Anda di halaman 1dari 8

MODERNISASI DAN REFORMASI PRAMUKA

DI ERA KETERBUKAAN INFORMASI

Oleh:
Mochammad Gempar Alghifari
NTA : 09.04.18.051.0071
Daftar isi

Kata Pengantar

BAB I : Masalah-masalah Pramuka

 Senioritas, Penyelewengan, dan Misintrepretasi


 Pramuka yang ‘kuno’

BAB II: Solusi

 Memutus Rantai Kekerasan


 Reformasi di Satuan Terkecil
 Penerangan Kembali Sistem Among
 Pemanfaatan Sub-culture dan Teknologi

Penutup
Pengantar

Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai anggota aktif dan Pradana di Ambalan Abdurrahman bin
Auf yang berpangkalan di MAN 2 BANDUNG dan keluh kesah anggota. Sering kali saya temukan
masalah dan penyelewengan dalam organisasi Pramuka. Maka dari itu, tulisan ini saya buat dengan
tujuan membangun dan memajukan Pramuka menuju Pramuka yang lebih baik.

Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih banyak kepada Kak Asep Mauludin selaku pembantu
pembina Ambalan Abdurrahman bin Auf yang telah membantu tersusunnya essay ini. Juga kepada
seluruh anggota Ambalan Abdurrahman bin Auf terkhusus anggota Sangga Pendobrak yang telah
memberikan bantuan penelitian berupa data dan informasi.

Semoga apa yang saya susun dapat menjadi manfaat bagi kemajuan dan perkembangan Pramuka
dari mulai Ambalan Abdurrahman bin Auf, Kwartir Ranting Solokanjeruk, Kwartir Cabang Kabupaten
Bandung, Kwartir Daerah Jawa Barat, sampai Kwartir Nasional.

Bandung, 30 Desember 2022

Mochammad Gempar A
BAB I :

MASALAH-MASALAH PRAMUKA

Sebagai anggota aktif, sering kali saya temui penyelewengan dan permasalahan di tubuh organisasi
Pramuka ini. Masalah-masalah tersebut berasal dari luar dan dalam Pramuka itu sendiri. Adapun
permasalahan yang dihadapi oleh Pramuka di era keterbukaan informasi saat ini adalah sebagai
berikut:

Senioritas, Penyelewengan, dan Misintrepretasi

Permasalahan paling umum, tua, dan mendasar. Di Pramuka adalah senioritas yang berlebihan
dan keluar sangat jauh dari tujuan dan fungsi Pramuka dan kepramukaan-Nya. Masalah ini juga lah
yang menjadi alasan mengapa peminat Pramuka mengalami penurunan yang signifikan dari masa ke
masa, terutama pada golongan Penegak.

Sebagai Pradana, saya sering menerima laporan dan keluhan dari para anggota mengenai
penyelewengan yang dilakukan oleh para senior. Dan secara pribadi, saya juga pernah mengalami
hal tersebut. Senioritas umumnya dijumpai di golongan penegak, namun tidak menutup
kemungkinan kalau senioritas juga dapat ditemui di golongan Penggalang.

Para senior sering kali bertindak sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan fungsi Pramuka
sebagai organisasi pendidikan. Hal tersebut disertai dalih “penguatan mental” dan hal-hal yang
kurang masuk akal lainnya. Kekerasan verbal adalah hal yang paling sering dijumpai, mirisnya baik
pelatih dan/atau pembina sering kali menganggap hal tersebut sebagai hal yang lumrah dan tidak
menyeleweng, padahal jika ingin kembali kepada sistem among penggunaan kekerasan verbal
seperti ini jelas menyalahi aturan Pramuka sebagai organisasi kependidikan. Anggota lebih merasa
terintimidasi dan tertekan ketimbang termotivasi dan berkembang. Di Ambalan saya sendiri,
sebelum saya menjabat sebagai Pradana. Ada lebih dari 5 orang anggota yang mengundurkan diri
karena kekerasan verbal yang dilakukan oleh para senior. Dalam hal ini, para senior jelas telah
melanggar Dasa Dharma poin ke-6 dimana anggota yang seharusnya bahagia malah menjadi
tertekan. Mereka juga dengan sangat jelas telah menodai tujuan Baden Powell dalam mendirikan
Kepanduan. Kepanduan yang didirikan BP sebagai sarana pendidikan yang disertai permainan malah
diubah menjadi lembaga pendidikan semi-militer oleh orang yang bahkan tidak lulus kemiliteran.

Bentuk senioritas selanjutnya adalah pemberian hukuman fisik. American Psychological


Association (APA) dan American Academy of Pediatrics (AAP) yang menyatakan bahwa cara
kekerasan tidak efektif untuk mendisiplinkan anak dalam jangka panjang. Beberapa penelitian
bahkan membuktikan jika pemberian hukuman fisik membuktikan betapa tidak efektifnya hukuman
ini. Orang akan melakukan kesalahan yang sama setelah pemberian hukuman. Pemberian hukuman
fisik juga memberikan dampak negatif berupa terciptanya siklus kekerasan dalam Pramuka yang
tentunya sangat merugikan bagi perkembangan Pramuka itu sendiri.

