Disusun Oleh:
Amalia Salsabila Mumtaz - 01073210023
Nivia Permatasari - 01073210136
Pembimbing:
BAB I ......................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 2
BAB II ....................................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................. 3
2.3 Etiologi............................................................................................................................. 4
KESIMPULAN........................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 15
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Henoch-Schönlein Purpura (HSP) atau dalam sebutan lainnya yaitu purpura
anafilaktoid atau purpura nontrombositopenik, merupakan suatu sindrom klinis akibat kondisi
vaskulitis akut yang disebabkan oleh imun yang dimediasi oleh Immunoglobulin A atau IgA,
Kondisi ini umumnya menyerang daripada pembuluh darah kecil yang berada pada sendi-
sendi, ginjal, saluran pencernaan dan juga kulit. Oleh karena lokasi tersebut beberapa
manifestasi klinis yang dapat ditemui antara lain berupa lesi kulit yang spesifik yang disebut
purpura nontrombositopenik, artritis, arthralgia, nyeri abdomen, perdarahan saluran
pencernaan, nefritis dan hematuria. HSP terkadang dapat ditemukan pada beberapa area lain
yaitu sistem persarafan dan juga paru-paru, namun kedua lokasi tersebut memiliki angka
insidensi yang lebih rendah.2,3
2.2 Epidemiologi
Henoch-Schönlein Purpura (HSP) termasuk dalam golongan penyakit langka, dimana
umumnya lebih utama menyerang pada golongan anak-anak. Kondisi HSP sendiri dapat
ditemukan pada anak-anak yang berusia kurang dari 10 tahun dengan puncak insidensinya
terjadi pada anak-anak berusia 6 tahun. Dimana insidensi pada anak dengan usia kurang dari 5
tahun mencapai angka 50% sedangkan anak dengan usia kurang dari 10 tahun memiliki angka
insidensi 75%. Pada anak-anak berusia dibawah 10 tahun, akan mengalami gejala atau kondisi
yang lebih berat dan meningkatkan kemungkinan terjadinya gangguan fungsi ginjal berjangka
panjang pada saat dewasa. Dimana setidaknya angka insidensinya mencapai 8 - 20 anak-anak
setiap 100.000 anak-anak. HSP juga memiliki insidensi lebih tinggi pada jenis kelami laki-laki
dibandingkan perempuan dengan ratio 1.5 : 1. Di Indonesia sendiri sampai saat ini angka
insidensi dari HSP secara pastinya belum diketahui, namun berdasarkan data yang didapatkan
oleh Departemen Ilmu Kesehatan Anak yang diambil pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
dimana terdapatnya peningkatan kasus baru dari HSP. Dari data tersebut didapati adanya
peningkatan kasus baru sebanyak 10 kasus baru HSP pada bulan Juli – Desember 2006, dimana
peningkatan terlihat saat data tersebut dibandingkan dengan data dahulu yang menunjukan
adanya 23 kasus baru HSP dalam kurun waktu 5 tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1998
hingga 2003. 2,3.4,11
3
2.3 Etiologi
Etiologi pasti dari HSP sendiri masih belum diketahui, namun terdapat teori dimana
kondisi HSP sering terjadi setelah terdapatnya kondisi infeksi saluran nafas atas sebelumnya.
Dimana penyebab tersering yaitu didapatinya bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A
pada kultur tenggorokan. Selain dari infeksi saluran pernafasan atas infeksi dari lokasi lain
seperti infeksi faring dan infeksi pada saluran pencernaan juga menjadi salah satu penyebab
terjadinya HSP. Beberapa patogen yang ditemukan memiliki hubungan terhadap
perkembangan kondisi HSP yaitu, Coxsackievirus, hepatitis A, hepatitis B, Mycoplasma,
parvovirus B19, Campylobacter, Varicella, and adenoviruses. Pada beberapa kondisi HSP juga
dapat ditemukan setelah dilakukannya vaksinasi, seperti vaksinasi tifoid, campak, dan kolera.
