Anda di halaman 1dari 13

Muara Labuh, 10 Oktober 2018

PRO JUSTICIA:

VISUM ET REPERTUM

Yang bertanda tangan dibawah ini, dr. Novilda Novia Sari, Dokter Umum RSUD Solok Selatan
menerangkan bahwa atas permintaan tertulis dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah
Sumatera Barat Resor Solok Selatan Sungai Pagu, Tanggal 10 Oktober 2018, Nomor polisi:
LP/142/X/2018/SPTK Polsek, maka pada tanggal 10 oktober 2018, pukul 10:00 WIB, bertempat di
Instalasi Gawat Darurat RSUD Solok Selatan, telah melakukan pemeriksaan LUAR dengan
keterangan:-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Nama : Tria Maharani--------------------------------------------------------------------


Tempat/tgl lahir : 14 tahun--------------------------------------------------------------------------
Jenis Kelamin : Perempuan-----------------------------------------------------------------------
Agama : Islam------------------------------------------------------------------------------
Kewarganegaraan : Indonesia-------------------------------------------------------------------------
Pekerjaan : Pelajar----------------------------------------------------------------------------
Alamat : Jorong Mata Air Nagari Bomas Koto Baru Kecamatan Sungai Pagu
Kabupaten Solok Selatan.------------------------------------------------------

---------------------------------------------- HASIL PEMERIKSAAN ---------------------------------------------

1. Orang tersebut diatas diduga korban dalam perkara tindak pidana PERSETUBUHAN dan
PERBUATAN CABUL yang terjadi pada hari rabu tanggal 10 oktober 2018.----------------------
2. Dengan keadaan umum baik, emosi baik, sikap selama pemeriksaan baik.--------------------------
3. Penampilan kacau, pakaian kotor.--------------------------------------------------------------------------
4. Korban mengaku tidak terjadi apa-apa pada korban, sebelumnya pada tangal 09 oktober pukul
18;00 WIB korban dijemput temannya kemudian pergi ke Padang Aro untuk menemmui
pacarnya dan pacar temannya, disana mereka berbincang-bincang sambil makan dan minum
tetapi korban mengaku tidak ikut makan dan minum kemudian mereka pulang ke Muara Labuh
pukul 20:00 WIB dengan kendaraan bermotor, sesampainya di pekonina korban mengaku
berhenti di semak-semak mengaku ingin buang air kecil, setelah itu pasien tidak sadarkan diri
sampai dibawa ke IGD RSUD.-----------------------------------------------------------------------------
5. Riwayat perkembangan seksual sudah berkembang.----------------------------------------------------
6. Korban sedang menstruasi hari ke-2.----------------------------------------------------------------------
7. Pada tubuh korban tidak ditemukan luka-luka.-----------------------------------------------------------
8. Pada pemeriksaan alat kelamin :---------------------------------------------------------------------------
a. Tidak ditemukan luka lecet pada bibir kemaluan bagian dalam.-----------------------------------
b. Tidak dijumpai luka robek pada selaput dara.---------------------------------------------------------
9. Pada saat kejadian, korban sedang menstruasi hari ke-2.-----------------------------------------------
10. Barang bukti yang diserahkan kepada polisi tidak ada.-------------------------------------------------

----------------------------------------------------KESIMPULAN-----------------------------------------------
Dari hasil pemeriksaan luar diambil kesimpulan bahwa pada korban tidak dijumpai luka robek baru
maupun luka robek lama pada selaput dara korban.--------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

----------------------------------------------------------PENUTUP----------------------------------------------------
Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan sejujur-jujurnya berdasarkan sumpah jabatan sesuai
dengan KUHP (kitab undang-undang hukum acara pidana), untuk digunakan bila mana perlu.-----------

Muara Labuh, 10 Oktober 2018


Dokter yang memeriksa,

dr. Novilda Novia Sari


5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Visum et Repertum

Visum et repertum berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik. Mengenai disiplin ilmu ini,

dimana sebelumnya dikenal dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman, R. Atang Ranoemihardja

menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang

menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana

maupun dalam perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah

membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya

dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran.3,4

Tugas dari Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu aparat hukum (baik kepolisian,

kejaksaan, dan kehakiman) dalam mengungkapkan suatu perkara yangberkaitan dengan pengrusakan

tubuh, kesehatan dan nyawa seseorang. Dengan bantuan Ilmu Kedokteran Kehakiman tersebut,

diharapkan keputusan yang hendak diambil oleh badan peradilan menjadi obyektif berdasarkan apa

yang sesungguhnya terjadi. Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada saat

terjadi tindak pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban yang luka atau meninggal) dan

pemeriksaan barang bukti, dimana hal ini akan diterangkan dan diberikan hasilnya secara tertulis

dalam bentuk surat yang dikenal dengan istilah visum et repertum. 5

Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya KUHAP tidak diberikan

pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian visum et repertum. Satu-satunya ketentuan

perundangan yang memberikan pengertian mengenai visum et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937

Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad tersebut bahwa : “Visum et Repertum adalah

laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang

dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang

bukti, berdasarkan sumpah padawaktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang

sebaik-baiknya.4

Dari pengertian visum et repertum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa visum et repertum

adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan

6
barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi dalam hal ini visum et repertum merupakan kesaksian

tertulis dalam proses peradilan. 3,4,5

1.2 Klasifikasi Visum et Repertum

Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan),

visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan visum et repertum psikiatrik.

Pada visum et repertum korban kejahatan susila umumnya korban yang dimintakan visum et

repertumnya pada dokter adalah dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP

(meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan

dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul).

Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan

atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga

diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai

akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena

istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.6

Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya

tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya

tanda kekerasan. Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan

berupa darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui pemeriksaan

golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.5

1.3 Fungsi dan tujuan Visum et Repertum

Maksud pembuatan VeR adalah sebagai salah satu barang bukti (corpus delicti) yang sah di

pengadilan karena barang buktinya sendiri telah berubah pada saat persidangan berlangsung. Jadi VeR

merupakan barang bukti yang sah karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184.

Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu:

- Keterangan saksi

- Keterangan ahli

- Keterangan terdakwa

7
- Surat-surat

- Petunjuk

Ada 3 tujuan pembuatan VeR, yaitu:

- Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim

- Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat

- Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk membuat kesimpulan VeR yang

lebih baru

Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta

keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau

penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau

penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. 1,2

2.4 Pencabulan

Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentanggan dan melanggar

kesopanan dan kesusilaan seseorang yang semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya

seorang laki-laki meraba kelamin seorang perempuan.4 KUHP 289 menjelaskan perbuatan cabul

Semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus menganggu

kehormatan kesusilaan . KUHP menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana

kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud dari pada pencabulan itu sendiri dan

terkesan mencampuradukkan pengertiannya dengan perkosaan ataupun persetubuhan, sedangkan

dalam konsep KUHP yang baru ditambahkan kata “persetubuhan” disamping pencabulan, sehingga

pencabulan dan persetubuhan dibedakan.

Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan “persetubuhan” ialah peraduan antara anggota

kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota

kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air

mani. Dalam pengertian persetubuhan di atas disimpulkan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan suatu

persetubuhan jika alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan sampai

mengeluarkan air mani yang dapat mengakibatkan kehamilan.7

8
Perbedaan antara pencabulan dan persetubuhan yaitu jika seseorang melakukan persetubuhan itu

sudah termasuk perbuatan cabul sedangkan ketika seseorang melakukan perbuatan cabul, belum

dikategorikan telah melakukan persetubuhan. Karena suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai

suatu persetubuhan jika disyaratkan masuknya penis ke dalam vagina perempuan kemudian laki-laki

mengeluarkan air mani yang biasanya menyebabkan terjadinya kehamilan sehingga jika salah satu

syarat tidak terpenuhi maka bukan dikategorikan sebagai suatu persetubuhan melainkan perbuatan

cabul. Selain itu perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan.4

2.5 Pemerkosaan

Tindak pidana perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan yang

berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi. Pengertian

tindak pidana perkosaan tersebut mempunyai makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada

hubungan sexual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak

asasi manusia yang lainnya.8

Berdasarkan pengertian pemerkosaan tersebut diatas, menunjukkan bahwa pemerkosaan

merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau

ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun

hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap hal ini adalah

wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan Pemerkosaan sebagai suatu tindak pidana

yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.4

2.6 Pembuatan Visum et Repertum pada kasus perkosaan dan pencabulan

2.6.1 Aspek etik dan medikolegal Visum et Repertum pada kasus perkosaan dan pencabulan

Terdapat beberapa aspek etik dan medikolegal yang harus diperhatikan dalam melakukan

pemeriksaan dan penatalaksanaan kekerasan seksual. Karena korban jugaberstatus sebagai pasien, dan

yang akan diperiksa adalah daerah “sensitif”, hal utamayang harus diperhatikan adalah memperoleh

informed consent. Informasi tentang pemeriksaan harus diberikan sebelum pemeriksaan dimulai dan

antara lain, mencakup tujuan pemeriksaan dan kepentingannya untuk pengungkapan kasus, prosedur

atau teknik pemeriksaan, tindakan pengambilan sampel atau barang bukti, dokumentasi dalam bentuk

rekam medis dan foto, serta pembukaan sebagian rahasia kedokteran guna pembuatan visum et

