Anda di halaman 1dari 20

BAB II

ACUAN TEORITIK

2.1. Deskripsi Teoritik


2.1.1. Berpikir Kritis
2.1.1.1. Pengertian Berpikir Kritis
Menurut Dewey (1910: 9), berpikir kritis secara esensial adalah sebuah proses aktif,
proses dimana memikirkan berbagai hal secara lebih mendalam, mengajukan berbagai
pertanyaan, menemukan informasi yang relevan, dan lain-lain. Menurut Glaser dalam
Fisher (2008: 3), mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut: (1) suatu sikap ingin
berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam
jangkauan pengalaman seseorang, (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan
dan penalaran yang logis, (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-
metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan
atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan
lanjutan yang diakibatkannya.
Sedangkan menurut Ennis dalam Fisher (2008: 4), berpikir kritis adalah pemikiran
yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya
atau dilakukan. Berpikir kritis merupakan proses mental yang terorganisasi dengan baik
dan berperan dalam proses mengambil keputusan untuk memecahkan masalah dengan
menganalisis dan menginterpretasi data dalam kegiatan inkuiri ilmiah (Nurhayati, 2011:
67).
Berpikir kritis adalah kemampuan intelektual, tetapi kebiasaan berpikir kritis adalah
suatu perilaku afektif. Seorang peserta didik mendapat kesempatan melatih potensi
berpikir kritisnya melalui berbagai kesempatan dalam proses pendidikan di berbagai
materi pelajaran. Hasilnya peserta didik mungkin saja memiliki kemampuan berpikir kritis
pada jenjang mahir atau profiency (Hasan, 2008: 143).
Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran dari kejadian-
kejadian dan informasi yang mengelilingi mereka setiap hari. Menurut Santrock (2011: 11)
berpikir kritis merupakan berpikir reflektif dan produktif dan melibatkan evaluasi bukti.
Sementara itu menurut Wade dan Tavris (2016: 7), berpikir kritis (critcal Thinking) adalah
kemampuan dan kesediaan untuk membuat penilaian sejumlah pernyataan dan membuat
2

keputusan objektif berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang sehat dan fakta-


kfakta yang mendukung, bukan berdasarkan pada emosi dan anekdot.
Berdasarkan definisi berpikir kritis yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka
berpikir kritis merupakan suatu proses untuk memilih informasi, menganalisis,
memecahkan masalah, mengevaluasi dan membuat keputusan dengan alasan-alasan
rasional yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berpikir kritis sangat diperlukan oleh setiap individu untuk menyikapi permasalahan
kehidupan yang dihadapi. Dalam berpikir kritis, seseorang dapat mengatur, menyesuaikan,
mengubah, atau memperbaiki pikirannya sehingga dia dapat bertindak lebih tepat. Seorang
yang berpikir kritis adalah orang yang terampil penalarannya. Orang yang berpikir kritis
akan memutuskan dan berpikir rasional melalui beberapa pandangan terhadap suatu
konteks yang berbeda. Orang yang berpikir kritis juga tidak membiarkan orang lain
mengambil keputusan untuknya, mereka akan memutuskannya sendiri dan konsisten
terhadap keputusannya.

2.1.1.2. Karakteristik Dalam Berpikir Kritis


Menurut Bayer dalam Nurhayati (2011: 68), berpikir kritis dapat diidentifikasi
berdasarkan 6 karakteristik yaitu watak, kriteria, argumen, pertimbangan pemikiran, sudut
pandang dan prosedur. Adapun penjelasan dari masing-masing karakteristik tersebut
sebagai berikut:
1. Watak
Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap
skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data
dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandang-pandangan
lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang
dianggapnya baik.
2. Kriteria
Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk
sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercaya.
Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan
mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka
haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber
yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten,
dan pertimbangan matang.
3

3. Argumen
Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data
keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan
menyusun argument.
4. Pertimbangan Pemikiran
Kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis.
Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau
data.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan
menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan
memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
6. Prosedur
Proedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur
tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan
diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.
Menurut Ruggiero (2004: 18-19), ada 10 karakteristik dalam berpikir kritis
diantaranya: (1) berani mengambil keputusan tanpa adanya pengaruh dari luar, (2)
keterampilan dalam bertanya dengan pertanyaan yang relevan, (3) fokus terhadap suatu
tujuan, (4) memeriksa sesuatu dengan cermat atau teliti, (5) mengendalikan pikiran secara
aktif maupun pasif, (6) mengenal batas kemampuannya, (7) menganggap masalah sebagai
tantangan yang harus dihadapinya, (8) memutuskan sesuatu berdasarkan bukti, (9)
berusaha memahami pada proses dalam menemukan jawaban, (10) berpikir sebelum
bertindak.
Sedangkan menurut Ennis dalam Hassoubah (2004: 91), terdapat 13 karakteristik
berpikir kritis diantaranya: (1) mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan, (2)
mencari alasan, (3) berusaha mengetahui informasi dengan baik, (4) memakai sumber yang
memiliki kredibilitas dan menyebutkannya, (5) memperhatikan situasi dan kondisi secara
keseluruhan, (6) berusaha tetap relevan dengan ide utama, (7) mengingat kepentingan yang
asli dan mendasar, (8) mencari alternatif, (9) bersikap dan berpikir terbuka, (10)
mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu, (11) mencari
penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan, (12) bersikap secara sistematis dan
4

teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalah, (13) peka terhadap tingkat
keilmuan dan keahlian orang lain.
Berdasarkan karakteristik berpikir kritis yang dijelaskan diatas, maka orang yang
berpikir kritis akan mencari, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membuat
kesimpulan berdasarkan fakta kemudian melakukan pengambilan keputusan.

