Fibrilasi Atrium
Oleh:
Pembimbing:
Pendamping:
Laporan Kasus
“Fibrilasi Atrium”
Oleh:
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan diskusi kasus dengan judul “Fibrilasi Atrium”. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada dr. IB Komang Arjawa, sp.JP selaku pembimbing dan dr. Putu Karnasih
selaku pendamping yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pengerjaan laporan
kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, semoga diskusi kasus ini
dapat berguna bagi banyak orang dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB 1
PENDAHULUAN
Fibrilasi atrium (FA) adalah takiaritmia supraventricular dengan aktivasi elektrik atrial
yang tak terkoordinasi dan kontraksi atrium yang tidak efektif.3 Fibrilasi atrium adalah aritmia
supraventrikular yang ditandai aktivitas atrial dengan kecepatan yang tidak terorganisir dan
kontraksi atrial yang tidak terkoordinasi. secara elektrokardiografi ditandai dengan basis osilasi
beramplitudo rendah (gelombang f atau fibrilasi) dan suatu irama ventrikel yang irregular tanpa
irama dasar.1 Penyebab fibrilasi atrium dibedakan menjadi penyebab kardiak dan non kardiak.
Penyebab kardiak seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, penyakit katup, dan
hipertensi.4
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik sehari-
hari.11 Insidensi dan prevalensi FA meningkat secara global. Berdasarkan data Framingham
Heart Study, prevalensi FA meningkat 3 kali selama 50 tahun terakhir. 68 Framingham Heart
Study, suatu studi kohort yang dimulai pada tahun 1948 dan melibatkan 5.209 subjek penelitian
sehat (tidak menderita penyakit kardiovaskular), menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun,
angka kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan. Pada studi yang sama,
angka kejadian FA meningkat seiring dengan pertambahan usia, yaitu sekitar 70% pada usia 65-
85 tahun dan 84% pada usia di atas 85 tahun.73
Global Burden of Disease project mengestimasikan prevalensi FA di dunia sebesar 46,3
juta orang pada tahun 2016.69 Berdasarkan data tahun 2004, FA diestimasikan terjadi pada 1 dari
4 orang ras kulit putih dan berusia lebih dari 40 tahun. 70 Estimasi meningkat pada satu dekade
kemudian, estimasi 1 dari 3 orang ras kulit putih mengalami FA dan pada kulit hitam sebesar 1
dari 5 orang.71
Diperkirakan angka kejadian FA akan terus meningkat pada tahun 2050. Prevalensi FA di
Amerika Serikat sebesar 3 hingga 6 juta orang diperkirakan mengalami atrial fibrilasi setiap
tahunnya. Jumlah ini diproyeksikan terus meningkat hingga mencapai 6-16 juta pada tahun 2050.
Di Eropa, prevalensi atrial fibrilasi pada tahun 2010 adalah 9 juta pada kelompok usia 55 tahun
ke atas. Angka ini diperkirakan akan mencapai 14 juta pada tahun 2060. Sementara itu di Asia,
atrial fibrilasi diperkirakan akan dialami setidaknya 72 juta orang pada tahun 2050, dengan
angka kejadian stroke terkait atrial fibrilasi diperkirakan sebesar 3 juta.71
Mengingat adanya peningkatan signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia dari
7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), prevalensi
FA diperkirakan juga akan meningkat secara signifikan. 74 Data di Rumah Sakit Pusat Jantung
dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita (RSJPNHK) yang menunjukkan bahwa persentase
kejadian FA pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010,
meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).11 Data di RSUD Provinsi Nusa
Tenggara Barat selama 1 Januari 2015 hingga 31 Januari 2016 dilaporkan prevalensi atrial
fibrilasi selama 1 tahun sebesar 0,37%, dengan insidensi 46/100,000 pada laki-laki dan
64,4/100.000 pada perempuan.75
Registri Fibrilasi Atrium di 10 rumah sakit di Indonesia dengan jumlah pasien 615 orang
(Indonesian Atrial Fibrillation Registry/OneAF) menunjukkan bahwa 71% pasien menunjukkan
gejala, dan sisanya tanpa gejala (asimtomatik). Data OneAF juga menunjukkan bahwa klasifikasi
pasien FA yang datang ke rumah sakit meliputi FA paroksismal (39,3%), FA persisten (28,6%),
FA persisten lama (long standing persistent,14%) dan FA permanen (18,1%).11
Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk stroke,
gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Peningkatan risiko mortalitas segala sebab pada
penderita FA mencapai 2 kali pada perempuan dan 1,5 kali pada laki-laki. 76 Pasien dengan FA
memiliki risiko stroke 4-5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding
pasien tanpa FA. 6 Stroke merupakan salah satu komplikasi FA yang paling dikhawatirkan,
karena stroke yang diakibatkan FA mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu,
stroke akibat FA mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali lipat.72,77,78
Fibrilasi atrium merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan jantung. Penatalaksanaan
fibrilasi atrium bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dengan memperbaiki
gejala, meningkatkan kapasitas fungsional, mencegah tromboemboli/stroke dan takikardi yang
memicu kardiomiopati, serta mengurangi angka perawatan di rumah sakit. Strategi tatalaksana
fibrilasi atrium adalah sebagai berikut.24 Pemberian antitrombotik merupakan langkah preventif
terhadap komplikasi stroke tromboemboli. Pemberian terapi kontrol laju dan irama untuk
mengurangi dan memperbaiki gejala pada pasien FA.11 Oleh sebab itu, tujuan pembuatan laporan
kasus ini adalah untuk melakukan evaluasi keluhan dan melakukan tatalaksana sesuai dengan
komptensi pasien dalam penanganan fibrilasi atrium.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
Fibrilasi atrium adalah aritmia supraventrikular yang ditandai aktivitas atrial dengan
kecepatan yang tidak terorganisir dan kontraksi atrial yang tidak terkoordinasi. secara
elektrokardiografi ditandai dengan basis osilasi beramplitudo rendah (gelombang f atau
fibrilasi) dan suatu irama ventrikel yang irregular tanpa irama dasar. Laju gelombang f
mencapai 300-600 kali/menit dan memiliki variasi dalam hal amplitude, bentuk, dan
waktu.1,2
1) Fibrilasi atrial menurut awal kejadian dan durasi dibagi menjadi 5 tipe sebagai berikut.
a. Fibrilasi atrial pertama kali, yaitu setiap pasien yang datang dengan fibrilasi atrial
untuk pertama kali.
b. Fibrilasi atrial paroksisimal, yaitu suatu fibrilasi atrial yang dapat kembali ke irama
sinus dalam waktu 48 jam meskipun dapat juga berlanjut hingga 7 hari. Penentuan
waktu 48 jam ini sangat berarti secara klinis, karena setelah 48 jam kemungkinan
untuk konversi secara spontan rendah dan perlu dipertimbangkan pemberian
antikoagulan.
c. Fibrilasi atrial persisten, yaitu episode fibrilasi atrial yang bertahan lebih dari 7 hari
atau membutuhkan terminasi dengan kardioversi, baik secara farmakologis atau
elektrik.
d. Fibrilasi atrial persisten lama (long standing persistent), yaitu fibrilasi atrial yang
bertahan lebih dari 1 tahun dan diputuskan untuk dilakukan strategi terapi kontrol
irama.
e. Fibrilasi atrial permanen, yaitu kondisi fibrilasi atrial yang terlah diterima oleh pasien
(dan dokter) sehingga strategi kontrol irama sudah tidak digunakan lagi.
2) Fibrilasi atriak menurut karakteristik pasien terdiri atas 3 tipe sebagai berikut.1
a. Fibrilasi atrial serangan (lone atrial fibrillation) yaitu fibrilasi atrial yang dapat
diidentifikasi pada pasien dan didapatkan struktur jantung yang normal.
b. Fibrilasi atrial non-valvular adalah fibrilasi atrial yang tidak terkait dengan penyakit
dengan penyakit rematik mitral, katup jantung prostese atau operasi perbaikan katup
mitral.
c. Fibrilasi atrial sekunder adalah fibrilasi atrial yang diakibatkan kondisi primer yang
dapat memicu fibrilasi atrial (misalnya penyakit tiroid, gagal jantung), Jika pemicu
fibrilasi atrial tersebut berkaitan dengan katup maka disebut fibrilasi atrial valvular.1,2
3) Fibrilasi atrial menurut laju respons ventrikel (interval RR) terdiri atas 3 tipe sebagai
berikut.
a. Fibrilasi atrial dengan respons ventrikel cepat yaitu laju ventrikel > 100 kali per
menit.
b. Fibrilasi atrial dengan respons ventrikel normal yaitu laju ventrikel 60-100 kali per
menit.
c. Fibrilasi atrial dengan respons ventrikel lambat yaitu laju ventrikel < 60 kali per
menit.
2.1.2 Etiologi
Etiologi fibrilasi atrial secara umum dapat dibedakan menjadi penyebab kardiak dan
non kardiak. Penyebab kardiak pada fibrilasi atrial yaitu penyakit jantung rematik pada katup
mitral, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Sedangkan
penyebab nonkardiak umunya bersifat reversible anatara lain adalah hipertiroid, pembedahan,
dan intoksikasi alkohol.4,5
2.1.3. Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya dipahami dan
dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak dianut tentang mekanisme FA
adalah 1) adanya faktor pemicu (trigger); dan 2) faktor-faktor yang melanggengkan. Pada
pasien dengan FA yang sering kambuh tetapi masih dapat konversi secara spontan,
mekanisme utama yang mendasari biasanya karena adanya faktor pemicu (trigger) FA,
sedangkan pada pasien FA yang tidak dapat konversi secara spontan biasanya didominasi
adanya faktor-faktor yang melanggengkan.6
Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu remodelling yang perlahan
tetapi progresif baik di ventrikel maupun atrium. Proses remodelling yang terjadi di atrium
ditandai dengan proliferasi dan diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat
meningkatkan deposisi jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses remodelling atrium
menyebabkan gangguan elektris antara serabut otot dan serabut konduksi di atrium, serta
menjadi faktor pemicu sekaligus faktor yang melanggengkan terjadinya FA. Substrat
elektroanatomis ini memfasilitasi terjadinya sirkuit reentri yang akan melanggengkan
terjadinya aritmia.7
Sistem saraf simpatis maupun parasimpatis di dalam jantung juga memiliki peran yang
penting dalam patofisiologi FA, yaitu melalui peningkatan Ca2+ intraselular oleh sistem saraf
simpatis dan pemendekan periode refrakter efektif atrium oleh sistem saraf parasimpatis
(vagal).10 Stimulasi pleksus ganglionik akan memudahkan terangsangnya FA melalui vena
pulmoner (VP), sehingga pleksus ganglionik dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target
ablasi. Namun, manfaat ablasi pleksus ganglionik sampai sekarang masih belum jelas.8
Setelah munculnya FA, perubahan sifat elektrofisiologis atrium, fungsi mekanis, dan
ultra struktur atrium terjadi pada rentang waktu dan dengan konsekuensi patofisiologis yang
berbeda. Sebuah studi melaporkan terjadinya pemendekan periode refrakter efektif atrium
pada hari-hari pertama terjadinya FA.12 Proses remodelling elektrikal memberikan kontribusi
terhadap peningkatan stabilitas FA selama hari-hari pertama setelah onset. Mekanisme selular
utama yang mendasari pemendekan periode refrakter adalah penurunan (downregulation) arus
masuk kalsium (melalui kanal tipe-L) dan peningkatan (up-regulation) arus masuk kalium.
