Anda di halaman 1dari 15

ETIKA DAKWAH DAN ETOS DALAM BERDAKWAH

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etika Dakwah
Dosen Pengampu : Dr. Zaura Sylviana, MA. Hum.

Disusun oleh :

Muhamad Azizs Sopyan 1224030068


Muhammad Ilham 1224030078
Indah Medi Safitri 1224030049
Irma Wulandari 1224030054

JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan
yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Dr. Zaura Sylviana, MA. Hum.
sebagai dosen pengampu mata kuliah Etika Dakwah yang telah membantu memberikan arahan
dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Besar harapan, semoga apa yang ditulis didalam makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, Aamiin.

Bandung, 09 September 2023

Muhamad Azizs Sopyan

ii
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 2
A. Etika Dakwah ............................................................................................. 2
1. Pengertian Etika .................................................................................... 2
2. Pengertian Dakwah ............................................................................... 3
3. Pengertian Etika Dakwah ...................................................................... 5
B. Ruang Lingkup Etika Dakwah ................................................................... 6
C. Etos dalam Berdakwah ............................................................................... 7
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 11
A. Simpulan ..................................................................................................... 11
B. Saran ........................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dakwah harus dilakukan dengan ilmu. Orang yang memiliki minat terjun ke dunia
dakwah diwajibkan memahami aturan-aturan dan mekanisme dakwah dengan utuh secara
sempurna sebelum lebih jauh mempraktikkannya. Jika seseorang memaksakan diri melakukan
dakwah tanpa menuguasai atau memahami ilmu (antara lain berkaitan dengan etika dan estetika
dakwah), bukan hanya proses dan hasilnya yang kurang baik, tetapi juga akibatnya dapat
menjadi berbahaya, baik bagi citra Islam, dakwah, maupun kehidupan keagamaan pada
umumnya. Karena, semakin dalam dan luas pemahaman serta waawasan dai terhadap ajaran
agama, kehidupan masyarakat, serta cara berdakwah (termasuk di dalamnya etika dan estetika),
maka dakwah yang ditunjukkan semakin arif, bijak, menyentuh, menarik, mengesankan, dan
dirindukan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari etika dakwah?


2. Apa saja ruang lingkup dari etika dakwah?
3. Apa pengertian dari etos dakwah?
4. Bagaimana cara membangun dan meningkatkan etos dakwah?

C. Tujuan

1. Mengetahui secara jelas pengertian etika dakwah


2. Mengetahui ruang lingkup etika dakwah
3. Mengetahui secara jelas pengertian etos kerja
4. Mengetahui cara membangun dan meningkatkan etos dakwah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Etika Dakwah

1. Pengertian Etika

Nama Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah,
istilah “etika” pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang;
kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta
etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi
terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM)
sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada
asal-usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan.1 Ia adalah standar-standar moral yang mengatur perilaku kita:
bagaimana kita bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak (Verderber, 1978:
323).2

Etika adalah ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan. Ini berarti bahwa etika
membicarakan kesusilaan secara ilmiah.3 Ahmad Amin mendefinisikan etika adalah
suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju
oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa
yang harus diperbuat.4 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, etika memiliki tiga arti:
1.ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak); 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3. Nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.5

1
K. Bertens, (2004), Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. Ke-8, h.4.
2
Deddy Mulyana, Pengantar Etika Komunikasi: Konstruksi Manusia yang Terikat Budaya, dalam Richard L.
Johannesen, (1996), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. Ke-1, h.5.
3
H. De Vos, (2002), Pengantar Etika, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, cet. Ke-2, h.4.
4
Ahmad Amin, (1995), Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke-8, h.2.
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1990), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet.
Ke-3, h.237.

2
3

Setelah mempelajari penjelasan kamus, bisa dibedakan tiga arti mengenai kata
“etika”. Tetapi urutannya mungkin lebih baik terbalik, karena arti ketiga lebih mendasar
daripada arti pertama. Perumusannya juga bisa dipertajam lagi. Dengan demikian
sampailah pada tiga arti: pertama, kata “etika” bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang “etika suku-suku
Indian”, “etika agama Budha”, “etika Protestan”, maka tidak dimaksudkan “ilmu”,
melainkan arti pertama tadi. Secara singkat, arti ini bisa dirumuskan juga sebagai
“sistem nilai”. Dan boleh dicatat lagi, sistem nilai itu bisa berfungsi dalam hidup
manusia perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, “etika” berarti juga: kumpulan
asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Di sini dengan “etika”
jelas dimaksudkan kode etik. Ketiga, “etika” mempunyai arti lagi: ilmu tentang yang
baik atau buruk. Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-
asas dan nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam
suatu masyarakat--seringkali tanpa disadari—menjadi bahan refleksi bagi suatu
penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.6

