ا‬Bۗ ً‫ةً َّو َم ْقت‬B‫اح َش‬
ࣖ ‫َو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬

1
Qomarudin Soleh, Ayat- Ayat Larangan dan Perintah, (Bandung: CV. Diponegoro, 2002),
146.
2
Imam Ibnu Qudamah, al Mughniy, (Beriut: Dar al Kitab al Arabiy,tt), 470.

5 |FIIQIH MUNAKAHAT
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan
yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang
telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh
Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

2. QS. An-Nisa’ ayat 23


‫ت‬ِ ‫ت ااْل ُ ْخ‬ ُ ‫خ َوبَ ٰن‬ ِ َ ‫ت ااْل‬ ُ ‫م َوبَ ٰن‬Bْ ‫وتُ ُك ْم َو َع ٰ ّمتُ ُك ْم َو ٰخ ٰلتُ ُك‬B
ٰ B‫م َواَ َخ‬Bْ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم اُ َّم ٰهتُ ُك ْم َوبَ ٰنتُ ُك‬ْ ‫ ِّر َم‬B‫ُح‬
‫م ٰالّتِ ْي فِ ْي‬Bُ ‫م َو َربَ ۤا ِٕىبُ ُك‬Bْ ‫ت نِ َس ۤا ِٕى ُك‬
ُ ‫ضا َع ِة َواُ َّم ٰه‬ َ ‫م ِّمنَ ال َّر‬Bْ ‫ض ْعنَ ُك ْم َواَخ َٰوتُ ُك‬
ٰ
َ ْ‫م الّتِ ْٓي اَر‬Bُ ‫َواُ َّم ٰهتُ ُك‬
ٰ
َ Bَ‫ َدخَ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَاَل ُجن‬B‫وْ ا‬BBُ‫اِ ْن لَّ ْم تَ ُكوْ ن‬Bَ‫ُحجُوْ ِر ُك ْم ِّم ْن نِّ َس ۤا ِٕى ُك ُم الّتِ ْي َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه ۖ َّن ف‬
ۖ ‫اح َعلَ ْي ُك ْم‬B
‫لَفَ ۗ اِ َّن‬B‫ ْد َس‬Bَ‫ا ق‬B‫ بَ ْينَ ااْل ُ ْختَي ِْن اِاَّل َم‬B‫َو َحاَل ۤ ِٕى ُل اَ ْبن َۤا ِٕى ُك ُم الَّ ِذ ْينَ ِم ْن اَصْ اَل بِ ُك ۙ ْم َواَ ْن تَجْ َمعُوْ ا‬
‫ ۔‬B‫هّٰللا َ َكانَ َغفُوْ رًا َّر ِح ْي ًما‬
Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-
anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu
yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara
perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
(menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

3. QS. An-Nisa’ ayat 24


‫ َّل لَ ُك ْم َّما‬B‫ب هّٰللا ِ َعلَ ْي ُك ْم ۚ َواُ ِح‬ ْ ‫ا َملَ َك‬BB‫ ۤا ِء اِاَّل َم‬B‫ت ِمنَ النِّ َس‬
َ ‫انُ ُك ْم ۚ ِك ٰت‬BB‫ت اَ ْي َم‬ ُ ‫ص ٰن‬َ ْ‫۞ َو ْال ُمح‬
‫ه ِم ْنه َُّن‬Bٖ Bِ‫تَ ْمتَ ْعتُ ْم ب‬B‫اس‬
ْ ‫ا‬BB‫فِ ِح ْينَ ۗ فَ َم‬B‫ر ُم ٰس‬B َ B‫نِ ْينَ َغ ْي‬B‫ص‬ ِ ْ‫م ُّمح‬Bْ ‫َو َر ۤا َء ٰذلِ ُك ْم اَ ْن تَ ْبتَ ُغوْ ا بِا َ ْم َوالِ ُك‬
َ ‫ ِد ْالفَ ِري‬B‫م بِ ٖه ِم ۢ ْن بَ ْع‬Bُْ‫اض ْيت‬
‫ ۗ ِة اِ َّن‬B‫ْض‬ َ ‫ضةً َۗواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما تَ َر‬ َ ‫فَ ٰاتُوْ ه َُّن اُجُوْ َره َُّن فَ ِر ْي‬
‫هّٰللا َ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang
bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang
kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan
bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu
berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina.
Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka,
berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban.

6 |FIIQIH MUNAKAHAT
Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling
merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahabijaksana.”

