Anda di halaman 1dari 37

BAB II

BERPIKIR KRITIS

A. Kajian Teori
1. Berpikir Kritis
a. Definisi Berpikir Kritis
Pemikiran adalah aksi yang menyebabkan pikiran mendapatkan
pengertian baru dengan perantaraan hal yang sudah diketahui. Proses
pemikiran adalah suatu pergerakan mental dari saru hal menuju hal
lain, dari proporsi satu ke proporsi lainya, dari apa yang sudah
diketahui ke hal yang belum diketahui (W. Poespoprodjo, 2007: 178).
Berpikir kritis adalah berpikir yang wajar dan reflektif yang berfokus
pada memutuskan apa yang diyakini atau dilakukan (Ennis dalam
Wowo, 2012: 196). Berpikir kritis diartikan sebagai kegiatan
mempertimbangkan beberapa faktor yang mendukung keputusan yang
akan diambil. Jadi harus benar-benar dengan pemikiran yang matang.
Dengan pengambilan keputusan yang tepat maka masalah yang akan
dihadapai siswa akan terpecahkan atau dapat diatasi
(http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/24/jadikanlah-anak-berpikir-
kritis-dan-kreatif-dalam-usaha-problem-solver/). Menurut John Dewey
(dalam Alec Fisher, 2008: 2), berpikir kritis merupakan pertimbangan
yang aktif, terus menerus dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau
bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut
alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan
lanjutan yang menjadi kecenderungannya.
Keterampilan berpikir kritis merupakan kecakapan dan
kemampuan menggunakan pemikiran untuk menilai kesesuaian dan
kewajaran suatu ide, berdasar atau tidak, kebaikan dan kelemahan
sesuatu alasan dan membuat pertimbangan yang wajar dengan
menggunakan asalan dan bukti yang sesuai (Tim Penyusun, 2008: 20).
Berpikir kritis berupa kemampuan memberi alasan secara terorganisasi

9
10

dan mengevaluasi kualitas suatu alasan secara sistematis (dalam Gede


Putra Adnyana: 2011 http://psb-psma.org/content/blog/3922-
keterampilan-berpikir-kritis/). Menurut Beyer (dalam Gede Putra
Adnyana: 2011 http://psb-psma.org/content/blog/3922-keterampilan-
berpikir-kritis/ diunduh pada 10 Agustus 2012, pukul 14.32),
keterampilan berpikir kritis adalah keterampilan untuk: (1)menentukan
kredibilitas suatu sumber; (2)membedakan antara yang relevan dari
yang tidak relevan; (3)membedakan fakta dari penilaian;
(4)mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan;
(5)mengidentifikasi bias yang ada; (6)mengidentifikasi sudut pandang;
(7)mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
Pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir
kritis merupakan sebuah pertimbangan yang aktif, mendalam dan
terfokus mengenai sebuah masalah atau pun hal tertentu secara terus
menerus yang dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya
dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya.
b. Jenis dan Karakteristik Bepikir Kritis
Berpikir kritis terbagi menjadi 2 bagian:
1) Berpikir kritis tingkat rendah merupakan kecakapan dalam hal;
membandingkan dan membedakan, membuat kategori, meneliti
bagian-bagian kecil dan keseluruhan, menerangkan sebab dan
menyusun mengurut urutan.
2) Berpikir kritis tingkat tinggi merupakan kecakapan seseorang
dalam hal; membuat hipotesis, mengandaikan, membuat inferensi,
menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan.
(Tim Penyusun, 2008: 20)

Menurut Ennis (1985), kemampuan berpikir kritis yang


dilakukan seseorang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Mencari pertanyaan jelas dari teori dan pertanyaan.
2) Mencari alasan.
3) Mencoba menjadi yang teraktual.
4) Menggunakan sumber-sumber yang dapat dipercaya dan
manyatakannya.
5) Menjelaskan keseluruhan situasi.
6) Mencoba tetap relevan dengan ide utama.
11

7) Menjaga ide dasar dan orisinil di dalam pikiran.


8) Mencari alternatif.
9) Berpikiran terbuka.
10) Mengambil posisi (dan mengubah posisi) ketika bukti-bukti dan
alasan-alasan memungkinkan untuk melakukannya.
11) Mencari dokumen-dokumen dengan penuh ketelitian.
12) Sepakat dengan suatu cara yang teratur dengan bagian-bagian dari
keseluruhan kompleks.
13) Peka terhadap perasaan, pengetahuan dan kecerdasan orang lain.
Sutarno:2009, http://fisika21.wordpress.com/2009/11/15/keterampilan-
berpikir-kritis/

Sementara itu Kartimi (2007) menjelaskan karakteristik


berpikir kritis ke dalam 5 kelompok besar:
1) Memberikan penjelasan sederhana; meliputi memfokuskan
pertanyaa, bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu
penjelasan.
2) Membangun keterampilan dasar; meliputi mempertimbangkan
apakah sumber dapat dipercaya atau tidak, dan mengamati dan
mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
3) Menyimpulkan; meliputi mendeduksikan dan mempertimbangkan
hasil deduksi, menginduksikan dan mempertimbangkan hasil
induksi, membuat dan menentukan nilai pertimbangan.
4) Memberikan penjelasan lanjut; meliputi mendefinisikan istilah dan
pertimbangan dalam tiga dimensi, mengidentifikasi asumsi.
5) Mengatur strategi dan taktik; meliputi menentukan tindakan,
berinteraksi dengan orang lain.

Indikator seseorang berpikir kritis dengan orang yang tidak


berpikir kritis adalah sebagai berikut:
Tabel 1.
Indikator Orang Kritis dan Orang Tidak Kritis

Orang Kritis Orang Tidak Kritis


Memiliki dorongan yang kuat Sering berpikir dalam cara yang
untuk menemukan kejelasan, kabur, tidak tepat dan tidak
ketepatan, kekuatan, dst. akurat.
Sangat peka terhadap ide, Sering jatuh ke dalam dan
gagasan, kesimpulan yang menjadi pendukung setia
mengandung egosentrisme, egosentrisme, sosiosentrisme,
sosiosentrisme, wishful thingking pemikiran relativistik, asumsu-
asumsi yang tak-teruji, dan
wishful thingking
Sangat menyadari nilai dan Tidak menyadari nilai dan
12

manfaat dari berpikir kritis, baik manfaat dari berpikir kritis.


secara individu maupun secara
komunitas.
Jujur secara intelektual dengan Mengira bahwa dirinya
dirinya, menyadari hal-hal yang mengetahui lebih dari yang
tidak dimengeti dan menerima sebenarnya dan menyangkal
kelemahan-kelemahan diri. keterbatasan mereka.
Mendengar dengan pemikiran Pikirannya bersifat tertutup dan
terbuka pada pandangan atau menolak setiap kritik.
menerima yang berlawanan dan
menerima kritik terhadap
keyakinan dan asumsi-asumsi
mereka.
Berdasarkan keyakinan- Sering mendasarkan keyakinan-
keyakinanya pada fakta lebih dari keyakinannya pada preferensi
kepentingan ddiri atau preferensi pribadi dan kepentingan diri.
pribadi.
Sadar akan kemungkinan adanya Tidak atau kurang menyadari
bias dan praduga yang ikut bias-bias atau praduga mereka
memngaruhi cara mereka sendiri.
memahami dunia.
Berpikir independen dan takut Cenderung mengikuti saja apa
berbeda pendapat dengan yang dikatakan kelompok atau
kelompok atau masyarakat. masyarakat, mengikuti pendapat
atau gagasan orang lain atau
kelompok tanpa sikap kritis.
Mampu menangkap inti dari suatu Mudah sekali terperangkap detail-
isu atau masalah tanpa detail dan sulit menangkap esensi
terperangkap atau dikacaukan dari suatu gagasan.
oleh detail-detail yang disajikan.
Memiliki keberanian intelektual Takut dan menolak gagasan atau
untuk menghadapi dan mengakses pendapat yang berbeda dengan
gagasan-gagasan yang benar yang gagasan, pendapat, dan
bahkan bertentangan dengan keyakinannya.
gagasan mereka sendiri.
Mengejar kebenaran dan memiliki Cenderung “cuek” dan acuh tak
keinginan tahu yang tinggi acuh terhadap kebenaran, tidak
terhadap isu atau masalah. punya cukup rasa ingin tahu.
Memiliki daya tahan intelektual Dalam mengejar kebenaran
dalam mengejar kebenaran di cenderung tidak tahan terhadap
tengah-tengah kesulitan dan berbagai kesulitan dan hambatan
hambatan. yang muncul.