Beberapa hari setelah kembali ke irama sinus, maka periode refrakter atrium akan kembali
normal.7
Gangguan fungsi kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari setelah terjadinya FA.
Mekanisme yang mendasari gangguan ini adalah penurunan arus masuk kalsium, hambatan
pelepasan kalsium intraselular dan perubahan pada energetika miofibril.9
2. Mekanisme Elektrofisiologis
Mekanisme Fokal
Pada pasien dengan FA paroksismal, intervensi ablasi di daerah pemicu yang memiliki
frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada atau dekat dengan batas antara VP dan
atrium kiri) akan menghasilkan pelambatan frekuensi FA secara progresif dan selanjutnya
terjadi konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan FA persisten, daerah
yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar di seluruh atrium, sehingga lebih sulit
untuk melakukan tindakan ablasi atau konversi ke irama sinus.6,7,9
Konsep FA menyulut FA dikemukakan pertama kali oleh Alessie dkk. dalam sebuah
eksperimen pada kambing. Observasi mereka menunjukkan bahwa pemacuan atrium dengan
teknik pacurentet (burst pacing) akan menyebabkan FA, yang akan kembali ke irama sinus.
Kemudian bila dilakukan pacu-rentet lagi akan muncul FA kembali. Apabila proses ini dilakukan
terus menerus, maka durasi FA akan bertambah lama sampai lebih dari 24 jam.15 Oleh karena
itu pada pasien yang mengalami FA paroksismal dapat berkembang menjadi FA persisten atau
permanen.12
3. Presdiposisi Genetik
Fibrilasi atrium memiliki komponen herediter, terutama FA awitan dini. Selama beberapa
tahun terakhir, banyak sindrom jantung bawaan terkait dengan FA telah diidentifikasi. Sindrom
QT pendek dan QT panjang, serta sindrom Brugada berhubungan dengan supraventrikular
aritmia, termasuk FA. Fibrilasi atrium juga sering terjadi pada berbagai kondisi yang diturunkan
(inherited), termasuk kardiomiopati hipertrofi, dan hipertrofi ventikel kiri abnormal yang terkait
dengan mutasi pada gen PRKAG. Bentuk herediter lain dari FA berhubungan dengan mutasi
pada gen yang mengode peptida atrial natriuretik, mutasi loss-of-function pada gen kanal
natrium SCN5A, atau gain-of-function pada gen kanal kalium. Selain itu, beberapa lokus genetik
yang dekat dengan gen PITX2 dan ZFHX3 berhubungan dengan FA dan stroke kardioembolik.11
2.1.4. Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal yang harus dilakukan
dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap.11
Gambar 2. Evaluasi minimal yang dapat dilakukan di layanan kesehatan primer dan sekunder
Gambar 3. Evaluasi tambahan yang dapat dilakukan di layanan kesehatan primer, sekunder, dan
tersier.
1. Anamnesis
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga syok
kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50%-episode FA tidak menyebabkan
gejala (silent atrial fibrillation).13 Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara
lain14:
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang dicurigai
mengalami FA harus meliputi pertanyaan - pertanyaan yang relevan, seperti:
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas (Airway), pernafasan
(Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital, untuk mengarahkan tindak lanjut
terhadap FA. Pemeriksaan fisis juga dapat memberikan informasi tentang dasar penyebab dan
gejala sisa dari FA.16
Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen sangat penting
dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang adekuat pada FA. Pada
pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi
jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan toksisitas obat jantung
(digitalis) dapat mengalami bradikadia.11
Kepala dan Leher
Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya ronki, efusi
pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya penyakit paru kronik yang
mungkin mendasari terjadinya FA (misalnya PPOK, asma).11
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA. Palpasi dan
auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit jantung katup atau
kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau adanya bunyi jantung tambahan (S3)
mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2)
yang mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat
selisih jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien
FA.11
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri kuadran kiri atas,
mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer.11
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau edema.
Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan embolisasi perifer.
Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah jantung
yang menurun.11
Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular terkadang
dapat ditemukan pada pasien FA. Peningkatan refleks dapat ditemukan pada hipertiroidisme.11
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan elektrokardiogram
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya mencakup laju
ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas, digantikan oleh gelombang
F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula. Manifestasi EKG
lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:
Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadangkadang dapat ditemukan bukti
gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular paru (misalnya emboli paru,
pneumonia).11
Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah strategi kendali laju
sudah adekuat atau belum (target nadi).20
Pemeriksaan ekokardiografi
Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan diagnosis FA
paroksismal, dimana pada saat presentasi, FA tidak terekam pada EKG. Selain itu, alat ini juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat dalam kendali laju atau kendali irama.21
4. Studi Elektrofisiologis
Baru-baru ini dikenalkan skor simtom yang disebut skor EHRA (European Heart Rhythm
Association). Skor ini adalah alat klinis sederhana yang dapat digunakan untuk menilai
perkembangan gejala selama penanganan FA.
Skor klinis ini hanya memperhitungkan derajat gejala yang benar-benar disebabkan oleh
FA, dan diharapkan skor tersebut dapat berkurang seiring dengan konversi ke irama sinus atau
dengan kendali laju yang efektif.
Seorang ahli yang sedang menangani FA, tidak hanya harus melakukan penilaian dan
pengobatan awal yang tepat, tetapi juga harus merencanakan tindak lanjut yang terstruktur.
Pertimbangan yang penting selama tindak lanjut dari pasien FA antara lain sebagai berikut:
• Apakah terdapat perubahan profil risiko? (misalnya diabetes atau hipertensi baru)
• Apakah saat ini antikoagulan diperlukan (misalnya dengan kemunculan faktor risiko baru)
atau antikoagulan dapat dihentikan? (misalnya pascakardioversi pada pasien dengan risiko
tromboemboli rendah)
• Apakah simtom pasien membaik dengan terapi? Bila tidak, apakah terapi lain harus
dipertimbangkan?
• Apakah terdapat tanda-tanda proaritmia atau risiko proaritmia; bila demikian, haruskah dosis
antiaritmia dikurangi atau diganti menjadi terapi lain?
• Apakah pendekatan kendali laju bekerja dengan baik; apakah target nadi saat istirahat dan
saat aktivitas telah tercapai?
Pada kunjungan lanjutan, EKG 12 sadapan harus diambil untuk mendokumentasi irama
dan laju jantung dan untuk menyelidiki progresivitas penyakit. Untuk mereka yang sudah
diberikan terapi obat antiaritmia, adalah penting untuk menilai tanda-tanda dari EKG yang
berpotensi proaritmia, seperti pemanjangan interval PR, QRS, atau QT, takikardia ventrikular
atau jeda (pause). Bila terjadi perburukan simtom, maka tes darah, perekaman EKG jangka
panjang dan ekokardiogram ulang dapat dipertimbangkan.11
Pasien harus diberitahukan mengenai kelebihan dan kekurangan dari berbagai pilihan
pengobatan, apakah itu antikoagulan, obat kendali laju, obat antiaritmia, atau terapi
intervensional.23
2.1.6 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana terapi fibrilasi atrium adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas
dengan memperbaiki gejala, meningkatkan kapasitas fungsional, mencegah tromboemboli/stroke
dan takikardi yang memicu kardiomiopati, serta mengurangi angka perawatan di rumah sakit.
Strategi tatalaksana fibrilasi atrium adalah sebagai berikut.24
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat mengontrol
respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin
oral dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil. Antagonis kanal kalsium non-
dihidropiridin hanya boleh dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel yang masih
baik. Obat intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk mengontrol respon irama
ventrikel. Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada
pasien dengan FA dan gagal jantung atau adanya hipotensi. Namun pada FA dengan
preeksitasi obat terpilih adalah antiaritmia kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau
amiodaron. Obat yang menghambat NAV tidak boleh digunakan pada kondisi FA dengan
preeksitasi karena dapat menyebabkan aritmia letal. Pada fase akut, target laju jantung adalah
80-100 kpm.25
Fibrilasi atrium dengan respon irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik dengan
pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan pemberian atropin pasien masih
simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung sementara.25
Pemberian propafenon oral (450-600 mg) dapat mengonversi irama FA menjadi irama
sinus. Efektivitas propafenon oral tersebut mencapai 45% dalam 3 jam. Strategi terapi ini
dapat dipilih pada pasien dengan simtom yang berat dan FA jarang (sekali dalam sebulan).
25,26
Oleh karena itu, propafenon (450-600 mg) dapat dibawa dalam saku untuk dipergunakan
sewaktu-waktu pasien memerlukan (pil dalam saku – pildaku).11
Simptom akibat FA adalah hal penting untuk menentukan pemilihan kendali laju atau
irama. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah FA yang sudah lama, usia tua, penyakit
kardiovaskular berat, penyakit lain yang menyertai, dan besarnya atrium kiri.30
Pada pasien dengan FA simtomatik yang sudah terjadi lama, terapi yang dipilih adalah
kendali laju. Namun, apabila pasien masih ada keluhan dengan strategi kendali laju, kendali
irama dapat menjadi strategi terapi selanjutnya. 25, 30, 31
Kendali laju dipertimbangkan sebagai terapi awal pada pasien usia tua dan keluhan
minimal (skor EHRA 1). Kendali irama direkomendasikan pada pasien yang masih
simtomatik (skor EHRA ≥2) meskipun telah dilakukan kendali laju optimal.11
Beberapa indikasi pemilihan strategi terapi pada persisten FA dapat dilihat di tabel 4.