Menurut Haidar Bagir, etika pada umumnya diidentikkan dengan moral


(moralitas). Namun, meskipun sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika
dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih condong
kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, maka
etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika
berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilm al-akhlâq), dan
moral (akhlâq) adalah prakteknya. Dalam disiplin filsafat, terkadang etika disamakan
dengan filsafat moral.7

2. Pengertian Dakwah

Dakwah secara etimologi terambil dari akar kata da’a yang berarti memanggil,
mengundang atau menyeru, sinonim dengan nâda. Dakwah memiliki banyak arti, namun
jika digeneralisasikan ia berarti mengajak kepada kebaikan dan berpegang teguh setia
dan taat pada agama (Islam).8 Banyak definisi telah dibuat untuk merumuskan

6
K. Bertens, (2004), Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. Ke-8, h.4.
7
M. Amin Abdullah, (2002), Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam, Terj. Hamzah, Bandung: Mizan,
cet. Ke-1, h.15.
8
Sa’id bin Musfir bin Mufrih Al-Qahthawi, (1423 H), Ad-Da’wah Ila Al-Allah, Makkah Al-Mukarramah: Dar
Thoyyibah Al-Khodroou, h.29.
4

pengertian dakwah yang intinya adalah mengajak manusia ke jalan Allah agar mereka
berbahagia di dunia dan akherat.9

Sedangkan dakwah secara terminologi seperti yang definisikan Syekh Islam Ibn
Taymiyyah: “Dakwah adalah ajakan untuk beriman kepada-Nya, dan percaya pada
risalah yang dibawa Rasul-Nya dengan membenarkan segala yang dikabarkan berupa
kandungan yang berisi ajakan untuk bersyahadah, melaksanakan shalat, membayar
zakat, puasa ramadhan, menunaikan haji, dan seruan untuk beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabnya, Rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan, percaya
pada takdir baik dan buruk, dan seruan kepada hamba untuk menyembah Tuhan seakan
ia melihat-Nya.10

Dakwah disebutkan di dalam Al-Quran (QS. Ibrahîm:36) sebagai ‘panggilan’


Tuhan kepada masyarakat manusia untuk menemukan agama yang benar di dalam
Islam. Istilah ini telah berkembang selama berabad-abad menjadi sebuah ideologi
eksplisit tentang proselitisme. Dakwah, yang tidak pernah dipisahkan dari konteks
politik dan sosial kaum Muslim, telah digunakan untuk menyebarkan klaim tertentu dari
dinasti-dinasti semisal Abbasiyah dan sekte-sekte seperti Ismailiyah. Di bawah
Ismailiyah, kenyataannya, istilah ini menjadi sungguh-sungguh sinonim dengan
propaganda, dan para juru dakwah (da’i, jamak du’a) Ismailiyah dari dinasti Fatimiyah
yang berpusat di Mesir telah mendapatkan keberhasilan dalam merekrut para pengikut,
baik bagi doktrin agama maupun afiliasi politik. Pendidikan merupakan hal yang sentral
dalam seluruh konseptualisasi dakwah. Melalui kerja para da’i, Muslim maupun non
Muslim memperoleh suatu pemahaman tentang hidup---seperti bagaimana memahami
Al-Qur’an, menerapkan syariat, dan melakukan aktivitas keseharian di dalam semangat
Islam. Baik yang secara formal dilakukan dilingkungan istana, sebagaimana halnya para
pemuka Fatimiyah sendiri, maupun secara informal.11

Sekarang, tradisi dakwah ini telah mulai diformulasi ulang dalam suatu cara
yang halus tetapi penting. Pendidikan masih berperan sentral, dan bahkan pola-pola
politisasi telah terulang kembali. Sebagai contoh, kelompok Syi’ah utama di Irak yang
beroposisi terhadap pemerintahan Saddam Husein (yang kini telah tumbang). (lahir

9
Achmad Mubarok, (2001), Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ke-2, h.19.
10
Syeikh Ali Mahfudh, (tt), Hidayah Al-Mursyidin ila Thuruq Al-Wa’adz wa Al-Khitabah, Beirut: Dar Al-Ma’arif,
h.17.
11
Dale F. Eickleman dan James Piscatori, (1998), Ekspresi Politik Muslim, terj. Rofik Suhud, Bandung: Mizan,
cet. Ke-1, h.48.
5

1937) memunculkan nama Hizb Al-Da’wah Al-Islamiyyah (Partai Dakwah Islam).