Sumber: Yeremias Jena: 2010


http://kuliahfilsafat.wordpress.com/2010/03/10/karakteristik-seorang-pemikir-
kritis/
13

c. Indikator Berpikir Kritis


Secara umum berpikir dianggap sebagai suatu proses kognitif,
yakni aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Berpikir juga
merupakan proses menafsirkan berbagai peristiwa dan lingkungan
(Arthur F. Carmazzi, 2006: 5). Proses berpikir dihubungkan dengan
suatu pola perilaku yang lain dan memerlukan keterlibatan aktif
pemikir melalui hubungan kompleks yang dikembangkan melalui
kegiatan berpikir. Hubungan ini dapat saling terkait dengan struktur
yang mapan dan dapat diekspresikan oleh pemikir melalui bermacam-
macam cara. Jadi, berpikir merupakan upaya yang kompleks dan
reflektif, bahkan juga pengalaman kreatif (Pressein dalam Kartimi,
2007). Keterampilan berpikir selalu berkembang dan dapat dipelajari
(Nickerson, et.al. dalam Kartimi, 2007).
Ennis (dalam Kartimi, 2007: 85) mendefinisikan berpikir kritis
sebagai cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan
penalaran yang difokuskan, untuk menentukan apa yang harus diyakini
dan dilakukan. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir
untuk menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap
tiap-tiap makna dan interpretasi, untuk mengembangkan pola
penalaran yang kohedif dan logis, memahami asumsi dan bias yang
mendasari tiap-tiap posisi, memberikan model presentasi yang dapat
dipercaya, ringkas dan meyakinkan.
Menurut S. Hamid Hasan (2008: 143) berpikir kritis adalah
kemampuan intelektual tetapi kebiasaan berpikir kritis adalah suatu
perilaku afektif. Seorang peserta didik mendapat kesempatan melatih
potensi berpikir kritisnya melalui berbagai kesempatan dalam proses
pendidikan di berbagai materi pelajaran. Hasilnya peserta didik
mungkin saja memiliki kemampuan berpikir kritis pada jenjang mahir
atau profiency.
Berpikir kritis sangat diperlukan oleh setiap individu untuk
menyikapi permasalahan kehidupan yang dihadapi. Dalam berpikir
14

kritis, seorang dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah, atau


memperbaiki pikirannya sehingga dia dapat bertindak lebih tepat.
Seorang yang berpikir kritis adalah orang yang terampil penalarannya.
Orang yang berpikir kritis akan memutuskan dan berpikir rasional
melalui beberapa pandangan terhadap suatu konteks yang berbeda.
Orang yang berpikir kritis juga tidak akan membiarkan orang lain
mengambil keputusan untuknya, mereka akan memutuskannya sendiri
dan konsisten terhadap keputusannya (Spliter dalam Kartimi, 2007:
86).
Peranan pendidik untuk mengembangkan keterampilan berpikir
kritis dalam diri pelajar adalah sebagai pendorong, fasilitator, dan
motivator. Dalam berpikir kritis, siswa dituntut untuk menggunakan
strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan
pemecahan masalah dan mengatasi kesalahan dan kekurangan.
Pengalaman bermakna yang melibatkan berpikir kritis dapat membantu
siswa; (1)membuat keputusan yang didasarkan pada evaluasi
komponen-komponen yang terlibat, (2)menentukan validitas
kesimpulan, keyakinan, dan opini yang dinyatakan orang lain,
(3)melihat keyakinan, perasaan, sikap, dan pemikirannya sendiri yang
berkaitan dengan situasi yang ada dan membiarkan siswa untuk
memperkuat gagasan dan keyakinannya serta menetukan sendiri nilai-
nilai yang akan dihargainya (Gerhard dalam Kartimi, 2007).
Berdasarkan kurikulum berpikir kritis menurut Ennis (dalam
Kartimi, 2007) ada 5 tahap berpikir dengan masing-masing
indikatornya.
Tabel 2.
Indikator Keterampilan Berpikir Kritis

Sub Indikator
Indikator Keterampilan
Keterampilan Berpikir Penjelasan
Berpikir Kritis
Kritis
A. Memberi penjelasan 1. Memfokuskan a. Mengidentifikasi atau
sederhana pertanyaan merumuskan
(elementary permasalahan.
15

clarification) b. Mengidentifikasi atau


merumuskan kriteria
untuk
mempertimbangkan
jawaban yang
mungkin.
c. Mengingat situasi.
2. Menganalisa argumen a. Mengidentifikasi
kesimpulan.
b. Mengidentifikasi
alasan yang
dinyatakan.
c. Menyatakan alasan
yang tidak
dinyatakan.
d. Mencari persamaan
dan perbedaan.
e. Mengidentifikasi dan
menanggulangi
ketidakrelevanan.
f. Mencari struktur atas
suatu argumen.
g. Merangkum.
3. Bertanya dan a. Mengapa?
menjawab pertanyaan b. Apa intinya?
klarifikasi dan c. Apa yang dimaksud
pertanyaan yang dengan?
menantang. d. Apa contohnya?
e. Apa yang bukan
contoh?
f. Bagaimana aplikasi
dalam kasus tersebut?
g. Apa yang membuat
perbedaan?
h. Apa faktanya?
i. Apa yang kamu
katakan?
j. Apakah kamu
menanyakan lebih
dari itu?
B. Membangun 4. Mempertimbangkan a. Ahli.
keterampilan dasar kredibilitas suatu b. Tidak ada konflik
sumber, kriteria. interes.
c. Kesepakatan antar
sumber.
d. Reputasi.
16

e. Menggunakan
prosedur yang sudah
baku.
f. Mengetahui resiko
suatu reputasi.
g. Kemampuan memberi
alasan.
h. Kebiasaan hati-hati.
5. Mengobservasi dan a. Ikut terlibat dalam
mempertimbangkan menyimpulkan.
hasil observasi. b. Interval waktu yang
pendek antara
observasi dan
laporan.
c. Dilaporkan oleh
pengamat sendiri.
d. Mencatat yang
diperlukan secara
umum.
e. Penguatan.
f. Kemungkinan
penguatan kondisi
akses yang baik.
g. Penggunaan teknologi
yang kompeten.
h. Kepuasan oleh
pengamat dan kriteria
yang kredibel.
C. Menyimpulkan 6. Membuat deduksi dan a. Kelompok yang logis.
(inference) mempertimbangkan b. Kondisi yang logis.
hasil deduksi. c. Interpretasi
pernyataan.
7. Membuat induksi dan a. Membuat
mempertimbangkan generalisasi.
hasil induksi. b. Membuat kesimpulan
dan hipotesis.
8. Membuat dan a. Fakta latar belakang.
mempertimbangkan b. Konsekuensi.
keputusan yang c. Penerapan prinsip-
bernilai. prinsip.
d. Mempertimbangkan
alternatif.
e. Menyeimbangkan,
memutuskan.
D. Penjelasan lebih 9. Mengidentifikasi a. Bentuk, sinonim,
lanjut (advance istilah dan klarifikasi, rentang,
17

clarification) mempertimbangkan ekspresi yang sama,


definisi. operasional, contoh,
dan bukan contoh.
b. Strategi definisi,
tindakan,
mengidentifikasi
persamaan.
10. Mengidentifikasi a. Penalaran secara
asumsi. implisit.
b. Asumsi yang
diperlukan,
rekonstruksi
argumen.
E. Strategi dan taktik 11. Memutuskan suatu a. Mengidentifikasi
(strategies and tindakan masalah.
tactics) b. Menyeleksi kriteria
untuk membuat
solusi.
c. Merumuskan solusi
alternatif.
d. Merumuskan hal-hal
yang akan dilakukan
secara tentatif.
e. Mereview.
f. Memonitor
implementasi.
12. Berinteraksi dengan a. Mempekerjakan dan
orang lain berinteraksi terhadap
label fallacy.
b. Strategi logis.
c. Strategi retorik.
d. Mengemukakan suatu
sikap secara lisan atau
tulisan.