C. KLASIFIKASI MAHRAM
Penjelasan terkait dengan pembagian mahram dijelaskan dalam kitab
hadist al-Muwata’ Imam Malik, di dalam kitab ini dijelaskan mengenai
mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi. Dan terdapat tiga
golongan wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, yakni: mahram
nasab, mahram musaharah, mahram radha' (sepersusuan).3 Berikut
penjelasan terhadap tiga golongan mahram yang haram dinikahi untuk
selamanya:
1. Mahram Nasab
Yang dimaksud dengan mahram nasab adalah hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai hubungan keluarga.
Karena hal inilah antara laki-laki dan perempuan ini dilarang untuk
melangsungkan pernikahan. Akan tetapi bukan hanya sekedar melalui
hubungan nasab atau keluarga yang diharamkan melainkan ada jalur
lain. Adapun jalur golongan wanita yang haram untuk dinikahi adalah
sebegai berikut:4
a. Ibu kandung, yang pertama berkaitan dengan mahram nasab ini
adalah ibu yang melahirkan seseorang. Hal ini pula juga berlaku
untuk ibunya ibu atau nenek, dan ibunya nenek ke atas.
b. Anak wanita, yang telah mahrom (anak kandung), cucu, sampai
keturunan selanjutnya
c. Saudara kandung, haram dinikahi. Misal ketika laki-laki
menikahi kakak putrinya atau adik putrinya.

3
Chaliddin, “Konsep Mahram dalam Hukum Islam (Analisis Hadits dalam Kitab Al-
Muwata’ Imam Malik)”, Vol. 6 No. 1, 2019, 52.
4
Ahmad Sarwat, Wanita yang Haram Dinikahi, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018),
12.

7 |FIIQIH MUNAKAHAT
d. Saudari ayah dan saudari ibu. Yang dimaksud dengan saudari
ayah bisa saja saudari ayah yang seayah dan seibu, atau seayah
tidak seibu, atau seibu tapi tidak seayah, begitupun dengan
saudari ibu.
e. Keponakan dari saudara laki-laki, anak-anak wanita yang lahir
dari saudara laki-laki termasuk wanita yang haram dinikahi.
Dalam panggilan akrab kita, mereka termasuk keponakan.
Sedangkan dalam istilah syariah disebut banatul akh (‫)بناَت األخ‬
f. Keponakan dari saudara wanita, anak-anak wanita dari saudari
wanita disebut banatul ukht (‫ات األخت‬B‫ )بن‬termasuk para wanita
yang haram untuk dinikahi.

2. Kemahroman karena Mushoharoh. Penyebab kemahraman karena


mushaharah (ُatau akibat adanya pernikahan sehingga terjadi
hubungan mertua menantu atau orang tua tiri. Kemahramannya bukan
bersifat sementara, tetapi menjadi mahram yang sifatnya abadi. 5 Allah
SWT yang menyebutkan siapa saja wanita yang haram dinikahi. Hal
ini dijelaskan dalam QS. An-Nisa’ : 23, dibawah ini:
‫ت‬ِ ‫ت ااْل ُ ْخ‬ ُ ‫خ َوبَ ٰن‬ ِ ُ ‫م َوبَ ٰن‬Bْ ‫وتُ ُك ْم َو َع ٰ ّمتُ ُك ْم َو ٰخ ٰلتُ ُك‬B
َ ‫ت ااْل‬ ٰ B‫م َواَ َخ‬Bْ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم اُ َّم ٰهتُ ُك ْم َوبَ ٰنتُ ُك‬ْ ‫ ِّر َم‬B‫ُح‬
ٰ ۤ ۤ
‫م الّتِ ْي فِ ْي‬Bُ ‫م َو َربَا ِٕىبُ ُك‬Bْ ‫ت نِ َسا ِٕى ُك‬ ٰ
ُ ‫ضا َع ِة َواُ َّم ٰه‬ َ ‫م ِّمنَ ال َّر‬Bْ ‫ض ْعنَ ُك ْم َواَخ َٰوتُ ُك‬ َ ْ‫م الّتِ ْٓي اَر‬Bُ ‫َواُ َّم ٰهتُ ُك‬
ۖ ٰ
َ Bَ‫ َدخَ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَاَل ُجن‬B‫وْ ا‬BBُ‫اِ ْن لَّ ْم تَ ُكوْ ن‬Bَ‫ُحجُوْ ِر ُك ْم ِّم ْن نِّ َس ۤا ِٕى ُك ُم الّتِ ْي َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه َّن ف‬
ۖ ‫اح َعلَ ْي ُك ْم‬B
‫لَفَ ۗ اِ َّن‬B‫ ْد َس‬Bَ‫ا ق‬B‫ بَ ْينَ ااْل ُ ْختَي ِْن اِاَّل َم‬B‫َو َحاَل ۤ ِٕى ُل اَ ْبن َۤا ِٕى ُك ُم الَّ ِذ ْينَ ِم ْن اَصْ اَل بِ ُك ۙ ْم َواَ ْن تَجْ َمعُوْ ا‬
‫ ۔‬B‫هّٰللا َ َكانَ َغفُوْ رًا َّر ِح ْي ًما‬
Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-
anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu
yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara
perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
(menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua
5
Ibid, 15