Sementara salah satu sarana utama bagi penyebaran agama dan ide-ide politik di Libia
adalah Jam’iyah Al-Da’wah Al-Islamiyah (Organisasi Dakwah Islam). Bahkan tradisi
dakwah juga sedang didefinisikan ulang guna memasukkan ide-ide tentang aktivisme
kesejahteraan sosial. Kaitan eksplisit dengan tradisi ‘sebelumnya’ adalah pernyataan
bahwa kaum Muslim, karena diwajibkan memenuhi seruan Tuhan, harus menjalankan
kewajiban yang dititahkan Al-Qur’an untuk menciptakan keseimbangan (mizan) dan
keadilan (‘adl, qist) dalam urusan-urusan manusia. Karena Islam menyajikan sebuah
pandangan hidup total (total way of life), maka seorang Muslim akan turun derajat
tanggung jawabnya jika mereka gagal memperbaiki ketidakadilan sosial dan
ketimpangan ekonomi.12

3. Pengertian Etika Dakwah

Sebagaimana pengertian etika dalam kamus di atas yang memiliki tiga makna:
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak); 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3. Nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Bila kita ambil pengertian
pertama berarti etika sebagai ilmu (filsafat moral). Bila kita ambil pengertian ke dua
maka berarti yang dimaksud etika dakwah adalah pembicaraan tentang kode etik
dakwah. Bila diambil pengertian yang ketiga berarti Etika dakwah adalah nilai etis
perilaku dakwah.

Sebagai ajakan untuk memikirkan klaim terpenting tentang hidup dan mati,
kebahagiaan atau siksa yang abadi, kebahagiaan dunia atau kesengsaraan, kebajikan dan
kejahatan, maka misi dakwah harus dilaksanakan dengan integritas penuh pendakwah
dan objek pendakwah. Bila pihak-pihak merusak integritas ini, degan cara meminta atau
menerima suap dengan menerima keuntungan, menerapkan paksaan atau tekanan,
memanfaatkan demi tujuan bukan dijalan Allah, maka ini merpakan kejahatan besar
dalam berdakwah atau dakwah islam menjadi tidak sah. Dakwah Islam itu harus
dijalankan dengan serius, melalui aturan-aturan yang benar sehingga diterima dengan
komitmen yang sama terhadap kebenaran islam. Objek dakwah harus merasa bebas dari
paksaan, ancaman, serta nila-nilai yang bersifat merusak yang cenderung untuk anarki.

12
M. Canard, (1965), Da’wa, Encyclopedia of Islam, Leyden: E.J. Brill, h.165.
6

Karena itu para pelaku dakwah dalam hal ini da’I tidak diperintahkan menyeru
islam begitu saja, ada aturan-aturan yang telah ditetapkan. Jelas dakwah islam tidak
bersifat melontarkan isu-isu yang bersifat fanatis, memaksa, provokatif, celaan-celaan
yang menimbulkan permusuhan, dan bukan pula aktivitas-aktivitas yang bersifat
destruktif. Karena etika manusia memandang dakwah yang dipaksakan sebagai
pelanggaran berat, maka itu dakwah islam mengkhususkan penggunaannya secara
persuasif.

B. Ruang Lingkup Etika Dakwah

Etika adalah bagian dari akhlak manusia karena akhlak bukanlah sekedar menyangkut
perilaku yang bersifat lahiriah semata, tetapi mencakup hal-hal yang lebih kompleks, yaitu
tentang akidah, ibadah dan syariat.13 Sekurang-kurangnya ada empat pendekatan yang bisa
dipergunakan dalam etika,14 yaitu:

