Anda di halaman 1dari 63

Laporan Kasus

HALAMAN JUDUL

Seorang Perempuan Usia 63 Tahun dengan Diagnosis


Hematochezia + Moderate Anemia NN + Efusi
Pleura Massive Sinistra + Tumor Padat Ovarium

Oleh:
Muhamad Adi Ma’ruf

NIM. 2230912310063

Pembimbing:

dr. Rizqi Rifani, Sp.PD

BAGIAN/ KSM ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/ RSUD ULIN
BANJARMASIN

Mei, 2022
Laporan Kasus
HALAMAN PENGESAHAN
Seorang Perempuan Usia 63 Tahun dengan Diagnosis Hematochezia + Moderate
Anemia NN + Efusi Pleura Massive Sinistra + Tumor Padat Ovarium

Oleh

Muhamad Adi Ma’ruf, S.Ked

Pembimbing

dr. Rizqi Rifani, Sp.PD

Banjarmasin, Mei 2022

Telah setuju diajukan

dr. Rizqi Rifani, Sp.PD

Telah selesai dipresentasikan

dr. Rizqi Rifani, Sp.PD

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3

BAB III LAPORAN KASUS .................................................................................... 31

BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................................... 51

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 59

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Hematochezia adalah perdarahan melalui anus yang ditandai dengan feses

berwarna merah terang atau merah marun, terutama dari perdarahan saluran cerna

bagian bawah. Perdarahan saluran cerna bawah terjadi bila sumber perdarahan

terletak di bawah Ligamentum Treitz.1 Hematochezia berbeda dengan melena. Feses

yang keluar pada penderita melena berwarna hitam, sedangkan pada penderita

hematochezia feses yang keluar berwarna merah segar. Hal ini terjadi karena

perdarahan yang terjadi di saluran pencernaan bagian bawah terletak tidak jauh dari

anus sehingga darah masih belum tercampur sempurna dengan feses.2

Anemia merupakan kelainan hematologi yang sangat sering dijumpai baik di

klinik maupun dimasyarakat. Anemia adalah keadaan dimana jumlah eritrosit

dan/atau jumlah hemoglobin (Hb) yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya

untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik, anemia

didefinisikan sebagai kejadian penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung

eritrosit dan hematokrit. Jenis anemia terbanyak adalah anemia defisiensi zat besi.

Tanda-tanda anemia adalah 5L yaitu lemah, letih, lesu, lelah, dan lalai. Selain itu

sering juga didapat keluhan seperti mata berkunang-kunang dan pusing, pucat pada

mukosa kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan. Menurut data World

Health Organization, frekuensi defisiensi besi di negara berkembang akan meningkat

2-5 kali menjadi anemia defisiensi besi yang disebabkan beberapa faktor seperti

infeksi dan malnutrisi.3

1
2

Efusi pleura merupakan suatu akumulasi cairan yang abnormal di dalam kavum

pleura yang disebabkan karena adanya gangguan homeostatik berupa adanya

produksi cairan yang berlebihan atau karena adanya penurunan absorpsi cairan. Efusi

pleura biasanya merupakan efek sekunder dari suatu penyakit primer. Insidensinya

tergantung dari penyakit yang mendasari efusi pleura. Pada pasien dengan penyakit

gagal jantung insiden terjadinya efusi pleura cukup tinggi yaitu sekitar 55-88%, efusi

juga dapat terjadi pada 67% pasien dengan penyakit pericardial. Sirosis hepar dan

ascites juga dihubungkan dengan efusi pleura (6%) serta beberapa pneumonia

bakterial (11%) dapat penyebabkan terjadinya efusi pleura.4,5

Tumor ovarium adalah benjolan (pembesaran) abnormal yang terjadi di

ovarium, yang dapat terbentuk dari kelainan neoplasma maupun bukan neoplasma.

Kelainan non-neoplasma ovarium yang bisa memberikan gambaran pembesaran

ovarium antara lain: kista endometriosis, kista folikel dan proses infeksi. Neoplasma

dapat dibedakan menjadi neoplasma ganas, borderline, dan jinak. Neoplasma ganas

(disebut kanker) ovarium menempati urutan ke tujuh dari semua kanker pada wanita

di dunia, dengan perkiraan 239.000 kasus dan 152.000 kematian setiap tahun.