9
repertum. Apabila korban cakap hukum, persetujuan untuk pemeriksaan harus diperoleh dari korban.

Syarat-syarat cakap hukum adalah berusia 21 tahun atau lebih, atau belum 21 tahun tapi sudah pernah

menikah, tidak sedang menjalani hukuman, serta berjiwa sehat dan berakal sehat. 9

Persetujuan harus diminta dari walinya yang sah apabila korban tidak cakap hukum. Bila korban

tidak setuju diperiksa, tidak terdapat ketentuan undang-undang yang dapat memaksanya untuk

diperiksa dan dokter harus menghormati keputusan korban tersebut. Selain itu, karena pada korban

terdapat barang bukti (corpus delicti) harus diperhatikan pula prosedur legal pemeriksaan. Setiap

pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum harus dilakukan berdasarkan permintaan tertulis

(Surat Permintaan Visum/SPV) dari polisi penyidik yang berwenang. Korban juga harus diantar oleh

polisi penyidik sehingga keutuhan dan originalitas barang bukti dapat terjamin.9

Dokter harus memastikan identitas korban yang diperiksa dengan mencocokkan antara

identitas korban yang tercantum dalam SPV dengan tanda identitas sah yang dimiliki korban, seperti

KTP, paspor, atau akta lahir apabila korban tidak diantar oleh polisi penyidik,. Catat pula dalam rekam

medis bahwa korban tidak diantar oleh polisi. Hal ini harus dilakukan untuk menghindari

kemungkinan kesalahan identifi kasi dalam memeriksa korban.10

Seorang dokter yang memeriksa kasus kekerasan seksual harus bersikap objektif-imparsial,

konfidensial dan profesional. Objektif imparsial artinya seorang dokter tidak boleh memihak atau

bersimpati kepada korban sehingga cenderung mempercayai seluruh pengakuan korban begitu saja.

Hal yang boleh dilakukan adalah berempati, dengan tetap membuat penilaian sesuai dengan bukti-

bukti objektif yang didapatkan secara sistematisdan menyeluruh. Tetap waspada terhadap upaya

pengakuan atau tuduhan palsu (falseallegation) dari korban. Hindari pula perkataan atau sikap yang

“menghakimi” atau menyalahkan korban atas kejadian yang dialaminya. Dokter juga harus menjaga

konfidensialitas hasil pemeriksaan korban. Komunikasikan hasil pemeriksaan hanya kepada yang

berhak mengetahui, seperti kepada korban dan/atauwalinya (jika ada), serta penyidik kepolisian yang

berwenang.

Tuangkan hasil pemeriksaan dalam visum et repertum sesuai keperluan saja dengan tetap

menjaga kerahasiaan data medisyang tidak terkait dengan kasus. Profesionalitas dokter dalam

melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan kekerasan seksual ditunjukkan dengan melakukan

pemeriksaan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang umum dan mutakhir, dengan

memperhatikan hak dan kewajiban korban (sekaliguspasien) dan dokter.10

10
Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah untuk

• melakukan identifikasi, termasuk memperkirakanusia korban : 11

• menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan dan waktu terjadinya, bila mungkin;

• menentukan adanya tanda-tanda kekerasan,termasuk tanda intoksikasi narkotika, psikotropika,

dan zat adiktif lainnya (NAPZA);

• menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin, termasuk tingkat perkembangan seksual

• membantu identifikasi pelaku.

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban kekerasan seksual : 12

1. Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan menunggu terlalu lama.

Hal ini penting untuk mencegahrusak atau berubah atau hilangnya barang bukti yang terdapat di

tubuh korban, serta untuk menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis yang lebih

berat.

2. Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis kelaminnya dengan

korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu korban dan

sebagai saksi terhadap prosedur pemeriksaan dan pengambilan sampel. Selain itu, hal ini juga

perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduhan palsu bahwa dokter melakukan

perbuatan tidak senonoh terhadap korban saat pemeriksaan.

3. Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap seluruh bagian tubuh

korban, tidak hanya terhadapdaerah kelamin saja.

4. Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.

2.6.2 Pemeriksaan

Langkah-langkah pemeriksaan adalah sebagai berikut: 10

1. Anamnesis

Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang mudah

dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-

ekonomi korban, sekalipun mungkin terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis

umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain: 12

• Umur atau tanggal lahir,

• Status pernikahan,

11
• Riwayat paritas dan/atau abortus,

• Riwayat haid (menarche, hari pertamahaid terakhir, siklus haid),

• Riwayat koitus (sudah pernah atau belum,riwayat koitus sebelum dan/atau setelah kejadian

kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya),

• Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),

• Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu),serta

• Keluhan atau gejala yang dirasakan padasaat pemeriksaan.

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan seksual

yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:10,11

• What &How:

- jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan,pencabulan, dan sebagainya)

- adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan,serta jenisnya

- adanya upaya perlawanan

- apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian

- adanya pemberian minuman, makanan,atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah

kejadian,

- adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),

- apakah ada nyeri di daerah kemaluan

- apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar

- adanya perdarahan dari daerah kemaluan

- adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luaratau di dalam vagina,

- penggunaan kondom

- tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah buang

air, tindakan membasuh/douching,mandi, ganti baju, dan sebagainya.

• When:

- tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor,

- apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.

• Where:

- tempat kejadian, dan

12
- jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat kejadian

yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).

• Who:

- apakah pelaku dikenal oleh korban atautidak,

- jumlah pelaku,

- usia pelaku, dan

- hubungan antara pelaku dengan korban.

2. Pemeriksaan fisik

Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakanprinsip “top-to-toe”. Artinya, pemeriksaan

fisikharus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan

pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau

keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapatditunda dan dokter fokus

untuk ”life-saving”terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan

kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus.

Pemeriksaan fisik umum mencakup: 13

• Tanda-tanda vital

• Penampilan (rapih atau tidak, dandan,dan lain-lain)

• Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih,takut, dan sebagainya)

• Pakaian (apakah ada kotoran, robekan,atau kancing yang terlepas)

• Status generalis

• Tinggi badan dan berat badan

• Rambut (tercabut/rontok)

• Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga)

• Kuku (apakah ada kotoran atau darah dibawahnya, apakah ada kuku yang tercabut atau

patah),

• tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,

• tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta

13
• status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah kemaluan.Untuk

mempermudah pencatatan luka-luka,dapat digunakan diagram tubuh seperti pada Gambar

2.1.10

Gambar 2.1 Diagram Tubuh Manusia Untuk Pencatatan Luka

Sumber : WHO. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence.200313

Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mendeteksi dan mengatasi luka serta mencari bukti-bukti fisik

yang terkait dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban. Pemeriksaan yang dilakukan

yaitu : 12,10

a. Mendeteksi adanya perlukaan

Tidak ada temuan spesifik pada anak. Iritasi pada vulva sering pada anak kecil akibat

kebersihan yang buruk, maserasi kulit akibat kelembaban pakaian dalam ataupun ekskoriasi akibat

infeksi lokal. Pemeriksaan pada anak yang mengalami kejahatan seksual biasanya normal. Pada studi

terhadap 2384 anak yang dirujuk ke pelayanan kesehatan tingkat tiga, kurang dari 5% temuan genitalia

yang dicurigai terjadinya kejahatan seksual. Hasil pemeriksaan didapatkan normal pada 96,3% anak.

Selain itu, dari anamnesa ditemukan bahwa 68% anak mengalami penetrasi pada anus ataupun vagina.

Dokter harus ahli dalam menilai robekan pada hymen. Robekan pada hymen biasanya terputus

pada arah jam 3 dan 9. Pada perempuan prapubertas, trauma regangan dan penetrasi berakibat pada

sisa hymen.