Sumber: Ennis (dalam Kartimi, 2007, Modul: Model-Model Pembelajaran, tidak


diterbitkan, Cirebon)

d. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis


Salah satu cara penting untuk mengembangkan sifat-sifat
berpikir kritis adalah mempelajari seni untuk menunda penarikan
kesimpulan definitif. Caranya adalah menerapkan orientasi prsepsi
ketitmbang menarik kesimpulan final terlalu dini. Sebagai contoh,
18

ketika membaca sebuauh novel, menonton film, mengikuti diskusi atau


dialog, hindari kecenderungan untuk menghakimi atau menarik
kesimpulan tetap. Untuk melatih berpikir kritis, seorang perlu
menyadari dan menghindari adanya kecenderungan untuk melakukan
kesalahan-kesalahan yang menyebabkan orang tidak berpikir kritis,
antara lain sebagai berikut:
1) Dalam suatu argumen terlalu men-generalisasi posisi atau keadaan.
Sebagai contoh, dalam suatu argumen terdapat kecenderungan
untuk mengira semua orang tahu, padahal tidak setiap orang tahu.
Demikian juga mengira semua orang tidak tahu, padahal ada orang
yang tahu. Pemikir kritis berhati-hati dalam menggunakan kata
“semua” atau “setiap”. Lebih aman menggunakan kata-kata
“sebagian besar” atau “beberapa”.
2) Menyangka setiap orang memiliki bias (keberpihakan) di bawah
sadar, lalu mempertanyakan pemikiran reflektif yang dilakukan
orang lain. Pemikir kritis harus bersedia untuk menerima
kebenaran argumen orang lain. Perdebatan tentang argumen bisa
saja menarik tetapi tidak selalu berarti bahwa argumen sendiri
benar.
3) Mengadopsi pendapat yang ego-sensitif. Nilai-nilai, emosi,
keinginan dan pengalaman seorang mempengaruhi keyakinan dan
kemampuan menyingkirkan kesalahan ini dan mempertimbangkan
untuk menerima informasi dari luar.
4) Mengingat kembali keyakinan lama dipercaya dengan kuat tetapi
sekarang ditolak.
5) Kecenderungan untuk berpikir kelompok, suatu keadaan dimana
keyakinan seorang dibentuk oleh pemikiran orang-orang
disekitarnya ketimbang apa yang ia sendiri alami atau saksikan.
(Bhisma, 2010 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=faktor-
faktor%20berpikir%20kritis&source=web&cd=11&ved=0CBkQFj
AAOAo7url=http%3A%2F%2Ffk.uns.ac.id%2Fstatic%2Ffile%2F
criticalthinking.pdf&ei=65cTT6nkGsPmrAen4oTkAQ&usg=AFQj
CNGSFPozycWA1E_Z0GI9GZjA9tK6A&cad=rja, diunduh 20
Januari 2012, 18:36).

2. Penilaian Kognitif
a. Definisi Penilaian Kognitif
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 tahun 2003, dijelaskan bahwa penilaian adalah proses pengumpulan
informasi dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil
19

belajar peserta didik. Penilaian juga merupakan proses pengumpulan


informasi dalam bentuk tulisan maupun lisan dan sikap. Hasil
pengumpulan informasi tersebut kemudian diolah sehingga dapat
diambil kesimpulan tentang keberhasilan sebuah pencapaian target
hasil belajar. Hal yang selaras dikemukakan oleh Zaenal Arifin (2010:
4):
Penilaian adalah suatu proses kegiatan yang sistematis dan
berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang
proses dan hasil belajar siswa dalam rangka membuat
keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbangan
tertentu.

Sementara Nana Sudjana (2009: 3) mengatakan bahwa


penilaian adalah menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan
suatu kriteria tertentu. Penilaian hasil belajar pada hakikatnya adalah
perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam
pengertian yang luas, mencakup bidang kognitif, afektif, dan
psikomotoris.
Martinis (2009: 185) mengatakan:
Bahwa penilaian diartikan sebagai menilai kegiatan
pembelajaran dari awal sampai akhir pembelajaran, menilai
tugas-tugas yang diberikan kepada siswa, menilai bakat siswa,
dan menilai prestasi siswa dengan menilai tugas harian, ujian
tengah semester, ujian akhir semester dan uajian naik kelas.

Penilaian (Hamzah B. Uno dan Koni, 2012: 2) dapat diartikan


sebagai proses untuk mendapatkan informasi dalam bentuk apapun
yang dapat digunakan untuk dasar pengambilan keputusan tentang
siswa, baik yang menyangkut kurikulum, program pembelajaran, iklim
sekolah, ataupu kebijakan-kebijakan sekolah.
Menurut Departemen Agama (yang dikutip Sridadi:2010,
dalam http://adhenarlin.wordpress.com/2010/03/19/pengertian-
pengukuran-penilaian-dan-evaluasi/), penilaian adalah suatu usaha
untuk mengumpulkan berbagai informasi secara berkesinambungan
dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai
20

oleh siswa melalui kegiatan belajar mengajar yang ditetapkan sehingga


dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah selanjutnya. Dalam
www.elook.org/dictionary/assessment.htm menyebutkan bahwa
“definition of assessment: the clarification of someone or something
with respect to this worth” (definisi dari penilaian adalah
penggolongan seseorang atau sesuatu berkenaan dengan harganya).
Penilaian kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual
yang terdiri dari enam aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain;
pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan
evaluasi (Nana Sudjana, 2009: 22).
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental
(otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas
adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif berhubungan
dengan kemampuan berpikir, termasuk didalamnya kemampuan
menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan
kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam
aspek atau jenjang proses berpikir, mulai dari yang terendah sampai
dengan jenjang yang paling tinggi (dalam Jufri Malyno: 2012,
http://juprimalino.blogspot.com/ 2012/02/pengertian-ranah-penilain-
kognitif.html).
b. Jenis Penilaian Kognitif
Penilaian merupakan proses pengumpulan data atau informasi
melalui tes maupun non-tes. Hasil dari pengumpulan data atau
informasi tersebut, kemudian diolah dengan metode tertentu dan
hasilnya digunakan sebagai pedoman dalam mengambil keputusan.
Keputusan ini berupa ketuntasa, kenaikkan kelas, kelulusan, perbaikan
proses pembelajaran atau bahkan pengembangan metode
pembelajaran, kurikulum dan sebagainya.
Tujuan penilaian pada hakikatnya adalah perubahan tingkah
laku yang diinginkan pada diri siswa (Nana Sudjana, 2009: 2). Dengan
mengetahui tercapai-tidaknya tujuan pembelajaran, dapat diambil
21

tindakan untuk melakukan kegiatan perbaikan pembelajaran. Secara


umum, tujuan dilakukannya penilaian adalah:
1) Mendeskripsikan kecakapan belajar pada siswa sehingga dapat
diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bisang
studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya. Dengan
mendeskripsikan kecakapan tersebut dapat diketahui pada
selanjutnya pula sejaumana kemampuan siswa dibandingkan
dengan siswa lainnya.
2) Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di
sekolah, yakni seberapa jauh keefektifan dalam mengubah tingkah
laku para siswa kearah tujuan pendidikan yang diharapkan.
Keberhasilan pendidikan dan pengajaran penting artinya mengingat
peranannya sebagai upaya memanusiakan atau membudayakan
manusia, dalam hal ini para siswa agar menjadi yang berkualitas
dalam aspek intelektual, sosial, emosional, moral dan
keterampilan.
3) Menentukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan
perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan
pengajaran serta strategi pelaksanaanya. Kegagalan para siswa
dalam hasil belajar yang dicapainya hendaknya tidak dipandang
sebagai kekurangan pada diri siswa, tetapi juga bisa disebabkan
oleh program pengajaran yang diberikan kepadanya atau oleh
kesalahan strategi pelaksanaan program tersebut.
4) Memberikan pertanggungjawaban atau laporan dari pihak sekolah
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak yang dimaksud
meliputi pemerintah, masyarakat, dan para orang tua siswa. Dalam
memberikan pertanggungjawaban hasil-hasil yang telah
dicapainya, sekolah memberikan laporan sebagai kekuatan dan
kelemahan pelaksanaan sistem pendidikan dan pengajaran serta
kendala-kendala yang dihadapinya.
22

Penilaian yang baik mensyaratkan adanya keterkaitan langsung


dengan aktivitas proses belajar mengajar. Penilaian merupakan bagian
integral dan proses belajar mengajar. Kegiatan penilaian harus
dipahami sebagai kegiatan untuk mengefektifkan proses belajar
mengajar agar sesuai dengan yang diharapkan. Keterkaitan dan
keterpaduan penilaian dan proses belajar mengajar dapat digambarkan
pada siklus dibawah ini.

Rencana Mengajar

Analisis dan Umpan Proyek Belajar


Balik Mengajar

Penilaian

Gambar1.
Prosedur Penilaian Kelas
Sumber: Abdul Majid. 2009. Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan
Standar Kompetensi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya, halaman 192.