1. Pendekatan Filsafat atau disebut juga pendekatan kritis etika dakwah, bahwa kajian
etika merupakan cabang pemikiran filsafat sehingga metode atau pendekatan yang
digunakan menyerupai pendekatan filsafat yang bersifat reflektif, kritis, radik dan
menyeluruh.
2. Reflektif artinya dalam mengembangkan pemikiran etika murni tentang kebaikan
(moral).
3. Kritis artinya bahwa pemikiran etika itu senantiasa terbuka untuk ditinjau ulang,
dikritisi jika memungkinkan diketahui dalam beberapa aspek ditemukan kejanggalan.
4. Radik artinya rumusan pemikiran/ ketetapan itu harus mendasar/ mendalam.
5. Menyeluruh artinya harus mencakup keseluruhan aspek, dari berbagai pertimbangan:
ekonomi, sosial, budaya, kemanusiaan, sehingga diperoleh kebenaran.
6. Pendekatan terapan etika dakwah. Pendekatan ini cenderung bersifat aplikatif atau
disebut pemikiran untuk bertujuan praktis/ aplikasi yaitu sebuah pemikiran yang
diarahkan untuk merumuskan standar perilaku dakwah dan upaya-upaya untuk
membentuk atau membangun, mempersiapkan dan memantapkan karakter prilaku dan
kepribadian dai sebagai salah satu persyaratan dai profesional.

13
Ondi Saondi dan Aris Suherman, (2010), Etika Profesi Keguruan, Bandung: PT. Reflika Aditama, h.32.
14
Enjang As dan Hajir Tajiri, (2009), Etika Dakwah, Bandung: Widya Padjajaran, h.23-24.
7

7. Pendekatan deskriptif, yaitu pendekatan etika yang berusaha melukiskan apa adanya
fenomena suatu etika perbuatan tanpa adanya usaha melakukan penilaian.
8. Pendekatan normatif-evaluatif, pendekatan ini merupakan kelanjutan dari pendekatan
deskriptif, berupaya memberikan penilaian atas perbuatan setelah ditopang oleh
sejumlah informasi yang lengkap dan ditimbang berdasarkan sejumlah standar untuk
perbuatan.

Dai adalah subjek dakwah, oleh karena itu seorang dai meski memiliki moralitas yang
dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan tolak ukur yang dipergunakan oleh masyarakat
untuk mengukur kualitas perilaku seorang dai adalah norma-norma moral. Akhlak dai adalah
akhlak Islam yang Allah nyatakan dalam Al-Quran. Akhlak Islam yang sebaiknya dimiliki dai
sebagaimana dijelaskan Tutty Alawiyah, dan punya hubungan erat dengan pelaksanaan dakwah
adalah sebagai berikut:15

1. Al-Shidq (benar, tidak berdusta),


2. Al-Shabr (sabar, tabah),
3. Al-Rahmah (rasa kasih sayang),
4. Tawadhu (merendahkan diri, tidak sombong), dan
5. Suka bergaul.

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
ruang lingkup etika dakwah ada beberapa pendekatan yang harus diperhatikan, yaitu
pendekatan kritis kefilsafatan, pendekatan deskriptif, pendekatan terapan dan pendekatan
normativ-evaluatif. Sedangkan, dalam moralitasnya dai harus memiliki akhlak Islam yang
Allah nyatakan dalam al-Quran, yaitu berkata benar, sabar, rasa kasih sayang, tidak sombong
dan suka bergaul.

C. Etos dalam Berdakwah

Etos dakwah terdiri dari dua kata yaitu Etos dan dakwah. Kata etos berasal dari bahasa
Yunani (ethos) yang bermakna sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas
sesuatu.16 Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata etos berarti pandangan hidup
yang khas dari suatu golongan.17 Etos dakwah dalam bahasa yang sederhana dapat diartikan

15
Enjang As dan Aliyudin, (2009), Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Bandung: Widya Padjajaran, h.136-139.
16
Toto Tasmara, (2002), Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta: Gema Insani Press, h.15.
17
Departemen Pendidikan Nasional, (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, h.383.
8

dengan semangat dakwah. Semangat dakwah ini harus dibangun dan dipupuk dengan kokoh
terlebih dahulu dari dasarnya yakni keluarga. Keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak-
anak adalah suatu lembaga dakwah dalam lingkup kecil. Meskipun kecil, namun amat
menentukan baik buruknya nasib suatu bangsa. Di dalamnya orang tua berperan sebagai juru
dakwah yang mengajak mad’unya (dalam hal ini anak-anaknya) untuk ber amar ma’ruf nahi
munkar. Jika keluarga baik, masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik, dan jika keluarga
rusak, masyarakat pun ikut rusak. Bahkan keluarga adalah miniatur umat yang menjadi sekolah
pertama bagi manusia dalam mempelajari etika sosial yang terbaik.

Adapun dakwah dalam pengertian umum yaitu: segala usaha dan perbuatan baik lisan,
tulisan dan perilaku yang dapat mendorong manusia merubah dirinya dari suatu keadaan kepada
keadaan yang lebih baik, lebih memuaskan dan lebih sesuai dengan ajaran Islam. Secara essensi
dakwah memiliki satu kata kunci yakni ishlah atau perbaikan. Perbaikan yang dimaksudkan di
sini adalah perbaikan dalam perspektif Islam dan perbaikan dalam arti sebuah proses yang
terarah dan berkesinambungan. Dalam perspektif Islam, dakwah merupakan sebuah proses
untuk mengajak seluruh manusia dari penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan
kepada Allah semata secara paripurna. Dalam melaksanakan dakwah, dituntut menguasai setiap
permasalahan dalam dakwah. Salah satu hal yang menjadi titik tolak keberhasilan dakwah
adalah penggunaaan media sebagai perantara dalam dakwah. Banyak sekali media yang dapat
digunakan dalam berdakwah atau yang sering disebut sebagai media dakwah, seperti dakwah
dengan media massa, atau dakwah dengan partai politik.

Tidak mudah untuk menyusun strategi dakwah terutama untuk menghasilkan etos
dakwah yang kuat dalam konteks masyarakat seperti sekarang ini. Kesulitan menghadang
tatkala kita berhadapan dengan hamparan tatanan masyarakat informatif-industrial beserta
segala dampak yang ditimbulkannya. Betapa rumitnya memetakan arah perkembangan
masyarakat itu, sehingga kita gagap menyiasatinya. Itu semua merupakan bukti bahwa tuntutan
akan keharusan merubah strategi komunikasi dakwah tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Gerakan dakwah juga perlu menaruh perhatian terhadap berbagai persoalan pengiring
yang muncul dalam masyarakat global-industrial. Berbagai persoalan tersebut akan berkaitan
dengan tumbuhnya kawasan perumahan dan industri, perilaku dan tatanan sosial budaya yang
belum diketemukan rujukannya dalam pemikiran klasik, munculnya kelompok strategis baru
(kelas menengah, generasi muda terdidik, profesional muda, politisi, birokrat, dan intelektual),
9

kemiskinan material dan spiritual, perluasan keterasingan dan penyimpangan sosial serta
keagamaan, dan perluasan kaum pekerja buruh.

Profesionalitas pelaku dakwah ditentukan oleh kemampuan memanfaatkan secara


maksimal menguasai seluruh model media komunikasi sosial yang meliputi tv, radio, internet,
buku, majalah dan koran disamping media sosial budaya lainnya. Namun, sesuai
kecenderungan masyarakat global-industrial yang membelah keutuhan kemanusiaan menjadi
bagian–bagian yang rinci sulit diharapkan suatu sosok muballigh yang memiliki kemampuan
profesional generalistik. Karena itu pemanfaatan media di atas memerlukan pembagian kerja
terprogram dan pelatihan yang terus menerus yang dapat dirubah dan dikembangkan sesuai
tuntutan masyarakat.

Strategi dakwah sekarang harus mengarah pada penanganan masalah riil. Artinya bahwa
kegiatan dakwah harus merupakan usaha pemecahan atau penyelesaian masalah kehidupan
umat dan masyarakat di bidang sosial-budaya, ekonomi dan politik dalam kerangka masyarakat
modern. Dengan memahami dakwah sebagai pemecahan masalah diharapkan membuahkan tiga
kondisi: pertama, tumbuhnya kemandirian dan kepercayaan umat serta masyarakat sehingga
berkembang sikap optimis. Kedua, tumbuhnya kepercayaan terhadap kegiatan dakwah guna
mencapai tujuan kehidupan yang lebih ideal. Ketiga, berkembangnya suatu kondisi sosial dan
ekonomi, politik serta iptek sebagai landasan peningkatan kualitas hidup umat.

Uraian di atas, setidaknya memberi kita jalan untuk memperlebar makna dakwah.
Dalam arti yang paling sempit dakwah adalah memanggil dan mengajak seseorang atau
sekelompok orang untuk memeluk agama Islam. Sedangkan arti yang lebih luas dakwah bisa
dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, pengentasan kemiskinan,
memerangi kebodohan dan keterbelakangan, dan pembebasan. Jadi, gerakan dakwah adalah
gerakan multidisipliner, multidimensi dan multifungsi yang dilakukan melalui multimedia.
Hanya melalui strategi budaya dan wawasan keagamaan yang lebih dinamis dan kritis kita dapat
menempatkan diri sebagai fasilitator dalam dinamika sejarah dan perkembangan peradaban
modern.