2.1.1.3. Indikator-Indikator Dalam Berpikir Kritis


Menurut Ennis dalam Costa (1991: 68), indikator kemampuan berpikir kritis dapat
diturunkan dari aktivitas kritis siswa yang meliputi: mencari pernyataan yang jelas dari
pertanyaan, mencari alasan, berusaha mengetahui informasi dengan baik, menggunakan
sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya, memperhatikan situasi dan
kondisi secara keseluruhan, berusaha tetap relevan dengan ide utama, mengingat
kepentingan yang asli dan mendasar, mencari alternatif, bersikap dan berpikir terbuka,
mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu, mencari
penjelasan sebanyak mungkin, bersikap secara sistematis dan teratur dengan bagian dari
keseluruhan masalah.
Sedangkan dari 12 indikator berpikir kritis tersebut, Ennis dalam Costa (1991: 69)
mengidentifikasi menjadi 5 kelompok yaitu memberikan penjelasan sederhana,
membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan lanjut, serta
mengatur strategi dan taktik. Adapun penjelasan dari ke lima indikator tersebut sebagai
berikut:
1. Memberikan penjelasan sederhana
Meliputi memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta
menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan.
2. Membangun keterampilan dasar
Meliputi mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak, serta
mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
3. Menyimpulkan
Meliputi mendeduksikan dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksikan dan
mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan menentukan nilai pertimbangan.
4. Memberikan penjelasan lanjut
Meliputi mendefinisikan istilah-istilah dan pertimbangan, serta mengidentifikasi
asumsi.
5. Mengatur strategi dan taktik
5

Meliputi menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.


Menurut Edward Glaser dalam Fisher (2008: 7), terdapat 12 indikator dalam berpikir
kritis diantaranya: (1) mengenal masalah, (2) menemukan cara-cara yang dapat dipakai
untuk menangani masalah-masalah itu, (3) mengumpulkan dan menyusun informasi yang
diperlukan, (4) mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan, (5)
memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas, (6) menganalisis data, (7)
menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan, (8) mengenal adanya hubungan
yang logis antara masalah-masalah, (9) menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-
kesamaan yang diperlukan, (10) menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan
yang seseorang ambil, (11) menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan
pengalaman yang lebih luas, dan (12) membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan
kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun menurut Beyer dalam Hassoubah (2004: 92), ada tujuh indikator dalam
berpikir kritis yang meliputi: (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan
antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4)
mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi
bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, (7) mengevaluasi bukti yang
ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
Sedangkan menurut Orlich dalam Nurhayati (2011: 69), terdapat 8 indikator berpikir
kritis yang diantaranya: (1) mengobservasi, (2) mengidentifikasi pola, hubungan,
hubungan sebab-akibat, asumsi, alasan, logika, dan bias, (3) membangun kriteria dan
mengklasifikasi, (4) membandingkan dan membedakan, (5) menginterpretasikan, (6)
meringkas, (7) menganalisis, menyintesis, menggeneralisasi, membuat hipotesis, (8)
membedakan data yang relevan dengan yang tidak relevan, data yang dapat diverifikasi
dan yang tidak, membedakan masalah dengan pernyataan yang tidak relevan.
Berdasarkan indikator-indikator berpikir kritis yang telah dipaparkan diatas, maka
aspek dan indikator kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini
mengambil dari pendapatnya Ennis dalam Costa (1991: 69) sebagai berikut:
1. Memberikan penjelasan sederhana
Memberikan penjelasan sederhana cara menemukan rumus luas permukaan kubus.
2. Membangun keterampilan dasar
Membangun keterampilan dasar menentukan kebenaran sifat-sifat balok.
3. Menyimpulkan
Menyimpulkan dari hasil perhitungan volume kubus.
6

4. Memberikan penjelasan lanjut


Memberikan penjelasan lanjut dalam menghitung volume kubus dan balok.

5. Mengatur strategi dan taktik


Mengatur strategi dan taktik dalam menghitung volume kubus serta luas permukaan
kubus dan balok.

2.1.2. Gaya Kognitif Siswa


2.1.2.1. Pengertian Gaya Kognitif
Kognitif menurut Nurhayati (2011: 16) dapat berarti kecerdasan, berpikir, dan
mengamati, yaitu tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau
yang diperlukan untuk menggunakan pengetahuan. Menurut Irvaniyah dan Widodo (2015:
101) kecerdasan merupakan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi dan mencari serta memecahkan jalan keluar sampai masalah itu selesai dengan
cara menggunakan potensi yang dimilikinya.
Piaget memandang perkembangan intelektual atau kemampuan kognitif manusia
terjadi melalui empat tahap yaitu sensorimotor (usia dari lahir – 2 tahun), preoperational
(usia 2-7 tahun), concrete operational (usia 7-11 tahun) dan formal operational (usia 11-
15 tahun) (Nurhayati, 2011: 34).
Kecerdasan setiap individu berbeda-beda dan ini mempengaruhi tahap pembelajaran
di sekolah. Perbedaan ini dinamakan gaya kognitif (Yahya, 2005: 82). Menurut Borich dan
Tombari dalam Razali, Jantan dan Hashim (2003: 183), gaya kognitif adalah cara individu
memproses dan berpikir perkara yang dipelajarinya. Menurut James dalam Uno (2006:
185), gaya kognitif merupakan cara siswa yang khas dalam belajar, baik yang berkaitan
dengan cara penerimaan dan pengelolaan informasi, sikap terhadap informasi, maupun
kebiasaan yang berhubungan dengan lingkungan belajar.
Gaya kognitif menurut Joyce (2003: 279), merupakan salah satu variabel kondisi
belajar yang menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam merancang pembelajaran.
Pengetahuan tentang gaya kognitif dibutuhkan untuk merancang atau memodifikasi materi
pembelajaran, tujuan pembelajaran, serta metode pembelajaran. Diharapkan dengan
adanya interaksi dari faktor gaya kognitif, tujuan materi, serta metode pembelajaran, hasil
belajar siswa dapat dicapai semaksimal mungkin. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa
7

pakar yang menyatakan bahwa jenis strategi pembelajaran tertentu memerlukan gaya
belajar tertentu.
Beberapa batasan para ahli tentang gaya kognitif tersebut, diantaranya: (Uno, 2006:
186)