Memang benar jika Pramuka atau Kepanduan merupakan organisasi yang terinspirasi dari militer
hal tersebut juga terlihat jelas dari pendiri kepanduan yang merupakan eks-militer dan seragam
kepanduan yang militeristis. Namun perlu diingat, bahwa Pramuka bukanlah organisasi paramiliter
atau bahkan semi-militer. Pramuka adalah organisasi kependidikan sipil yang harus dalam
metodenya menggunakan metode kependidikan.
Penyelewengan yang umum dilakukan oleh para senior tidak lain disebabkan karena kurangnya
pemahaman anggota dalam Kepramukaan. Anggota Pramuka di golongan Penegak banyak diisi oleh
mereka yang sebelumnya tidak merasakan masa penggalang, sehingga belum paham betul apa
tujuan dan fungsi Pramuka sebagai organisasi kependidikan. Para anggota yang baru mengenal
Pramuka ini lah yang dikemudian hari menginterpretasikan Pramuka sebagai organisasi paramiliter
yang di dalamnya harus menggunakan metode kemiliteran, jika pemahaman tersebut dimaksudkan
kepada satuan-satuan Pramuka di bawah TNI-POLRI maka ada benarnya. Namun jika hal demikian
dimaksudkan bagi Pramuka secara umum, maka pemahaman tersebut telah menjadi kesalahan
besar.

Beberapa Ambalan juga masih menerapkan tradisi konyol seperti makan beralaskan rumput,
latihan fisik berlebihan, dan jurit malam. Hal tersebut dilakukan semata hanya karena alasan adat
dan tradisi, meski tidak memiliki nilai fungsional, hal-hal bodoh tersebut masih tetap dilakukan.
Sangat lah miris jika kasus demikian terjadi di golongan Penegak. Anggota Pramuka Penegak yang
seharusnya sudah mampu berpikir kritis dan menggunakan nalar, malah masih melaksanakan
tindakan dan hal konyol hanya karena alasan tradisi dan adat.

Pramuka yang ‘kuno’

Sebagai organisasi kependidikan, Pramuka harus fleksibel dan ‘elastis’ dalam menghadapi
perkembangan zaman. Pramuka harus mampu beradaptasi dengan teknologi yang kian hari kian
berinovasi. Hal ini telah disiasati dengan baik melalui kegiatan dan pembentukan sub-organisasi yang
bertujuan menjawab arus tantangan zaman.

Namun dalam beberapa hal, Pramuka masih terbilang ‘kuno’ dan ketinggalan zaman. Terutama
dalam pola pelatihan dan peraturan. Beberapa pangkalan masih menerapkan pola pelatihan yang
sama seperti Pramuka era 1900-an, bahkan beberapa daerah masih sangat kurang memanfaatkan
teknologi.

Baik anggota muda dan dewasa, masih banyak yang kurang memanfaatkan teknologi dan
globalisasi dalam membangun dan mengembangkan Pramuka. Beberapa aturan juga kurang adaptif
untuk diaplikasikan di masa sekarang.
BAB II:

SOLUSI

Memutus Rantai Kekerasan

Kekerasan yang dilakukan secara berantai dan turun-temurun dari angkatan ke angkatan sangat
lah perlu dihentikan. Kita tidak bisa menghindari apa yang sudah terjadi, namun kita sangat bisa
mencegah apa yang akan terjadi. Kita mungkin tidak bisa mengubah para pelaku kekerasan, namun
kita bisa mencegah para pelaku menyebarkan virusnya. Baik kekerasan fisik ataupun verbal, dapat
dihentikan penyebarannya melalui cara yang sedikit radikal.

Penyebaran kekerasan pasti terjadi melalui para senior yang ‘mendidik’ para junior. Dan dengan
siklus yang sama, penyakit ini terus ditularkan penegakan dan pencegahan perlu dilakukan dari
satuan terkecil (sangga, ambalan, dilanjut ke kwartir). Hal tersebut dapat ditangani dengan
mengurangi hak para alumni dan senior yang melakukan kekerasan. Para pelaku kekerasan sangat
perlu untuk dicabut haknya dalam menghadiri acara-acara ambalan. Pola pendidikan toxic harus
dijauhkan sejauh mungkin. Dan cara ini harus dilakukan secepat dan sesegera mungkin, sebelum
penyebaran penyakit ini semakin meluas. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa
lagi?