Tujuan penilaian diatas memberikan gambaran jenis penilaian


yang dilakukan. Untuk mencapai tujuan penilaian yang diinginkan
dibutuhkan jenis penilaian yang sesuai, misalnya penilaian unjuk kerja.
Penilaian unjuk kerja merupakan penilaian yang dilakukan
dengan mengamati kegiatan atau kinerja siswa dalam melakukan
sesuatu. Cara penilaian ini lebih autentik dari pada tes tulis karena
bentuk tugasnya lebih mencerminkan kemampuan siswa yang
sebenarnya. Semakin banyak kesempatan guru mengamati unjuk kerja
siswa, semakin reliable hasil penilaian kemampuan siswa (Moh.
Sholeh Hamid, 2011: 136).
23

Penilaian dengan cara ini lebih tepat digunakan untuk menilai


kemampuan siswa dalam penyajian lisan (keterampilan berbicara,
berpidato, baca puisi, berdiskusi, dan sebagainya), pemecahan masalah
dalam suatu kelompok, partisipasi siswa dalam diskusi kelompok
kecil, kemampuan siswa menari, kemampuan siswa memainkan alat
musik, kemampuan siswa dalam cabang-cabang olah raga, kemampuan
siswa menggunakan peralatan laboratorium, kemampuan siswa
mengoperasikan suatu alat dan sebagainya.
Menurut Denilson (dalam Moh. Sholeh Hamid, 2011: 136)
penilaian unjuk kerja adalah penilaian belajar siswa yang meliputi
semua penilaian dalm bentuk tulisan, produk, atau sikap kecuali
bentuk pilihan ganda, menjodohkan, benar-salah, atau jawaban singkat.
Bentuk penilaian unjuk kerja yang paling sederhana dapat saja berupa
soal tes konvensional, tetapi harus ditambah dengan pertanyaan yang
meminta siswa untuk menjelaskan alasan mengapa mereka memilih
strategi dan pendekatan yang dilakukan. Jawaban yang diberikan akan
menunjukkan pemahaman siswa tentang konsep, kemampuan siswa
memecahkan masalah, dam mengkomunikasikan ide-ide pelajaran
yang dijalani.
c. Indikator Penilaian Kognitif
1) Aspek Penilaian Kognitif
Ranah kognitif terbagi dalam enam aspek proses berpikir,
mulai dari yang terendah sampai dengan jenjang yang peling
tinggi. Aspek-aspek tersebut antara lain:
a) Pengetahuan atau Hafalan
Pengetahuan merupakan jenjang kemampuan yang menuntut
peserta didik untuk dapat mengenali atau mengetahu adanya
konsep, prinsip fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau
dapat menggunakannya (Zaenal Arifin, 2010: 21). Menurut
Ngalim Purwanto (2008: 44) pengetahuan atau hafalan adalah
tingkat kemampuan yang hanya meminta responden untuk
24

mengenal atau mengerti adanya konsep, fakta atau istilah-


istilah tanpa harus mengerti atau dapat menilai atau dapat
menggunakannya. Dalam hal ini responden biasanya hanya
dituntu untuk menyebutkan kembali atau menghafal.
Pengetahuan terkait dengan perilaku yang dapat digambarkan
pada situasi ujian, yang menekankan pada ingatan atau daya
ingat dari ide-ide, materi atau fakta yang dikenali. Proses yang
berhubungan dengan penilaian, sehingga siswa diharapkan
dapat menjawab pertanyaan ujian yang diajukan dalam bentuk
yang berbeda dengan situasi belajar sebenarnya.
Menurut Bloom (dalam Wowo Sunaryo Kuswana, 2012: 32)
“...setiap pengetahuan memiliki perbedaan, mengingat
merupakan proses psikologi dan mengingat hanya satu bagian
dari proses kompleks seperti menilai dan mereorganisasi.”
b) Pemahaman
Pemahaman yaitu jenjang kemampuan yang menuntut peserta
didik untuk memahami atau mengerti tentang materi pelajaran
yang disampaikan guru dan dapat memanfaatkannya tanpa
harus menghubungkan dengan hal-hal lain (Zaenal Arifin,
2010: 21).
Pemahaman sering dikaitkan dengan membaca (pemahaman
bacaan), dalam kategori ini merupakan pengertian yang lebih
luas dan berhubungan dengan komunikasi yang mencakup
materi tertulis bersifat verbal. Pemahaman termasuk dalam
tujuan dan perilaku atau respons, yang merupakan pemahaman
dari pesan literal yang terkandung dalam komunikasi untuk
mencapainya. Siswa dapat mengubah komunikasi dalam
pikirannya, atau tanggapan terbuka untuk bentuk paralel dan
lebih bermakna (Wowo Sunaryo Kuswana, 2012: 44).
Pemahaman dapat dibedakan kedalam tiga kategori (Nana
Sudjana, 2009: 24-25):
25

Tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari


terjemahan dalam arti yang sebenarnya, misalnya dari bahasa
Inggris ke dalam bahawa Indonesia, mengartikan Bhineka
Tunggal Ika, mengartikan merah putih, menerapkan prinsip-
prinsip listrik.
Tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni
menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang
diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian
dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dan
yang bukan pokok. Menghubungkan pengetahuan tentang kata
kerja, subjek, dan possessive pronoun sehingga tahu menyusun
kalimat “My friend is studying” bukan “My friend studying”.
Tingkat tinggi adalah pemahaman eksploitasi. Dengan
eksploitasi diharapkan seseorang mampu melihat dibalik yang
tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau
dapat memperluas persepsi dalam arti waktu dimensi, kasus,
ataupun masalahnya.

c) Penerapan atau Aplikasi


Menurut Zaenal Arifin (2010: 21) penerapan merupakan
jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik untuk
menggunakan ide-ide umum, tata cara atau metode, prinsip,
dan teori-teori dalam situasi baru dan konkret.
Penerapan merupakan penggunaan abstraksi pada situasi
konkret atau situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa
ide, teori, atau petunjuk teknis. Menerapkan absktraksi ke
dalam situasi baru disebut aplikasi. Mengulang-ulang
menerapkannya pada situasi lama akan menjadi pengetahuan
hafalan atau keterampilan. Kategori penerapan mengikuti
aturan, yang memerlukan pemahaman dari penerapan teori,
prinsip, metode atau ringkasan berpikir (Wowo Sunaryo
Kuswana, 2012: 49).
Bloom (dalam Ngalim Purwanto, 2008: 45) membedakan
delapan tipe aplikasi seperti berikut:
i) Dapat menetapkan prinsip atau generalisasi mana yang
sesuai untuk situasi baru yang dihadapi. Dalam hal ini
yang bersangkuan belum diharapkan utnuk dapat
26

memecahkan seluruh problem tetapi sekedar dapat


menetapkan prinsip yang sesuai.
ii) Dapat menyusun kembalu problemnya sehingga dapat
menetapkan prinsip atau generalisasi mana yang sesuai.
iii) Dapat memberikan spesifikasi batas relevansi suatu
prinsip atau generalisasi tertentu.
iv) Dapat mengenali hal-hal khusus yang menyimpang dari
prinsip atau generalisasi tertentu.
v) Dapat menjelaskan suatu fenomena baru berdasarkan
prinsip atau generalisasi tertentu seperti melihat adanya
hubungan sebab akibat atau menjelaskan proses terjadinya
sesuatu.
vi) Dapat meramalkan sesuatu yang akan terjadi berdasarkan
prinsip-prinsip atau generalisasi tertentu. Dasar untuk
membuat ramalan diharapkan dapat ditunjukkan mungkin
berdasar perubahan kuantitatif atau perubahan kualitatif.
vii) Dapat menentukan tindakan atau keputusan tertentu dalam
menghadapi situasi baru dengan menggunakan prinsip
atau generalisasi yang sesuai.
viii) Dapat menjelaskan alasan penggunaan suatu prinsip atau
generalisasi bagi situasi baru yang dihadapi.