1. Witkin mengemukakan bahwa gaya kognitif sebagai ciri khas siswa dalam belajar.
2. Messich mengemukakan bahwa gaya kognitif merupakan kebiasaan seseorang dalam
memproses informasi.
3. Keefe mengemukakan bahwa gaya kognitif merupakan bagian dari gaya belajar yang
menggambarkan kebiasaan berprilaku yang relatif tetap dalam diri seseorang dalam
menerima, memikirkan, memecahkan masalah maupun dalam menyimpan informasi.
4. Ausburn merumuskan bahwa gaya kognitif mengacu pada proses kognitif seseorang
yang berhubungan dengan pemahaman, pengetahuan, persepsi, pikiran, imajinas, dan
pemecahan masalah.
5. Woolkof mengemukakan bahwa gaya kognitif seseorang dapat memperlihatkan
variasi individu dalam hal perhatian, penerima informasi, mengingat, dan berpikir
yang muncul atau berbeda diantara kognisi dan kepribadian. Gaya kognitif juga
merupakan pola yang terbentuk dengan cara mereka memproses informasi, cenderung
stabil, meskipun belum tentu tidak dapat berubah.
6. Shirley dan Rita menyatakan bahwa gaya kognitif merupakan karakteristik individu
dalam berpikir, merasakan, mengingat, memecahkan masalah, dan membuat
keputusan. Informasi yang tersusun baik, rapi, dan sistematis lebih mudah diterima
oleh individu tertentu. Individu lain lebih mudah menerima informasi yang tersusun
tidak terlalu rapi dan tidak terlalu sistematis.
Berdasarkan definisi gaya kognitif yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka
gaya kognitif merupakan kemampuan seseorang dalam menerima dan mengelola informasi
yang diperolehnya untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya.
Gaya kognitif menunjukkan adanya variasi antarindividu dalam pendekatannya
terhadap satu tugas, tetapi variasi itu tidak menunjukkan tingkat inteligensi atau
kemampuan tertentu. Sebagai karkteristik perilaku, karakteristik individu yang memiliki
gaya kognitif yang sama belum tentu memiliki kemampuan yang sama. Apalagi individu
yang memiliki gaya kognitif yang berbeda, kecenderungan perbedaan kemampuan yang
dimilikinya lebih besar (Uno, 2006: 186).
8

Pandangan Reigeluth dalam Uno (2006: 189), bahwa dalam variabel pengajaran,
gaya kognitif merupakan salah satu karakteristik siswa yang masuk dalam variabel kondisi
pembelajaran, disamping karakteristik siswa lainnya seperti motivasi, sikap, bakat, minat,
kemampuan berpikir, dan lain-lain. Sebagai salah satu karakteristik siswa, kedudukan gaya
kognitif dalam proses pembelajaran penting diperhatikan guru atau perancang
pembelajaran sebab rancangan pembelajaran yang disusun dengan mempertimbangkan
gaya kognitif berarti menyajikan materi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan
potensi yang dimiliki siswa. Dengan rancangan seperti ini, suasana belajar akan tercipta
dengan baik karena pembelajaran tidak terkesan mengintervensi hak siswa. Selain itu,
pembelajaran disesuaikan dengan proses kognitif atau perkembangan kognitif siswa.
Greeno, Collins dan Resnick (1969: 16) mengemukakan bahwa penumbuhan dan
pengaktifan proses kognitif sangat erat hubungannya dengan karakteristik proses kognitif
siswa. Dengan demikian, untuk meningkatkan proses kognitif dalam diri siswa, diperlukan
perhatian terhadap karakteristik setiap individu siswa. Dalam rancangan pembelajaran
pengorganisasian model elaborasi dan pengorganisasian buku teks, sebelum rancangan
disusun, hal yang dilakukan guru terlebih dahulu adalah mengadakan pengetesan terhadap
karakteristik siswa yang diarahkan pada pengetesan tentang gaya kognitif. Dengan
pengetesan gaya kognitif tersebut, guru atau perancang pembelajaran dapat mengetahui
tentang gaya kognitif yang dimiliki siswa.
Berdasarkan uraian tentang gaya kognitif tersebut, dapat diartikan bahwa gaya
kognitif merupakan kapabilitas seseorang yang berkembang seiring dengan perkembangan
kecerdasannya. Bagi siswa, gaya kognitif tersebut sifatnya given dan dapat berpengaruh
pada hasil belajar mereka. Dalam hal ini, siswa yang memiliki gaya kognitif tertentu
memerlukan strategi pembelajaran tertentu pula untuk memperoleh hasil belajar yang baik.
Menurut Uno (2006: 186) setiap individu memiliki gaya yang berbeda ketika
memproses informasi. Todd (1982: 238) menyatakan bahwa gaya kognitif adalah langkah
individu dalam memproses informasi melalui strategi responsif atas tugas yang diterima.
Pada bagian lain Woolfolk (2005: 32) menunjukkan bahwa di dalam gaya kognitif terdapat
suatu cara yang berbeda untuk melihat, mengenal, dan mengorganisasi informasi. Setiap
individu akan memilih cara yang disukai dalam memproses dan mengorganisasi inforamsi
sebagai respons terhadap stimuli lingkungannya. Ada individu yang cepat merespons dan
ada pula yang lambat. Cara-cara merespons ini juga berkaitan dengan sikap dan kualitas
personal.
9

