Anda di halaman 1dari 8

Kekuasaan Negara di Hadapan Tuntutan Kemerdekaan Kita

(tentang Leviathan Hobbes dalam Merespons Teriakan “Sambo”)

Alfonsius Hada Boruk1

I. Pendahuluan

Pada 29 September 2022 silam, sempat viral di Kabupaten Sikka, sejumlah frater SVD,
mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero diinterogasi aparat
Kepolisian Resor (Polres) Sikka karena diduga meneriakkan kata “Sambo”. Peristiwa itu
bermula ketika para mahasiswa hendak pulang dari berbelanja keperluan dapur menggunakan
truk milik Seminari Tinggi Ledalero. Namun dalam perjalanan pulang, mereka diduga
meneriakkan Sambo di hadapan anggota Polantas yang sedang berjaga. 2 Anggota Polantas yang
ada di situ merasa tersinggung dan mendatangi truk seminari dan mulai menginterogasi para
mahasiswa. Karena merasa kurang puas, anggota Polantas berangkat menuju Seminari Tinggi St.
Paulus Ledalero untuk meminta keterangan terkait kejadian tersebut kepada pimpinan seminari.
Sehari kemudian, Polres Sikka didatangi pihak Seminari Tinggi Ledalero, bersama para
mahasiswa, JPIC SVD Ende, dan Tim Relawan Kemanusiaan untuk Flores (Truk-F) untuk
berdialog mengenai persoalan di atas. Dalam pertemuan tersebut, kelompok sipil menyatakan
bahwa interogasi yang dilakukan oknum polisi adalah “bentuk tindakan represif untuk
membungkam suara kritis publik dalam upaya mengontrol kinerja negara umumnya dan
kepolisian khususnya.” Rektor IFTK Ledalero, Otto Gusti Madung mengeritik tindakan polisi
dan menyebutkan bahwa meneriakkan kata Sambo adalah bentuk kebebasan berpendapat. 3 Oleh
karena itu, tindakan aparat kepolisian ini tidak bisa dibiarkan, sebab demokrasi hanya mungkin
hidup jika masyarakat boleh bersuara kritis di ruang publik.4

1
Penulis adalah calon imam Keuskupan Larantuka, tingkat 3.
2
Serafinus Sandi Hayon Jehadu, “Dituding Teriakkan Nama “Sambo”, Belasan Mahasiswa di Sikka Diinterogasi
Polisi, Kapolres Minta Maaf”, dalam Kompas, https://regional.kompas.com/read/2022/09/30/145146478/dituding-
teriakkan-nama-sambo-belasan-mahasiswa-di-sikka-diinterogasi, diakses pada 17 Oktober 2022.
3
Tim Redaksi Floresa, “Teriakan Sambo dan Represi untuk Frater di Ledalero, NTT: Bagaimana Sebaiknya
Respons Polisi”, dalam Floresa-Kritis, Independen, https://www.floresa.co/2022/10/01/teriakan-sambo-dan-
represi-untuk-frater-di-ledalero-ntt-bagaimana-sebaiknya-respons-polisi/, diakses pada 17 Oktober 2022.
4
Serafinus Sandi Hayon Jehadu, op. cit.
Narasi faktual di atas memberi kita satu gambaran kecil tentang kekuasaan polisi sebagai
simbol kewenangan negara di negeri berdemokrasi ini. Negara, yang secara riil ada dalam tubuh
pemerintah dan aparaturnya, dapat menganggap dirinya sebagai penguasa yang bertanggung
jawab atas ketertiban masyarakat. Legalitasnya berangkat dari pengakuan masyarakat terhadap
wewenang negara untuk menetapkan hukum, termasuk haknya untuk memaksakan ketaatan
terhadap aturan-aturannya dengan mempergunakan kekerasan fisik seperlunya.5 Oleh karena itu,
tidak jarang kita menyaksikan negara menampilkan diri dengan kekuatan senjata dan kekerasan
untuk mengamankan masyarakat. Ini yang Max Weber maksudkan dengan Gewaltmonopol des
Staats (Monopoli negara untuk menggunakan kekerasan).