d) Analisis
Analisis yaitu jenjang kemampuan yang menuntut peserta didik
untuk menguraikan situasi atau keadaan tertentu ke dalam
unsur-unsur atau komponen pembentuknya (Zaenal Arifin,
2010: 22). Analisis adalah usaha menilai suatu integritas
menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas
hierarkinya dan atau susunanya (Nana Sudjana, 2009: 27).
Analisis merupakan kecakapan yang kompleks yang
memanfaatkan kecakapan dari aspek sebelumnya. Jika
kecakapan analisis telah dikuasai yang bersangkutan akan dapat
mengaplikasikannya pada situasi baru secara kreatif (Ngalim
Purwanto, 2008: 46).
Wowo Sunaryo Kuswana (2012: 53) menyatakan bahwa
analisis menekankan pada uraian materi utama ke dalam
pendeteksian hubungan-hubungan setiap bagian yang tersusun
secara sistematis. Keterampilan analisis dapat dikembangkan
27

sebagai salah satu tujuan di setiap bidang pengetahuan yang


diajarkan di sekolah. Hal ini sering dinyatakan sebagai hal yang
penting untuk mencapai tujuan hasil ilmu pengetahuan, filsafat,
dan seni. Sebagai contoh, untuk pengembangan berpikir, siswa
dapat mengidentifikasi kesimpulan dan mendukung pernyataan
yang relevan dengan materi. Mencatat ide-ide yang
berhubungan dengan melihat kenyataan atau asumsi yang
dipandang dominan.
e) Sintesis
Sintesis merupakan kumpulan dari bagian dan unsur kelas
kategori dan subkategori secara bersama-sama menjadi
landasan yang membentuk keutuhan (Wowo Sunaryo
Kuswana, 2012: 57). Sintesis merupakan jenjang kemampuan
yang menuntut peserta didik untuk menghasilkan yang baru
dengan cara menggabungkan berbagai faktor (Zaenal Arifin,
2010: 22). Hasil yang diperoleh dapat berupa tulisan, rencana,
dan mekanisme.
Pemahaman, penerapan, dan analisis secara bersama-sama
meletakkan unsur-unsur dan struktur. Akan tetapi
penekanannya adalah keunikan dan keaslian di setiap kelas
yang ada. Keunikannya adalah semua unsur dari bahan
dipelajari secara menyeluruh (Wowo Sunaryo Kuswana, 2012:
57). Dalam pembelajaran sintesis, siswa harus menggambarkan
sutau pola atas dasar unsur-unsur dari sumber informasi yang
diterima dan menghasilkan suatu pemikiran yang jelas dan
terorganisasi secara sistematis. Pemikiran tersebut dibangun
dalam wujud komunikasi yang dilandasi oleh kategori dan
tingkatan sebelumnya.
Aspek ini juga disebut sebagai aspek berpikir divergen (Nana
Sudjana, 2009: 28). Dalam berpikir divergen pemecahan atau
jawabannya belum dapat dipastikan. Mensintesiskan unit-unit
28

tersebar tidak sama dengan mengumpulkan ke dalam satu


kelompok besar. Mengartikan analisis sebagai memecah
integritas menjadi bagian-bagian.
f) Evaluasi
Menurut Zaenal Arifin (2010: 22) evaluasi merupakan jenjang
kemampuan yang menuntut peserta didik untuk dapat
mengevaluasi suatu situasi, keadaan, pernyataan atau konsep
berdasarkan kriteria tertentu. Sedangkan menurut Nana Sudjana
(2009: 28) evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai
sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara
bekerja, pemecahan, materi, dan sebagainya. Hal penting dalam
evaluasi ini adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa
sehingga peserta didik mampu mengembangkan kriteria atau
patokan untuk mengevaluasi sesuatu.
Bentuk evaluasi berdasarkan kriteria nternal dapat berupa
mengukur probabilitas suatu kejadian; menerapkan kriteria
tertentu pada hasil suatu karya; mengenal ketepatan,
kesempurnaan, dan relevansi data; membedakan valid-tidaknya
generalisasi, argumen, dan semacamnya; mengetahui adanya
pengulangan yang tidak perlu. Sedangkan bentuk evaluasi yang
berdasarkan pada kriteria eksternal, antara lain:
mengembangkan standar sendiri tentang kualitas karya
kontemporer; membandingkan sutau karya dengan karya lain
berstandar tinggi; memperbandingkan berbagai teori,
generalisasi dan fakta suatu budaya (Ngalim P., 2008: 47).
Posisi evaluasi dalam taksonomi sangat dihormati sebagai
langkah tertinggi. Evaluasi mewakili taksonomi, tidak hanya
satu akhir dari peoses di dalam menghadapi teori tingkah laku,
akan tetapi hubungan-hubungan dengan tingkah laku yang
bersifat afektif di mana nilai-nilai, kesenangan dan menyenangi
akan memberikan kontroversi, dalam perlibatannya. Namun,
29

penekanan yang harus menjadi pokok dalam evaluasi adalah


sebagian besar pada teori, ketimbang mengikuti pandangan
empirik. Pada sampai taraf tertentu, semua kategori yang
terkait dengan tingkah laku dalam berpikir adalah memecahkan
masalah (Wowo Sunaryo Kuswana, 2012: 66).
Uraian tersebut memberikan kesimpulan bahwa kemampuan
peserta didik dapat diklasifikasikan ke dalam dua kemampuan,
yaitu kemampuan tingkat tinggi dan kemampuan tingkat
rendah. Kemampuan tingkat rendah terdiri dari pengetahuan,
pemahaman, dan aplikasi, sedangkan kemampuan tingkat
tinggi terdiri atas analisis, sintesis dan evaluasi. Bermawi
Munthe (2009: 36) menggambarkan sebagai berikut:

Merangkum atau menguraikan fenomena berdasar


perspektif, sudut pandang atau kepentingan. Evaluation
Menguraikan sesuatu yang terpisah-pisah menjadi
satu: contoh; merangkum elemen-elemen, unsur-unsur,
faktor-faktor menjadi satu. Konsep kampus terdiri dari
kelas, perpustakaan, ruang kuliah, dll. Synthesis
Menguraikan: elemen, unsur, faktor,
sebab-sebab. Contohnya menguraikan
unsur-unsur internal novel. Analysis
Menggunakan kaidah, rumus,
formula kedalam kasus: seperti
Application menyusun sebuah kalimat.
Menjelaskan dengan bahasa sendiri: definisi,
data, fakta, nama benda. seperti menjelaskan
Comprehension sebuah definisi.
Menyebut ulang dan menghapal: data, fakta, nama
benda. seperti menyebbut nama-nama kota, menghapal
Knowledge undang-undang, dan ayat-ayat.

Gambar2.
Klasifikasi Domain Kognitif
Sumber: Bermawi Munthe. 2009. Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, halaman 36.
30

2) Indikator Penilaian Kognitif


Aspek kognitif yang meliputi; pengetahuan, pemahaman,
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi dapat dinilai sebagai
sebuah hasil belajar. Setiap aspek dari kemampaun kognitif dinilai
dengan menggunakan beberapa indikator. Indikator penilaian
kognitif tersebut dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 3.
Indikator Penilaian Kognitif

Kategori Jenis Kemampuan


Domain Kata Kerja Operasional
Perilaku Internal
Kognitif Pengetahuan Mengetahui ...... Menyusun/menata
Misalnya: Mendefinisikan
- Istilah Menyalin
- Fakta Menunjuk (nama benda)
- Aturan Mendaftar
- Urutan Menghafalkan
- Metode Menyebutkan
Mengurutkan
Mengenal
Menghubungkan
Mengingat kembali
Mereproduksi
Pemahaman Menerjemahkan Mengklasifikasikan
Menafsirkan Menggambarkan
Memperkirakan Mendiskusikan
Menentukan ...... Menjelaskan
Misalnya: Mengungkapkan
- Metode Mendefinisikan
- Prosedur Menunjukkan
Memahami ...... Mengalokasikan
Misalnya: Melaporkan
- Konsep Mengakui
- Kaidah Menjatuhkan
- Prinsip Mengkaji ulang
- Kaitan antarfakta Memilih
- Isi pokok Menyatakan
Mengartikan/meng- Menerjemahkan
interpretasikan ......
Misalnya:
- Tabel
- Grafik
- Bagan
31

Penerapan Memecahkan masalah Menerapkan


Membuat bagan dan Memilih
grafik Mendemonstrasikan
Menggunakan ...... Mendramatisir
Misalkan: Mengerjakan
- Metode/prosedur Membuat ilusi
- Konsep Menginterpretasikan
- Kaidah Mengoperasikan
- Prinsip Melatih
Menyusun jadwal
Membuat sketsa
Memecahkan
Mengakui
Analisis Mengenali kesalahan Mengenali
Membedakan ...... Mengira-ngira
Misalkan: Menghitung
- Fakta dari Mengkategorikan
interpretasi data Membandingkan
dari kesimpulan Melawankan
Mengritik
Membuat diagram
Membedakan
Memperlakukan lain
Menguji
Mencoba
Menginventaris
Menanyakan
Mengetes
Membuat lain (dari yang
lain)
Sintesis Menghasilkan ...... Mengatur (sesuai dengan)
Misalnya: Merangkum
Klasifikasi Mengumpulkan
Karangan Mengatur komposisi
Kerangka teroritis Membangun
Menciptakan
Menyusun ...... Merancang
Misalnya: Merumuskan
Rencana Mengatur
Skema Mengorganisasi
Program kerja Merencanakan
Menyiapkan
Mengusulkan
Menyusun
Menulis
32

Evaluasi Menilai berdasarkan Menduga-duga


norma internal ...... Membuat argumentasi
Misalnya: Mengoreksi
Hasil karya seni Melampirkan
Mutu karangan Memilih
Mutu ceramah Membandingkan
Program penataran Mempertahankan
Mengestimasi
Menilai berdasarkan Memutuskan
norma eksternal ...... Mengira-ngira
Misalnya: Menganggap
Hasil karya seni Memberi nilai (score)
Mutu karangan Memilih
Mutu ceramah Mendukung
Program penataran Menilai
Mengevaluasi
Mempertimbangkan ...
Misalnya:
Baik buruknya
Pro-kotranya
Untung-ruginya

Sumber: Hamzah B. Uno dan Satria Koni. 2012. Assessment Pembelajaran.