2.1.2.2. Pengelompokan Gaya Kognitif Siswa


Menurut Keefe dalam Uno (2006: 187), gaya kognitif dapat dipilah dalam dua
kelompok, yaitu gaya dalam menerima informasi (reception style) dan gaya dalam
pembentukan konsep dan retensi (conept formation and retention style). Gaya dalam
menerima informasi lebih berkaitan dengan persepsi dan analisis data, sedangkan gaya
dalam pembentukan konsep dan retensi mengacu pada perumusan hipotesis, pemecahan
masalah, dan proses ingatan. Keefe juga menambahkan, bahwa gaya kognitif juga
merupakan bagian dari gaya belajar, dan gaya belajar berhubungan (namun berbeda)
dengan kemampuan intelektual. Terdapat perbedaan antara kemampuan (ability) dan gaya
(style). Kemampuan mengacu pada isi kognisi yang menyatakan macam informasi apa
yang telah diproses, dengan langkah bagaimana, dan dalam bentuk apa. Sedangkan gaya
lebih mengacu pada proses kognisi yang menyatakan bagaimana isi informasi tersebut
diproses.
Pengelompokan gaya kognitif tersebut menurut Keefe didasarkan atas empat dimensi
gaya kognitif yang dikaji dari beberapa hasil penelitian. Empat dimensi gaya kognitif
dalam menerima informasi tersebut meliputi:
1. Perceptual modality preference, yaitu gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan
dan kesukaan seseorang dalam menggunakan alat indranya. Khususnya kemampuan
melihat gerakan secara visual atau spasial, pemahaman auditory atau verbal;
2. Field dependent-field independent, yaitu gaya kognitif yang mencerminkan cara
analisis seseorang dalam interaksi dengan lingkungan;
3. Scanning, yang menggambarkan kecenderungan seseorang dalam menitikberatkan
perhatiannya pada suatu informasi;
4. Strong and weakness automatization, yang merupakan gambaran kapasitas seseorang
untuk menampilkan tugas (task) secara berulang-ulang.
Di dalam matematika, informasi yang disajikan dapat berupa simbol verbal dan
simbol visual. Penerimaan informasi berupa symbol verbal dan symbol visual ini termasuk
pada perceptual modality preference, informasi tersebut dapat diterima oleh siswa bisa
berbeda tergantung pada gaya kognitifnya. McEwan dan Reynolds (2007: 4) menyatakan
bahwa gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan seseorang menggunakan alat
indranya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu visualizer dan verbalizer. Gaya kognitif
visualizer dan verbalizer dikembangkan pertama kali oleh Paivio.
Berdasarkan uraian tentang pengelompokan gaya kognitif tersebut, maka
pengelompokan gaya kognitif ini bertujuan untuk membedakan kemampuan seseorang
10

dalam menerima informasi. Pengelompokan gaya kognitif ini penting terutama dalam
bidang pendidikan, karena guru dapat dengan mudah mengetahui tipe-tipe gaya kognitif
yang miliki oleh masing-masing siswa dalam belajar.

2.1.2.3. Gaya Kognitif Visualizer


Visualizer berasal dari kata visual, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013:
1549) visual artinya bentuk yang dapat dilihat dengan indra penglihatan (mata).
Penglihatan (visi) berisi lebih banyak informasi secara detail daripada indera lainnya.
Menurut studi EEG (electro-encepha-lographic), delapan puluh persen dari area otak
terlibat dalam respon visual, lebih banyak daripada indera lainnya. Itu berarti bahwa
hampir semua respons visual terjadi dalam bagian-bagian otak yang secara konvensional
tidak disadari dan dianggap tak dapat diakses (Wenger, 2004: 293-294).
Menurut Sari dan Budiarto (2016: 40), gaya kognitif visualizer merupakan
kemampuan dalam menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi
dalam bentuk gambar maupun grafik. Beberapa siswa mampu mengolah informasi dengan
baik menggunakan gambar, yang disebut dengan Gaya kognitif visualizer (Mayer &
Massa, 2003: 833).
Individu yang memiliki gaya kognitif visualizer cenderung lebih banyak berpikir
dalam bentuk gambar, mengilustrasikan sesuatu dengan gambar, serta memahami dan
menyukai permainan visual, seperti teka-teki (Mendelson, 2004: 86). Sedangkan menurut
Blazhenkova dan Konzhevnikov (2009: 3), individu dengan gaya kognitif visualizer
mudah memproses informasi dengan tampilan gambar, memahami gambaran objek dalam
dimensi ruang.
Menurut Rose dan Nicholl (2006: 137), ketika informasi diserap oleh seseorang
dengan gaya kognitif visualizer, kebanyakan dari mereka memvisualisasikan gambar
dalam pikiran mereka kemudian membuat sketsa atau peta konsep dalam menyajikan
gagasan-gagasan baru.
Ciri-ciri seseorang dengan gaya kognitif visualizer yang menjadi indikator-indikator
gaya kognitif visualizer dalam penelitian ini diantaranya: kemampuan memahami sesuatu
dalam bentuk gambar atau grafik, kemampuan mengingat sesuatu secara visual, berpikir
secara visual, rapi dan teratur terhadap aktivitas visual, teliti dan singkat dalam menjawab
pertanyaan (DePorter dan Hernacki, 2000: 116).
11

Berdasarkan uraian tentang gaya kognitif visualizer tersebut, maka gaya kognitif
visualizer merupakan kemampuan (ability) seseorang dalam merespon atau memahami
informasi dalam bentuk gambar atau grafik.