Mortalitas kanker ovarium di Indonesia sebesar 7,6%. Diagnosis pre-operasi tumor

ovarium sering kali sulit ditegakkan karena tumor jinak maupun tumor ganas dapat

memberikan gambaran klinik, radiologik dan laboratorik yang mirip, sedangkan

tindakan operasi tumor ovarium tergantung dari jenis tumornya. Penentuan diagnosis

saat operasi berlangsung sangat penting untuk memberikan dasar tindakan operasi

yang sesuai untuk pasien.6


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hematochezia

1. Definisi

Hematochezia adalah kondisi ketika terdapat darah segar dalam feses atau tinja.

Hematochezia umumnya terjadi karena perdarahan di saluran pencernaan bagian

bawah, seperti akibat wasir atau kanker usus besar. Hematochezia berbeda dengan

melena. Pada penderita hematochezia, darah yang keluar berwarna merah segar.

Sedangkan pada penderita melena, darah yang keluar berwarna hitam. Hal ini terjadi

karena perdarahan yang terjadi di saluran pencernaan bagian bawah terletak tidak

jauh dari anus.7

2. Etiologi

Hematochezia umumnya disebabkan oleh perdarahan di saluran pencernaan

bagian bawah, seperti usus besar dan rektum. Beberapa kondisi yang dapat

menyebabkan terjadinya perdarahan pada saluran pencernaan yaitu: hemorrhoid,

fisura ani, karsinoma kolon, kolitis ulseratif, Polip kolon, Tumor jinak di usus besar

atau rektum, Crohn disease, proctitis, dan diverkulitis. 2,7

3. Patofisiologi

Patofisiologi hematochezia dapat bervariasi tergantung pada penyebabnya. Pada

hemorrhoid, jika pecah atau teriritasi, dapat terjadi pendarahan yang mengakibatkan

hematochezia. Pendarahan ini terjadi ketika darah dari pembuluh darah yang rusak

mengalir ke dalam saluran pencernaan dan bercampur dengan tinja. Pada fistula ani,

3
4

dapat menyebabkan hematochezia ketika darah mengalir melalui saluran fistula dan

muncul di dalam tinja. Pada infeksi saluran pencernaan, seperti disentri, kolitis

infeksi, atau infeksi parasit seperti amebiasis dapat merusak dinding saluran

pencernaan dan menyebabkan pendarahan. Pendarahan ini jika terjadi di saluran

cerna bawah dapat menyebabkan hematochezia. Pada kondisi radang usus seperti

kolitis ulserativa atau Crohn Disease dapat menyebabkan peradangan pada dinding

usus. Peradangan ini dapat merusak pembuluh darah di dalam usus dan menyebabkan

pendarahan. Pendarahan ini kemudian dapat terlihat sebagai hematochezia. Pada

polip kolon, beberapa polip dapat berdarah dan menyebabkan hematochezia jika

mereka pecah atau teriritasi. Pada karsinoma kolon, dapat menyebabkan pendarahan

yang terlihat sebagai hematochezia.2

4. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik hematochezia dapat bervariasi, tergantung pada

penyebabnya. Meski demikian, gejala utama hematochezia adalah darah segar

berwarna merah terang yang keluar bersama feses. Selain keluarnya darah saat BAB,

ada beberapa gejala lain yang dapat menyertai hematochezia, yaitu: nyeri perut,

demam, diare, perubahan pola buang air besar, dan penurunan berat badan.7

5. Diagnosis

Jika hasil pemeriksaan mendeteksi darah dalam feses, maka dilakukan

pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui penyebabnya, seperti: Tes darah, untuk

mengetahui jumlah sel darah, memeriksa kecepatan proses pembekuan darah, serta

memeriksa fungsi organ hati. Kolonoskopi, untuk melihat kondisi usus besar dengan

memasukkan selang berkamera melalui anus. Biopsi, untuk mengambil sampel


5

jaringan guna diperiksa di laboratorium. Foto Rontgen, untuk melihat kondisi saluran

pencernaan dengan bantuan sinar X atau menggunakan larutan barium. Angiografi,

untuk melihat kerusakan pada pembuluh darah dengan menyuntikkan cairan kontras

ke pembuluh darah. Radionuclide scan, untuk melihat kerusakan pada pembuluh

darah dengan menyuntikkan bahan radioaktif ke pembuluh darah. Laparotomi, untuk

melihat sumber perdarahan dengan cara bedah terbuka pada perut.2

6. Tatalaksana

Tatalaksana hematochezia bertujuan untuk menghentikan perdarahan,

mengatasi anemia akibat perdarahan, serta mencegah perdarahan terjadi kembali.