8 |FIIQIH MUNAKAHAT
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” QS.
An - Nisa’ : 23

3. Mahram karena radha’ atau sepersusuan. Sepersusuan yang


mengharamkan tidak semua sepersusuan secara otomatis
mengakibatkan kemahraman dalam pernikahan. Ada beberapa
persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tentang hal ini, antara
lain:6 Pertama, air susu wanita baligh, seandainya yang diminum
bukan air susu manusia, seperti air susu hewan atau susu formula,
maka tidak akan menimbulkan kemahraman.
Misal wanita yang belum memungkinkan untuk punya anak,
misalnya wanita yang belum baligh, maka para ulama sepakat
penyusuan seperti tidak akan menimbulkan kemahraman minimal 5
kali penyusuan para ulama sepakat bahwa bila seorang bayi menyusu
pada wanita yang sama sebanyak 5 kali, meski tidak berturut-turut,
maka penyusuan itu telah menimbulkan akibat kemahraman. Kalau
baru sekali atau dua kali penyusuan saja, tentu belum mengakibatkan
kemahraman. Ketentuan ini didasari oleh hadits yang diriwayatkan (1
Raudhatut-thalibin, jilid 9, hal 6)
Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. dalam
riwayatnya, ibunda mukminin Aisyah Radhiyallahuanha, dahulu
terdapat ayat yang diturunkan kepadanya, yang mana hal tersebut
dijelaskan dalam hadist dibawah ini:
“Sepuluh kali penyusuan telah mengharamkan. Kemudian ayat
itu dihapus dan diganti dengan 5 kali penyusuan. Dan Rasulullah
SAW wafat dalam keadaan para wanita menyusui seperti itu.”
(HR. Muslim).

Namun ada pendapat dari mazhab Al-Hanafiyah dan Al-


Malikiyah bahwa satu kali sepersusuan yang sempurna telah
mengakibatkan kemahraman. Mereka mendasarinya dengan
kemutlakan dalil yang sifatnya umum, di mana tidak disebutkan
6
Ibid, 18.

9 |FIIQIH MUNAKAHAT
keharusan untuk melakukannya minimal 5 kali, seperti ayat di bawah
ini:
ٰ
َ ْ‫م الّتِ ْٓي اَر‬Bُ ‫ َواُ َّم ٰهتُ ُك‬..…
‫ض ْعنَ ُك ْم‬
Artinya: “ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara
perempuanmu” QS. An-Nisa’ : 23

Kedua, sampai kenyang. Dalam arti si bayi menelan susu


biasanya sampai tertidur pulas. Ada pun bila bayi melepas puting
sebentar lalu menghisapnya lagi, tidak dianggap dua kali penyusuan,
tetapi dihitung satu kali saja. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW yang
artinya : Penyusuan itu karena lapar (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, maksimal umur 2 tahun, hal ini dijelaskan dalam Q.S.
An-Nisa’ ayat 233 seperti di bawah ini,
َ ‫ض ْعنَ اَوْ اَل َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن لِ َم ْن اَ َرا َد اَ ْن يُّتِ َّم الر‬
ۗ َ‫َّضا َعة‬ ُ ‫۞ َو ْال ٰولِ ٰد‬
ِ ْ‫ت يُر‬
Artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya
selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara
sempurna.” QS. An-Nisa’ : 233