Dikarenakan penyebab etiologi yang belum pasti, terdapat beberapa faktor yang dapat
berkontribusi dari etiologi HSP seperti faktor genetik, antigenik, gigitan serangga, toksin
kimiawi, dan beberapa obat-obatan seperti penisilin, eritromisin dan anti-kovulsan. Namun
yang jelas yaitu faktor dari imunoglobulin A atau IgA merupakan pencetus awalnya dari
kondisi HSP. 2,3,4
Tabel 1. Etiologi Henoch-Schonlein Purpura1,2
Infeksi Obat-obatan Vaksinasi
Streptococcus (terutama Penisilin Vaksin tifoid
grup A)
Yersinia Ampisilin Paratifoid A dan B
Legionella Eritromisin Campak
Parvovirus Kuinidine Yellow Fever
Adenovirus Kuinin Kolera
Mycoplasma
Epstein-Barr
Varisela
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi pada kondisi HSP sendiri secara detail belum dapat dijelaskan, namun
terdapat satu faktor yang menjadi peran utama dalam perkembangan atau perjalanan dari
penyakit HSP yaitu Imunoglobulin A atau IgA. diawali dengan terjadinya infeksi atau eksposur
dari beberapa obat-obatan yang menyebabkan adanya exposure terhadap allergen ataupun
antigen yang menstimulasi produksi dari IgA dan terbentuknya imun kompleks dari antibodi
4
dan IgA, dimana imun kompleks tersebut dapat bertumpuk pada beberapa area di tubuh antara
lain pada pembuluh darah kecil atau kapiler pada kulit, sendi, ginjal serta saluran pencernaan.
Imun komplek tersebut akan mengaktifkan beberapa mediator pada respon inflamasi antara
lain prostaglandin. Selain itu efek dari timbulnya respon imun, reseptor C3 pada limfosit yang
berikatan dengan imun kompleks dapat menimbulkan reaksi hiperinflasi. Sesuai dengan daerah
yang ditargetkan, jika respon inflamasi terjadi pada saluran pencernaan maka manifestasi klinis
yang dapat dilihat yaitu terdapatnya adanya perdarahan saluran pencernaan. Sedangkan jika
ginjal ikut terlibat maka kondisi glomerulonefritis dapat ditemukan. Dan untuk pada kulit
sendiri, terdapatnya purpura yang dapat diraba disertai peteki merupakan manifestasi klinis
yang umumnya ditemukan.2
Gambar 1. Patofisiologi HSP
5
Gambar 2. Patofisiologi HSP
6
adanya gravitasi. Warna purpura awalnya akan berwarna merah, dan dengan bertambahnya
waktu akan berubah menjadi keunguan lalu cokelat kekuningan dan menghilang. Umumnya,
kelainan kulit ini dapat bertahan selama beberapa minggu dan menghilang namun dapat
muncul kembali (rekuren). Kelainan kulit ini dapat bersifat gatal. Pada bentuk yang tidak
klasik, dapat timbul vesikel yang menyerupai eritema multiform, angioedema pada wajah dan
ekstremitas, serta edema skrotum.2
Selain manifestasi klinis pada kulit, terdapat gejala lain yaitu atralgia atau artritis.
Manifestasi klinis ini ditemukan pada 68-75% kasus dan merupakan 25% dari keluhan
penderita. Sendi yang paling banyak terkena adalah sendi besar ekstremitas bawah seperti lutut
dan pergelangan kaki. Dapat terjadi pula pada pergelangan tangan, siku dan persendian jari
tangan namun lebih sedikit angka kejadiannya. Gambarannya berupa sendi bengkak, nyeri
terutama saat digerakkan. Keluhan dapat bersifat sementara maupun menetap hingga
menyebabkan deformitas.1,2
HSP juga menyebabkan gangguan pada traktus gastrointestinal, dapat ditemukan nyeri
abdomen atau perdarahan gastrointestinal. Keluhan ini biasanya timbul setelah kelainan kulit
(1-4 minggu setelah onset). Keluhan ini ditemukan pada 35-85% kasus. Nyeri abdomen
dirasakan berat di periumbilikal disertai dengan muntah. Selain itu, dapat terjadi perforasi usus
dan intusepsi ileoileal atau ileokolonal.2
Dapat ditemukan juga keluhan pada ginjal, yaitu hematuria, proteinuria, sindrom
nefrotik atau nefritik. Keluhan ini muncul 1 bulan setelah keluhan kulit. Keluhan ini dtemukan
pada 20-50% kasus dan persisten pada 1% kasus.2
7
Gambar 3. Gambaran Purpura pada Henoch-Schonlein dan Distribusi
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Pada umumnya pasien datang dengan keluhan ruam pada kulit, dimana ruam ini
akan bermula dalam bentuk makula berwana pink yang akan berubah menjadi peteki
atau purpura yang terasa timbul. Ruam umumnya muncul pada ekstremitas bawah dan
bokong. Gejala kulit diikuti dengan gejala adanya nyeri sendi yang dirasakan pada sendi
lutut dan juga pergelangan kaki. Setelah persendian, pasien akan mengeluhkan adanya
gejala pada traktus gastrointestinal, dimana pasien akan mengeluhkan nyeri perut, mual
dan muntah, serta diare. Jika kondisi semakin memburuk dapat ditemukan gejala yang
berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu untuk keluhan dari HSP
sendiri awalnya pasien akan mengeluhkan keluhan kulit diikuti dengan sendi dan perut,
sehingga dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk mengevaluasi
fungsi ginjal. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai faktor resiko seperti adanya infeksi
sebelumnya, penggunaan obat-obatan dan adanya riwayat vaksinasi sebelum ini.1,2,12
8
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk melihat beberapa tanda gejala klinis
yang dapat ditemukan pada pasien dengan HSP, yang dibagi berdasarkan target organ
atau organ yang terlibat, antara lain :12
• Kulit
o Palpable purpura yang timbul secara simetris pada kedua tungkai
o Distribusi purpura terutama pada kaki, pergelangan kaki, bokong,
dan paha bagian atas.