Tabel 4. Indikasi kendali laju dan kendali irama pada persisten FA.26
No Strategi kontrol laju Dipilih sebagai Strategi kontrol irama Dipilih sebagai
. penanganan awal pada: penanganan awal pada:
1. Usia >65 tahun Usia <65 tahun
2. Simtom yang berhubungan dengan aritmia
Dengan penyakit arteri koroner
dan tidak dapat ditoleransi
3. Kontraindikasi obat-obatan
Pertama kali mengalami FA sorangan
antiaritmia
4. FA sekunder dengan penyerta yang terobati/
Tidak cocok untuk kardioversi
terkoreksi
5. Tanpa gagal jantung kongestif Dengan gagal jantung kongestif
Kendali laju yang optimal dapat menyebabkan keluhan berkurang dan memperbaiki
hemodinamik dengan memperpanjang waktu pengisian ventrikel dan mencegah kardiomiopati
akibat takikardia. Kendali laju dapat dilakukan secara longgar atau ketat. Studi RAte Control
Efficacy in permanent atrial fibrillation (RACE) II menunjukkan bahwa kendali laju ketat
tidak lebih baik dari kendali laju longgar.32
Pada kendali laju longgar, target terapi adalah respon ventrikel < 110 kpm saat istirahat.
Apabila dengan target ini pasien masih merasakan merasakan keluhan, dianjurkan untuk
melakukan kendali laju ketat yaitu dengan target laju saat istirahat < 80 kpm. Evaluasi
monitor Holter dapat dilakukan untuk menilai terapi dan memantau ada tidaknya bradikardia.
25
Penyekat beta direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama pada pasien FA dengan
gagal jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark miokard. 25,26
Apabila monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk kendali laju.25 Digoksin
tidak dianjurkan untuk terapi awal pada pasien FA yang aktif, dan sebaiknya hanya diberikan
pada pasien gagal jantung sistolik yang tidak memiliki aktivitas tinggi. Hal ini disebabkan
karena digoksin hanya bekerja pada parasimpatis. Amiodaron untuk kendali laju hanya
diberikan apabila obat lain tidak optimal untuk pasien.25
Gambar 4. Kendali laju jantung optimal.7
Tabel 5 menjelaskan beberapa obat yang dapat digunakan untuk kendali laju.
Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi simptom. Strategi ini dipilih
pada pasien yang masih mengalami simtom meskipun terapi kendali laju telah dilakukan
secara optimal.84,85 Pilihan pertama untuk terapi dengan kendali irama adalah memakai obat
antiaritmia.84 Pengubahan irama FA ke irama sinus (kardioversi) dengan menggunakan obat
paling efektif dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya FA. Kardioversi farmakologis kurang
efektif pada FA persisten.33
Terapi pengembalian irama ke sinus mempunyai kelebihan mengurangi risiko
tromboemboli, memperbaiki hemodinamik dengan mengembalikan ‘atrial kick’, mencegah
terjadinya respon ventrikel cepat yang dapat menginduksi kardiomiopati akibat takikardia,
serta mencegah remodelling atrium yang dapat meningkatkan ukuran atrium dan
menyebabkan kardiomiopati atrium.31
Kendali irama harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung akibat FA untuk
memperbaiki keluhan, pasien muda yang simptomatik, atau FA sekunder akibat kelainan yang
telah dikoreksi (iskemia, hipertiroid).41 Kondisi klinis yang dapat mempengaruhi tingginya
rekurensi FA antara lain ukuran atrium kiri >50 mm, durasi FA >6 bulan, gagal jantung
dengan NYHA >II, gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri (Ejection Fraction (EF).31
Beberapa obat antiaritmia untuk mengubah irama ke sinus juga memiliki efek samping
dan seringkali membutuhkan perawatan di rumah sakit untuk inisiasinya. Keberhasilan
kardioversi farmakologis juga tidak terlalu tinggi. Obat antiaritmia yang ada di Indonesia
untuk kardioversi farmakologis adalah amiodaron dan propafenon. Namun amiodaron dalam
penggunaan jangka panjang mempunyai efek toksik.31
Propafenon tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau
gagal jantung sistolik. Efektivitas obat antiaritmia untuk mengembalikan irama ke sinus
hanyalah untuk mengurangi namun tidak menghilangkan kekambuhan FA. Obat antiaritmia
tidak jarang mempunyai efek pro-aritmia dan efek samping lainnya di luar jantung. 25
Pemilihan terapi antiaritmia dapat dilakukan sesuai kondisi patologis yang mendasari seperti
yang ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 5. Pilihan obat antiaritmia untuk kardioversi farmakologis. ACEI: Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor, ARB: Angiotensin II Receptor Blocker, PJK: Penyakit Jantung
Koroner, GJK: Gagal Jantung Kongestif.7
c. Ablasi
Ostium VP yang terletak di atrium kiri merupakan sumber fokus ektopik yang
mempunyai peranan penting dalam inisiasi dan mekanisme terjadinya FA.37 Ablasi frekuensi-
radio pada fokus ektopik tersebut dapat mengeliminasi episode FA. Strategi AFR yang
direkomendasikan adalah isolasi elektrik pada antrum VP dan AFR fokus ektopik. 38Beberapa
efek samping seperti tromboemboli, stenosis VP, fistula atrioesofageal, tamponade, dan
cedera saraf frenicus dapat terjadi pada pasien yang dilakukan AFR, sehingga tindakan ini
harus dilakukan di pusat yang berpengalaman (komplikasi 2-3%).25 Ablasi frekuensi-radio
direkomendasikan pada pasien dengan FA simtomatik yang refrakter atau intoleran dengan ≥1
obat antiaritmia golongan 3 (amiodaron).39 Gambar 4 menunjukkan kapan dilakukan
pemilihan tindakan AFR pada pasien FA.
Gambar 6. Pemilihan tindakan AFR dan terapi obat antiaritmia.GJK: Gagal Jantung
Kongestif, PJK: Penyakit Jantung Koroner, FA: Fibrilasi Atrium, NYHA: New York Heart
Assosiation.7
Ablasi NAV dilanjutkan dengan pemasangan pacu jantung permanen merupakan terapi
yang efektif untuk mengontrol respon ventrikel pada pasien FA. Ablasi NAV adalah prosedur
yang ireversibel sehingga hanya dilakukan pada pasien dimana kombinasi terapi gagal
mengontrol denyut atau strategi kendali irama dengan obat atau ablasi atrium kiri tidak
berhasil dilakukan.25,26
d. Terapi antitrombotik
Angka mortalitas dan disabilitas stroke pasien FA lebih tinggi dibandingkan jenis
stroke lainnya. Obat antitrombotik profilaksis dapat menurunkan risiko stroke pada FA.
Pemberian tromboprofilaksis menjadi bagian dari terapi FA tanpa memandang tipe FA.1,2,34
Pada pasie FA nin valvular perlu dilakukan perhitungan skor CHA 2DS-VASc untuk
menilai risiko stroke. Skor CHA 2DS-VASc merupakan singkatan dari Congestive heart
failure, Hypertension, Age ≥75 years (skor 2), Diabetes mellitus, Stroke history (skor 2),
peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74 years, Sex Category (female).
Riwayat gagal jantung bukan merupakan faktor risiko stroke, tetapi yang dimaksud
dengan huruf ‘C” pada skor CHA2 DS2 VASc adalah adanya disfungsi ventrikel kiri
sedang hingga berat (Left Ventricular Ejection Fraction/LVEF ≤ 40%) atau pasien gagal
jantung baru yang memerlukan rawat inap tanpa memandang nilai fraksi ejeksi.42
Hipertiroid juga bukan merupakan faktor risiko independen stroke pada analisis
multivariat.43 Jenis kelamin perempuan meningkatkan risiko stroke secara independen,
tetapi perempuan yang berusia < 65 tahu dan menderita FA sorangan tidak meningkatkan
risiko stroke sehingga tidak memerlukan terapi antikoagulan.44,45
Skor CHA2 DS2 -VASc sudah divalidasi pada berbagai studi kohor dan
menunjukkan hasil yang lebih baik untuk mengidentifikasi pasien-pasien FA yang benar-
benar risiko rendah tetapi juga sebaik atau mungkin lebih baik dari skor CHADS2 untuk
identifikasi pasien FA yang akan mengalami stroke dan tromboemboli. 46,47,48, 49
Skor
CHA2DS-VASc juga memperbaiki penaksiran risiko pada FA risiko rendah pasca ablasi.50
2) Terapi Antitrombotik
Telaah lima penelitian acak yang membandingkan AVK dengan plasebo mendapatkan
penurunan insiden stroke iskemik dari 4,5% jadi 1,4% per tahun (relative risk reduction
[RRR] 68%; 95% CI, 50% s/d 79%; P<0.001).53 Angka perdarahan mayor akibat AVK
adalah 1,3% per tahun dibandingkan hanya 1% pada plasebo. Suatu analisis-meta terhadap
26 studi baru-baru ini mendapatkan RRR 64% (95% CI, 49% s/d 74%) untuk pencegahan
sekunder stroke iskemik dan hemoragik. Angka absolute risk reduction (ARR) 2,7% per
tahun pada studi-studi prevensi primer dan 8,4% per tahun pada studi-studi prevensi
sekunder. Terdapat peningkatan mortalitas signifikan dengan AVK yaitu ARR 1,6% per
tahun. Bukti tambahan menunjukkan bahwa pencegahan stroke oleh AVK hanya efektif bila
time in therapeutic range (TTR) baik yaitu >70%. TTR adalah proporsi waktu ketika INR 2-
3 tercapai dibandingkan keseluruhan lama waktu mengkonsumsi AVK. 54,55
Untuk mecegah stroke secara efektif, target INR yang harus dicapai adalah 2-3. Jika
nilai INR terlalu rendah maka pengobatan tidak efektif, sedangkan jika terlalu tinggi
berisiko perdarahan. Kelemahan obat golongan AVK adalah mudah berinteraksi dengan
berbagai obat dan makanan sehingga pasien perlu diedukasi secara cermat. Pasien FA
dengan katuo jantung mekanik disarankan mencapai target INR 2-3 atau 2,5-3,5. Jika pasien
FA dengan katup jantung mekanik akan dilakukan prosedur medis dan perlu menginterupsi
warfarin, disarankan untuk bridging therapy dengan unfractioned heparin (UH) atau low
molecular-weight heparin (LMWH). Penentuan bridging therapy dengan LMWH atau UH
juga dapat dilakukan pada pasien FA tanpa katung jantung mekanik yang akana dilakukan
tindakan medis yang membutuhkan interupsi kerja warfarin atau antikoagulan baru.1
b. Antiplatelet
I. Dabigatran
Pemberian dabigatran 110-150 mg dua kali sehari tidak lebih inferio dari warfarin
dalam hal mencegah stroke dan emboli sistemik. Dabigatran adalah obat oral jenis
direct thrombin inhibitor yang mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin
sehingga mencegah pembentukan koagulasi darah.1.2.34
II. Rivaroxaban
Pemeberian rivaroxaban 20mg sekali sehari terbukti tidak lebih inferior
dibandingkan warfarin dalam hal mencegah stroke atau emboli sistemik. Risiko
perdarahan sama untuk kelompok yang mendapat terapi rivaroxaban dan kelompok
yang mendapat warfarin. 1.2.34
III. Apixaban
Aoixaban merupakan antagonis faktor Xa. Berdasar penelitian apixaban lebih
superior disbanding warfarin dalam mencegah stroke dan emboli sistemik, dengan
pemberian dosis 5mg dua kali sehari, dan perlu penyesuaian dosis 2,5 mg dua kali
sehari untuk pasien ≥ 80 tahun, berat badan ≥ 60 kg atau kreatinin serum ≥
1,5mg/dL. 1,2,34
Aurikel atrium kiri merupakan tempat utama terbentuknya trombus yang bila lepas
dapat menyebabkan stroke iskemik pada FA. Dikatakan hampir 90% trombus pada FA
terbentuk di AAK.56 Angka stroke yang rendah didapatkan pada pasien yang dilakukan
pemotongan AAK pada saat operasi jantung. Baru-baru ini suatu teknik invasif epikard dan
teknik intervensi transeptal telah dikembangkan untuk menutup AAK.57,58,59 Teknik ini dapat
merupakan alternatif terhadap antikoagulan oral bagi pasien FA dengan risiko tinggi stroke
tetapi kontraindikasi pemberian antikoagulan oral jangka lama.