Untuk menghentikan perdarahan, dapat dilakukan beberapa prosedur yaitu:

Endoskopi, seperti kolonoskopi, untuk menghentikan perdarahan dalam saluran

pencernaan dengan cara dipanaskan atau menyuntikkan obat di area perdarahan.

Angiographic embolization, untuk menutup aliran pembuluh darah yang rusak

dengan menyuntikkan partikel khusus di pembuluh darah. Band ligation, untuk

menghentikan perdarahan dengan cara memasang karet khusus di area pembuluh

darah yang pecah. Selain itu, pasien diberikan edukasi agar tidak mengonsumsi obat

antiinflamasi nonsteroid (seperti natrium diclofenac dan aspirin), serta mengonsumsi

makanan tinggi serat, seperti sayuran dan buah.1,7

B. Moderate Anemia

1. Definisi

Anemia adalah menurunnya massa eritrosit yang menyebabkan

ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke jaringan perifer. Secara


6

klinis, anemia dapat diukur dengan penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau

hitung eritrosit, namun yang paling sering digunakan adalah pengujian kadar

hemoglobin.8

2. Etiologi

Penyebab umum dari anemia antara lain: kekurangan zat besi, pendarahan,

genetik, kekurangan asam folat, dan gangguan sumsum tulang. Secara garis besar,

anemia dapat disebabkan karena: a) Peningkatan destruksi eritrosit, contohnya pada

penyakit gangguan sistem imun dan thalasemia. b) Penurunan produksi eritrosit,

contohnya pada penyakit anemia aplastik dan kekurangan nutrisi. c) Kehilangan

darah dalam jumlah besar, contohnya akibat perdarahan akut, perdarahan kronis,

menstruasi, dan trauma.9

3. Patofisiologi

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang atau

kehilangan sel darah merah secara berlebihan. Kegagalan sumsum tulang dapat

terjadi akibat kekurangan nutrisi, invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang

tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui pendarahan destruksi, dapat

mengakibatkan defek sel merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah

yang menyebabkan destruksi sel darah merah. Pecah atau rusaknya sel darah merah

terjadi terutama dalam hati dan limpa. Hasil samping proses ini adalah bilirubin yang

akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel merah atau hemolisis

segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal kurang

lebih 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sklera). Apabila sel

darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi (pada kelainan hemolitik)


7

maka hemoglobin akan muncul dalam plasma hemoglobinemia. Apabila konsentrasi

plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (Protein pengikat hemoglobin

yang terlepas dari sel darah merah yang telah rusak) untuk mengikat semuanya,

hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin

(hemoglobinuria).10

Jika asupan zat besi dari makanan tidak mencukupi maka terjadi anemia

defisiensi zat besi. Hal ini paling sering terjadi karena pengenalan makanan padat

yang terlalu dini (sebelum usia 4-6 bulan) dihentikannya susu formula bayi yang

mengandung zat besi atau ASI sebelum usia 1 tahun dan minum susu sapi berlebihan

tanpa tambahan makanan pada kaya besi. Bayi yang tidak cukup bulan, bayi dengan

perdarahan perinatal berlebihan atau bayi dari ibu yang kurang gizi dan kurang zat

besi juga tidak memiliki cadangan zat besi yang adekuat. Bayi ini berisiko lebih

tinggi menderita anemia defisiensi besi sebelum berusia 6 bulan. Anemia defisiensi

zat besi dapat juga terjadi karena kehilangan darah yang kronik. Pada Bayi terjadi

karena perdarahan usus kronik yang disebabkan oleh protein dalam susu sapi yang

tidak tahan panas. Pada anak sembarang umur kehilangan darah sebanyak 1-7 ml dari

saluran cerna setiap hari menyebabkan anemia defisiensi zat besi. Pada remaja putri,

anemia defisiensi zat besi juga dapat terjadi karena menstruasi yang berlebihan.10