o Ruam tidak disertai gatal maupun nyeri
o Edema subkutan bersifat non-pitting dan terdapat nyeri, biasanya
ditemukan pada periorbital atau tangan, kaki dan skrotum
• Muskuloskeletal
o Nyeri sendi bersifat bilateral, dan sering ditemukan pada sendi lutut
dan pergelangan kaki
o Dapat ditemukan deformitas pada kasus HSP berat
• Traktus Gastrointestinal
o Nyeri tekan abdominal secara general
o Tanda dari obstruksi usus seperti hilangnya bising usus.
• Renal
o Akibat dari sindrom nefritis dapat ditemukan hipertensi pada
pemeriksaan tekanan darah.
9
Pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan hematuria, proteinuria, penurunan
kreatinin clearance. Sedangkan pada pemeriksaan feses lengkap dapat ditemukan
adanya darah. Pada hasil biopsi kulit dapat ditemukan hasil vaskulitis leukositoklastik
(LCV). Selain itu, dapat ditemukan gambaran inflamasi segmental pembuluh darah,
nekrosis fibrinoid dinding pembuluh darah, sel endotel membengkak, dan infiltrat di
sekitar pembuluh darah. Deposit IgA dan C3 di antara pembuluh darah papila dermis
dapat ditemukan dengan pemeriksaan imunofluoresens. Pada pemeriksaan radiologi
dapat ditemukan tanda dari penurunan motilitas usus yang ditandai dari pelebaran
lumen usus ataupun intususepsi.2,6
10
Thrombocytopenia Purpura (ITP). Selain itu, ruam juga dapat disebabkan penyakit autoimun
seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
11
dan kaki, nyeri Hematuria
kepala, BAK yang
tidak keluar
2.9 Tatalaksana
Tatalaksana dari HSP bersifat suportif dan simptomatis. Tatalaksana suportif pada HSP
diberikan tatalaksana berupa hidrasi, nutrisi dan istirahat. Sedangkan terapi simptomatis pada
HSP terdiri dari obat anti nyeri dan kortiokosteroid. Nyeri sendi dan demam dapat diberikan
NSAID seperti ibuprofen atau paracetamol. Edema tungkai dapat diatasi dengan elevasi
tungkai. Selama terdapat keluhan abdomen seperti nyeri abdomen, muntah maka asupan
makanan harus diubah menjadi lunak. Sedangkan kortikosteroid dapat diberikan dalam bentuk
oral yaitu prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu.2
Sedangkan pada HSP dengan manifestasi klinis berat (edema berat, gangguan ginjal,
perdarahan gastrointestinal) dapat diberikan kortikosteroid yang dapat dikombinasi dengan
imunosupresan. Dapat diberikan metilprednisolon dengan dosis 1-2 mg/hari secara intravena
dikombinasikan dengan siklofosfamid 100-200 mg/hari untuk fase akut. Dilanjutkan dengan
pemberian prednisone 1-2 mg/kgBB/hari secara oral terbagi menjadi 4 dosis dan siklofosfamid
100-200 mg/hari selama 30-75 hari. Siklofosfamid dihentikan secara langsung sedangkan
kortikosteroid dilakukan tappering off hingga 6 bulan.1,2,7
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dibagi berdasarkan organ yang terlibat dimana pada
organ ginjal beberapa komplikasi yang umumnya terjadi yaitu sindrom nefrotik, dan dapat
berkembang menjadi Rapid Progressive Glomerulonephritis (RPGN). Sedangkan pada organ
saluran pencernaan dapat terjadinya intususepsi atau bahkan infark pada usus kecil hingga
perforasi. Beberapa komplikasi lain yang dapat terjadi antara lain :2,3
● Infark miokardium
● Perdarahan pulmo
● Efusi pleura
● Enteropati akibat kehilangan protein
● Gagal ginjal kronik
● Hematuria
● Proteinuria
12
● Kejang
● Perdarahan SSP
● Mononeuropati
● Gejala berulang terutama pada gangguan ginjal
2.11 Prognosis
Secara umum prognosis dari HSP sendiri baik, dimana dalam kasus yang umumnya
ditemukan individu yang menderita HSP dana sembuh secara spontan dalam hitungan hari
hingga minggu, dimana umumnya akan memakan waktu 4 minggu setelah onset muncul.