Reformasi di Satuan Terkecil

Karena membludaknya anggota yang sebelumnya tidak mengikuti Pramuka di golongan Penegak,
maka langkah yang tepat adalah tidak menempatkan anggota ‘baru’ pada jabatan-jabatan strategis
seperti Pradana, Pemimpin Sangga, dan Pemangku Adat. Adapun jika anggota yang tersedia tidak
memungkinkan untuk melakukan hal tersebut, maka para anggota ‘baru’ ini harus melalui
pendidikan dan latihan yang lebih ketimbang anggota yang sebelumnya sudah mendapatkan
pendidikan kepramukaan di golongan Penggalang.

Pendidikan yang dilakukan berupa penerangan kembali mengenai tujuan dan fungsi Pramuka
sebagai organisasi kependidikan sipil. Dan penerapan dasar-dasar kepramukaan. Para anggota ‘baru’
juga harus melalui masa re-edukasi setelah melalui masa tamu untuk menjadi anggota tetap
ambalan.

Para anggota yang sebelumnya pernah melakukan kekerasan fisik maupun verbal juga harus
dimasukkan ke dalam daftar hitam untuk menghadiri kegiatan Pramuka secara nasional maupun
daerah. Para pelaku kekerasan juga dengan sangat amat diwajibkan agar diseret menuju jalur
hukum. Masalah-masalah mendasar seperti kekerasan fisik atau verbal sangat tidak layak untuk
diselesaikan secara kekeluargaan. Tidak perlu sedikit pun toleransi dan kompromi untuk
menghukum para benalu yang bisa saja merusak nama baik Pramuka bahkan menghancurkan
Pramuka secara perlahan tapi pasti. Lebih baik mengorbankan masa depan segelintir benalu
ketimbang harus mengorbankan masa depan Pramuka.

Adat dan tradisi konyol seperti “senior selalu benar” juga sangat wajib untuk dihapuskan. Junior
bukanlah kerbau dan senior bukanlah dewa. Pramuka sebagai organisasi pendidikan hendaknya
menampung aspirasi para anggota bukan membungkam dengan dalih “senior selalu benar”.
Arogansi harus dibuang jauh-jauh. Penempuhan anggota juga harus sesuai dengan aturan dalam
AD/ART Gerakan Pramuka.

Ambalan juga harus membuat satuan tugas khusus dalam menegakkan kembali tujuan dan fungsi
Pramuka sebagai organisasi kependidikan. Satgasus yang bertugas mengawasi dan menindak para
anggota yang menyeleweng dari tujuan dan fungsi Pramuka. Dewan Ambalan yang terlibat dalam
penerapan tradisi konyol dan tindak kekerasan juga harus diberhentikan.

Penerangan Kembali Sistem Among

Sebagaimana yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan harus bersifat


kekeluargaan, dengan kasih sayang dan sesuai dengan kodrat alam. Maka Pramuka sebagai
organisasi kependidikan juga harus memiliki sifat tersebut. Para anggota muda dan dewasa
hendaknya memahami dan mengaplikasikan sistem tersebut dalam pendidikan dan pelatihan
kepramukaan.

Pemanfaatan Sub-culture dan Teknologi

Berdasar pada apa yang saya rasakan, dewasa ini Pramuka seperti kurang memanfaatkan
perkembangan zaman. Sub-culture dan budaya populer seperti meme, aliran musik modern, dan
gaya hidup. Hendaknya dimanfaatkan sebagai sarana publikasi Pramuka. Dan sebagai bukti bahwa
Pramuka adalah organisasi yang adaptif dan menerima orang dari berbagai macam latar belakang.

Dibuatnya TKK baru seperti “mahir komputer” atau “pemrograman” juga bisa digunakan sebagai
daya tarik Pramuka bagi generasi Z. Aturan-aturan yang lebih fleksibel dan terkesan tidak terlalu
kaku juga dapat diterapkan sebagai manifestasi dari modernisasi dalam tubuh Pramuka. Namun
pelonggaran peraturan juga harus tetap dikontrol agar tidak menjadi liberalisasi yang kebablasan.
Pramuka harus bersifat seperti air yang menyesuaikan diri sesuai dengan wadahnya, namun tidak
lantas menghilangkan sifatnya sebagai benda cair.

Media Sosial juga harus lebih dimodernisasi, akun-akun resmi satuan terkecil hendaknya lebih
komunikatif dan aktif ketimbang menjadi akun yang pasif yang lebih mirip seperti agensi berita.
Konten media sosial tidak harus melulu tentang kegiatan dan materi kepramukaan, namun boleh
juga di dalamnya berisi budaya populer dan apa yang menjadi topik pembicaraan terhangat pada
masanya.
Penutup

Tulisan di atas belum tentu benar secara mutlak karena berdasar pada apa yang saya lihat dan
rasakan, mungkin beberapa satuan tidak relevan dengan apa yang saya tulis. Dan saya tegaskan
bahwa tidak semua satuan mengalami masalah yang sama dengan masalah di atas. Dan dengan
kemungkinan bahwa masih banyaknya kekurangan dari apa yang saya tulis, maka saya memohon
maaf.

Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai