Makalah Islam Dan Lingkungan Hidup Kel 6 Ps
Makalah Islam Dan Lingkungan Hidup Kel 6 Ps
Disusun oleh
Kelompok 6
Mardia 2251040381
Pasya Nindio Kirana 2251040156
Delsy Oktavia 2251040245
Erhan Redo Asary 2251040069
I
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
perlindungan dan bimbingan kasih-nya, sehingga pembuatan makalah tentang “
Teologi Lingkungan Dan bisnis syariah” dapat terselesaikan dengan baik penuh
dengan campur tangan tuhan. Makalah ini disusun ndengan tujuan untuk melengkapi
tugas mata kuliah ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP dalam pelaksanaan
pembelajaran maupun saat pembuatan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
masalah dan kendala yang penulis hadapi.
Sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yan g tak terhingga
kepada ibu Aisyah selaku dosen pengampu mata kuliah ini. Penulis menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Dan tak lepas dari keterbatasan
ilmu pengetahuan yang penulis miliki. Maka dari itu, penulis tetap menerima kritik
dan saran dari berbagai pihak. Semoga bermanfaat bagi penulis kedepannya dan
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Penulis
II
DAFTAR ISI
COVER ........................................................................................................................ I
C. Tujuan .............................................................................................................. IV
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 18
B. Saran ................................................................................................................. 18
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Teologi Lingkungan?
2. Apa itu Bisnis Syariah?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Tentang Teologi Lingkungan.
2. Untuk Mengetahui Tentang Bisnis Syariah.
IV
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teologi Lingkungan
Kata teologi berasal dari bahasa Yunani dan telah ada sejak bangsa Sumeria, yaitu
dari kata Theologia yang berarti tuhan atau tuhan-tuhan, secara umum teologi bukan
merupakan hak suatu komunitas agama tertentu kata tersebut merupakan bagian dari
Pendidikan umum, yang asal mulanya mengacu pada candi- candi yang
dipersembahkan untuk persembahan tuhan tuhan di bangsa Yunani dan romawi.
Menurut Amin Abdullah, Teologi Adalah suatu ilmu yang membahas tentang
keyakinan, yaitu sesuatu yang sangat fundamental dalam kehidupan beragama, Yakni
suatu ilmu pengetahuan yang paling otoritatif, dimana semua hasil penelitian dan
pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran teologis, dan terjadi perselisihan, maka
pandangan keagamaan yang harus dimenangkan.1
Dari segi terminologi istilah teologi(theologia) berasal dari dua kata “theos” yang
berarti tuhan dan “logos” yang berarti ilmu. Maka, teologi berarti ilmu yang
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan ketuhanan dan keyakinan
beragama. Atau kumpulan ajaran yang disusun secara koheren tentang hakikat Tuhan,
dan hubungannya dengan manusia dan alam.2
1
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau HIstorisitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, Hal
10
2
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT.Gramedia, 1996), 1090
1
mengalami strategi pembahasan. Teologi harus menjadi solusi (problems solver) juga
dalam masalah-masalah sosial, termasuk di dalamnya masalah lingkungan.3
Teologi lingkungan merupakan ranah kajian baru dalam dunia teologi. Kajian
teologi lingkungan muncul sebagai penyikapan positif masyarakat teologi terhadap
persoalan lingkungan. Masyarakat teologi klasik dan masyarakat teologi pertengahan
tidak mengembangkan kajian teologi lingkungan. Sebab pada masa itu lingkungan
belum menimbulkan masalah dan belum bermasalah. Lingkungan masih bersahabat
dan memiliki daya dukung optimum bagi kehidupan manusia dan makhluk lain.
Sedangkan pada masa kontemporer modern ini justru lingkungan sudah menjadi
masalah besar4 bahkan permasalahannya sudah menjadi keprihatinan serius secara
global. Oleh karena itu, teologi lingkungan merupakan teologi yang bersifat
kontekstual.
3
Nur Arfiyah Febriani Ekologi Berwawasan Gender (Bandung: Mizan, 2014), hlm 57
4
M.T. Zen ed., Menuju Kelestarian Lingkungan, Gramedia, cet. IlI, Jakarta, 1980, hlm. 2 dst.