Berdasarkan survei nasional di Denmark, untuk melihat keseimbangan antara stroke dan
perdarahan intrakranial didapatkan bila skor CHA2 DS2 -VASc 1 hanya apixaban dan kedua
dosis dabigatran (110 mg b.i.d. dan 150 mg b.i.d.) yang memberikan manfaat klinis yang
lebih baik dari warfarin; tetapi bila skor CHA2 DS2 -VASc ≥2 seluruh AKB lebih superior
dibanding warfarin. Bila akan mengubah dari AVK ke AKB maka harus dicapai nilai INR ≤2
terlebih dahulu. Sebaliknya, bila akan mengganti dari AKB ke AVK maka AVK harus
dimulai secara tumpang tindih dengan AKB dalam periode yang tergantung pada jenis AKB
dan fungsi ginjal. AKB dihentikan ketika INR >2. Misalnya, bila memakai dabigatran
dibutuhkan tumpang tindih AVK 2-3 hari karena awitan kerja AVK membutuhkan beberapa
hari untuk mencapai efek terapi. Penaksiran fungsi ginjal (memakai klirens kreatinin hitung)
wajib dilakukan pada pemberian AKB karena seluruh obat tersebut sedikit banyak diekskresi
melalui ginjal. Pada pasien dengan nilai awal klirens kreatinin normal (≥80 mL/min) atau
gangguan ginjal ringan (klirens kreatinin 50–79 mL/min) dilakukan pemeriksaan klirens
kreatinin 1 kali per tahun sedangkan pada pasien dengan gangguan ginjal sedang (klirens
kreatinin 30-49 mL/ min) maka dianjurkan pemeriksaan klirens kreatinin 2-3 kali per tahun.
Dabigatran dapat menyebabkan dispepsia yang dapat dihindari dengan cara minum obat
berbarengan dengan makanan atau dengan pemberian inhibitor pompa proton. Semua AKB
tidak direkomendasikan pada gangguan ginjal berat (klirens kreatinin < 30 mL/min).25,63
2.1.6 Komplikasi
Frekuensi pada
No. Komplikasi Mekanisme
fibrilasi atrium
1. Kematian 1,5-3,5 kali Kematian terbanyak terjadi akitbat gagal
meningkat jantung (komorbid) dan stroke
2. Stroke 20-30% stroke Kardioemboli
iskemik, 10% Berhubungan dengan komorbid
cryptogenic stroke atheroma vascular
3. Disfungsi 20-30% terjadi pada Laju ventricular berlebih
Ventrikel pasien FA Kontraksi ventricular irregular
Kiri/Gagal Sebagai penyebab utama FA
Jantung
4. Penurunan Depresi terjadi pada Simptom yang berat dan penurunan
kognitif/Demesia 16-20 pasien FA kualitas hidup
vascular (dengan ide bunuh Efek samping obat
diri)
5. Impaired quality >60% pasien FA Berhubungan dengan penyakit,
of life komorbid, psikologis dan medikasi
Tipe kepribadian yang distress
2.1.7 Prognosis
Pasien fibrilasi atrium sorangan (lone AF) yang berusia dibawah 60 tahun memiliki
prognosis yang lebih baik dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit. Pasien fibrilasi atrium
persisten dengan irama kembali ke sinus setelah dilakukan kardioversi di UGD, dapat
dipulangkan setelah pemberian obat antiaritmia untuk mencegah rekurensi. Kategori pasien yang
dapat dipulangkan dari UGD setelah mendapat penanganan akut fibrilasi atrium ada dua yaitu a)
pasien yang tidak memiliki riwayat jantung struktrural dan b) pasien yang memiliki laju ventrikel
terkontrol. Terapi fibrilasi atrium memperbaiki prognosis terutama untuk kejadian tromboemboli
dan stroke.1,34
Sedangkan perawatan di rumah sakit diperlukan untuk a) pasien fibrilasi atrium disertai
gejala; b) fibrilasi atrium disertai penyakit jantung struktural; c) fibrilasi atrium dengan
riwayat/memiliki risiko tinggi tromboemboli; dan d) fibrilasi atrium yang gagal dilakukan
kontrol laju denyut nadi. Kebanyakan mordibitas dan mortalitas akibat komplikasi stroke dan
tromboemboli.34
2.2.1 Definisi
Mitral regurgitasi adalah insufisiensi katup mitral yang tidak menutup dengan sempurna
pada saat sistolik, sehingga menyebabkan aliran balik ke atrium kiri.64
2.2.2. Etiologi
Mitral regurgitasi dapat disebabkan oleh proses rematik atau penyebab lain misalnya
prolapse katup mitral (Mitral Valve Prolapse/MVP) yaitu abnormalitas penutupan katup mitral
pada saat sistolik, dimana salah satu atau kedua daun katup terdesak lebih superior ke ruang
atrium. MVP berawal tanpa regurgitasi. Selain itu, rupture chorda tendinae atau rupture
muskulus papilaris juga dapat menyebabkan regurgitasi mitral. Hal ini merupakan salah satu
komplikasi infrak miokard akut. Mitral regurgitasi rematik sering terjadi bersama-sama dengan
mitral stenosis rematik.66
2.2.3 Patofisiologi
Pada regurgitasi mitral, porsi stroke volume pada ventrikel kiri akana kembali terpompa ke
atrium kiri yang memiliki tekanan rendah selama sistole. Sehingga, hasil cardiac output akan
lebih sedikit dibandingkan dengan total output yang dimiliki oleh ventrikel kiri (forward flow
plus backward leak). Kemudian, konsekuensi akibat adanya regurgitasi mitral berupa elevasi dari
atrium kanan dan penngkatan tekanan, adanya pengurangan hasil curah jantung, dan stress
volume pada ventrikek kiri akibat adanya regurgitasi volume yang kembalinya aliran normal
vena pulmonalis.65
Peningkatan tekanan atrium kiri akan menyebabkan edema paru akut dan dyspnea. Apabila
pasien dapat menoleransi fase akut, akan terjadi fase kompensasi yang kronis yang menyebabkan
terjadinya hipertrofi ventrikel kanan yang eksentrik.65
Apabila terjadi kombinasi peningkatan preload dan hipertrofi ventrikel, akan terjadi
peningkatan volume akhir diastolic ventrikel sehingga terjadi disfungsi otot ventrikel kiri
kemudian tkenanan atrium kanan meningkat yang berakibat terjadi kongesti paru.65
2.2.4 Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala umum biasanya berdebar, batuk-batuk, sesak napas saat aktivitas, ortopnea,
paroxysmal nocturnal dyspnoe, cepat lelah, dan beberapa gejala yang tidak khas seperti kembung
dan mual.65
2. Pemeriksaan fisik
a. Mitral regurgitasi dominan: S1 melemah, pada MVP terdengar midsistolik click. Bising
pansistolik frekuensi tinggi di apeks dengan penjalaran ke aksila, pada MVP bising
pansistolik nyering seperti suara burung camar (seagull murmur)
b. Bila mitral stenosis dominan: S1 keras, opening snap, bising mid-diastolik. Tanda-tanda
gagal jantung dapat timbul tergantung perjalanan penyakit.66
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan rontgen dada, dapat ditemukan tanda edema pulmonum pada pasien
dengan mitral regurgitasi akut. Pada pasien dengan mitral regurgitasi kronis, dapat ditemukan
tanda pembesaran ruang jantung atrium dan ventrikel kiri, tanpa tanda kongesti pulmonum.65
Pada rekam elektrokardiografi, dapat dijumpai tanda pembesaran atrium dan ventrikel kiri.