Dalam tulisan ini, akan dibicarakan model kekuasaan negara yang cukup besar di
hadapan tuntutan kebebasan warga negara. Tulisan ini berangkat dari model negara raksasa
(Leviathan) yang digagaskan filsuf Thomas Hobbes. Besarnya kekuasaan negara Leviathan ini
cenderung mendominasi kebebasan warga negaranya. Hal ini dapat terbaca dalam peristiwa
teriakan “Sambo” di ruang publik yang membuat aparat kepolisian merasa tersinggung.
Interogasi polisi sebagai instansi negara terhadap mahasiswa yang meneriaki “Sambo”
merupakan bentuk pembungkaman suara kritis yang bertebaran di ruang publik. Tindakan ini
sebetulnya mau menunjukkan bahwa negara itu sangat berkuasa (hal mana yang sesuai dengan
ciri negara Leviathan yang diimpikan Hobbes) dan kini tidak relevan untuk konteks Indonesia
yang bersistem demokrasi. Alasannya, negara demokratis hanya bisa eksis jika menjamin
kebebasan warga negaranya.6 Oleh karena itu, sebelum menjelaskan argumentasi pokok dari
tulisan ini, mari kita baca maksud Hobbes tentang negara Leviathan.

II. Leviathan Hobbes dan Respons Teriakan “Sambo”

Thomas Hobbes adalah seorang filsuf berkebangsaan Inggris yang lahir pada 1588. Masa
hidupnya dipenuhi beragama konflik yang melanda Inggis. Pada tahun 1640 ia lari ke Prancis
dan belasan tahun kemudian baru kembali ke London. Situasi kekacauan di Inggris menjadi
dasar pemikiran Hobbes. Ia terobsesi dengan pertanyaan ini: bagaimana masyarakat dapat ditata
sedemikian rupa sehingga kekacauan sebagaimana dialaminya dapat terelak? Atau apa
sebenarnya hubungan antara negara dan hukum, kekuasaan dan moralitas sehingga masyarakat
5
Bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik. Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2019), hlm. 207-208.
6
Otto Gusti Madung, Politik antara Legalitas dan Moralitas (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 176.
dapat hidup berdamai?7 Pertanyaan dasar ini kemudian membuatnya merumuskan teori politik
yang berseberangan dengan para pemikir terdahulu yang dimulai sejak Plato. Melalui refleksinya
yang berdasarkan pada konteks di Inggris waktu itu, pada tahun 1651 Hobbes menerbitkan karya
besarnya yang disebut Leviathan. Gagasan Leviathan Hobbes ini adalah kata kunci terpenting
dalam tulisan ini.

Hobbes memulai pemikirannya tentang negara dengan membaca sifat dasar setiap orang.
Menurutnya, manusia adalah makhluk yang antisosial dan egoistis. Kepentingan dirinya selalu
bertabrakan dengan kepentingan orang lain. Oleh karenanya, selalu ada persaingan untuk
memperebutkan sumber-sumber yang langkah. Bahkan demi kelangsungan hidupnya, ia
berambisi untuk menguasai orang lain. Hobbes menganggap kekuasaan sebagai sarana untuk
mewujudkan pemeliharaan diri. Karena sikap ini, maka situasi sosial masyarakat terlukis dalam
kalimat bellum omnium contra omnia. Dalam situasi perang semua melawan semua, manusia
adalah serigala bagi sesamanya (homo hominis lupus).8

Untuk menjamin keamanan, setiap orang mengadakan kontrak sosial dengan yang lain.
Melalui kontrak tersebut, mereka sepakat untuk mengangkat penguasa tunggal yang disebut
negara. Negara yang didirkan itu menjalankan kekuasaannya secara tak terbatas dan mutlak.
Negara model Hobbes ini tentu saja tidak bisa dilawan. Jika sampai mucul perlawanan dari
manusia-manusia yang telah bersepakat tadi, penguasa dapat melakukan tindakan-tindakan
tertentu demi mempertahankan kekuasaannya.9 Kewenangan negara yang besar ini
menjadikannya serupa raksasa di lautan yang disebut Leviathan. Sebagai raksasa, negara
Leviathan tentu saja tampil secara menyeramkan. Ia memiliki kekuasaan besar yang dapat
membungkam kebebasan.