Anemia aplastik diakibatkan karena rusaknya sumsum tulang. Gangguannya

berupa berkurangnya sel darah dalam darah tepi sebagai akibat terhentinya

pembentukan sel hemopoetik (sel-sel sumsum tulang yang memproduksi sel darah

merah, sel darah putih, dan kepingan darah) dalam sumsum tulang. Aplasia dapat

terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem hemopoetik (eritropoetik,
8

granulopoetik dan trombopoetik). Aplasia hanya mengenai sistem eritropoetik disebut

eritroblastopenia (anemia hipoplastik). Aplasia mengenai sistem granulopoetik

disebut agranulosistosis (Penyakit Schultz), dan aplasia mengenai sistem

trombopoetik disebut megakariositik trombositopenik (ATP). Bila mengenai ketiga-

tiga sistem disebut panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia aplastik. Kekurangan

asam folat akan mengakibatkan anemia megaloblastik. Asam folat merupakan bahan

esensial untuk sintesis DNA (Deoxyribonucleic acid) dan RNA (Ribonucleid acid),

yang penting sekali untuk metabolisme inti sel dan pematangan sel.10

4. Manifestasi Klinik

Sistem organ yang dapat terkena anemia dapat menimbulkan manifestasi klinis

yang luas tergantung pada usia, mekanisme kompensasi, kecepatan timbulnya

anemia, tingkat aktivitasnya, keadaan penyakit yang mendasari dan beratnya anemia.3

Manifestasi klinis berdasarkan jenis anemia yaitu:

1. Anemia karena pendarahan: Pendarahan akut merupakan akibat kehilangan

darah lebih cepat terjadi karena reflek kardiovaskuler fisiologis berupa kontraksi

arteriola, pengurangan aliran darah. Gejala yang timbul tergantung cepat dan

banyaknya darah yang hilang dan tubuh masih dapat melakukan kompensasi.

Kehilangan darah sebanyak 12-15% akan tampak gejala pucat, takikardi, tekanan

darah rendah atau normal. Kehilangan darah sebanyak 15-20% dapat mengakibatkan

tekanan darah menurun dan dapat terjadi syock yang masih reversible. Kehilangan

darah lebih dari 20% dapat menimbulkan syock yang irreversible dengan angka

kematian tinggi. Pendarahan kronik, leukosit (15.000-20.000/mm³) nilai hemoglobin,

eritrosit dan hematocrit rendah akibat hemodelusi.10


9

2. Anemia defisiensi: a) Anemia defisiensi besi (DB): Pucat merupakan tanda

yang paling sering, bila hemoglobin menurun sampai 5g/dl iritabilitas dan anorexia,

takikardi dan bising usus menurun. Pada kasus berat akan mengakibatkan perubahan

pada kulit dan mukosa yang progresif seperti lidah yang halus, terdapat tanda-tanda

malnutrisi. Hasil laboratorium hemoglobin 6-10g/dl, trombositosis (600.000-

1.000.000). b) Anemia defisiensi asam folat: Tanda dan gejala pada anemia defisiensi

asam folat sama dengan anemia defisiensi besi. Anemia megaloblastic mungkin dapat

ditemukan gejala neurologis seperti gangguan kepribadian dan hilangnya daya ingat.

Gambaran darah seperti anemia pernisiosa tetapi kadar vitamin B 12 serum normal

dan asam folat serum rendah, biasanya kurang dari 3ng/ml. Menentukan diagnose

adalah kadar folat sel darah merah kurang dari 150ng/ml.3

3. Anemia hemotolik: a) Anemia hemotolik autoimun: Anemia ini bervariasi

dari yang anemia ringan sampai dengan anemia yang berat dan bisa mengancam jiwa.

Keluhan pada anemia ini adalah fatigue dapat terlihat bersama gagal jantung

kongestif dan angina. Biasanya ditemukan icterus dan spleno megali. Jika pasien

mempunyai penyakit dasar seperti LES atau Leukimia Limfositik Kronik, gambaran

klinis pasien tersebut dapat terlihat. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan kadar

HB yang bervariasi dari ringan sampai berat (HT<10%). Retikulositosis dan

Sferositosis biasanya dapat dilihat pada apusan darah tepi. Pada kasus hemolisis

berat, penekanan pada sumsum tulang dapat mengakibatkan sel darah merah yang

terpecah.10 b) Anemia hemotolik kekurangan enzim: Manifestasi klinik beragam

mulai beragam mulai dari anemia hematolik neonatus berat sampai ringan, hemolisis

yang terkompensasi dengan baik dan tampak pertama pada dewasa. Polikromatofilia
10