Namun didapati bahwa prognosis akan memburuk jika terdapat penyulit seperti perdarahan
saluran cerna, gangguan neurologi dan gagal ginjal akut , terutama pada individu dengan HSP
disertai gangguan nefrrotik proteinuria, dimana setidaknya memiliki angka insidensi <1%.
Umumnya HSP yang disertai dengan penyakit ginjal terjadi pada 3 minggu setelah onset. 2
Pada umumnya kondisi HSP sering menimbulkan kondisi rekurensi, dimana pada
individu HSP disertai nefritis kronik angka insidensi rekurensi dapat terjadi hingga 50%,
dimana 2% dari angka tersebut dapat berakhir menjadi gagal ginjal. Oleh karena itu disarankan
untuk individu dengan HSP disertai manifestasi terhadap gangguan ginjal perlu dilakukan
pemeriksaan fungsi ginjal setiap 6 bulan selama 2 tahun setelah terdiagnosis HSP. menurut
data yang didapatkan setidaknya ⅓ hingga ½ kasus dari anak-anak yang mengidap HSP dapat
memiliki episode rekurensi, dimana pada episode ini gejala ruam merah dan nyeri abdomen
yang dialami bersifat lebih ringan dan memiliki jangka waktu yang lebih pendek. Umumnya
rekurensi ini terjadi pada 6 minggu pertama hingga 2 tahun setelah terjadinya onset, dimana
hal utama yang menjadi pencetus yaitu saat terjadinya infeksi saluran nafas. 2
13
BAB III
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Schalock PC, S. HJT, Arndt KA. Henoch-Schonlein Purpura. In: Lippincott's Primary
Care Dermatology. LWW; 2012. p. 431–6.
2. Harsono A. Akib AAB. Setiabudiwan B. Satria CD. Takumangsang DS. Natoatmojo
H. et.al. In: Akib, A A. Munasir, Z. Kurniati N. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008. Edisi Kedua. P234-244.
3. Roache P, Hotwagner D. Henoch Schönlein Purpura [Internet]. National Center for
Biotechnology Information. U.S. National Library of Medicine; 2022 [cited
2023Apr10]. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30725937/
4. Bluman J, Goldman RD. Henoch-Schönlein Purpura in children: Limited benefit of
corticosteroids [Internet]. Canadian family physician Medecin de famille canadien.
U.S. National Library of Medicine; 2014 [cited 2023Apr10]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4229160/
5. Yang Y-H, Yu H-H, Chiang B-L. The diagnosis and classification of Henoch–
Schönlein Purpura: An updated review. Autoimmunity Reviews. 2014;13(4-5):355–8.
6. Beselga E, Prolet BA, Esterly NB. Purpura in infants. and children. J Am Acad
Dermatol 1997; 37:673-94.
7. V.Reamy B. Henoch-Schonlein Purpura [Internet]. AAFP. Saint Louis University
Family Medicine; 2019 [cited 2023Apr10]. Available from:
https://www.aafp.org/pubs/afp/issues.html
8. Sari TT. Immune thrombocytopenic purpura. Sari Pediatri. 2018;20(1):58.
9. Schalock PC, S. HJT, Arndt KA.Systemic Lupus Erythematosus. In: Lippincott's
Primary Care Dermatology. LWW; 2012. p. 410–16.
10. Pudjiadi, Antonius H. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Ikatan
dokter anak indonesia; 2009. p. 89-91
11. Sugianti, Ihat. Karakteristik purpura Henoch-schönlein pada anak di rumah sakit cipto
mangunkusumo. Sari pediatri ; 2014, Vol 16, No.2. p. 128-129
12. Kliegman, Robert M. Nelson's textbook of pediatrics. Elsevier.;2016, 20th ed. p. 1216-
1218.
15