Pada pemeriksaan ekokardiografi dapat ditemukan penyebab struktural terjadinya mitral
regurgitasi dan dapat menilai derajat keparahan mitral regurgitasi. Kateterisasi jantung
digunakan untuk menilai adanya penyakit jantung koroner yang menyertai, dan ventrikulografi
krii dapat menilai derajat keparahan mitral regurgitasi.65
2.2.5 Terapi
Pada kondisi mitral regurgitasi akut, diperlukan tata laksana surgical. medika mentosa
hanya diberikan untuk meringankan gejala serta stabilisasi pasien hingga sebelum operasi. Katup
mitral dapat diperbaiki/diganti tergantung derajat keparahan mitral regurgitasi.65
Pada kasus mitral regurgitasi kronis, diberikan obat-obatan standar untuk gagal jantung,
seperti pemberian obat diuretic, ACE inhibitor/ARB, beta-blocker, atau aldosterone antagonist.
Pengobatan infark miokard akut diberikan pada rupture chorda/ muskulus papilaris sebagai
komplikasi.65
Terapi Surgikal pada mitral regurgitasi kronis dilakukan pada pasien simptompatis,
maupun asimptomatis dengan disfungsi LV secara ekokardiografi: LVESD> 45mm, EF < 60%;
adanya penyulit seperti fibrilasi atrium dan/atau hipertensi pulmonal (tekanan sistolik arteri
pulmonal > 50mmHg); serta adanya MS dengan area katup mitral < 1,5cm2. Tindakan
pembedahan dapat berupa perbaikan/reparasi katup atau penggantian katup (bioprostetik atau
prostetik mekanik).65
2.3.1 Definisi
Gagal jantung akut adalah kondisi jantung tidak mampu memompakan darah secara adekuat
guna memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk keperluan metabolisme jaringan tubuh yang terjadi
secara cepat. Gagal jantung secara progresif akan menyebabkan cardiac output menurun dan
tekanan pengisian ke dalam jantung menjadi tinggi dengan segala akibat beserta gejala dan
tandanya. Manifestasi kumpulan gejala dan tanda yang berubah secara cepat ini dikenal sebagai
gagal jantung akut.79,80
2.3.2 Etiologi
Secara umum penyebab gagal jantung akut dapat dikelompokkan sebagai berikut.80,81
4. Hambatan pengisian jantung antara lain aritmia ventricular, aritmia supraventricular, atau
bradikardia.
Faktor pencetus gagal jantung akut antara lain kepatuhan minum obat rendah, tatalaksana obat
sub optimal, kelelahan fisik, stress, infeksi, dan tindakan pembedahan.80
a. gagal jantung dekompensasi akut yaitu gagal jantung sebagai akibat dekompensasi akut dari
gagal jantung kronis.
b. gagal jantung hipertensif yaitu gagal jantung akibat hipertensi krisis, biasanya fungsi sistolik
ventrikel kiri masih baik.
c. Edema paru kardiogenik yaitu akumulasi cairan ekstravaskular pada paru karena peningkatan
hidrostatik kapiler akibat kelainan jantung.
d. syok kardiogenik yaitu kegagalan sirkulasi akibat penurunan curah jantung disertai tanda-
tanda hipoksia jaringan dengan volume intra vascular yang adekuat.
e. gagal jantung kanan akut merupakan sindrom low output ditandai hipotensi disertai
peningakatan tekanan vena jugularis dan hepatomegali.
f. Gagal jantung akut dengan SKA yaitu gagal jantung akut yang muncul sebagai komplikasi
sindroma koroner akut.
Sebagai upaya kompensasi jantung berlaku prinsip frank starling yaitu membesarkan
pengeluaran stroke volume dengan meningkatakan regangan otot jantung sehingga semakin
besar pengisian ventrikel pada akhir diastole (end diastolic volume). Keadaan ini berlaku sampai
batas tertentu dan bila batas peregangan karena pengisian telah dilampaui maka isi sekuncup
akan menurun kembali.82
2. Hipertrofi Ventrikel
Peningkatan stress terhadap dinding ventrikel karena beban tekanan maupun volume yang terus-
menerus merasangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel dan menambah massa ventrikel.
Keadaan ini merupakan mekanisme kompensasi untuk mengurangi stress dinding ventrikel dan
penambahan massa serabut otot membantu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel.82
3. Aktivasi Neurohormonal
Pada gagal jantung akut, untuk mengkompensasi gangguan distribusi oksigen ke jaringan perifer,
maka jalur neurohormonal diaktivasi. Jalur tersebut adalah sistem saraf simpatik menyebabkan
peningkatan denyut jantung dan risiko aritmia, pelepasan renin, vasokonstriksi, dan retensi
natrium. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan vasokonstriksi, retensi air
dan garam akibat gangguan ekskresi melalui ginjal, fibrosis miokard, perubahan morfologi, dan
fungsi kardiomiosit. Hal ini menyebabkan tekanan pengisian jantung meningkat dan kongesti
vena. Akumulasi cairan dan redistribusi cairan menyebabkan peningkatan beban jantung dan
kongesti. Akumulasi cairan sering terjadi pada gagal jantung akut dengan fraksi ejeksi yang
menurun, sedangkan redistribusi cairan sering terjadi pada gagal jantung akut dengan fraksi
ejeksi yang normal. 82
2.3.6 Diagnosis
Anamnesis dimulai dari keluhan, riwayat penyakit kardiovaskular, dan faktor pencetus
kardiak dan non kardiak. Penilaian klinis dilakukan berdasarkan gejala dan tanda yang
mencerminkan penurunan curah jantung (hipoperfusi) dan kelebihan cairan (kongesti).80
Gejala dan tanda hipoperfusi dapat berupa: mengantuk, gelisah; hipotensi, tekanan nadi
lemah dan sempit; ekstremitas dingin; oligouria; peningkatan ureum dan kreatinin,
hyponatremia. Gejala dan tanda kongesti dapat berupa: ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea,
distensi vena jugularis, hepatojugular reflux, rales di paru, ascites atau edema perifer.80
2. Pemeriksaan Penunjang
Penilaian klinis secara bedsie dalam waktu 2 menit bermanfaat untuk menilai profil
hemodinamik pasien gagal jantung akut. Penilaian klinis dilakukan berdasar gejala dan tanda
perfusi yang baik (hangat) atau buruk (dingin) serta tidak ditemukan kongesti (kering) atau
ditemukan kongesti (basah). Hasil penilaian profil hemodinamik dibagi menjadi 4 kategori, yaitu
1) hangat dan basah (perfusi baik dan terdapat kongesti), 2) dingin dan basah (gangguan
hipoperfusi dan kongesti), 3) dingin dan kering (gangguan hipoperfusi dan tanpa kongesti), 4)
hangat dan kering (perfusi baik dan tanpa kongesti). Klasifikasi ini sangat membantu sebagai
panduan terapi pada fase awal dan membantu prediksi prognosis.80,83
Kongesti (+):
Ortopnea
Kongesti (-) JVP meningkat
Edema perifer
Rales
Hipoperfusi (+):
Pulse pressure sempit
(TDS-TDD)/TDS = < 25% Kering – Dingin Basah – Dingin
Pulsus alternas PCWP rendah/normal PCWP meningkat
Hipotensi simptomatik Cardiax index menurun Cardiax index menurun
Ekstremitas dingin
Gangguan kesadaran
2.3.8 Tatalaksana
1. Non-farmakologis
Evaluasi awal dan pemantauan fungsi vital kardiorespirasi, meliputi oksimetri, nadi, tekanan
darah, laju pernapasan, dan monitor EKG harus dilakukan dalam beberapa menit. Produksi urine
harus dipantau walaupun pemasangan kateter urine tidak selalu disarankan. Suplementasi
oksigen tidak digunakan secara rutin pada pasien non hipoksemia karena menyebabkan
vasokonstriksi dan pengurangan curah jantung. pada PPOK, hiperoksigenasi dapat meningkatkan
gangguan ventilasi-perfusi, menekan ventilasi dan menyebabkan hiperkapnea. Selama terapi
oksigen, keseimbangan asam basa dan saturasi oksigen transkutan harus dipantau.80,83,84
2. Farmakologis
Pasien dengan gagal jantung akut, secara khusus pasien gagal jantung kronik dengan terapi oral
sebelumnya diteruskan kecuali apabila didapatkan ketidakstabilan hemodinamik (hipotensi
simptomatik, hipoperfusi, bradikardia), hyperkalemia, atau gangguan fungsi ginjal berat. Pada
kasus ini, dosis harian terapi oral dapat dikurangi atau dihentikan sementara pasien stabil.
Sedangkan beta-blocker ditunda pada keadaan gagal jantung akut.80,83
a. Diuretik
Diuretik merupakan terpi utama gagal jantung akut dengan presentasi kelebihan cairan dan
kongesti. Pada gagal jantung akut dengan hipoperfusi, pemberian diuretic setelah perfusi baik.
Pada pemberian diuretik harus diperhatikan hypokalemia, disfungsi renal, dan hypovolemia.
Furosemid merupakan diuretik yang paling sering digunakan. Pemberian diuretik secara
intravena biasanya dapat mengurangi gejala 2,5 kali dari dosis oral yang dikonsumsi pasien.
