PRO JUSTICIA:
VISUM ET REPERTUM
Yang bertanda tangan dibawah ini, dr. Novilda Novia Sari, Dokter Umum RSUD Solok Selatan
menerangkan bahwa atas permintaan tertulis dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah
Sumatera Barat Resor Solok Selatan Sungai Pagu, Tanggal 10 Oktober 2018, Nomor polisi:
LP/142/X/2018/SPTK Polsek, maka pada tanggal 10 oktober 2018, pukul 10:00 WIB, bertempat di
Instalasi Gawat Darurat RSUD Solok Selatan, telah melakukan pemeriksaan LUAR dengan
keterangan:-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Orang tersebut diatas diduga korban dalam perkara tindak pidana PERSETUBUHAN dan
PERBUATAN CABUL yang terjadi pada hari rabu tanggal 10 oktober 2018.----------------------
2. Dengan keadaan umum baik, emosi baik, sikap selama pemeriksaan baik.--------------------------
3. Penampilan kacau, pakaian kotor.--------------------------------------------------------------------------
4. Korban mengaku tidak terjadi apa-apa pada korban, sebelumnya pada tangal 09 oktober pukul
18;00 WIB korban dijemput temannya kemudian pergi ke Padang Aro untuk menemmui
pacarnya dan pacar temannya, disana mereka berbincang-bincang sambil makan dan minum
tetapi korban mengaku tidak ikut makan dan minum kemudian mereka pulang ke Muara Labuh
pukul 20:00 WIB dengan kendaraan bermotor, sesampainya di pekonina korban mengaku
berhenti di semak-semak mengaku ingin buang air kecil, setelah itu pasien tidak sadarkan diri
sampai dibawa ke IGD RSUD.-----------------------------------------------------------------------------
5. Riwayat perkembangan seksual sudah berkembang.----------------------------------------------------
6. Korban sedang menstruasi hari ke-2.----------------------------------------------------------------------
7. Pada tubuh korban tidak ditemukan luka-luka.-----------------------------------------------------------
8. Pada pemeriksaan alat kelamin :---------------------------------------------------------------------------
a. Tidak ditemukan luka lecet pada bibir kemaluan bagian dalam.-----------------------------------
b. Tidak dijumpai luka robek pada selaput dara.---------------------------------------------------------
9. Pada saat kejadian, korban sedang menstruasi hari ke-2.-----------------------------------------------
10. Barang bukti yang diserahkan kepada polisi tidak ada.-------------------------------------------------
----------------------------------------------------KESIMPULAN-----------------------------------------------
Dari hasil pemeriksaan luar diambil kesimpulan bahwa pada korban tidak dijumpai luka robek baru
maupun luka robek lama pada selaput dara korban.--------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------PENUTUP----------------------------------------------------
Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan sejujur-jujurnya berdasarkan sumpah jabatan sesuai
dengan KUHP (kitab undang-undang hukum acara pidana), untuk digunakan bila mana perlu.-----------
TINJAUAN PUSTAKA
Visum et repertum berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik. Mengenai disiplin ilmu ini,
menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang
menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana
maupun dalam perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah
membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya
Tugas dari Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu aparat hukum (baik kepolisian,
kejaksaan, dan kehakiman) dalam mengungkapkan suatu perkara yangberkaitan dengan pengrusakan
tubuh, kesehatan dan nyawa seseorang. Dengan bantuan Ilmu Kedokteran Kehakiman tersebut,
diharapkan keputusan yang hendak diambil oleh badan peradilan menjadi obyektif berdasarkan apa
yang sesungguhnya terjadi. Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada saat
terjadi tindak pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban yang luka atau meninggal) dan
pemeriksaan barang bukti, dimana hal ini akan diterangkan dan diberikan hasilnya secara tertulis
Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya KUHAP tidak diberikan
perundangan yang memberikan pengertian mengenai visum et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937
Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad tersebut bahwa : “Visum et Repertum adalah
laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang
dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang
bukti, berdasarkan sumpah padawaktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang
sebaik-baiknya.4
Dari pengertian visum et repertum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa visum et repertum
adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan
6
barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi dalam hal ini visum et repertum merupakan kesaksian
Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan),
visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan visum et repertum psikiatrik.