Jakarta: Bumi Aksara, halaman 67-69.

3. Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika


a. Definisi Pembelajaran
Pembelajaran mempunyai kata dasar “belajar”. Belajar (Suyono
dan Haryanto, 2011: 9) adalah suatu aktivitas atau sutau proses untuk
memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki
perilakuk, sikap dan mengokohkan kepribadian. Ernes ER. Hilgard
(Yatim Riyanto, 2009: 4-5) mendefinisikan belajar sebagai:
Learning is the process by which an activity originates or is
changed throught training procedures (whether in the
laboratory or in the natural environment) as disitinguished
from changes by faktor not attributable to training. Artinya,
seseorang dapat dikatakan belajar kalau dapat melakukan
sesuatu dengan cara latihan-latihan sehingga yang
bersangkutan menjadi berubah.
33

Belajar bukan suatu tujuan tetapi merupakan suatu proses untuk


mencapai tujuan. Jadi, merupakan langkah-langkah atau prosedur yang
ditempuh (Oemar Hamalik, 2003: 29). Hasil belajar bukan suatu
penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan.
Definisi diatas memberi gambaran tentang makna
pembelajaran. Berikut ini adalah beberapa definisi tentang
pembelajaran dari beberapa sumber:
1) Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(Fokusmedia, 2009: 4), pembelajaran merupakan proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar.
2) Menurut Utomo Dananjaya (2010: 27), pembelajaran dimaknai
sebagai proses aktif siswa atau peserta didik yang mengembangkan
potensi dirinya.
3) Menurut Oemar Hamalik (2004: 57), pembelajaran adalah suatu
kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur menusiawi, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur yang saling memengaruhi untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
Definisi-definisi diatas dapat disimpulkan dalam sebuah
kalimat bahwa pembelajaran merupakan sebuah proses interaksi antara
siswa, guru dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembelajaran yakni
pengembangan potensi siswa.
b. Pembelajaran Matematika
Lisnawati (1993: 64-65) mengatakan dalam sebuah kalimat
bahwa: “… matematika merupakan salah satu kekuatan pembentuk
konsepsi tentang alam suatu hakikat dan tujuan manusia dalam
kehidupannya”. Russel (dalam Hamzah B. Uno dan Masri Kuadrat,
2009: 108) mendefinisikan bahwa matematika sebagai sutau studi yang
dimulai dari pengkajian bagian-bagian yang sangat dikenal menuju
arah yang tidak dikenal. Arah yang dikenal itu tersusun baik
(konstruktif), secara bertahap menuju arah yang rumit (kompleks) dari
34

bilangan bulat ke bilangan pecah, bilangan riil ke bilangan kompleks,


dari penjumlahan dan perkalian ke differensial dan integral, dan
menuju matematika yang lebih tinggi. Pernyataan tersebut memberi
gambaran bahwa matematika sebagai sebuah ilmu pengetahuan
memberikan sumbangsih besar terhadap ilmu pengetahuan. Sebelum
lanjut kepada proses pembelajaran matematika sebagai ilmu, maka
terlebih dahulu kita pahami dulu definisi matematika.
Matematika berasal dari bahasa Yunani “mathema” yang
berarti ilmu atau pengetahuan (knowledge, science), yang berkesamaan
makna dengan kata “mathein” yang artinya belajar atau berpikir (Erna
dan Tiurlina, 2006: 3). Berdasarkan asal kata tersebut, matematika
diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran.
Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunis secara
empiris. Kemudian pengalaman tersebut diproses di dalam dunia rasio,
diolah secara analisis dengan penalaran struktur kognitif sehingga
sampai terbentuk konsep-konsep matematika. Supaya konsep-konsep
matematika yang terbentuk dapat dipahami secara mudah dan dapat
dimanipulasi secara tepat maka digunakan bahasa matematika atau
notasi matematika yang bernilai global atau universal. Konsep
matematika diperoleh dari proses berpikir karena itu logika adalah
dasar terbentuknya matematika.
Pembelajaran matematika perlu diberikan penekanan-
penekanan konsep pada setiap proses pembelajarannya. Berikut adalah
pemaparan pembelajaran yang ditekankan pada konsep-konsep
matematika (Heruman, 2007: 3).
1) Penanaman konsep dasar (penanaman konsep), yaitu
pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum
pernah mempelajari konsep tersebut. Penenaman konsep dasar
merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan
kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru
matematika yang abstrak.
2) Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman
konsep yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep
matematika.
35

3) Pembinaan keterampilan, yaitu pembelajaran dari penanaman


konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan
keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalam
menggunakan berbagai konsep matematika.

Gagne (dalam Hamzah B. Uno dan Masri Kuadrat, 2009: 110)


mengemukakan delapan tipe belajar yang dilakukan secara prosedural
atau hierarki dalam belajar matematika. Kedelapam tipe belajar
tersebut, antara lain: belajar sinyal (signal learning); belajar stimulus
respon (stimulus-response learning); belajar merangkai tingkah laku
(behavior chaining learning); belajar asosiasi verbal (verbal chaining
learning); belajar diskriminasi (discrimination learning); belajar
konsep (concept learning); belajar aturan (rule learning); dan belajar
memecahkan masalah (problem solving learning).
c. Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika
Cara berpikir akan mempengaruhi tindakan sehari-hari. Dalam
praktekpersekolahan keterampilan berpikir akan dipelajari siswa
dalampembelajaran melalui konten materi pada semua mata pelajaran,
tidakterkecuali matematika. Salah satu keterampilan berpikir yang
dipelajaripeserta didik berpikir kritis. Kemampuan peserta didik untuk
mengkritisiterhadap nilai yang berkembang di kehidupan akan
membantu peserta didikuntuk melakukan seleksi terhadap nilai baik
dan buruk yang ditemukanpeserta didik, hal tersebut akan mendukung
proses pembentukan karakterpeserta didik.
Jika pengajaran keterampilan berpikir kritis kepada peserta
didik belum sampaipada tahap peserta didik dapat mengerti dan
belajar menggunakannya, maka keterampilanberpikir tidak akan
banyak bermanfaat. Pembelajaran yang efektif dari suatu
keterampilanmemiliki empat komponen, yaitu: identifikasi komponen-
komponen prosedural, instruksidan pemodelan langsung, latihan
terbimbing, dan latihan bebas. Yang perlu diperhatikandalam
pengajaran keterampilan berpikir ini adalah bahwa keterampilan
36

tersebut harusdilakukan melalui latihan yang sesuai dengan tahap


perkembangan kognitif anak. Apabilapembelajaran menggunakan
paradigma teacher-centered, sangat kurang untuk dapatmeningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi para siswa. Pendekatan itu
tidakmenggugah siswa untuk berpikir dan berperan aktif selama proses
pembelajaran. Merekadilatih hanya untuk mengingat saja. Untuk
mengembangkan pembelajaran yang dapatmengajarkan berpikir kritis,
sebaiknya mengenal indikator keterampilan berpikir kritis.
Dengan memberikan beragam kondisi, peserta didik diharapkan
selalu mengumpulkaninformasi yang lengkap sebagai bahan untuk
melakukan evaluasi terhadap apa yang telahdiyakininya.
Pengembangan soal untuk mengukur kemampuan berpikirkritis
memerlukan berbagai kriteria baik dari segi bentuk soalnya maupun
konten materisubyeknya. Ada beberapa cara yang dapat dijadikan
pedoman oleh para penulis soal untukmenulis butir soal yang menuntut
berpikir tingkat tinggi, yakni materi yang akanditanyakan diukur
dengan perilaku sesuai dengan ranah kognitif Bloom pada
levelanalisis, sintesis dan evaluasi, setiap pertanyaan diberikan dasar
pertanyaan (stimulus)dan soal mengukur kemampuan berpikir kritis.
Agar butir soal yang ditulis dapat menuntut berpikir tingkat
tinggi, maka setiapbutir soal selalu diberikan dasar pertanyaan
(stimulus) yang berbentuk sumber/bahanbacaan seperti: teks bacaan,
paragrap, teks drama, penggalan novel/cerita/dongeng, puisi,kasus,
gambar, grafik, foto, rumus, tabel, daftar kata/symbol, contoh, peta,
film, atau suarayang direkam.