Dosis awal tidak sama dengan dosis oral pasien yaitu 20-40 mg secara bolus intravena. 80,83,84
b. Vasodilator
Pemberian vasodilator untuk mengurangi gejala dapat diberikan bila kriteria tekanan darah
memenuhi (tekanan sistolik > 90 mmHg). Vasodilator bermamfaat untuk menurunkan
ketegangan tonus vena (memaksimalkan preload) dan ketegangan tonus arterial (mengurangi
afterload) sehingga meningkatkan stroke volume. Vasodilator bermanfaat pada gagal jantung
karena hipertensi. Beberapa vasodilator yang sering digunakan adalah nitrogliserin dosis dimulai
dari 10-20 mikrogram dapat ditingkatkan hingga 200 mikrogram per menit atau isosorbid dinitrat
mulai dosis 1 mg per jam hingga 10mg per jam. Efek samping yang diperlu dipantau adalah
hipotensi. 80,83,84
I. Dobutamin
Dobutamin digunakan sebagai terapi awal pasien gagal jantung akut dengan hipotensi
(tekanan darah sistolik < 85 mmHg) dan/atau hipoperfusi untuk meningkatkan curah
jantung, meningkatkan tekanan darah, dan memperbaiki perfusi perifer. Monitor EKG
dilakukan secara kontinu karena agen inotropic dapat menyebabkan aritmia dan iskemia
miokard. Pemberian awal melalui infus dosis 2 mikrogram/KgBB/menit dan dititrasi 1-2
mikrogram/KgBB/menit tiap 15-30 menit sehingga tercapai hemodinamik yang diiginkan
atau bila timbil takikardia maupun aritmia.85
II. Dopamin
Dopamin dosis rendah (< 3 mikrogram/KgBB/menit) memiliki efek vasodilator pada
ginjal dan mesenteric sehingga menyebabkan diuresis. Dopamin dosis sedang (2-5
mikrogram/KgBB/menit) menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas
yang dapat meningkatkan stroke volume dan curah jantung. Dosis yang lebih tinggi (5-15
mikrogram/KgBB/menit) menstimulasi reseptor di perifer akibatnya terjadi
vasonkonstriksi arteri dan vena perifer. Pada pasien syok kardiogenik, dopamine dosis
tinggi digunakan untuk meningkatkan resistansi vaskuler sistemik sehingga diperoleh
peningkatan afterload sekaligus bermanfaat meningkatkan inotropik positif. Dopamin
dosis tinggi dapat mengakibatkan sinus takikardia dana tau aritmia supraventricular
maupun aritmia ventricular.85
III. Norepinefrin
Norepinefrin dapat meningkatkan tekanan darah sistolik, diastoli, serta tekanan nadi dan
hanya sedikit memengaruhi curah jantung. Norepinefrin sebagai vasopressor bersama
dopamine dosis yang lebih tinggi (> 5 mikrogram/KgBB/menit) disarankan untuk pasien
syok kardiogenik, disamping terapi inotropik untuk meningkatkan tekanan darah dan
perfusi organ. Monitor EKG dilakukan secara kontinu karena agen inotropic dapat
menyebabkan aritmia dan iskemia miokard. Norepinefrin diberikan secara titrasi untuk
meningkatkan tekanan darah dosis 2-10 mikrogram/menit intravena.80,85
IV. Digoksin
Kombinasi efek inotropik-bradikardia merupakan cara kerja unik dari digoksin bila
dibandingkan inotropik simpatomimetik lainnya. Di samping efek inotropik yang lemah,
digoksin memperlambat laju ventrikel, terutama pada kondisi fibrilasi atrium sehingga
memperbaiki pengisian ventrikel pada psien gagal jantung dengan fibrilasi atrium.
Digoksi dosis intravena 8-12 mikrogram/KgBB dalam dosis terbagi (tiap 4-8 jam) selama
12-24 jam. Dosis awal diberikan setengah dari total dosis digitalisasi kemudian
seperempat dosis masing-masing diberikan dua kali sedara berurutan interval 8-12 jam.
Monitoring EKG dilakukan setelah 6 jam setelah dosis awal untuk melihat efek toksik
(blok AV, sinus brakdikardia, irama ektopik atrial, aritmia ventrikel) yang ditimbulkan
oleh digoksin. Secara oral, digoksin biasanya diberikan dalam dosis rendah (0,125mg-
0,25mg) untuk menghindari efek toksi yang ditimbulkannya. Digoxin disarankan untuk
pasien fibrilasi atrium dengan respons ventrikel cepat > 110 kali per menit dengan
pemberian bolus 0,25mg-5mg intravena. Pasien dengan gangguan ginjal, diberikan dosis
lebih kecil 0,0625-0,125mg.80
V. Sedasi dan ansiolitik
Opiat dapat mengurangi dyspnea dan ansietas. Pada gagal jantung pemberian opiate harus
hati-hati pada pasien dnegan dyspnea berat, sebagian besar edema paru. Pemberian opiat
masih menjadi kontroversi terkait dengan mortalitas yang meningkat pada pasien gagal
jantung yang diberikan opiate. Diazepam atau lorazepam merupakan obat sedasi yang
terbukti paling aman.80
2.3.9 Prognosis
Gagal jantung adalah penyakit progresif. Kematian di rumah sakit pada pasien gagal jantung
dekompensasi berkisar 3-4%, dan meningkat menjadi 10% pada 90 hari. Akibatnya, pasien
pasien haru dikelola dan dipantau secara ketat agar terhindar dari dekompensasi. Bahkan
meskipun pemantauan klinis yang keta, beberapa pasien akhirnya akan progresif ke arah stadium
akhir, yang memerlukan terapi gagal jantung lanjut atau perawatan paliatif.80,83,86
2.4 Hipertiroidisme
BAB 3
LAPORAN KASUS
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, reflex cahaya +/+
Telinga : normotia, membran timpani intak, sekret (-), serumen (-)
Hidung : normosepta, darah (-), sekret (-)
Leher: JVP 5 + 3 cmH2O
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi : batas atas kiri ICS II LPS sinistra, batas atas kanan ICS II LPS dekstra,
batas bawah kiri ICS V MCL sinistra, batas bawah kanan ICS IV LPS dextra.
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (+) sistolik ICS V MCL derajat
III/VI perjalaran ke aksila, HR 150 bpm, pulsus deficit.
Paru:
Inspeksi: bentuk normal, gerak napas simetris
Palpasi: trakea di tengah, remitus raba normal simetris kedua hemitoraks
Perkusi: sonor simetris kedua hemitoraks
Auskultasi: vesikuler/vesikuler simetris, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen:
Inspeksi: datar, ikut gerak nafas
Palpasi: hepatomegali (-), Spleenomegali (-), nyeri tekan (-)
Perkusi: timpani (+)
Auskultasi: bising usus normal
Ekstremitas: Akral hangat merah kering, oedema (-/-), capillary refill time <2 detik
Neurologis:
GCS: E4V5M6
N II : Refleks pupil normal
N III, IV, VI : Gerak bola mata normal, ptosis -
N VII : parese -/-, refleks stapedius +/+ normal
N VIII : dalam batas normal
N IX, X : refleks muntah normal, uvula simetris
N XII : dalam batas normal.
Kekuatan motorik D/S:
Ektremitas superior: 5555/5555
Ekstremitas inferior: 5555/5555
Pemeriksaan sensoris: dalam batas normal
Pemeriksaan refleks fisiologis: kanan 2/2
Pemeriksaan refleks patologis: Babinski -/-
Meningeal sign: kaku kuduk –
Status Lokalis:
Regio cervical dextra terdapat benjolan padat sebesar buah mangga, warna kulit tidak
berubah, panas (+) mobile (+), bergerak saat menelan (+), fluktuatif (-), bruits (-)
Intepretasi:
Irama Atrial Fibrilasi RVR, HR 150 bpm, normoaxis, PR interval normal, QRS normal
Laboratorium Tanggal 8/4/2023
Radiologi
X-ray Thorax AP tanggal 8/4/2023
D: diafragma tampak berbentuk flattening sudut costophrenicus sinistra et dextra tampak tajam
Kesan: MR moderate
3.5 Diagnosis
Atrial Fibrilasi RVR
ADHF profil a
MR Moderate
Massa Colli
3.6 Planning
lanjut 1 x 1 amp
Omeprazole selanjutnya 1 x
1 vial
Ondansentron 2 x 4 mg IV
PEMBAHASAN
Pasien Ny. GB, perempuan, 75 tahun, datang UGD RSUD Tangguwisia dengan keluhan lemas
sejak 2 hari yang lalu. Lemas disertai mual dan muntah. Muntah sebanyak 2 kali hari ini. Mudah
lelah saat beraktivitas (berjalan). Berdebar (+). Keluhan benjolan sejak 5 tahun yang lalu,
awalnya kecil namun membesar secara perlahan. keluhan sulit menelan disangkal. tangan
bergetar (-). mudah berkeringat (-). demam (-). batuk (-). BAK warna kuning normal. BAB
warna kuning normal. Berat badan tidak naik dan tidak turun. Riwayat penyakit dahulu:
hipertensi terkontrol dengan amlodipine 1x5mg per oral rutin kontrol ke puskesmas dan low
back pain. Riwayat pengobatan: Amlodipin 1x5mg dan obat antinyeri. Riwayat merokok
disangkal. pasien bekerja sebagai peternak babi.
Pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis.
Pemeriksaan tanda vital nadi 80 kali per menit irregular teraba lemah, terdapat pulsus defisit.
Pemeriksaan fisik jantung didapatkan ictus cordis teraba, tidak ditemukan thrill, murmur (+)
sistolik ICS V MCL derajat III/VI perjalaran ke aksila, HR 150 bpm, pulsus defisit. Pemeriksaan
elektrokardiografi menunjukkan irama Atrial Fibrilasi RVR, HR 150 bpm, normoaxis, PR
interval normal, QRS normal. Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil yang normal.
Pemeriksaan rontgen toraks didapatkan aortosclerosis, paru dan jantung tak tampak kelainan.
Pemeriksaan ekokardiografi didapatkan mitral regurgitasi moderate. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien mengalami atrial fibrilasi ec ADHF, mitral
regurgitasi dan massa regio colli. Pasien mengeluh lemas dan mudah lelah saat beraktivitas
berjalan serta berdebar. Gejala tersebut merupaka gejala ringan pada atrial fibrilasi. Proses
remodelling atrium menyebabkan gangguan elektris antara serabut otot dan serabut konduksi di
atrium, serta menjadi faktor pemicu sekaligus faktor yang melanggengkan terjadinya FA.
BAB 5
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Yuniadi, Y., Tondas, Tondas, A., Hanafy, D., Hermanto, D., Maharani, E., Munawar M., et
al, 2014, Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.
2. January, C. T., Wann, L. S., Calkins, H., Chen, L. Y., Cigarroa, J. E., Cleveland, J. C., Jr,
Ellinor, P. T., Ezekowitz, M. D., Field, M. E., Furie, K. L., Heidenreich, P. A., Murray, K.
T., Shea, J. B., Tracy, C. M., & Yancy, C. W. (2019). 2019 AHA/ACC/HRS Focused
Update of the 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association
Task Force on Clinical Practice Guidelines and the Heart Rhythm Society. Journal of the
American College of Cardiology, 74(1), 104–132.
https://doi.org/10.1016/j.jacc.2019.01.011.