Pada visum et repertum korban kejahatan susila umumnya korban yang dimintakan visum et
repertumnya pada dokter adalah dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP
(meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan
atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga
diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai
akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena
istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.6
Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya
tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya
tanda kekerasan. Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan
berupa darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui pemeriksaan
Maksud pembuatan VeR adalah sebagai salah satu barang bukti (corpus delicti) yang sah di
pengadilan karena barang buktinya sendiri telah berubah pada saat persidangan berlangsung. Jadi VeR
merupakan barang bukti yang sah karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184.
Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Keterangan terdakwa
7
- Surat-surat
- Petunjuk
- Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk membuat kesimpulan VeR yang
lebih baru
Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta
keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau
penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau
2.4 Pencabulan
Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentanggan dan melanggar
kesopanan dan kesusilaan seseorang yang semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya
seorang laki-laki meraba kelamin seorang perempuan.4 KUHP 289 menjelaskan perbuatan cabul
Semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus menganggu
kehormatan kesusilaan . KUHP menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana
kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud dari pada pencabulan itu sendiri dan
dalam konsep KUHP yang baru ditambahkan kata “persetubuhan” disamping pencabulan, sehingga
Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan “persetubuhan” ialah peraduan antara anggota
kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota
kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air
mani. Dalam pengertian persetubuhan di atas disimpulkan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan suatu
persetubuhan jika alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan sampai
8
Perbedaan antara pencabulan dan persetubuhan yaitu jika seseorang melakukan persetubuhan itu
sudah termasuk perbuatan cabul sedangkan ketika seseorang melakukan perbuatan cabul, belum
dikategorikan telah melakukan persetubuhan. Karena suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai
suatu persetubuhan jika disyaratkan masuknya penis ke dalam vagina perempuan kemudian laki-laki
mengeluarkan air mani yang biasanya menyebabkan terjadinya kehamilan sehingga jika salah satu
syarat tidak terpenuhi maka bukan dikategorikan sebagai suatu persetubuhan melainkan perbuatan
2.5 Pemerkosaan
Tindak pidana perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan yang
berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi. Pengertian
tindak pidana perkosaan tersebut mempunyai makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada
hubungan sexual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak
merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau
ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun
hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap hal ini adalah
wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan Pemerkosaan sebagai suatu tindak pidana
yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.4
2.6.1 Aspek etik dan medikolegal Visum et Repertum pada kasus perkosaan dan pencabulan
Terdapat beberapa aspek etik dan medikolegal yang harus diperhatikan dalam melakukan
pemeriksaan dan penatalaksanaan kekerasan seksual. Karena korban jugaberstatus sebagai pasien, dan
yang akan diperiksa adalah daerah “sensitif”, hal utamayang harus diperhatikan adalah memperoleh
informed consent. Informasi tentang pemeriksaan harus diberikan sebelum pemeriksaan dimulai dan
antara lain, mencakup tujuan pemeriksaan dan kepentingannya untuk pengungkapan kasus, prosedur
atau teknik pemeriksaan, tindakan pengambilan sampel atau barang bukti, dokumentasi dalam bentuk
rekam medis dan foto, serta pembukaan sebagian rahasia kedokteran guna pembuatan visum et
9
repertum. Apabila korban cakap hukum, persetujuan untuk pemeriksaan harus diperoleh dari korban.