2
politik, teologi populis, teologi feminis, teologi kerja, teologi tanah dan teologi
lingkungan.5
Allah adalah pencipta pertama lingkungan dan pemilik lingkungan tanpa pemilik
lingkungan tanpa bermilik serta pemelihara terbaik lingkungan. Mereka juga percaya
kepada metasosial sistem, bahwa manusia adalah makhluk paling bertanggung jawab
dalam pelestarian lingkungan.
3. Peduli lingkungan sebagian dari iman, maka tidak sempurna iman seseorang jika
tidak peduli lingkungan. Oleh sebab itu, jangan sekali-kali mengaku dirinya insan
beriman jika tidak peduli lingkungan.
5
A. Luthfi Assyaukani, “tipologi dan wacana pemikiran arab kontemporer”, Jurnal paramadina, Vol.I
no.1, juli-desember,19998,hlm 74
3
5. Energi itu terbatas, oleh sebab itu hemat energi adalah sebagian dari iman.
Janganlah mengaku dirinya sebagai insan beriman jika tidak hemat energi, sedangkan
boros energi adalah sebagian dari kufur.6
Dalam konteks ini berbagai Gerakan yang ada turut menampilkan isu krisis
lingkungan sebagai akibat dari praktik kehidupan manusia yang mulai memisahkan
relasi dirinya dengan alam. Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan
mayoritas masyarakat menganut nilai-nilai doktrin keagamaan, kesadaran melalui
ajaran memiliki peluang besar dalam membentuk kesadaran mencintai alam. Sebab
dalam ranah teologi lingkungan alam adalah manifestasi kehadiran tuhan untuk dapat
mengantarkan manusia memahaminya.
6
Mujiono, "teologi lingkungan", Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2001, x-xii.
4
dan manusia sebagai ciptaan tuhan berlandaskan kosmologi tradisional. Kaus krisis
ekologi dan krisis spiritualitas dimana manusia modern semakin jauh dari memahami
alam sebagai bagian dari ciptaan tuhan yang seharusnya dijaga. Krisis etika menjaga
ala mini dihubungkan dengan semakin melangitkan ilmu agama yang dipahami
masyarakat modern sehingga harmoni hubungan terhadap tuhan hanya berkutat
dengan urusan akhirat sedangkan urusan dunia seperti halnya relasi terhadap alam
mulai terabaikan. Hubungan teologi dan krisis lingkungan yang dipersepsikan dalam
berbagai diskursus menampikan doktirn agama, sebagai penyebar dominasi manusia
terhadap alam sejalan dengan kurangnya pengetahuan otentik mengenai tradisi
agama.7
Dalam tradisi morfologi bahasa Arab, kelompok kata, frase, "Teologi Lingkungan
Islam" termasuk dalam kategori kelompok kata berganda yang terdiri dari kelompok
kata pertama "Teologi Lingkungan" dan kelompok kata kedua "Lingkungan Islam".
Dalam kelompok kata pertama seak<an terdapat partikel "entang" ('an) antara kata
pertama teologi dan kata kedua lingkungan. Kelompok kata demikian disebut frase
informatif, idlafah bayiniyah.* Kata pertama, teologi, diposisikan sebagai kata utama
yang menjadi sandaran dan disebut mudlaf. Kata kedua, lingkungan, diposisikan
sebagai obyek material atau bidang. disebut mudlaf ilayhi. Kata kedua ini sekaligus
diposisikan sebagai kata utama yang menjadi sandaran dalam frase kedua. Oleh
7
Nasr, S. H., & Jahanbegloo, R. (2010). In Search Of The Sacred. Praeger
5
karena itu, teologi lingkungan berarti bagian teologi yang membahas bidang
lingkungan. Sedangkan dalam kelompok kata kedua, lingkungan Islam, seakan
terdapat partikel dari (min) antara kata pertama, lingkungan, dan kata kedua, Islam.
Kelompok kata demikian lazim disebut frase atributif. Kata pertama, lingkungan,
menjadi sandaran bagi kata kedua, Islam. Kata kedua menjadi sifat dan sumber asal
dari kata pertama.Dengan demikian, teologi lingkungan Islam berarti teologi yang
obyek material kajiannya bidang lingkungan dan perumusannya didasarkan pada
sumber nilai ajaran agama Islam. Dengan kata lain, teologi lingkungan Islam
merupakan ilmu yang membahas tentang ajaran dasar Islam mengenai lingkungan.8
3. Perspektif ekologis
8
M.T. Zen ed., Menuju Kelestarian Lingkungan, Gramedia, cet. IlI, Jakarta, 1980, hlm. 2 dst.