2.1.2.4. Gaya Kognitif Verbalizer


Verbalizer berasal dari kata verbal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013:
1546) verbal artinya secara lisan (bukan tertulis). Menurut Sari dan Budiarto (2016: 40),
gaya kognitif verbalizer merupakan kemampuan dalam menerima, memproses,
menyimpan, dan menggunakan informasi dalam bentuk pembahasaan teks atau tulisan.
Sedangkan menurut Irvaniyah dan Widodo (2015: 102), kecerdasan bahasa berisi
kemampuan untuk berpikir dan menggunakan bahasa dan kata-kata secara efektif, baik
secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan
gagasan-gagasannya.
Beberapa siswa mampu mengolah informasi dengan baik menggunakan kata-kata,
yang disebut dengan Gaya kognitif verbalizer (Mayer dan Massa, 2003: 833). Menurut
Mendelson (2004: 86), individu yang memiliki gaya kognitif verbalizer lebih cenderung
mengatakan dan akan lebih memilih untuk berkomunikasi kepada seseorang dengan
menunjukkan bagaimana mereka melakukannya.
Kendall dan Hollon (2013: 126) mengatakan bahwa karakteristik seseorang dengan
gaya kognitif verbalizer adalah mudah mengolah kata-kata dalam pikirannya, sulit
menggambarkan suatu objek dalam pikirannya, suka bercerita, fasih menjelaskan sesuatu
dengan lisan. Karena seorang verbalizer dapat dengan mudah mengolah kata-kata dalam
pikirannya, maka menurut Rose dan Nicholl (2006: 161), seorang verbalizer dapat
menerjemahkan apa yang di dengar atau di baca ke dalam kata-kata sendiri dan mampu
mengingat dari apa yang di dengar dan di lihat.
Ciri-ciri seseorang dengan gaya kognitif verbalizer yang menjadi indikator-indikator
gaya kognitif verbalizer dalam penelitian ini diantaranya : kemampuan memahami sesuatu
secara verbal, kemampuan mengingat sesuatu secara verbal, kemampuan berbicara,
kemampuan berpikir dalam mengolah kata, menjawab pertanyaan dengan jawaban rinci
(DePorter & Hernacki, 2000: 118).
Berdasarkan uraian tentang gaya kognitif verbalizer tersebut, maka gaya kognitif
verbalizer merupakan kemampuan (ability) seseorang dalam merespon atau memahami
informasi dalam bentuk kata-kata, pembahasaan teks atau tulisan.
12

2.1.3. Kemampuan Menyelesaikan Masalah Geometri


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013: 869), kemampuan merupakan
kesanggupan; kecakapan; dan kekuatan. Masalah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2013: 883) merupakan sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Sedangkan
menurut Siswono (2011: 9), masalah dapat diartikan sebagai suatu situasi atau pertanyaan
yang dihadapi seorang individu atau kelompok ketika mereka tidak mempunyai aturan,
algoritma/prosedur tertentu atau hukum yang segera dapat digunakan untuk menentukan
jawabannya.
Geometri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013: 442) merupakan cabang
matematika yang menerangkan sifat-sifat garis, sudut, bidang, dan ruang. Sedangkan
menurut Muhassanah, Sujadi, dan Riyadi (2014: 55), geometri merupakan salah satu
bidang kajian dalam materi matematika sekolah, adapun materi geometri SMP yang harus
dikuasai siswa sesuai standar isi yang memuat kompetensi dasar meliputi: hubungan antar
garis, sudut (melukis sudut dan membagi sudut), segitiga (termasuk melukis segitiga) dan
segi empat, teorema Phytagoras, lingkaran (garis singgung sekutu, lingkaran luar dan
lingkaran dalam segitiga, dan melukisnya), kubus, balok, prisma, limas, dan jaring-
jaringnya, kesebangunan dan kongruensi, tabung, kerucut, bola serta menggunakannya
dalam pemecahan masalah.
Menurut Amir dan Risnawati (2016: 93-96) tahap belajar anak dalam belajar
geometri berdasarkan teori Van Hiele adalah sebagai berikut:
1. Tahapan pengenalan (visualisasi), pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-
bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi, dan bangun-bangun geometri
lainnya.
2. Tahap analisis, pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-
bangun geometri.
3. Tahap pengurutan, pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang
terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
4. Tahap deduksi, pada tahap ini anak mampu mengambil kesimpulan secara deduktif,
yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus.
Pemecahan masalah merupakan perluasan yang wajar dari belajar aturan. Dalam
pemecahan masalah prosesnya terletak dalam diri pelajar. Memecahkan masalah dapat
dipandang sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah
dipelajarinya lebih dahulu yang digunakannya untuk memecahkan masalah yang baru.
13