Syarat-syarat cakap hukum adalah berusia 21 tahun atau lebih, atau belum 21 tahun tapi sudah pernah
menikah, tidak sedang menjalani hukuman, serta berjiwa sehat dan berakal sehat. 9
Persetujuan harus diminta dari walinya yang sah apabila korban tidak cakap hukum. Bila korban
tidak setuju diperiksa, tidak terdapat ketentuan undang-undang yang dapat memaksanya untuk
diperiksa dan dokter harus menghormati keputusan korban tersebut. Selain itu, karena pada korban
terdapat barang bukti (corpus delicti) harus diperhatikan pula prosedur legal pemeriksaan. Setiap
pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum harus dilakukan berdasarkan permintaan tertulis
(Surat Permintaan Visum/SPV) dari polisi penyidik yang berwenang. Korban juga harus diantar oleh
polisi penyidik sehingga keutuhan dan originalitas barang bukti dapat terjamin.9
Dokter harus memastikan identitas korban yang diperiksa dengan mencocokkan antara
identitas korban yang tercantum dalam SPV dengan tanda identitas sah yang dimiliki korban, seperti
KTP, paspor, atau akta lahir apabila korban tidak diantar oleh polisi penyidik,. Catat pula dalam rekam
medis bahwa korban tidak diantar oleh polisi. Hal ini harus dilakukan untuk menghindari
Seorang dokter yang memeriksa kasus kekerasan seksual harus bersikap objektif-imparsial,
konfidensial dan profesional. Objektif imparsial artinya seorang dokter tidak boleh memihak atau
bersimpati kepada korban sehingga cenderung mempercayai seluruh pengakuan korban begitu saja.
Hal yang boleh dilakukan adalah berempati, dengan tetap membuat penilaian sesuai dengan bukti-
bukti objektif yang didapatkan secara sistematisdan menyeluruh. Tetap waspada terhadap upaya
pengakuan atau tuduhan palsu (falseallegation) dari korban. Hindari pula perkataan atau sikap yang
“menghakimi” atau menyalahkan korban atas kejadian yang dialaminya. Dokter juga harus menjaga
konfidensialitas hasil pemeriksaan korban. Komunikasikan hasil pemeriksaan hanya kepada yang
berhak mengetahui, seperti kepada korban dan/atauwalinya (jika ada), serta penyidik kepolisian yang
berwenang.
Tuangkan hasil pemeriksaan dalam visum et repertum sesuai keperluan saja dengan tetap
menjaga kerahasiaan data medisyang tidak terkait dengan kasus. Profesionalitas dokter dalam
pemeriksaan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang umum dan mutakhir, dengan
10
Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah untuk
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban kekerasan seksual : 12
1. Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan menunggu terlalu lama.
Hal ini penting untuk mencegahrusak atau berubah atau hilangnya barang bukti yang terdapat di
tubuh korban, serta untuk menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis yang lebih
berat.
2. Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis kelaminnya dengan
korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu korban dan
sebagai saksi terhadap prosedur pemeriksaan dan pengambilan sampel. Selain itu, hal ini juga
perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduhan palsu bahwa dokter melakukan
3. Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap seluruh bagian tubuh
2.6.2 Pemeriksaan
1. Anamnesis
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang mudah
dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-
ekonomi korban, sekalipun mungkin terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis
umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain: 12
• Status pernikahan,
11
• Riwayat paritas dan/atau abortus,
• Riwayat koitus (sudah pernah atau belum,riwayat koitus sebelum dan/atau setelah kejadian
kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya),
Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan seksual
• What &How:
- apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian
- adanya pemberian minuman, makanan,atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah
kejadian,
- penggunaan kondom
- tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah buang
• When:
- tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor,
- apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
• Where:
12
- jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat kejadian
• Who:
- jumlah pelaku,
2. Pemeriksaan fisik
fisikharus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan
pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau
keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapatditunda dan dokter fokus
untuk ”life-saving”terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus.
• Tanda-tanda vital
• Status generalis
• Rambut (tercabut/rontok)
• Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga)
• Kuku (apakah ada kotoran atau darah dibawahnya, apakah ada kuku yang tercabut atau
patah),
13
• status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah kemaluan.Untuk
2.1.10
Sumber : WHO. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence.200313
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mendeteksi dan mengatasi luka serta mencari bukti-bukti fisik
yang terkait dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban. Pemeriksaan yang dilakukan
yaitu : 12,10
Tidak ada temuan spesifik pada anak. Iritasi pada vulva sering pada anak kecil akibat
kebersihan yang buruk, maserasi kulit akibat kelembaban pakaian dalam ataupun ekskoriasi akibat
infeksi lokal. Pemeriksaan pada anak yang mengalami kejahatan seksual biasanya normal. Pada studi
terhadap 2384 anak yang dirujuk ke pelayanan kesehatan tingkat tiga, kurang dari 5% temuan genitalia
yang dicurigai terjadinya kejahatan seksual. Hasil pemeriksaan didapatkan normal pada 96,3% anak.