14
b. Mencari bukti fisik

Selama pemeriksaan inspeksi umum, seluruh benda asing (seperti pasir, rumput) harus

dipindahkan ke dalam amplop berlabel. Bekas cakaran pada kuku dan rambut yang rontok

dikumpulkan. Cairan semen dapat dideteksi pada kulit beberapa jam setelah kejadian. Lampu Wood’s

dapat digunakan untuk mendeteksi adanya cairan semen pada tubuh pasien, begitu juga sinar UV

menyebabkan semen berubah warna. Noda yang dapat diangkat dari kulit dengan lidi kapas untuk

dianalisa lebih lanjut.11

Apabila dicurigai adanya penetrasi ke dalam vagina, cairan vagina dapat diambil dan dikirim ke

laboratorium untuk analisa penyakit menular seksual. Kultur swab sebaiknya diambil dari rektum,

vagina, uretra dan faring. Seluruh spesimen yang diambil diberi label dan simpan dalam amplop yang

disegel dan ditandatangani oleh pemeriksa.12

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan selaput

dara. Gambaran robekan pada selaput dara terlihat pada Gambar 2.2. Karena itu, pemeriksaan selaput

dara dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan

penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan robekan.

Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap tampak dengan

tepi yang tajam.10,13

Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting. Selain melakukan

pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yang ditemukan. Foto-

foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu

diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara

detil setelah pemeriksaan selesai.12

Gambar 2.2 Robekan pada Selaput Dara

Sumber : Universitas Padjajaran. Obstetri Fisiologi. 2004


15
3. Pemeriksaan Penunjang

Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukanpemeriksaan penunjang sesuai indikasi

untukmencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuhkorban. Sampel untuk pemeriksaan penunjangdapat

diperoleh dari, antara lain: 3

• pakaian yang dipakai korban saat kejadian;diperiksa lapis demi lapis untuk mencari adanyatrace

evidence yang mungkin berasaldari pelaku, seperti darah dan bercak mani,atau dari tempat

kejadian, misalnya bercaktanah atau daun-daun kering;

• rambut pubis yaitu dengan mengguntingrambut pubis yang menggumpal atau mengambil rambut

pubis yang terlepaspada penyisiran;

• kerokan kuku, apabila korban melakukanperlawanan dengan mencakar pelaku makamungkin

terdapat sel epitel atau darah pelakudi bawah kuku korban;

• swab, dapat diambil dari bercak yang didugabercak mani atau air liur dari kulit sekitar vulva,

vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit bekas gigitan atau ciuman, ronggamulut (pada

seks oral), atau lipatan-lipatan anus (pada sodomi), atau

Untuk pemeriksaan penyakit menular seksual :

Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang bukti dari sampel

yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan, pengemasan, dan pengiriman sampel harus

disertai dengan pembuatan berita acara sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila

sampel akan dikirim ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.3

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsudin R. Peranan visum et repertum di pengadilan. Dalam Al-Risalah. Makassar :

Universitas Islam Negeri Alauddin. 2011, hal. 187-200.

2. Meilia P. Prinsip pemeriksaan dan penatalaksanaan korban (p3k) kekerasan seksual. vol. 39 no.

8. 2012, hal. 579-83.

3. Marpaung L. Kejahatan terhadap kesusilaan dan masalah prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika.

2004, hal. 64.

4. Chazawi, A. Tindak pidana mengenai kesopanan. Malang : Fakultas Hukum Universitas

Brawijay. 2007, hal. 1-5.

5. Moeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).Jakarta: Bumi Aksara. 2003, hal. 106.

6. Mun’in, Idries Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono. Penerapan ilmu kedokteran kehakiman

dalam proses penyidikan. Jakarta : Karya Unipres. 2002, hal.108.

7. Abdul, Mun’im, Idris.Pedoman ilmu kedokteran forensik. Jakarta : Binarupa Aksara. 1997, hal.

102-3.

8. Burgess AW, Marchetti CH. Contemporary issues. In: Hazelwood RR, Burgess AW, editors.

Practical aspects of rape investigation: A multidisiplinary approach. 4th ed. Boca Raton (FL):

CRCPress. 2009, hal. 3-23.

9. Savino JO, Turvey BE. Defining rape and sexual assault. In: Savino JO, Turvey BE, editors. Rape

investigation handbook. USA: Elsevier Inc. 2005, hal. 1-22.

10. Rogers D, Newton M. Sexual assault examination. In: Stark MM, editor. Clinical forensic

medicine: A physician’s guide. 2nd edition. Totowa (NJ): Humana Press Inc. 2005, hal. 61-

126.

11. World Health Organization. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence.

Geneva: WHO; 2003. hal. 17-55.

12. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin M, Laufer N. Current diagnosis and treatment obstetric and

gynecology, tenth edition. 2007, hal. 578-93.

17

Anda mungkin juga menyukai