Hobbes menulis, “Siapa yang diserahi kekuasaan tertinggi, tidak terikat pada hukum
negara (karena itu akan berarti bahwa ia berkewajiban terhadap dirinya sendiri) dan tidak
memiliki kewajiban terhadap seorang warga negara.” Tidak ada kemungkinan untuk naik
banding dengan negara. Dan negara Leviathan tidak dapat bertindak tidak adil, karena yang
dianggap jahat atau buruk ditentukan oleh hukum negara. Negara Hobbes ini dijuluki “manusia

7
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 246-248
8
F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Yogyakarta: Kanisius, 2022), hlm. 71.
9
Thomas Hobbes, “Leviathan” dalam Andi Tarigan, Tumpuan Keadilan Rawls (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2018), hlm. 27.
buatan” dan “Deus Mortalis” Allah yang dapat mati. Negara itu manusia buatan karena memiliki
kehidupan dan kehendak sendiri. Ia bagaikan Allah karena dapat bertindak seperti tuan atas
hidup dan mati manusia.10 Jadi kita bisa melihat betapa besarnya kekuasaan negara Leviathan ini.
Ia menjadi acuan konsep kebenaran dan keadilan di negara tersebut. Tidak ada konsep kebenaran
yang bersifat partikular sebab semuanya diatur oleh negara. Oleh karena itu kebebasan
berpendapat menjadi tidak mungkin.

Leviathan Membungkam Teriakan “Sambo”

Dari catatan tentang negara Leviathan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa negara
model Hobbes itu cenderung menjadi sangat berkuasa dan otoriter. 11 Di dalam suatu wilayah
negara itu, hanya Leviathan sajalah yang berkuasa, dia adalah allah dan bersifat infalibel. Dia
adalah sintese dari tingkah laku manusia yang hanya dikuasi oleh nasfu untuk saling menguasai.
Untuk menjaga stabilitasnya, Leviathan harus memiliki kekuasaan yang absolut dan kekerasaan
adalah senjata Leviathan yang harus selalu ada. Negara Leviathan dijalankan menurut
kekuasaan, bukan oleh hukum yang berlaku, sebab hukum itu dibentuk oleh pihak yang
berkuasa.12 Dasar pendirian negara Leviathan ini tentu saja tidak sesuai dengan konteks kita di
Indonesia karena demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan masyarakat. Negara tidak bisa
seratus persen menguasai masyarakat. Sebaliknya, masyarakat memiliki kebebasan untuk
menentukan pilihannya dan berwenang mengontrol negara.

Interogasi negara (dalam hal ini aparat kepolisian) terhadap para mahasiswa dalam
bagian pengantar di atas adalah tindakan yang tidak menghargai kebebasan. Tindakan demikian
tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Interogasi yang demikian menggambarkan kekuasaan
negara yang hendak mendominasi perilaku masyarakat. Menarik bahwa pembungkaman itu
dilakukan secara bertahap. Pertama dengan mendatangi dan bertanya, lalu menyumpahi dan
karena tidak puas, polisi mendatangi kediaman para mahasiswa. Kentara sekali terlihat di sini
bahwa polisi ingin menunjukkan kekuasaannya dengan mencari banyak cara untuk
membenarkan dirinya. Nama “Sambo” yang menyinggung polisi di atas bertalian dengan kasus
Fredy Sambo, Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang ditetapkan sebagai tersangka terkait kematian Brigadir Nofriansyah Yosua
10
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 256.
11
Otto Gusti Madung, op. cit., hlm. 172.
12
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 263.
Hutabarat. Tindakan perwira tinggi kepolisian seperti Sambo ini tentu menyeret nama baik
instansi kepolisian secara khusus dan negara itu.