9
Kaslan A. Tahir, Butir-butir Tata lingkungan, Jakarta:Rineka Cipta, 1991, cet ke-2, hlm.29-33
10
R.E Soeriaatmadja, Ilmu Lingkungan, Bandung: ITB Bandung, 1981, cet ke-3, hlm 13-31
6
ekologi dalam arti luas meliputi lingkungan hidup semua organisme.Padahal,
pengertian lingkungan hidup manusia tegas telah menun-jukkan kepada suatu
lingkungan jenis tertentu dalam pengertian umum tentang lingkungan. 11 Oleh karena
itu, jika ilmu lingkungan dimak-sudkan bukan untuk lingkungan hidup manusia maka
lazim diberi predikat, seperti ekologi orang hutan, ekologi hutan, ekologi kelautan
dan sebagainya. Penyempitan pemaknaan lingkungan masyarakat pengelola
lingkungan yang demikian merupakan implemen-tasi aplikatif prinsip dasar ekologi
normatif sehingga ekologi menjadi ilmu terapan, applied science.
11
S. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Jakarta:Binacipta, 1983, cet ke-1, hlm 62-63
7
kekuasaan absolut manusia terhadap lingkungan. Akibatnya adalah lingkungan
menjadi rusak dan tercemar.12
B. Bisnis Syariah
Menurut Grafifin dan Ebert (2007) bisnis adalah organisasi yang menyediakan
barang atau jasa dengan maksud mendapatkan laba.
Menurut Kasmir dan Jakfar (2012) bisnis adalah usaha yang dijalankan ang tujuan
utamanya adalah keunntungan.
12
Daniel D. Chiras, Environmental Science A Frame Work For Dicision Making (Menlo Park, Canada:
The Benyamin Publishing co., 1985), h. 4. Otto Sumarwoto, Loc. Cit. Munadjat Danusaputro, Op. Cit,
h. 68
8
menerapkan produk ataupun praktek bisnis syariah, karna dalam penerapannya
tidaklah cukup hanya berganti nama saja.13
pada prinsipnya dalam kegiatan bisnis syariah, setiap kegiatan bisnis haruslah
dikendalikan oleh nilai-nilai Islam, yang mana dalam hal ini setiap individu pe-laku
bisnis harus memperhitungkan perintah dan larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan Sunnah sebagai dua sumber hukum utama dalam Islam (ultimate source of law),
adapun mengenai dok-trin bisnis syariah dapat dipahami sebagai rangkaian
reaktualisasi doktrin Islam tentang masalah ekonomi yang memasuki fase ap-likasi
dalam setiap kegiatan bisnis yang beragam.
Doktrin bisnis syariah yang muncul pada abad kedua puluh, bertujuan untuk
membangun sebuah kegiatan ekonomi yang berlandaskan pada kegiatan bisnis yang
sesuai dengan wahyu dan tradisi yang melingkupinya, yang pada awalmulanya
mengedepankan sistem free interest yang dikatakan sebagai suatu alernatif dari bank
yang me nerapkan sistem bunga atau riba.
Bisnis syariah pada intinya berusaha untuk mengarahkan para individu pelaku
bisnis dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan menggunakan
sumber daya yang tersedia tanpa mengambil hak milik orang lain dengan jalan yang
bathil, oleh karena itu untuk mewujudkan hal tersebut bisnis syariah harus
memperhatikan beberapa aturan pokok yang merupakan garis besar pedoman dalam
melakukan kegiatan bisnis yaitu:
13
Huda, C. (2016). Model Pengelolaan Bisnis Syariah: Studi Kasus Lembaga Pengembangan Usaha
Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Agama , 166.
9
2. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam Batasan tertentu dan selama tidak
melanggar hak orang lain.
3. Kekuatan utama dalam setiap kegiatan bisnis adalah kerjasama pada pihak
dalam suatu kontrak bisnis.
4. Kepemilikan kekayaan pribadi haruslah dipandang sebagai modal produktif
yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan kesejahteraan
masyarakat, oleh karena itu kepemilikan pribadi tidak boleh terakumulasi dan
dikuasai oleh beberapa orang saja.
5. Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya yang dirancang
untuk kepentingan orang banyak.
6. Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur,
perlakuan yang tidak adil, diskriminasi dan penindasan.
7. Islam mewajibkan untuk membayar zakat.
8. Islam melarang praktik riba.
Oleh karena itu, yang menjadi ciri khas utama bisnis Syariah adalah bisnis yang
bebas dari riba, hal ini dikarenakan islam secara tegas mengharamkan riba, yang juga
ditambah dengan larangan adanya unsur gharar dan maysir dan kecurangan dalam
bisnis.14
Dalam perspektif fiqh keuangan istilah bisnis dalam Islam secara lazim disebut
dengan istilah tijarah yaitu pengelolaanharta benda untuk mencari keuntungan, yang
mana dalam bisnis syariah pencarian keuntungan tersebut bukanlah semata-mata
hanya terfokus pada sudut pandang materil saja, melainkan juga meliputi pada usaha
untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT dalam menjalankan bisnis tersebut, oleh
karena itu bisnis syariah pada hakikatnya mengacu pada makna bisnis yang
14
Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, Edisi Revisi,
Kencana-PrenadaMedia Group, Jakarta, 2012, h. 73.
10
berpedoman pada Al-Qur’an yang tidak hanya memuat hal-hal yang bersifat materiel
namun justru juga mengarah pada hal-hal yang bersifat immateriel.
Adapun mengenai keterikatan para pelaku bisnis terhadap sya-riat yang berlaku
dalam setiap kegiatan bisnis secara otomatis akan memberikan jalan kebenaran
(minhaj) sekaligus batasan larangan (hudud), sehingga secara tidak langsung akan
mampu membedakan antara mana yang halal dan mana yang haram, sehingga bisnis
Namun demikian perlu untuk digarisbawahi pula bahwa Al-Qur’an dan Sunnah
tetap memiliki tingkat kebenaran yang pasti dan absolut, hal ini dikarenakan kedua
sumber hukum tersebut adalah prinsip-prinsip hukum yang bersifat tekstual
(manthuq) yang dijadikan dasar untuk melakukan amal perbuatan di dunia, akan
tetapi adakalanya bahwa prinsip-prinsip hukum yang tersebut tidak semua bersifat
tekstual, akan tetapi ada yang bersifat maknawiyah (mafhum), oleh karena itulah
untuk mengetahui keberadaan terhadap prinsip-prinsip tersebut tetap dibutuhkan
pemahaman yang lebih mendalam, yang dila-kukan dengan mengikuti ketentuan
11
ijtihad, ijma dan qiyas sebagai bentuk interpretasi dua sumber hukum utama dalam
Islam dan disinilah letak poin terpenting dalam perkembangan bisnis syariah.15
Oleh karena itu, dapat dijelaskan pula bahwa bisnis syariah secara garis besar memuat
beberapa prinsip yang antara lain:
1. Bisnis Syariah selalu memandang bahwa segala jenis sumber daya manusia
adalah pemberian atau titipan Allah SWT kepada manusia, oleh karena itu,
manusia hatus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam
segala kegiatan produksi guna memenuhi kesejahteraan untuk diri sendiri dan
orang lain dengan mengingat bahwa kegiatan tersebut pada intinya akan
dipertanggungjawabkan diakhirat kelak nantinya.
2. Islam mengakui segala bentuk hak kepemilikan pribadi dalam Batasan
tertentu, hal ini meliputi kepemilikan terhadap alat dan faktor produksi, yang
mana hal tersebut dapat diartikan bahwa kepemilikan individu dibatasi oleh
kepentingan masyarakat dan islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh
melalui jalan yang tidak sah.
3. Bisnis syariah digerakkan oleh kerja sama antara umat Muslim, baik sebagai
pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan, distributor, dan
sebagainya, yang mana kesemua pihak tersebut harus tetap berpegang pada
tuntutan Allah SWT yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Kepemilikan kekayaan pribadi dalam setiap kegiatan bisnis syariah harus
berperan sebagai modal produktif yang senantiasa selalu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, sehingga sistem bisnis syariah senantiasa menolak
terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja, yang
mana hal ini amat bertentangan dengan sistem bisnis kapitalis yang
memungkinkan kepemilikan industri hanya dikuasai dan di dominasi oleh
segelintir pihak tertentu.
15
Burhanuddin S, Hukum Bisnis Syariah, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2011, h. 12.