Dalam memecahkan masalah pelajar harus berpikir, mencobakan hipotesis dan bila
berhasil memecahkan masalah itu ia mempelajari sesuatu yang baru (Nasution, 2013: 170).
Langkah-langkah yang diikuti dalam pemecahan masalah, pada umumnya seperti
yang dikemukakan oleh John Dewey dalam Nasution (2013: 171) yakni: (1) pelajar
dihadapkan dengan masalah, (2) pelajar merumuskan masalah itu, (3) pelajar merumuskan
hipotesa, (4) pelajar menguji hipotesa itu.
Secara umum untuk memecahkan masalah matematika, siswa bisa menggunakan
beberapa strategi-strategi khusus. Untuk beberapa kasus tertentu memerlukan keterampilan
khusus untuk pelaksanaan rencana dalam pemecahan masalah. Seperti pada permasalahan
geometri, keterampilan geometri siswa dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan
rencana dalam pemecahan masalah. Keterampilan geometri yang dimaksud adalah
keterampilan siswa dalam belajar geometri yang menurut Hoffer dalam Muhassanah,
Sujadi dan Riyadi (2014: 55) terdiri dari 5 keterampilan, yaitu: (1) keterampilan visual
(visual skill), (2) keterampilan verbal (descriptive skill), (3) keterampilan menggambar
(drawing skill), (4) keterampilan logika (logical skill), dan (5) keterampilan terapan
(applied skill). Dalam menyelesaikan permasalahan siswa dituntut untuk memiliki
keterampilan-keterampilan geometri tersebut.

2.2. Tinjauan Hasil Penelitian Yang Relevan


Untuk menghindari kekeliruan atau duplikasi dengan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya yang terdapat kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis, maka penulis mencoba mencari beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh
mahasiswa di beberapa perguruan tinggi. Hasil dari pencarian penulis terdapat empat buah
hasil penelitian yang terdapat kemiripan dengan masalah penelitian yang akan diteliti oleh
penulis, yaitu sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Budiarto (2016: 46-47) dengan judul Profil
Berpikir Kritis Siswa SMP dalam Menyelesaikan Masalah Geometri ditinjau dari
Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan profil berpikir kritis siswa SMP dalam menyelesaikan masalah
geometri ditinjau dari gaya kognitif visualizer dan verbalizer. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa profil berpikir kritis antara siswa dengan gaya kognitif visualizer
dan siswa dengan gaya kognitif verbalizer cenderung sama. Kedua subjek melalui
seluruh tahapan berpikir kritis. Pada tahap inferensi, siswa visualizer menemukan
langkah yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan menggunakan perhitungan
14

dan menggambar ilustrasi, sedangkan siswa verbalizer menyelesaikan permasalahan


menggunakan perhitungan dan perbandingan. Pada tahap strategi, siswa visualizer
memberikan alasan yang logis dalam memilih alternatif jawaban yang digunakan
sebagai solusi dari permasalahan berdasarkan kondisi nyata. Sedangkan siswa
verbalizer memberikan alasan yang logis dalam memilih alternatif jawaban
berdasarkan perhitungan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Dahlan (2013: 88) dengan judul Pengaruh Penerapan
Tes Formatif Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Pokok Bahasan
Bangun Datar Segiempat Kelas VII di SMP PUI Gegesik Kabupaten Cirebon. Dari
hasil penelitian diperoleh respon siswa terhadap penerapan tes formatif dalam
pembelajaran matematika didapat 31,95% sehingga termasuk ke dalam kategori
angket tidak baik karena <40%. Rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa dengan
aspek memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya dan menjawab
pertanyaan, klarifikasi dan pertanyaan yang menantang, mempertimbangkan
kredibilitas (kriteria) suatu sumber, mengobservasi dan mempertimbangkan hasil
observasi pada pokok bahasan bangun datar segiempat sebesar 58,833 yang termasuk
ke dalam kategori cukup. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada pengaruh positif
penerapan tes formatif terhadap kemampuan berpikir kritis siswa yaitu sebesar 18,8%
dan sisanya ditentukan oleh faktor lainnya.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Fauziah (2014: 78-79) dengan judul Perbandingan
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Antara Metode Probing Prompting dengan Metode
Konvensional dalam Pembelajaran Matematika Kelas VII di MTs. As Sunnah Kota
Cirebon. Dari hasil penelitian diperoleh aktivitas belajar siswa yang menggunakan
metode probing prompting menunjukkan bahwa siswa memiliki pemikiran yang baik,
dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai rata-rata dari aspek kemampuan berpikir kritis
yaitu 77,23% dengan kriteria kuat. Hasil belajar siswa yang menggunakan metode
probing prompting mempunyai nilai rata-rata 76,4687 dan hasil belajar siswa yang
menggunakan metode konvensional mempunyai nilai rata-rata 69,5625, hal ini
menunjukkan adanya perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan metode
probing prompting dan hasil belajar siswa yang menggunakan metode konvensional.
Hasil belajar matematika siswa yang menggunakan metode probing prompting yaitu
76,4687 yang berarti memenuhi standar KKM yaitu 75, karena (76,4687 > 75). Dari
hasil uji hipotesis yang menggunakan Paired Samples Test diperoleh thitung = 2,786
lebih besar dari ttabel = 2,036 (2,786 > 2,036), maka H 0 ditolak dan Ha diterima, yang
15

artinya bahwa terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan metode
probing prompting dengan hasil belajar siswa yang menggunakan metode
konvensional.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Maola (2016: 81) dengan judul Pengaruh Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Pair Check Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis
Siswa Pada Pembelajran Matematika. Dari hasil penelitian diperoleh hasil respon
siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe pair check memberi reaksi yang positif. Hal ini dapat dilihat dari
perolehan rata-rata presentase sikap siswa secara keseluruhan sebesar 71,8% yang
menunjukkan kriteria kuat. Diperoleh dari hasil tes bahwa nilai rata-rata tes
kemampuan berpikir kritis siswa adalah sebesar 68,14. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran matematika diinterpretasikan
dalam kategori cukup. Berdasarkan pengujian hipotesis dengan taraf keyakinan 95%
dan α = 5% diperoleh nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,000 < 0,05, maka sesuai dasar
pengambilan keputusan dalam uji independent sample t-test, maka disimpulkan H0
ditolak dan Ha diterima, yang artinya bahwa terdapat perbedaan yang lebih besar
antara rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa kelompok belajar pair check dengan
pembelajaran konvensional.
Dari keempat hasil penelitian diatas, terdapat kesamaan dengan penelitian yang akan
dilakukan penulis, yaitu “Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer” dan “Berpikir Kritis
Siswa”. Namun kelima hasil penelitian tersebut tidak ada yang persis sama dengan
masalah yang akan diteliti.
Tabel 2.1
Penelitian yang Relevan