Selain itu, dari anamnesa ditemukan bahwa 68% anak mengalami penetrasi pada anus ataupun vagina.
Dokter harus ahli dalam menilai robekan pada hymen. Robekan pada hymen biasanya terputus
pada arah jam 3 dan 9. Pada perempuan prapubertas, trauma regangan dan penetrasi berakibat pada
sisa hymen.
14
b. Mencari bukti fisik
Selama pemeriksaan inspeksi umum, seluruh benda asing (seperti pasir, rumput) harus
dipindahkan ke dalam amplop berlabel. Bekas cakaran pada kuku dan rambut yang rontok
dikumpulkan. Cairan semen dapat dideteksi pada kulit beberapa jam setelah kejadian. Lampu Wood’s
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya cairan semen pada tubuh pasien, begitu juga sinar UV
menyebabkan semen berubah warna. Noda yang dapat diangkat dari kulit dengan lidi kapas untuk
Apabila dicurigai adanya penetrasi ke dalam vagina, cairan vagina dapat diambil dan dikirim ke
laboratorium untuk analisa penyakit menular seksual. Kultur swab sebaiknya diambil dari rektum,
vagina, uretra dan faring. Seluruh spesimen yang diambil diberi label dan simpan dalam amplop yang
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan selaput
dara. Gambaran robekan pada selaput dara terlihat pada Gambar 2.2. Karena itu, pemeriksaan selaput
dara dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan
penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan robekan.
Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap tampak dengan
Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting. Selain melakukan
pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yang ditemukan. Foto-
foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu
diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara
untukmencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuhkorban. Sampel untuk pemeriksaan penunjangdapat
• pakaian yang dipakai korban saat kejadian;diperiksa lapis demi lapis untuk mencari adanyatrace
evidence yang mungkin berasaldari pelaku, seperti darah dan bercak mani,atau dari tempat
• rambut pubis yaitu dengan mengguntingrambut pubis yang menggumpal atau mengambil rambut
• swab, dapat diambil dari bercak yang didugabercak mani atau air liur dari kulit sekitar vulva,
vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit bekas gigitan atau ciuman, ronggamulut (pada
Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang bukti dari sampel
yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan, pengemasan, dan pengiriman sampel harus
disertai dengan pembuatan berita acara sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila
sampel akan dikirim ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.3
16
DAFTAR PUSTAKA
2. Meilia P. Prinsip pemeriksaan dan penatalaksanaan korban (p3k) kekerasan seksual. vol. 39 no.
3. Marpaung L. Kejahatan terhadap kesusilaan dan masalah prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika.
5. Moeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).Jakarta: Bumi Aksara. 2003, hal. 106.
6. Mun’in, Idries Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono. Penerapan ilmu kedokteran kehakiman
7. Abdul, Mun’im, Idris.Pedoman ilmu kedokteran forensik. Jakarta : Binarupa Aksara. 1997, hal.
102-3.
8. Burgess AW, Marchetti CH. Contemporary issues. In: Hazelwood RR, Burgess AW, editors.
Practical aspects of rape investigation: A multidisiplinary approach. 4th ed. Boca Raton (FL):
9. Savino JO, Turvey BE. Defining rape and sexual assault. In: Savino JO, Turvey BE, editors. Rape
10. Rogers D, Newton M. Sexual assault examination. In: Stark MM, editor. Clinical forensic
medicine: A physician’s guide. 2nd edition. Totowa (NJ): Humana Press Inc. 2005, hal. 61-
126.
11. World Health Organization. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence.
12. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin M, Laufer N. Current diagnosis and treatment obstetric and
17