12
5. Bisnis syariah secara signifikan menjamin kepemilikan masyarakat dan
penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak
6. Bisnis syariah selalu menekankan bahwa setiap Muslim sebagai pelaku bisnis
harus takut kepada Allah SWT dan kehidupan di akhirat nantinya, oleh sebab
itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur,
perlakuan yang tidak adil serta semua bentuk diskriminasi dan penindasan.
7. Islam mengatur bahwa setiap Muslim yang kekayaannya melebihi batasan
tertentu (nisab) diwajibkan untuk membayar zakat, dalam hal ini zakat
merupakan sarana dan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya yang
ditujukan kepada orang miskin dan orang yang membutuhkan.
8. Setiap kegiatan bisnis syariah melarang pembayaran bunga atau riba terhadap
segala bentuk pinjaman uang.
b. Etika bisnis
Perkataan etika atau seperti lazim disebut etik, berasal dari bahasa latin ethica.
Ethos dalam bahasa Yunani artinya norma – norma, nilai, kaidah, ukuran bagi tingkah
laku yang baik.16 Etika perlu dipahami sebagai sebuah cabang filsafat yang berbicara
mengenai nilai dan norma moral. Etika bermaksud membantu manusia untuk
bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena setiap tindakannya
selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk
mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut karena ada alasan yang jelas atas
tindakannya.17 Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan
dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan
16
Simorangkir, ETIKA: Bisnis, Jabatan dan Perbankan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), Hlm 82
17
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur,
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 20
13
pribadi yang bebas dengan selalu bersedia mempertanggungjawabkan tindakannya itu
karena terdapat alasan –alasan dan pertimbangan dalam setiap tindakannya.18
18
Ibid, hlm 22
14
Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas
bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak
didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat
perjanjian dan kontrak. Kejujuran ini sangat penting artinya bagi masing –
masing pihak dan sangat menentukan relasi dan kelangsungan bisnis masing-
masing pihak selanjutnya. Karena seandainya salah satu pihak berlaku curang
dalam memenuhi syaratsyarat perjanjian tersebut, selanjutnya tidak mungkin
lagi pihak yang dicurangi itu mau menjalin relasi bisnis dengan pihak yang
curang tadi.Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu
dan harga terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara
jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak
didasarkan atas kejujuran.
Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak.
Kejujuran ini sangat penting artinya bagi masing – masing pihak dan sangat
menentukan relasi dan kelangsungan bisnis masing-masing pihak selanjutnya.
Karena seandainya salah satu pihak berlaku curang dalam memenuhi syarat-
syarat perjanjian tersebut, selanjutnya tidak mungkin lagi pihak yang
dicurangi itu mau menjalin relasi bisnis dengan pihak yang curang tadi.Kedua,
kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang
sebanding. Dalam pasar yang terbuka dengan barang dan jasa yang beragam
dan berlimpah ditawarkan kedalam pasar, dengan mudah konsumen berpaling
dari satu produk ke produk yang lain. Maka caracara bombastis, tipu menipu,
bukan lagi cara bisnis yang baik dan berhasil.
Kejujuran adalah prinsip yang justru sangat penting dan relevan untuk
kegiatan bisnis yang baik dan tahan lama.Ketiga, jujur dalam hubungan kerja
intern dalam suatu perusahaan. Kejujuran dalam perusahaan adalah inti dan
kekuatan perusahaan itu. Perusahaan itu akan hancur kalau suaana kerja penuh
dengan akal-akalan dan tipu-menipu. Kalau karyawan diperlakukan secara
baik dan manusiawi, diperlakukan sebagai manusia yang punya hak-hak
15
tertentu, kalau sudah terbina sikap saling menghargai sebagai manusia antara
satu dan yang lainnya, ini pada gilirannya akan terungkap keluar dalam relasi
dengan perusahaan lain atau relasi dengan konsumen. Selama kejujuran tidak
terbina dalam perusahaan, relasi keluar pun sulit dijalin atas dasar
kejujuran.
c. Prinsip keadilan
Menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan
yang adil, serta dapat dipertanggung jawabkan. Keadilan menuntut agar setiap
orang dalam kegiatan bisnis perlu di perlakukan sesuai dengan haknya
masing-masing dan agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan
kepentingannya.