4. Hubungan Penilaian Kognitif dalam Meningkatkan Kemampuan


Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran Matematika
Setiap lembaga pendidikan memiliki tujuan pada setiap proses
pembelajaran yang dilakukan. Tujuan pembelajaran merupakan rincian
kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah menempuh atau
37

dapat menyelesaikan program di suatu lembaga tertentu (Wina Sanjaya,


2010: 66).
Daya kritis siswa merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh
siswa. Kemampuan ini merupakan kemampuan yang akan digunakan pada
proses pembelajaran di tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Daya kritis
ini berkaitan dengan kemampuan analisis siswa terhadap suatu
permasalahan atau kasus. Menguraikan sesuatu dari komponen-komponen
sehingga mengetahui susunan dari sesuatu hal tersebut.
Ranah kognitif merupakan hasil belajar siswa yang berkenaan
dengan aspek pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis dan evaluasi (Nana Sudjana, 2009: 21). Dalam taksonomi Bloom,
analisis merupakan kemampuan tingkat tinggi yang artinya bahwa analisis
merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa sehingga siswa dapat
menguraikan situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau
komponen pembentuknya.
Pentingnya penilaian kognitif akan membantu siswa sekolah
menengah pertama (SMP) Negeri 3 Losari dalam meningkatkan
kemampuan individu dalam hal kekritisan berpikir. Kemampuan berpikir
kritis ini akan membantu siswa dalam menelaah permasalahan-
permasalahn yang ada pada mata pelajaran matematika. Selain itu, manfaat
yang akan dicapai dari penerapan penilaian kognitif antara lain:
a. Meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu permasalahan.
b. Mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa terhadap
suatu permasalahan.
c. Memberikan motivasi internal siswa sehingga siswa mempunyai
kekuatan berpikir untuk menyelesaikan suatu permasalahanya sendiri.
Manfaat diatas menunjukkan bahwa penilaian kognitif akan
membentu siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa
sehingga siswa dapat menyelesaikan suatu permasalahan khususnya pada
proses pembelajaran matematika sekolah.
38

B. Penelitian Yang Relevan


Peneliti telah melakukan beberapa penulusuran terhadap beberapa hasil
penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan fokus penelitian yang
akan diteliti. Peneliti telah menemukan beberapa hasil penelitian yang relevan
dengan penelitian yang akan dilakukan, diantaranya:
1. Penerapan penilaian afektif sebagai upaya meningkatkan kepercayaan diri
siswa pada mata pelajaran mateamatika (penelitian tindakan kelas VIII-A
SMP Negeri 17 Kota Cirebon).
Penelitian tindakan kelas tersebut dilakukan oleh Rani Yulia
Anggraeni tahun 2010 untuk memperoleh gelar sarjana di Institut Agama
Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon.
Kesimpulan penelitian tersebut adalah:
a. Penggunaan penerapan penilain afektif dapat meningkatkan
kepercayaan diri siswa. Hal ini terbukti dengan peningkatan rata-rata
disetiap siklusnya (siklus I sebesar 3,2; siklus II sebesar 3,3; dan siklus
III sebesar 3,6).
b. Kepercayaan diri siswa SMP Negeri 17 Kota Cirebon berada dalam
kategori cukup baik.
c. Dari hasil observasi menunjukan bahwa sikap siswa SMP 17 Kota
Cirebon menuju kearah yang positif (91,6%).
2. Pengembangan penilaian kinerja (performance assessment) pada lembar
kerja siswa (LKS) mata pelajaran matematika kelas VIII SMP Negeri 1
Ciwaringin.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Ningzul Fatimatun tahun 2012
untuk memperoleh gelar sarjana pada Institut Agama Islam Negeri Syekh
Nurjati Cirebon.
Kesimpulan penelitian tersebut antara lain:
a. Pengembangan penilaian kinerja siswa telah melalui beberapa tahap
dan menghasilkan penilain kinerja siswa pada pokok bahasan kubus
dan balok. Adapun tahapan-tahapan yang dilalui yaitu sebagai berikut:
1) Identifikasi dan pengumpulan data;
39

2) Desain, yaitu menentukan desain penilaian kinerja;


3) Validasi penilaian kinerja oleh expert judgement;
4) Revisi penilaian kinerja berdasarkan masukan expert judgement;
5) Uji coba penilaian kinerja di kelas VIII B SMP Negeri 1
Ciwaringin;
6) Revisi penilaian kinerja hasil uji coba, dan
7) Pembuatan penilaian kinerja final.
b. Efektifitas penilaian kinerja siswa pokok bahasan kubus dan balok
menunjukan bahwa kinerja siswa pada indikator 1, 2, 3, 4, 5 dan 6
telah menunjukan KKM yaitu 89,8%, 87,2%, 92,3%, 92,3%, 94,9%,
89,8%, dengan nilai rata-rata tiap indikator 81,92, 76,92, 81,41, 79,74,
86,54, 86,92. Sedangkan hasil nilai evaluasi akhir (post test) 92,3%
dengan nilai-nilai rata-rata 74,74 maka dapat disimpulkan bahwa
penilaian kinerja yang telah dikembangkan efektif untuk meningkatkan
hasil kinerja siswa.
c. Hasil observasi pada indikator keterampilan proses dan keaktifan dapat
disimpulkan pada aktivitas 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 17,
dan 18 yaitu siswa telah menunjukkan aktivitas positif yang selalu
dilakukan siswa dengan prosentase 41%, 35,9%, 38,5%, 33,33%,
30,8%, 38,5%, 46,2%, 41%, 38,5%, 35,9%, 38,5%, 35,9%, 41%,
38,5% sedangkan siswa yang melakukan aktivitas positif sering pada
aktivitas 1, 7, 14 dengan prosentase 48,7%, 38,5%, 33,3%. Dua item
pernyataan yang terkahir merupakan bentuk pernyataan negatif
menunjukkan kriteria pernah pada aktivitas 19 dengan prosentase
35,9% dan pada aktivitas 20 menunjukkan tidak pernah dengan
prosentase 38,5% hasil observasi menunjukkan bahwa penilaian
kinerja memiliki efek yang positif pada perilaku siswa.
3. Upaya mengoptimalkan kemampuan berpikir kreatif dalam implementasi
pendekatan kreativitas pada bidang studi matematika (studi eksperimen di
kelas VIII SMP Negeri 1 Cirebon Barat).
40

Penelitian tersebut dilakukan oleh Edy Suprayitno tahun 2006


untuk memperoleh gelar sarjana di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Cirebon.
Kesimpulan penelitian ini adalah:
a. Ada perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa antara sebelum dan
sesudah diterapkannya pendekatan kreatif dalam eksperimen dengan
nilai rata-rata tes awal 9,178, rata-rata nilai tes akhir 10,1 terdapat
perbedaan sebesar 0,922 atau 92,2% pada kelompok eksperimen
sehingga terjadi peningkatan yang cukup baik dari proses
pembelajaran dalam upaya mengoptimalkan kemampuan berpikir
kreatif.
b. Peningkatan kreativitas yang dicapai dalam eksperimen cukup baik
dengan hasil yang didapatkan oleh kelompok eksperimen dengan nilai
rata-rata selisih tes sebesar 0,911 dan hasil yang dicapai oleh kelompok
kontrol dengan nilai rata-rata selisih tes 0,38 yang mana hasil yang
dicapai kelompok eksperimen lebih besar dari kelompok kontrol.
c. Pendekatan kreativitas cukup efektif digunakan dalam eksperimen
untuk mengoptimalkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam
pembelajaran matematika dengan hasil yang dicapai dari tes rata-rata
sebesar 2,53 pada taraf signifikansi 0,05 sebesar 1,67 dan pada taraf
signifikansi 0,01 sebesar 2,39 dibandingkan dengan hasil yang dicapai
kelompok kontrol dengan tes rata-rata sebesar 1,19 pada taraf
signifikansi 0,01 sebesar 2,39 dan pada taraf signifikansi 0,05 sebesar
1,67.