Dalam berita yang dipublikasikan oleh Media online Floresa di atas diuraikan juga
sejumlah tuntuan warga atas keadilan dan transparasi negara dalam menangani kasus-kasus yang
ada sejak kasus Sambo menjadi viral. Salah satu contohnya terjadi dalam acara konser Iwan Fals
di Depok pada 3 September lalu. Saat Iwan mengucapkan terima kasih kepada pihak kepolisian
yang sudah memberikan izin dan pengamanan, para penggemarnya spontan meneriakkan kata
Sambo.13 Teriakan ini bukanlah sebuah penghinaan, tetapi sebentuk catatan evaluatif terhadap
kinerja polisi. Jika demikian yang dipikirkan oleh semua polisi kita, tentu repsons yang tepat
adalah melakukan evaluasi dan refleksi secara internal. Namun beberapa contoh yang diberitakan
Media Floresa menerangkan ketakmampuan aparat kepolisian dalam menangkap sinyal kritis
warga negara. Menurut catatan Floresa tersebut, pada pekan yang sama dengan kejadian di
Maumere tadi, seorang oknum polisi menembak mati seorang pemuda berusia 18 tahun di Polres
Belu. Di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, oknum polisi memukul dan menangkap
pelaku wisata yang menggelar aksi mogok menentang komersialisasi dan monopoli bisnis di
Taman Nasional Komodo pada 1 Agustus 2022.14 Masih ada banyak contoh lain yang bisa kita
temukan di sana berkaitan dengan pemanfaatan kekuasaan negara dengan tindakan kekerasan
pada warga negaranya.

Dari catatan yang diuraikan ini, terbaca adanya spirit Leviathan yang mendekap dalam
tubuh instansi polisi sebagai manifestasi negara. Polisi menganggap diri sebagai instansi yang
memiliki ‘senjata’ sehingga bebas bertindak keras atas nama ketertiban. Situasi ini sebetulnya
sudah terstruktur sejak masa Orde Baru. Pada masa itu, kekuasaan bekerja sama dengan militer
untuk memaksakan peraturan kepada masyarakat. Kekerasan menjadi tekanan sosial yang
mewarnai hidup harian. Kekerasan pula yang memengaruhi kehidupan psikis masyarakat. 15 Saat
ini aksentuasi pada aktualisasi demokrasi semakin banyak disuarakan, tetapi dominasi negara
belum sepenuhnya pupus. Akar dari dominasi ini ada pada kekuasaan negara. Oleh karena itu,
kekuasaan negara di satu sisi menjadi peluang berdemokrasi secara baik, tetapi juga menjadi
tantangan bagi demokrasi itu sendiri.

13
Tim Redaksi Floresa, op. cit.
14
Ibid.
15
Lih. Sidhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 173-174.
III. Kekuasaan Negara sebagai Peluang dan Tantangan Demokrasi

Persoalan seputar kekuasaan negara telah menjadi tema pemikiran sejak zaman Yunani
klasik. Misalnya Plato dan Aristoteles menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan yang
besar untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Pembahasan demikian
terus berlanjut pada Abad Pertengahan yang mengharuskan negara tunduk pada Gereja. Pada
zaman modern mulai muncul pemikiran yang memisahkan negara dari agama, hingga muncul
Karl Marx yang berbicara soal negara dan kekuasaannya untuk merealisasikan masyarakat
sosialis.16 Tentu saja ada begitu banyak pemikir yang berbicara tentang persoalan di atas hingga
abad 21 ini. Kekuasaan negara yang dimaksud berkaitan dengan hak-hak negara dalam
mengeluarkan kebijakan dan tindakan yang perlu demi kemajuan seturut cita-citanya. Kebijakan
itu sendiri merupakan keputusan-keputusan publik yang diambil oleh negara dan dilaksanakan
oleh aparat birokrasi.17