d. Prinsip saling menguntungkan
Menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan
semua pihak. Kalau prinsip keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak
yang dirugikan hak dan kepentingannya, prinsip saling menguntungkan secara
positif menuntut hal yang sama, yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling
menguntungkan satu sama lain. Prinsip ini terutama mengakomodasi hakikat
dan tujuan bisnis. Karena anda ingin untung dan saya pun ingin untung, maka
sebaliknya kita menjalankan bisnis dengan saling menguntungkan. Maka,
dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini menuntut agar persaingan bisnis
haruslah melahirkan win-win situation.
e. Prinsip integritas moral
Dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan,
agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan atau
orang-orangnya maupun perusahaannya. Dengan kata lain prinsip ini
merupakan tuntutan dan dorongan dari dalam diri pelaku dan perusahaan
untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan. Dan itu tercermin dalam seluruh
16
perilaku bisnisnya dengan siapa saja, baik keluar maupun kedalam
perusahaan.19
19
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 74
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum teologi bukan merupakan hak suatu komunitas agama tertentu kata
tersebut merupakan bagian dari Pendidikan umum, yang asal mulanya mengacu pada
candi- candi yang dipersembahkan untuk persembahan tuhan tuhan di bangsa Yunani
dan romawi.
Teologi Adalah suatu ilmu yang membahas tentang keyakinan, yaitu sesuatu
yang sangat fundamental dalam kehidupan beragama, Yakni suatu ilmu pengetahuan
yang paling otoritatif, dimana semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai
dengan alur pemikiran teologis, dan terjadi perselisihan, maka pandangan keagamaan
yang harus dimenangkan
Bisnis adalah seluruh kegiatan yang diorganisasikan oleh orang-orang yang
berkecimpung dalam bidang perniagaan dan industri yang menyediakan barang dan
jasa untuk kebutuhan mempertahankan dan memperbaiki standar serta kualitas hidup
mereka.
B. Saran
Semoga makalah kelompok kami dapat memberikan manfaat pengetahuan
tentang lingkungan dan bisnis kepada pembaca, kami menyadari bahwa makalah ini
masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami meminta
saran dari para pembaca untuk menyempurnakan makalah kami.
18
DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau HIstorisitas, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1999, Hal 10
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT.Gramedia, 1996), 1090
Nur Arfiyah Febriani Ekologi Berwawasan Gender (Bandung: Mizan, 2014),
hlm 57
M.T. Zen ed., Menuju Kelestarian Lingkungan, Gramedia, cet. IlI, Jakarta,
1980, hlm. 2 dst.
A. Luthfi Assyaukani, “tipologi dan wacana pemikiran arab kontemporer”,
Jurnal paramadina, Vol.I no.1, juli-desember,19998,hlm 74
Mujiono, "teologi lingkungan", Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2001, x-xii.
Nasr, S. H., & Jahanbegloo, R. (2010). In Search Of The Sacred. Praeger
M.T. Zen ed., Menuju Kelestarian Lingkungan, Gramedia, cet. IlI, Jakarta,
1980, hlm. 2 dst.
Kaslan A. Tahir, Butir-butir Tata lingkungan, Jakarta:Rineka Cipta, 1991, cet
ke-2, hlm.29-33
R.E Soeriaatmadja, Ilmu Lingkungan, Bandung: ITB Bandung, 1981, cet ke-3,
hlm 13-31
S. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Jakarta:Binacipta, 1983, cet
ke-1, hlm 62-63
Daniel D. Chiras, Environmental Science A Frame Work For Dicision
Making (Menlo Park, Canada: The Benyamin Publishing co., 1985), h. 4. Otto
Sumarwoto, Loc. Cit. Munadjat Danusaputro, Op. Cit, h. 68
Huda, C. (2016). Model Pengelolaan Bisnis Syariah: Studi Kasus Lembaga
Pengembangan Usaha Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Semarang. Walisongo:
Jurnal Penelitian Sosial Agama , 166.
Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, Edisi Revisi, Kencana-PrenadaMedia Group, Jakarta, 2012, h. 73.
Burhanuddin S, Hukum Bisnis Syariah, Cetakan Pertama, UII Press,
Yogyakarta, 2011, h. 12.
Simorangkir, ETIKA: Bisnis, Jabatan dan Perbankan, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2003), Hlm 82
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur,
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 20
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta:
Kanisius, 1998), hlm. 74
19