3. Hindricks, G., Potpara, T., Dagres, N., Arbelo, E., Bax, J. J., Blomström-Lundqvist, C.,
Boriani, G., Castella, M., Dan, G. A., Dilaveris, P. E., Fauchier, L., Filippatos, G., Kalman,
J. M., La Meir, M., Lane, D. A., Lebeau, J. P., Lettino, M., Lip, G. Y. H., Pinto, F. J.,
Thomas, G. N., … ESC Scientific Document Group (2021). 2020 ESC Guidelines for the
diagnosis and management of atrial fibrillation developed in collaboration with the
European Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS): The Task Force for the
diagnosis and management of atrial fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC)
Developed with the special contribution of the European Heart Rhythm Association (EHRA)
of the ESC. European heart journal, 42(5), 373–498.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehaa612.
4. Morady, F., Zipes, D., 2015, Atrial Fibrillation: Clinical Features, Mechanisms, and
Management. In: Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 10th
Edition. Philadelphia: Elsevier; P.798-820.
5. Prystowsky, E.N., Padanilam, B.J., Waldo, A.L., 2011 Atrial Fibrillation, Atrial Flutter, and
Atrial Tachycardia. In: Hurst's The Heart. New York: The McGraw-Hill Companies. P.963-
987.
6. Issa, Z.F., 2012, Atrial Fibrillation. In: Miller JM, Zipes DP, eds. Clinical arrhythmology
and electrophysiology: a companion to Braunwald’s heart disease. 2nd ed: Saunders.
7. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S, Camm AJ, et al.
Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the Management of
Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). European heart journal
2010;31:2369-429.
8. Po SS, Scherlag BJ, Yamanashi WS, et al. Experimental model for paroxysmal atrial
fibrillation arising at the pulmonary vein-atrial junctions. Heart rhythm : the official journal
of the Heart Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium 75 Rhythm Society 2006;3:201-8.
9. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, et al. 2011 ACCF/AHA/HRS focused updates
incorporated into the ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients with
atrial fibrillation: a report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines developed in partnership with the
European Society of Cardiology and in collaboration with the European Heart Rhythm
Association and the Heart Rhythm Society. Journal of the American College of Cardiology
2011;57:e101-98.
10. Moe GK, Rheinboldt WC, Abildskov JA. A Computer Model of Atrial Fibrillation.
American heart journal 1964;67:200-20.
11. PERKI. 2014. Fibrilasi Atrium. Jakarta: Centra Communications.
12. Wijffels MC, Kirchhof CJ, Dorland R, Allessie MA. Atrial fibrillation begets atrial
fibrillation. A study in awake chronically instrumented goats. Circulation 1995;92:1954-68.
13. Defaye P, Dournaux F, Mouton E. Prevalence of supraventricular arrhythmias from the
automated analysis of data stored in the DDD pacemakers of 617 patients: the AIDA study.
The AIDA Multicenter Study Group. Automatic Interpretation for Diagnosis Assistance.
Pacing and clinical electrophysiology : PACE 1998;21:250-5.
14. Atrial Fibrillation (A Fib) Awareness. 2013. at
http://www.hrsonline.org/News/AtrialFibrillation-AFib-Awareness#axzz2gHliCTk0.)
15. Page RL, Wilkinson WE, Clair WK, McCarthy EA, Pritchett EL. 1994. Asymptomatic
arrhythmias in patients with symptomatic paroxysmal atrial fibrillation and paroxysmal
supraventricular tachycardia. Circulation 1994;89:224-7.
16. Atrial Fibrillation Clinical Presentation. 2013. (Accessed Sep 27, 2013, at http://emedicine.
medscape.com/article/151066-clinical.)
17. Cheng M, Hu Z, Lu X, Huang J, Gu D. Caffeine intake and atrial fibrillation incidence:
Dose response Meta-analysis of prospective cohort studies. Canadian Journal of Cardiology
2014.
18. van den Bos EJ, Constantinescu AA, van Domburg RT, Akin S, Jordaens LJ, Kofflard MJ.
Minor elevations in troponin I are associated with mortality and adverse cardiac events in
patients with atrial fibrillation. European heart journal 2011;32:611-7.
19. Wozakowska-Kaplon B. Effect of sinus rhythm restoration on plasma brain natriuretic
peptide in patients with atrial fibrillation. The American journal of cardiology
2004;93:1555- 8.
20. Wann LS, Curtis AB, January CT, et al. 2011 ACCF/AHA/HRS focused update on the
management of patients with atrial fibrillation (Updating the 2006 Guideline): a report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines. Journal of the American College of Cardiology 2011;57:223-42.
21. Kowey PR, Yannicelli D, Amsterdam E. Effectiveness of oral propafenone for the
prevention of atrial fibrillation after coronary artery bypass grafting. The American journal
of cardiology 2004;94:663-5.
22. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S, Camm AJ, et al.
Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the Management of
Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). Europace : European
pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology : journal of the working groups on
cardiac pacing, arrhythmias, and cardiac cellular electrophysiology of the European Society
of Cardiology 2010;12:1360-420.
23. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S, Camm AJ, et al.
Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the Management of
Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). European heart journal
2010;31:2369-429.
24. Andrianto.2020. Buku Ajar Kegawatdaruratan Kardiovaskular Berbasis Standar Nasional
Profesi Dokter 2019. Surabaya: Airlangga University Press.
25. Camm AJ, Lip GY, De Caterina R, et al. 2012 focused update of the ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC Guidelines for the management
of atrial fibrillation. Developed with the special contribution of the European Heart Rhythm
Association. European heart journal 2012;33:2719-47.
26. Gillis AM, Verma A, Talajic M, Nattel S, Dorian P, Committee CCSAFG. Canadian
Cardiovascular Society atrial fibrillation guidelines 2010: rate and rhythm management. The
Canadian journal of cardiology 2011;27:47-59.
27. Pool PE, Herron JM, Rosenblatt S, et al. Sustained-release diltiazem: duration of
antihypertensive effect. Journal of clinical pharmacology 1989;29:533-7.
28. de Muinck E, Wagner G, vd Ven LL, Lie KI. Comparison of the effects of two doses of
bisoprolol on exercise tolerance in exercise-induced stable angina pectoris. European heart
journal 1987;8 Suppl M:31-5.
29. Stout SM, Nielsen J, Welage LS, et al. Influence of metoprolol dosage release formulation
on the pharmacokinetic drug interaction with paroxetine. Journal of clinical pharmacology
2011;51:389-96.
30. Practical Rate and Rhythm Management of Atrial Fibrillation: Heart Rhythm Society; 2010.
31. Boos CJ, Carlsson J, More RS. Rate or rhythm control in persistent atrial fibrillation? QJM :
monthly journal of the Association of Physicians 2003;96:881-92.
32. Van Gelder IC, Groenveld HF, Crijns HJ, et al. Lenient versus strict rate control in patients
with atrial fibrillation. The New England journal of medicine 2010;362:1363-73.
33. Suttorp MJ, Kingma JH, Jessurun ER, Lie AHL, van Hemel NM, Lie KI. The value of class
IC antiarrhythmic drugs for acute conversion of paroxysmal atrial fibrillation or flutter to
sinus rhythm. Journal of the American College of Cardiology 1990;16:1722-7.
34. Kirrchof P, Benussi S, Kotecha D, Ahlsson A, Atar D, Casadei B, et al. 2016. ESC
Guideline for the management of atrial fibrillation developed in collaboration with EACTS.
Vol 37, European Heart Jounal. Oxford University Press; 2016. p. 2893-962.
35. Camm AJ, Lip GY, De Caterina R, et al. 2012 focused update of the ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC Guidelines for the management
of atrial fibrillation--developed with the special contribution of the European Heart Rhythm
Association. Europace : European pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology :
journal of the working groups on cardiac pacing, arrhythmias, and cardiac cellular
electrophysiology of the European Society of Cardiology 2012;14:1385-413.
36. Yuniadi Y, Moqaddas H, Hanafy DA, Munawar M. Atrial fibrillation ablation guided with
electroanatomical mapping system: A one year follow up. Med J Indones 2010;19:172-8.
37. Haissaguerre M, Jais P, Shah DC, et al. Spontaneous initiation of atrial fibrillation by
ectopic beats originating in the pulmonary veins. The New England journal of medicine
1998;339:659-66.
38. Martin DO, Saliba W, McCarthy PM, et al. Approaches to restoring and maintaining normal
sinus rhythm. Cleveland Clinic journal of medicine 2003;70 Suppl 3:S12-29.
39. Carlos Brotons JC, Gregory Lip, Kathryn Taubert. Atrial fibrillation in primary care:
bringing atrial fibrillation practice closer to guidelines. In: International Atrial Fibrillation
Association SAfE, World Heart Federation ed.2012.
40. Singer DE, Albers GW, Dalen JE, et al. Antithrombotic therapy in atrial fibrillation:
American College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines (8th
Edition). Chest 2008;133:546S-92S.
41. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Jr., Kannel WB. Epidemiologic assessment of chronic
atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham study. Neurology 1978;28:973-7.
42. Banerjee A, Taillandier S, Olesen JB, et al. Ejection fraction and outcomes in patients with
atrial fibrillation and heart failure: the Loire Valley Atrial Fibrillation Project. European
journal of heart failure 2012;14:295-301.
43. Friberg L, Rosenqvist M, Lip GY. Evaluation of risk stratification schemes for ischaemic
stroke and bleeding in 182 678 patients with atrial fibrillation: the Swedish Atrial
Fibrillation cohort study. European heart journal 2012;33:1500-10.
44. Friberg L, Benson L, Rosenqvist M, Lip GY. Assessment of female sex as a risk factor in
atrial fibrillation in Sweden: nationwide retrospective cohort study. Bmj 2012;344:e3522.
45. Olesen JB, Fauchier L, Lane DA, Taillandier S, Lip GY. Risk factors for stroke and
thromboembolism in relation to age among patients with atrial fibrillation: the Loire Valley
Atrial Fibrillation Project. Chest 2012;141:147-53.
46. Boriani G, Botto GL, Padeletti L, et al. Improving stroke risk stratification using the
CHADS2 and CHA2DS2-VASc risk scores in patients with paroxysmal atrial fibrillation by
continuous arrhythmia burden monitoring. Stroke; a journal of cerebral circulation
2011;42:1768-70.