C. Kerangka Pemikiran
Pembelajaran merupakan sebuah proses komunikasi pendidikan dua
arah yang melibatkan guru dan siswa. Pembelajaran juga dimaknai sebagai
proses transformasi ilmu pengetahuan dari sumber pengetahuan dalam hal ini
guru dan penerima pengetahuan yang dikenal dengan siswa. Dalam setiap
proses pembelajaran terdapat sebuah tujuan yang akan menentukan sebuah
41

kualitas proses pendidikan. Tujuan diterapkan sebagai pedoman pelaksanaan


pembelajaran sehingga proses pembelajaran berjalan sesuai dengan arah yang
telah ditentukan.
Setiap lembaga pendidikan memiliki tujuan pada setiap proses
pembelajaran yang dilakukan. Tujuan pembelajaran merupakan rincian
kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah menempuh atau dapat
menyelesaikan program di suatu lembaga tertentu (Wina Sanjaya, 2010: 66).
Daya kritis siswa merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh
siswa. Kemampuan ini merupakan kemampuan yang akan digunakan pada
proses pembelajaran di tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Daya kritis ini
berkaitan dengan kemampuan analisis siswa terhadap suatu permasalahan atau
kasus. Menguraikan sesuatu dari komponen-komponennya sehingga
mengetahui susunan dari sesuatu hal tersebut. Daya kritis siswa dapat diukur
melalui sebuah penilaian yang sesuai sehingga tingkat kekritisan siswa dapat
diketahui.
Terdapat 5 tahapan berpikir dengan masing-masing indikatornya
sebagai berikut (Katimi, 2007):
1. Memberikan penjelasan sederhana; meliputi memfokuskan pertanyaa,
bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan.
2. Membangun keterampilan dasar; meliputi mempertimbangkan apakah
sumber dapat dipercaya atau tidak, dan mengamati dan
mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
3. Menyimpulkan; meliputi mendeduksikan dan mempertimbangkan hasil
deduksi, menginduksikan dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat
dan menentukan nilai pertimbangan.
4. Memberikan penjelasan lanjut; meliputi mendefinisikan istilah dan
pertimbangan dalam tiga dimensi, mengidentifikasi asumsi.
5. Mengatur strategi dan taktik; meliputi menentukan tindakan, berinteraksi
dengan orang lain.
Penilaian adalah proses pengumpulan informasi dan pengolahan
informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian
42

juga merupakan proses pengumpulan informasi dalam bentuk tulisan maupun


lisan dan sikap. Hasil pengumpulan informasi tersebut kemudian diolah
sehingga dapat diambil kesimpulan tentang keberhasilan sebuah pencapaian
target hasil belajar (Fokusmedia, 2009).
Penilaian kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang
terdiri dari enam aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain pengetahuan atau
ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi (Nana Sudjana,
2009: 22). Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental
(otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah
termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif berhubungan dengan
kemampuan berpikir termasuk di dalamnya kemampuan menghafal,
memahami, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi.
Untuk menilai sebuah kemampuan berpikir kognitif yang di dalamnya
termasuk kemampuan berpikir kritis, dibutuhkan sebuah alat penilaian yang
dinamakan penilaian kognitif. Adapun indikator penilaian kognitif adalah
sebagai berikut:
1. Jenis kategori pengetahuan atau menghafal
Kemampaun internal: Mengetahui ...... Misalnya: Istilah, Fakta, Aturan,
Urutan, Metode.
Kata kerja operasional: Menyusun/menata, Mendefinisikan, Menyalin,
Menunjuk (nama benda), Mendaftar, Menghafalkan, Menyebutkan,
Mengurutkan, Mengenal, Menghubungkan, Mengingat kembali,
Mereproduksi.
2. Jenis kategori pemahaman
Kemampuan internal: Menerjemahkan, Menafsirkan, Memperkirakan,
Menentukan ...... (Misalnya: Metode, Prosedur), Memahami ......
(Misalnya: Konsep, Kaidah, Prinsip, Kaitan antarfakta, Isi pokok),
Mengartikan/meng-interpretasikan ...... (Misalnya: Tabel, Grafik, Bagan).
Kata kerja operasional: Mengklasifikasikan, Menggambarkan,
Mendiskusikan, Menjelaskan, Mengungkapkan, Mendefinisikan,
43

Menunjukkan, Mengalokasikan, Melaporkan, Mengakui, Menjatuhkan,


Mengkaji ulang, Memilih, Menyatakan, Menerjemahkan.
3. Jenis kategori penerapan atau aplikasi
Kemampuan internal: Memecahkan masalah, Membuat bagan dan grafik,
Menggunakan...... (Misalkan: Metode/prosedur, Konsep, Kaidah, Prinsip).
Kata kerja operasional: Menerapkan, Memilih, Mendemonstrasikan,
Mendramatisir, Mengerjakan, Membuat ilusi, Menginterpretasikan,
Mengoperasikan, Melatih, Menyusun jadwal, Membuat sketsa,
Memecahkan, Mengakui.
4. Jenis kategori analisis
Kemampuan internal: Mengenali kesalahan, Membedakan ...... (Misalkan:
Fakta dari interpretasi data dari kesimpulan).
Kata kerja operasional: Mengenali, Mengira-ngira, Menghitung,
Mengkategorikan, Membandingkan, Melawankan, Mengritik, Membuat
diagram, Membedakan, Memperlakukan lain, Menguji, Mencoba,
Menginventaris, Menanyakan, Mengetes, Membuat lain (dari yang lain).
5. Jenis kategori sintesis
Kemampuan internal: Menghasilkan...... (Misalnya: Klasifikasi,
Karangan, Kerangka teroritis), Menyusun...... (Misalnya: Rencana,
Skema, Program kerja).
Kata kerja operasional: Mengatur (sesuai dengan), Merangkum,
Mengumpulkan, Mengatur komposisi, Membangun, Menciptakan,
Merancang, Merumuskan, Mengatur, Mengorganisasi, Merencanakan,
Menyiapkan, Mengusulkan, Menyusun, Menulis.
6. Jenis kategori evaluasi
Kemampuan internal: Menilai berdasarkan norma internal...... (Misalnya:
Hasil karya seni, Mutu karangan, Mutu ceramah, Program penataran),
Menilai berdasarkan norma eksternal...... (Misalnya: Hasil karya seni,
Mutu karangan, Mutu ceramah, Program penataran),
Mempertimbangkan... (Misalnya: Baik buruknya, Pro-kotranya, Untung-
ruginya).
44

Kata kerja operasional: Menduga-duga, Membuat argumentasi,


Mengoreksi, Melampirkan, Memilih, Membandingkan, Mempertahankan,
Mengestimasi, Memutuskan, Mengira-ngira, Menganggap, Memberi nilai
(score), Memilih, Mendukung, Menilai, Mengevaluasi.
Melalui penilaian kognitif diharapkan kemampuan berpikir kritis siswa
dapat meningkat. Hal ini dapat dilihat pada bagan kerangka pemikiran
dibawah ini.

Guru dan Siswa

Kegiatan Pembelajaran

Motivasi Penilaian Metode


Belajar Kognitif Pembelajaran

Perencanaan

Refleksi Pelaksanaan

Observasi

Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa

Gambar3.
Kerangka Pemikiran
45

D. Hipotesis
Dalam meneliti suatu masalah, hipotesis memegang peranan penting.
Adanya hipotesis ini peneliti akan memperoleh gambaran tentang jawaban
masalah yang dihadapi sehingga memperjelas dalam usaha mencari langkah-
langkah yang akan ditempuh dalam mengatasi persoalan yang ada.
Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian dampai terbukti melalui data yang terkumpul
(Suharsimi Arikunto, 2006: 71).
Berdasarkan rumusan yang telah dikemukakan, hipotesis penelitian
adalah:
1. Penerapan penilain kognitif dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa;
2. Melalui penerapan penilaian kognitif hasil belajar matematika siswa dapat
mengalami peningkatan yang signifikan;
3. Respon siswa positif terhadap penerapan penilain kognitif dan aktivitas
siswa meningkat pada pembelajaran matematika.

Anda mungkin juga menyukai