No X Y
1 √ √
2 √
3 √
4 √

Hasil penelusuran yang pertama adalah mempunyai kesamaan dengan variabel X dan
variabel Y yaitu “Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer” dan “Berpikir Kritis Siswa”.
Namun perbedaannya, pada penelitian yang sudah dilakukan menggunakan metode
kualitatif dan tempat penelitian di SMP Negri 1 Krian, sedangkan penelitian yang akan
16

dilakukan menggunakan metode kuantitatif dan tempat penelitian di MTs. Daru’ul Hikam
Kota Cirebon. Aspek berpikir kritis yang digunakan pada penelitian yang sudah dilakukan
adalah klarifikasi, asesmen, inferensi, dan strategi akan tetapi berbeda dengan aspek
berpikir kritis yang digunakan pada penelitian yang akan dilakukan yaitu memberikan
penjelasan sederhana, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, memberikan
penjelasan lanjut, serta mengatur strategi dan taktik.
Hasil penelusuran yang kedua adalah mempunyai kesamaan terhadap variabel Y
yaitu “Berpikir Kritis Siswa”. Namun perbedaannya, aspek berpikir kritis yang digunakan
pada penelitian yang sudah dilakukan adalah memfokuskan pertanyaan, menganalisis
argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan, klarifikasi dan pertanyaan yang menantang,
mempertimbangkan kredibilitas (kriteria) suatu sumber, mengobservasi dan
mempertimbangkan hasil observasi. Sedangkan aspek berpikir kritis yang digunakan pada
penelitian yang akan dilakukan yaitu memberikan penjelasan sederhana, membangun
keterampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan lanjut, serta mengatur strategi
dan taktik. Adapun berbeda pada variabel X. Penelitian yang sudah dilakukan yaitu dengan
variabel X “Penerapan Tes Formatif” akan tetapi penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis yaitu dengan variabel X “Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer”.
Hasil penelusuran yang ketiga adalah mempunyai kesamaan terhadap variabel Y
yaitu “Berpikir Kritis Siswa”. Namun perbedaannya, aspek berpikir kritis yang digunakan
pada penelitian yang sudah dilakukan adalah menganalisis, inferensi, memecahkan
masalah, dan mengevaluasi. Sedangkan aspek berpikir kritis yang digunakan pada
penelitian yang akan dilakukan yaitu memberikan penjelasan sederhana, membangun
keterampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan lanjut, serta mengatur strategi
dan taktik. .akan tetapi berbeda di variabel X. Penelitian yang sudah dilakukan yaitu
bervariabel X “efektivitas metode probing prompting” akan tetapi penelitian yang akan
dilakukan oleh penulis yaitu variabel X “Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer”.
Hasil penelusuran yang keempat adalah mempunyai kesamaan terhadap variabel Y
yaitu “Berpikir Kritis Siswa” akan tetapi berbeda di variabel X. Penelitian yang sudah
dilakukan yaitu bervariabel X “model pembelajaran kooperatif tipe pair check” akan tetapi
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yaitu variabel X “Gaya Kognitif Visualizer
dan Verbalizer”.
17

2.3. Kerangka Pemikiran


Berpikir kritis merupakan suatu proses untuk memilih informasi, menganalisis,
memecahkan masalah, mengevaluasi dan membuat keputusan dengan alasan-alasan
rasional yang dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan berpikir kritis siswa sangat
perlu dikembangkan demi keberhasilan mereka dalam pendidikan. Kemampuan berpikir
kritis juga perlu dilatih kepada siswa melalui pembelajaran, khususnya pada mata
pelajaran matematika. Kemampuan berpikir kritis dapat dilatihkan dengan cara
menghadapkan siswa pada masalah-masalah yang sifatnya menantang seperti masalah
geometri. Berpikir kritis dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman lebih
mendalam terhadap materi yang dipelajari, siswa tidak sebatas paham terhadap materi
yang disampaikan oleh guru, namun siswa menyelesaikan permasalahan atau soal-soal
yang lebih kompleks dengan mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.
Dalam menyelesaikan masalah atau soal-soal yang lebih kompleks tentunya setiap
siswa memiliki strategi atau cara yang berbeda. Strategi siswa dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut tidak lepas dari cara siswa dalam menerima dan mengolah
informasi yang didapatkan. Cara siswa dalam menerima informasi ini disebut sebagai gaya
kognitif. Sehingga dapat diartikan bahwa gaya kognitif merupakan cara siswa yang khas
dalam belajar, baik yang berkaitan dengan cara penerimaan dan pengelolaan informasi,
sikap terhadap informasi, maupun kebiasaan yang berhubungan dengan lingkungan
belajar.
Salah satu dimensi gaya kognitif dalam menerima informasi adalah Perceptual
modality preference, yaitu gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan dan kesukaan
seseorang dalam menggunakan alat indranya. Khususnya kemampuan melihat gerakan
secara visual atau spasial, pemahaman auditory atau verbal. Informasi yang diterima siswa
berupa simbol visual dan simbol verbal bisa berbeda siswa satu dengan lainnya tergantung
pada gaya kognitif yang dimiliki. Gaya kognitif yang berkaitan dengan perbedaan dalam
penerimaan informasi secara visual maupun verbal adalah gaya kognitif visualizer dan
verbalizer.
Seseorang dengan gaya kognitif visualizer cenderung lebih mudah untuk menerima,
memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi dalam bentuk gambar. Sehingga
siswa visualizer apabila diberi permasalahan geometri cenderung berpikir kritis dalam
menyelesaikannya dengan menggunakan gambar. Sedangkan seseorang dengan gaya
kognitif verbalizer cenderung lebih mudah untuk menerima, memproses, menyimpan, dan
menggunakan informasi dalam bentuk teks atau tulisan. Sehingga siswa verbalizer apabila
18