Maka kalau kita daftarkan semuanya, para wanita yang menjadi


mahram karena sebab penyusuan sebagai berikut:7
a. Wanita yang menyusui wanita yang secara langsung menyusui
bayi orang lain secara otomatis menjadi mahram terhadap bayi
tersebut. Jumlah wanita yang menyusui tidak harus hanya satu
orang saja, tetapi dimungkin ada beberapa orang. Contohnya
adalah Rasulullah Saw., beliau pernah disusui oleh setidaknya
dua wanita, yaitu Tsuwaibah Al-Aslamiyah budak Abu Lahab
dan juga Halimah As-Sa'diyah.
b. Anak wanita dari wanita yang menyusui bila wanita yang
menyusui itu punya anak perempuan, maka anak perempuan itu
otomatis menjadi saudari sesusuan dengan bayi itu, sehingga
hubungan mereka menjadi mahram selamanya. Dalam hal ini,

7
Ibid, 22.

10 |FIIQIH MUNAKAHAT
Rasulullah Saw., punya saudari perempuan sesusuan, yaitu
puteri dari Halimah As-Sa'diyah, yang bernama Syaima'.
c. Saudari wanita dari wanita yang menyusui demikian juga bila
wanita yang menyusui bayi itu punya saudari perempuan, baik
sebagai kakak ataupun adik, maka dia pun ikut jadi mahram
juga.
d. Ibu dari wanita yang menyusui meski tidak menyusui langsung
bayi itu, tetapi ibu dari wanita yang menyusui juga berstatus
mahram kepada bayi itu.
e. Ibu dari suami wanita yang menyusui dan kemahraman ini juga
menjalar kepada kerabat suami dari wanita yang menyusui, yaitu
ibunya suami serta saudarinya. cukup menarik untuk
diperhatikan, bahwa kemahraman ini juga menjalar ke pihak
keluarga suami. Ibu dari suami wanita yang menyusui bayi itu
pun ikut jadi mahram juga kepada si bayi.
f. Saudari dari suami wanita yang menyusui demikian juga dengan
saudari wanita dari suami yang istrinya menyusui bayi itu, ikut
juga menjadi mahram atas si bayi.
g. Bayi wanita yang menyusu pada wanita yang sama bila ada dua
bayi disusui oleh satu orang wanita yang sama, maka kedua bayi
itu menjadi saudara sesusuan. bila bayi pertama laki-laki dan
bayi kedua perempuan, maka hubungan keduanya menjadi
mahram, alias haram terjadi pernikahan untuk selama-lamanya.
Namun hubungan saudara sesusuan ini hanya berdampak dalam
masalah kemahraman saja, dan tidak menimbulkan pengaruh
apapun terhadap masalah waris. maksudnya, saudara sesusuan
bukan termasuk ahli waris, sehingga tidak akan terjadi hubungan
saling mewarisi antara bayi tersebut dengan orang-orang yang
sudah disebutkan di atas.

11 |FIIQIH MUNAKAHAT
Adapun kemahraman yang telah dijelaskan di atas adalah
kemahraman yang sifatnya selamanya. Akan tetapi selain kemahraman yang
bersifat selamanya, terdapat pula kemahraman yang bersifat sementara.
Kemahraman yang bersifat sementara adalah apabila terjadi sesuatu, laki-
laki yang tadinya tidak boleh menikahi seorang wanita, menjadi boleh
menikahinya. Bentuk kemahraman yang ini semata-mata mengharamkan
pernikahan saja, tapi tidak membuat seseorang boleh melihat aurat,
berkhalwat dan bepergian bersama. Yaitu mahram yang bersifat muaqqat
atau sementara. Yang membolehkan semua itu hanyalah bila wanita itu
mahram yang bersifat abadi. Diantara para wanita yang termasuk ke dalam
kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja adalah:8
1. Istri orang lain, seorang wanita yang masih berstatus sebagai istri dari
suaminya tentu saja tidak boleh dinikahi, karena itu bisa disebut
mahram. Tetapi sifat kemahramannya tidak abadi, hanya bersifat
sementara. Bila suaminya wafat atau menceraikannya, dan telah
selesai masa iddah wanita itu, maka wanita itu maka boleh atau bisa
saja dinikahi. Karena kemahramannya berifat sementara, maka tidak
berlaku hukum-hukum seperti kepada mahram yang bersifat abadi.
2. Saudara ipar saudara ipar adalah saudara wanita dari istri, baik sebagai
kakak atau adik. Saudara ipar tidak boleh dinikahi, karena seorang
laki-laki diharamkan memadu dua wanita yang bersaudara.
‫ بَ ْينَ ااْل ُ ْختَي ِْن اِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۔‬B‫ َواَ ْن تَجْ َمعُوْ ا‬.…
Artinya: “…dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau.” QS. An-Nisa’ : 23

Namun bila hubungan suami istri dengan saudara dari ipar itu
sudah selesai, baik karena meninggal atau pun karena cerai, maka
saudari ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi.
Istilah yang populer adalah turun ranjang.