Dalam mengembangkan dakwah tentu harus memiliki etos dakwah yang kuat, layaknya
dalam sebuah pekerjaan, etos kerja profesional sangat dibutuhkan dalam dakwah. Dengan
mengadopsi 8 etos kerja profesional Jansen Sinamo maka 8 etos tersebut dapat pula
diaplikasikan dalam dakwah, karena dakwah adalah suatu pekerjaan, bahkan ia adalah
pekerjaan termulia di muka bumi ini. Pekerjaan para Nabi dan Rasul. Maka bunyinya dapat
10

berubah menjadi: (1) Dakwah merupakan rahmat, maka berdakwah harus penuh syukur, (2)
Dakwah merupakan amanah, maka berdakwah harus penuh dengan tanggung jawab, (3)
Dakwah adalah panggilan, maka harus tuntas dan penuh integrasi, (4) Dakwah berarti
aktualisasi, maka berdakwah harus penuh semangat, (5) Dakwah bermakna ibadah, maka harus
serius dan penuh kecinyaan, (6) Dakwah adalah sebuah seni jadi harus cerdas dan penuh
kreativitas, (7) Dakwah merupakan kehormatan maka harus tekun dan penuh keunggulan, (8)
Dakwah adalah pelayanan, maka harus penuh kerendahan hati.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika
berhubungan dengan soal baik atau buruk,benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat
yang menyertai suatu tindakan. Beberapa etika dakwah yang hendaknya di lakukan oleh para
juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain : sopan, jujur dan tidak menghasut.
Dengan penerapan etika, keberadaan dakwah akan menjadi baik dan tentunya akan lebih
menjadikan dirinya mempunyai atsar yang positif bagi semua kalangan yang terlibat dalam
kegiatan dakwah tersebut..

B. Saran

Dengan seluruh pembahasan yang telah diuraikan diatas, kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca sehingga dapat mengetahui dan lebih memahami tentang materi
Etika Dakwah dan Etos dalam Berdakwah, sehingga pembaca benar-benar mengerti dan dapat
mengetahui secara mendalam pembahasan tentang etika dan etos dakwah. Kami berharap kritik
dan saran dari pembaca sehingga tulisan ini benar-benar dapat disempurnakan di kemudian hari.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, (2002), Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam, Terj. Hamzah,
Bandung: Mizan, cet. Ke-1.

Al-Qahthawi, Sa’id bin Musfir bin Mufrih , (1423 H), Ad-Da’wah Ila Al-Allah, Makkah Al-
Mukarramah: Dar Thoyyibah Al-Khodroou.

Amin, Ahmad, (1995), Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke-8.

As, Enjang dan Aliyudin, (2009), Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Bandung: Widya Padjajaran.

As, Enjang dan Hajir Tajiri, (2009), Etika Dakwah, Bandung: Widya Padjajaran.

Bertens, K, (2004), Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. Ke-8.

Canard, M, (1965), Da’wa, Encyclopedia of Islam, Leyden: E.J. Brill.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1990), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, cet. Ke-3.

Departemen Pendidikan Nasional, (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Eickleman, Dale F. dan James Piscatori, (1998), Ekspresi Politik Muslim, terj. Rofik Suhud,
Bandung: Mizan, cet. Ke-1.

Mahfudh, Syeikh Ali, (tt), Hidayah Al-Mursyidin ila Thuruq Al-Wa’adz wa Al-Khitabah,
Beirut: Dar Al-Ma’arif.

Mubarok, Achmad, (2001), Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ke-2.

Mulyana, Deddy, (1996), Pengantar Etika Komunikasi: Konstruksi Manusia yang Terikat
Budaya, dalam Richard L. Johannesen, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. Ke-
1.

Saondi, Ondi dan Aris Suherman, (2010), Etika Profesi Keguruan, Bandung: PT. Reflika
Aditama.

Tasmara, Toto, (2002), Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta: Gema Insani Press.

Vos, H. D, (2002), Pengantar Etika, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, cet. Ke-2.

12

Anda mungkin juga menyukai