47. Olesen JB, Torp-Pedersen C, Hansen ML, Lip GY. The value of the CHA2DS2-VASc score
for refining stroke risk stratification in patients with atrial fibrillation with a CHADS2 score
0-1: a nationwide cohort study. Thrombosis and haemostasis 2012;107:1172-9.
48. Olesen JB, Lip GY, Hansen ML, et al. Validation of risk stratification schemes for
predicting stroke and thromboembolism in patients with atrial fibrillation: nationwide cohort
study. Bmj 2011;342:d124.
49. Friberg L, Rosenqvist M, Lip GY. Evaluation of risk stratification schemes for ischaemic
stroke and bleeding in 182 678 patients with atrial fibrillation: the Swedish Atrial
Fibrillation cohort study. European heart journal 2012;33:1500-10.
50. Chao TF, Lin YJ, Tsao HM, et al. CHADS(2) and CHA(2)DS(2)-VASc scores in the
prediction of clinical outcomes in patients with atrial fibrillation after catheter ablation.
Journal of the American College of Cardiology 2011;58:2380-5.
51. Pisters R, Lane DA, Nieuwlaat R, de Vos CB, Crijns HJ, Lip GY. A novel user-friendly
score (HASBLED) to assess 1-year risk of major bleeding in patients with atrial fibrillation:
the Euro Heart Survey. Chest 2010;138:1093-100.
52. Gallego P, Roldan V, Torregrosa JM, et al. Relation of the HAS-BLED bleeding risk score
to 78 Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium major bleeding, cardiovascular events, and
mortality in anticoagulated patients with atrial fibrillation. Circulation Arrhythmia and
electrophysiology 2012;5:312-8.
53. Risk factors for stroke and efficacy of antithrombotic therapy in atrial fibrillation. Analysis
of pooled data from five randomized controlled trials. Archives of internal medicine
1994;154:1449-57.
54. De Caterina R, Husted S, Wallentin L, et al. New oral anticoagulants in atrial fibrillation and
acute coronary syndromes: ESC Working Group on Thrombosis-Task Force on
Anticoagulants in Heart Disease position paper. Journal of the American College of
Cardiology 2012;59:1413- 25.
55. Morgan CL, McEwan P, Tukiendorf A, Robinson PA, Clemens A, Plumb JM. Warfarin
treatment in patients with atrial fibrillation: observing outcomes associated with varying
levels of INR control. Thrombosis research 2009;124:37-41.
56. Watson T, Shantsila E, Lip GY. Mechanisms of thrombogenesis in atrial fibrillation:
Virchow’s triad revisited. Lancet 2009;373:155-66.
57. Bayard YL, Omran H, Neuzil P, et al. PLAATO (Percutaneous Left Atrial Appendage
Transcatheter Occlusion) for prevention of cardioembolic stroke in non-anticoagulation
eligible atrial fibrillation patients: results from the European PLAATO study.
EuroIntervention : journal of EuroPCR in collaboration with the Working Group on
Interventional Cardiology of the European Society of Cardiology 2010;6:220-6.
58. Park JW, Bethencourt A, Sievert H, et al. Left atrial appendage closure with Amplatzer
cardiac plug in atrial fibrillation: initial European experience. Catheterization and
cardiovascular interventions : official journal of the Society for Cardiac Angiography &
Interventions 2011;77:700-6.
59. Holmes DR, Reddy VY, Turi ZG, et al. Percutaneous closure of the left atrial appendage
versus warfarin therapy for prevention of stroke in patients with atrial fibrillation: a
randomised non-inferiority trial. Lancet 2009;374:534-42.
60. Lip GY, Larsen TB, Skjoth F, Rasmussen LH. Indirect comparisons of new oral
anticoagulant drugs for efficacy and safety when used for stroke prevention in atrial
fibrillation. Journal of the American College of Cardiology 2012;60:738-46.
61. Freeman JV, Zhu RP, Owens DK, et al. Cost-effectiveness of dabigatran compared with
warfarin for stroke prevention in atrial fibrillation. Annals of internal medicine 2011;154:1-
11.
62. Shah SV, Gage BF. Cost-effectiveness of dabigatran for stroke prophylaxis in atrial
fibrillation. Circulation 2011;123:2562-70.
63. Banerjee A, Lane DA, Torp-Pedersen C, Lip GY. Net clinical benefit of new oral
anticoagulants (dabigatran, rivaroxaban, apixaban) versus no treatment in a ‘real world’
atrial fibrillation population: a modelling analysis based on a nationwide cohort study.
Thrombosis and haemostasis 2012;107:584-9.
64. Boestan IN. Penyakit Jantung Katup. Airlangga University Press; 2010.
65. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease: a collaborative project of medical students and
faculty. Sixth edit. Vol. Baltimore, MD: Wolter Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins.;
2011. 192-219p.
66. Lilly LS BE. Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. Sciences
EH, editor. 2012.
67. Guo Y, Lane DA, Wang L, Zhang H, Wang H, Zhang W, Wen J, Xing Y, Wu F, Xia Y, Liu
T, Wu F, Liang Z, Liu F, Zhao Y, Li R, Li X, Zhang L, Guo J, Burnside G, Chen Y, Lip
GYH; mAF-App II Trial Investigators. Mobile health technology to improve care for
patients with atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol 2020;75:1523-1534.
68. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, et al. ACC/AHA/ESC guidelines for the management of patients
with atrial fibrillation: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice
Guidelines. Europace. 2006;8:651–745.
69. Santini M, De Ferrari GM, Pandozi C, et al; for the FIRE Investigators. Atrial fibrillation requiring
urgent medical care. Approach and outcome in the various departments of admission. Data from
the atrial Fibrillation/ Flutter Italian Registry (FIRE). Ital Heart J. 2004;5:205–213.
70. Friberg L, Bergfeldt L. Atrial fibrillation prevalence revisited. J Intern Med. 2013;274:461–468.
71. Wilke T, Groth A, Mueller S, et al. Incidence and prevalence of atrial fibrillation: an analysis based
on 8.3 million patients. Europace. 2013;15:486–493.
72. Zoni-Berisso, M., Lercari, F., Carazza, T., & Domenicucci, S. (2014).
Epidemiology of atrial fibrillation: European perspective. Clinical
epidemiology, 6, 213–220. https://doi.org/10.2147/CLEP.S47385.
73. Wolf PA, Benjamin EJ, Belanger AJ, Kannel WB, Levy D, D’Agostino RB. Secular trends in the
prevalence of atrial fibrillation: The Framingham Study. Am Heart J. 1996;131(4):790-5.
74. RI PDdIKK. Gambaran kesehatan usia lanjut di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan 2013.
75. Irmansyah YA. Karakteristik Pasien Atrial Fibrilasi Pada Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit
Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Periode Januari 2015 Hingga Januari 2016.
Jurnal Kedokteran 2020;9(3):229-37.
76. Wyse DG, Waldo AL, DiMarco JP, Domanski MJ, Rosenberg Y, Schron EB, dkk. A comparison of rate
control and rhythm control in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med. 2002;347(23):1825-33
77. Stewart S, Murphy NF, Walker A, McGuire A, McMurray JJ. Cost of an emerging epidemic: an
economic analysis of atrial fibrillation in the UK. Heart 2004;90(3):286-92.
78. Camm AJ, Lip GY, De Caterina R, Savelieva I, Atar D, Hohnioser SH, dkk. 2012 focused update of the
ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC Guidelines for
the management of atrial fibrillation--developed with the special contribution of the European
Heart Rhythm Association. Eur Heart J. 2012;33(21):2719-47.
79. Arrigo M, Rudiger A, Acute Heart Failure: from pathophysiology to optimal treatment. Cardiovasc
Med. 2017 Oct 18;20(10): 229-35.
80. Ponikowski, P., Voors, A. A., Anker, S. D., Bueno, H., Cleland, J. G. F., Coats, A. J. S., Falk, V.,
González-Juanatey, J. R., Harjola, V. P., Jankowska, E. A., Jessup, M., Linde, C.,
Nihoyannopoulos, P., Parissis, J. T., Pieske, B., Riley, J. P., Rosano, G. M. C., Ruilope, L. M.,
Ruschitzka, F., Rutten, F. H., … ESC Scientific Document Group (2016). 2016 ESC Guidelines
for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure: The Task Force for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the European Society of
Cardiology (ESC)Developed with the special contribution of the Heart Failure Association
(HFA) of the ESC. European heart journal, 37(27), 2129–2200.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehw128.
81. Kurmani, S., & Squire, I. (2017). Acute Heart Failure: Definition, Classification
and Epidemiology. Current heart failure reports, 14(5), 385–392.
https://doi.org/10.1007/s11897-017-0351-y.
82. Kemp DC, Conte J V. The pathophysiology of heart failure. CardiovascPathol. 2012 Sep1;
21 (5): 365-71.
83. Yancy, C. W., Jessup, M., Bozkurt, B., Butler, J., Casey, D. E., Jr, Colvin, M. M., Drazner, M. H.,
Filippatos, G. S., Fonarow, G. C., Givertz, M. M., Hollenberg, S. M., Lindenfeld, J., Masoudi, F.
A., McBride, P. E., Peterson, P. N., Stevenson, L. W., & Westlake, C. (2017). 2017
ACC/AHA/HFSA Focused Update of the 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of
Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association
Task Force on Clinical Practice Guidelines and the Heart Failure Society of
America. Circulation, 136(6), e137–e161. https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000509
84. Bloom, M. W., Greenberg, B., Jaarsma, T., Januzzi, J. L., Lam, C. S. P., Maggioni, A. P., Trochu,
J. N., & Butler, J. (2017). Heart failure with reduced ejection fraction. Nature reviews. Disease
primers, 3, 17058. https://doi.org/10.1038/nrdp.2017.58
85. van Diepen S, Katz JN, Albert NM, et al. Contemporary Management of Cardiogenic
Shock: A Scientific Statement From the American Heart Association. Circulation. 2017
Oct;136(16):e232-e268. DOI: 10.1161/cir.0000000000000525. PMID: 28923988.
86. Zsilinszka, R., Mentz, R. J., DeVore, A. D., Eapen, Z. J., Pang, P. S., & Hernandez, A. F. (2017).
Acute Heart Failure: Alternatives to Hospitalization. JACC. Heart failure, 5(5), 329–336.
https://doi.org/10.1016/j.jchf.2016.12.014.