8
Ibid, 26.

12 |FIIQIH MUNAKAHAT
3. Masih masa iddah, wanita yang telah dicerai oleh suaminya, tidak
boleh langsung dinikahi, kecuali setelah selesai masa iddahnya. Masa
iddahnya adalah selama 3 kali masa suci dari haidh, sebagaimana
firman Allah Swt., berikut ini:
‫ت يَتَ َربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُر ُۤوْ ۗ ٍء‬
ُ ‫َو ْال ُمطَلَّ ٰق‬
Artinya: “Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri
mereka (menunggu) tiga kali quru'.” Qs. Al Baqarah : 228

Sedangkan wanita yang suaminya meninggal dunia, maka masa


iddahnya lebih lama lagi, yaitu 4 bulan 10 hari. Hal itu ditegaskan di
dalam Alquran :
ۚ ‫ يَّتَ َربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن اَرْ بَ َعةَ اَ ْشه ٍُر َّو َع ْشرًا‬B‫َوالَّ ِذ ْينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُوْ نَ اَ ْز َوا ًجا‬
Artinya: “Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta
meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu
empat bulan sepuluh hari.” QS. Al Baqarah : 234

Selama masa iddah itu seorang wanita wajib tinggal di dalam


rumah suaminya, dan diharamkan untuk keluar rumah, berdandan
serta menerima pinangan dari seorang laki-laki. Begitu selesai masa
iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.
4. Istri yang ditalak tiga, seorang wanita yang telah ditalak untuk yang
ketiga kalinya, maka haram hukumnya dinikahi kembali.
ۗ ‫ َغي َْر ٗه‬B‫فَاِ ْن طَلَّقَهَا فَاَل تَ ِحلُّ لَهٗ ِم ۢ ْن بَ ْع ُد َح ٰتّى تَ ْن ِك َح زَ وْ ًجا‬
Artinya: “Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia
menikah dengan suami yang lain.” QS. Al Baqarah : 230

Tetapi seandainya atas kehendak Allah dia menikah lagi dengan


laki-laki lain dan kemudian diceraikan suami barunya itu, maka halal
dinikahi kembali asalkan telah selesai iddahnya dan posisi suaminya
bukan sebagai muhallil belaka.

13 |FIIQIH MUNAKAHAT
5. Wanita pezina, Alquran secara tegas menyebutkan haramnya seorang
laki-laki muslim untuk menikahi wanita pezina.
ٌ ۚ ‫ ِر‬B‫ان اَوْ ُم ْش‬
‫رِّ َم‬BB‫ك َو ُح‬ ٍ َ‫اَل َّزانِ ْي اَل يَ ْن ِك ُح اِاَّل زَانِيَةً اَوْ ُم ْش ِر َكةً ۖ َّوال َّزانِيَةُ اَل يَ ْن ِك ُحهَٓا اِاَّل ز‬
َ‫ك َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِ ْين‬ َ ِ‫ٰذل‬
Artinya: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina
perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan
tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-
laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang
mukmin.” QS. An Nur : 3