Di Indonesia, negara melalui kementerian pendidikan mengeluarkan kebijakan yang


berkaitan dengan program Merdeka Belajar. Kebijakan ini disambut baik karena memberi ruang
dan peluang bagi mahasiswa-mahasiswi untuk belajar bidang ilmu yang diminati selain program
studi yang sedang dipelajari. Dalam program demikian, nilai kebebasan menjadi poin penting
yang hendak diperjuangkan. Kebebasan merupakan hak setiap orang dan negara menegaskan itu
melalui kebijakannya seperti Merdeka Belajar. Di sini kita bisa membaca secara sekilas bahwa,
sebelum adanya kebijakan Merdeka Belajar ini, kebebasan mahasiswa-mahasiswi dalam belajar
terbatas. Sebaliknya, setelah kebijakan ini diluncurkan, ruang kebebasan itu diperluas. Ada
semacam monopoli kebebasan warga negara yang terbaca dari tindakan negara ini. Negara
memiliki kuasa untuk membatasi dan meluaskan kebebasan warga negaranya. Terhadap hal ini,
di satu sisi kita bisa mengacungkan jempol karena negara membuka ruang kebebasan yang
semakin sesuai dengan tuntutan kebutuhan kita. Namun di sisi lain, kewenangan negara itu dapat
berubah menjadi kekuasaan yang sewenang-wenang untuk mendominasi masyarakat. Kekuasan
yang berlebihan ini menjadi batu sandungan bagi kemajuan negara, sebab negara ini dapat hidup
dan maju jika menimbah pemikiran dari masyarakatnya.

16
Arief Budiman, Teori Negara. Negara, Kekuasaan, dan Ideologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm.
6-7.
17
Ibid., hlm. 89.
Tindakan represif negara terhadap mahasiswa seperti dalam contoh pertama dapat
menjadi pemantik yang menggagalkan program Merdeka Belajar yang mulai dijalankan di
perguruan-perguruan tinggi. Alasannya, sebuah negara demokrasi sepantasnya menyiapkan
ruang bagi setiap warganya (termasuk mahasiswa) untuk bertumbuh dalam kebebasan. Negara
yang represif menerapkan model tiran (atau model Leviathan Hobbes) yang sebenarnya tidak
layak disebut pendidikan. Pendidikan yang non-represif diberdaya untuk dapat secara bebas
menentukan pilihan-pilihan secara jujur, toleran dan bertanggung jawab.18 Negara di satu sisi
memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk belajar seturut minat, tetapi di sisi lain membatasi
bahkan mencoba untuk membungkam kebebasan mahasiswanya. Di sini negara memberikan
contoh yang keliru bagi perkembangan karakter generasi baru.

IV. Penutup

Tulisan di atas berangkat dari kasus interogasi aparat kepolisian terhadap sejumlah
mahasiswa di Maumere. Hal tersebut menjadi sebuah keprihatinan di negara demokrasi ini.
Tindakan yang dinilai represif itu mengindikasikan bahwa Indonesia belum demokratis. Padalah
di sisi lain, negara dalam hal ini Kementerian Pendidikan telah membuka ruang kebebasan
melalui program Merdeka Belajar. Sasaran program ini adalah para mahasisa-mahasiswi. Namun
dapatkah negara menjamin bahwa mahasiswa-mahasiswi dapat berpartisipasi secara baik dalam
mendukung program ini sementara di lain sisi negara sendiri masih terus membatasi
kebebasannya.

Daftar Pustaka

Baghi, Felix, ed. Kewarganegaraan Demokratis. Maumere: Ledalero, 2009.

Budiman, Arief. Teori Negara. Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1996.

Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta:


Kanisius, 2022.

Jehadu, Serafinus Sandi Hayon. “Dituding Teriakkan Nama “Sambo”, Belasan Mahasiswa di
Sikka Diinterogasi Polisi, Kapolres Minta Maaf”, dalam Kompas,
18
Felix Baghi (ed.), Kewarganegaraan Demokratis (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. xxiii.
https://regional.kompas.com/read/2022/09/30/145146478/dituding-teriakkan-nama-
sambo-belasan-mahasiswa-di-sikka-diinterogasi, diakses pada 17 Oktober 2022.

Madung, Otto Gusti. Politik antara Legalitas dan Moralitas. Maumere: Ledalero, 2009.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Politik. Prinsip Moral Dasar Kenegaraan ModernI. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2019.

Sidhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Tarigan, Andi. Tumpuan Keadilan Rawls. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018

Tim Redaksi Floresa, “Teriakan Sambo dan Represi untuk Frater di Ledalero, NTT: Bagaimana
Sebaiknya Respons Polisi”, dalam Floresa-Kritis, Independen,
https://www.floresa.co/2022/10/01/teriakan-sambo-dan-represi-untuk-frater-di-ledalero-
ntt-bagaimana-sebaiknya-respons-polisi/, diakses pada 17 Oktober 2022.

Anda mungkin juga menyukai