diberi permasalahan geometri cenderung berpikir kritis dalam menyelesaikannya dengan


menggunakan kata-kata.
Gaya kognitif yang dimiliki setiap siswa tentunya berbeda-beda, hal ini dapat dilihat
dari cara siswa menerima dan mengolah informasi. Setiap siswa akan memilih cara yang
disukai atau yang lebih mudah mereka pahami dalam menerima dan mengolah informasi
baik visual maupun verbal. Tentunya hal tersebut dapat memicu berpikir kritis siswa dalam
menyelesaikan masalah geometri. Berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan masalah
geometri dalam penelitian ini meliputi lima aspek diantaranya: memberikan penjelasan
sederhana, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan lanjut,
serta mengatur strategi dan taktik.
Pada aspek memberikan penjelasan sederhana, yaitu memberikan jawaban dengan
penjelasan yang sederhana (singkat) namun jelas dalam menyelesaikan masalah geometri.
Berdasarkan teori yang diungkapkan oleh DePorter dan Hernacki bahwa siswa dengan
gaya kognitif visualizer singkat dalam menjawab pertanyaan. Artinya, pada aspek ini siswa
dengan gaya kognitif visualizer lebih unggul daripada siswa dengan gaya kognitif
verbalizer.
Pada aspek membangun keterampilan dasar, yaitu mengetahui suatu keterampilan
dasar yang harus dimiliki pada suatu pokok bahasan dalam menyelesaikan masalah
geometri. Pada aspek menyimpulkan, yaitu dapat memberikan kesimpulan pada hasil yang
didapatkan setelah menyelesaikan masalah geometri. Berdasarkan teori yang diungkapkan
oleh Kendall dan Hollon bahwa karakteristik seseorang dengan gaya kognitif verbalizer
adalah mudah mengolah kata-kata dalam pikirannya. Sehingga siswa mampu mengolah
kata untuk dapat memberikan kesimpulan pada hasil yang didapatkan setelah
menyelesaikan masalah geometri. Artinya, pada aspek ini siswa dengan gaya kognitif
verbalizer lebih unggul daripada siswa dengan gaya kognitif visualizer.
Pada aspek memberikan penjelasan lebih lanjut, yaitu memberikan penjelasan lebih
lanjut atau dapat membuktikan asumsi jawaban yang sudah ada dengan cara menganalisis
kebenarannya dalam menyelesaikan masalah geometri. Berdasarkan teori yang
diungkapkan oleh DePorter dan Hernacki bahwa siswa dengan gaya kognitif verbalizer
mampu menjawab pertanyaan dengan jawaban rinci. Sehingga siswa mampu menjawab
pertanyaan dengan jawaban rinci untuk dapat memberikan penjelasan lebih lanjut dalam
menyelesaikan masalah geometri. Artinya, pada aspek ini siswa dengan gaya kognitif
verbalizer lebih unggul daripada siswa dengan gaya kognitif visualizer. Dan pada aspek
19

terakhir, mengatur strategi dan taktik, yaitu mampu menerapkan pengetahuannya dalam
menyelesaikan masalah geometri sehingga ia memiliki strategi dan taktik.
Berdasarkan pokok pemikiran tersebut, diduga bahwa terdapat perbedan berpikir
kritis siswa antara siswa dengan gaya kognitif visualizer dan siswa dengan gaya kognitif
verbalizer dalam menyelesaikan masalah geometri. Berikut adalah bagan kerangka
pemikiran dalam penelitian ini.
Pembelajaran
Matematika (Geometri)

Gaya Kognitif Siswa Berpikir Kritis Siswa

Memberikan
Gaya Kognitif Gaya Kognitif Penjelasan
Visualizer Verbalizer Sederhana

Dalam Bentuk Dalam Bentuk


Gambar Kata-Kata Membangun
Keterampilan
Dasar

Menyimpulkan

Memberikan
Penjelasan
Lanjut

Mengatur
Strategi dan
Taktik

Terdapat Perbedaan Berpikir Kritis Siswa ditinjau dari Gaya Kognitif Visualizer dan
Verbalizer dalam Menyelesaikan Masalah Geometri

Bagan 2. 1
Kerangka Pemikiran Berpikir Kritis ditinjau dari Gaya Kognitif

2.4. Hipotesis Penelitian


Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian yang perlu di uji kebenarannya. Sebab dari hipotesis ini penulis belum
menguji seberapa jauh gaya kognitif siswa ini dapat berperan dalam proses
pembelajaran serta hasil belajar matematika siswa.
Berdasarkan tinjauan teoritik dan paparan kerangka pemikiran, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah “Terdapat Perbedaan Berpikir Kritis Siswa ditinjau dari
Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer dalam Menyelesaikan Masalah Geometri”.

Anda mungkin juga menyukai