Dalam hal ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina.
Sebaliknya, ketika wanita itu sudah bertaubat dengan taubat nashuha,
dimana dia sudah tidak lagi disebut wanita yang berzina, umumnya
ulama membolehkannya. Dosa zina itu adalah dosa yang bisa
diampuni. dan kalau sudah diampuni, tentu haram hukumnya
menjuluki mereka sebagai pezina. Bukankah dahulu sebelum masuk
Islam, banyak di antara sahabat Nabi SAW yang berzina serta
melanggar larangan Allah. Tetapi ketika sudah masuk Islam dan
bertaubat, status mereka tidak boleh lagi disebut sebagai pezina.
6. Istri yang dili'an (tuduhan). Li’an adalah salah satu bentuk perceraian,
dimana seorang suami mendapati istrinya berzina dan menjatuhkan
tuduhan, namun tidak punya saksi selain dirinya sendiri. Di sisi lain,
pihak istri menolak untuk mengakuinya. Sehingga untuk itu digelarlah
sebuah pengadilan dimana kedua belah pihak ditantang untuk saling
melaknat. Seorang suami di dalam li’an akan melaknat istrinya. Li’an
disyariatkan di dalam Alquran :
‫ ُع‬BBَ‫ ِد ِه ْم اَرْ ب‬BB‫هَا َدةُ اَ َح‬BB‫هُ ْم فَ َش‬BB‫هَد َۤا ُء آِاَّل اَ ْنفُ ُس‬BB‫اجهُ ْم َولَ ْم يَ ُك ْن لَّهُ ْم ُش‬
َ ‫وْ نَ اَ ْز َو‬BB‫َوالَّ ِذ ْينَ يَرْ ُم‬
َ‫ ِذبِ ْين‬B‫انَ ِمنَ ْال ٰك‬BB‫ ِه اِ ْن َك‬B‫ةُ اَ َّن لَ ْعنَتَ هّٰللا ِ َعلَ ْي‬B‫ ِدقِ ْينَ َو ْالخَا ِم َس‬B‫الص‬ ّ ٰ َ‫ت بِاهّٰلل ِ ۙاِنَّهٗ لَ ِمن‬
ٍ ۢ ‫َش ٰه ٰد‬
‫ةَ اَ َّن‬B‫ ِذبِ ْينَ َۙو ْالخَا ِم َس‬B‫ت بِاهّٰلل ِ اِنَّهٗ لَ ِمنَ ْال ٰك‬ ٍ ۢ ‫ ٰه ٰد‬B‫ َع َش‬Bَ‫هَ َد اَرْ ب‬B‫اب اَ ْن ت َْش‬ َ ‫ َذ‬B‫َويَ ْد َرُؤا َع ْنهَا ْال َع‬
ّ ٰ ‫ب هّٰللا ِ َعلَ ْيهَٓا اِ ْن َكانَ ِمنَ ال‬
َ‫ص ِدقِ ْين‬ َ ‫ض‬َ ‫َغ‬
Artinya: “6. Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina),
padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka

14 |FIIQIH MUNAKAHAT
sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk
orang yang berkata benar. 7. Dan (sumpah) yang kelima bahwa
laknat Allah akan menimpanya, jika dia termasuk orang yang
berdusta 8. Dan istri itu terhindar dari hukuman apabila dia
bersumpah empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya)
benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta, 9. dan (sumpah)
yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri), jika
dia (suaminya) itu termasuk orang yang berkata benar. Bila seorang
suami telah melakukan li’an kepada istrinya, maka istrinya itu
menjadi wanita yang haram untuk dinikahi.”
QS. An-Nur :6-9

7. Wanita kafir, menikahi wanita non muslim atau wanita musyrikah.


Namun begitu wanita itu masuk Islam, dihalalkan bagi laki-laki
muslim untuk menikahinya. (Keputusan MUI no.4/MUNAS
VII/8/2005)

15 |FIIQIH MUNAKAHAT
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi, bisa disebabkan
karena nasab, sepersusuan, dan pernikahan itupun yang bersifat abadi,
mahram yang sifatnya sementara waktu saja ialah istri yang status masih
dengan orang lain, saudari ipar, perempuan masih masa iddah, perempuan
pezina yang sudah taubat nashuha, dan perempuan yang kafir menjadi
muslim.
Beberapa dalil Alquran yang menjelaskan tentang konsep
kemahraman terdapat dalam QS. An-Nisa : 22-24, QS. Al-Baqarah : 228,
QS. Al-Baqarah : 234, QS. An-Nur : 3, dan QS. An-Nur : 6-9.

B. SARAN
Demikian Makalah yang saya buat sebaik mungkin semoga pembaca
dapat memahami isinya dan dapat mengambil ibrah yang tertuang
didalamnya, jika makalah ini ada kekurangan saya siap menerima saran
terbaik dari pembaca. Terimakasih.

16 |FIIQIH MUNAKAHAT
DAFTAR PUSTAKA

A. SUMBER BUKU
Qudamah, Imam Ibnu. tt. al Mughniy. Beriut: Dar al Kitab al Arabiy.
Sarwat, Ahmad. 2018. Wanita yang Haram Dinikahi. Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing.
Soleh, Qomarudin. 2002. Ayat- Ayat Larangan dan Perintah. Bandung: CV.
Diponegoro.

B. SUMBER JURNAL
Chaliddin. 2019. “Konsep Mahram dalam Hukum Islam (Analisis Hadits
dalam Kitab Al-Muwata’ Imam Malik)”. Vol. 6 No. 1

17 |FIIQIH MUNAKAHAT

Anda mungkin juga menyukai