dan mikrositosis ringan menggambarkan angka kenaikan retikulosit. Manifestasi

klinis sangat beragam tergantung dari jenis kekurangan enzim, defisiensi enzim

glutation reductase kadang disertai trombopenia dan leukopenia disertai kelainan

neurologis. Defisiensi piruvatkinase khasnya ada peningkatan kadar 2,3

difosfogliserat. Defesiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI) gejala menyerupai

sferositosis, tetapi tidak ada peninggian fragilitas osmotic dan hapusan darah tepi

tidak ditemukan sferosit.10 c) Sferositosis herediter Sferositosis herediter

menyebabkan penyakit hematolik pada bayi baru lahir dan tampak dengan anemia

dan hyperbilirubinemia yang cukup berat. Sebagian penderita tidak terdapat gejala

sampai dewasa sedangkan sebagian lainnya mungkin mengalami anemia berat yang

pucat, icterus, lesu dan intoleransi aktivitas. Hasil hemolisis yaitu retikulositosis dan

hiperbirubinemia. Kadar Hb biasanya 6-10g/dL. Angka retikulositosis sering

meningkat sampai 6-20% dengan nilai 10%. Eritrosit pada apus darah tepi berukuran

bervariasi dan terdiri dari retikulosit polikromatofilik dan sferosis.10 d) Thalasemia:

Anemia berat tipe mikrositik dengan limpa dan hepar yang membesar. Pada anak

biasanya disertai keadaan gizi yang buruk dan mukanya memperlihatkan fasies

mongoloid. Jumlah retikulosit dalam darah meningkat. Hasil laboratorium

thalasiemia-ß HbF>90% tidak ada Hb A. Pada thalasiemia-a anemianya tidak sampai

memerlukan transfusi darah, mudah terjadi hemolisis akut pada serangan infeksi

berat, kadar Hb 7-10g/dL, sediaan apus darah tepi memperlihatkan tanda hipokromia

yang nyata dengan anisositosis (ukuran sel darah merah berbeda tidak seragam) dan

poikilositosis (sel darah merah berbeda bentuk karena abnormalitas).3,10


11

4. Anemia Aplastik: Anemia aplastik biasanya khas dan bertahap ditandai oleh

kelemahan, pucat, sesak nafas pada saat latihan. Hasil laboratorium biasanya

ditemukan pansitopenia, sel darah merah normositik dan normokromik artinya

ukuran dan warnanya normal, pendarahan abnormal akibat trombositopenia.10

5. Klasifikasi

Berdasarkan faktor morfologik SDM dan indeksnya, antara lain:

1. Anemia Makroskopik atau Makrositik Normokromik: Memiliki SDM lebih

besar dari normal (MCV>100) tetapi normokromik konsentrasi hemoglobin normal

(MCHC normal). Keadaan ini disebabkan terganggunya atau terhentinya sitesis asam

deoksibonukleat (DNA) yang ditemukan pada defisiensi B12, asam folat, dan pada

pasien yang mengalami kemoterapi kanker disebabkan agen-agen menggangu sintesis

DNA.3 Anemia megaloblastic berkaitan dengan kekurangan dari vitamin B12 dan

asam folic tidak cukup atau penyerapan yang tidak mencukupi, kekurangan folate

secara normal tidak menghasilkan gejala jika B12 cukup. Anemia megaloblastic

merupakan penyebab paling umum anemia macroytic. Anemia pernisiosa merupakan

suatu kondisi autoimmune yang melawan sel parietal dari perut. Sel parietal

menghasilkan faktor intrinsic, diperlukan dalam menyerap vitamin B12 dari

makanan. Penghancuran dari sel parietal menyebabkan kematian faktor intrinsic dan

tidak dapat menyerap vitamin B12.10

2. Anemia Mikrositik: Anemia Hipokromik mikroskotik, Mikroskotik adalah

sel kecil, hipokronik adalah pewarna yang berkurang. Sel-sel ini mengandung

hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari jumlah normal, keadaan ini

menyebabkan kekurangan zat besi seperti anemia pada defisiensi besi, kehilangan
12

darah kronis dan gangguan sintesis globin. a) Anemia defisiensi besi, merupakan

jenis anemia yang paling umum dari semua jenis anemia dan yang paling sering

adalah microytic hypochromic. Anemia kekurangan besi disebabkan ketika

penyerapan atau masukan dari zat besi tidak cukup. Zat besi adalah suatu zat di dalam

tubuh yang erat dengan ketersediaan jumlah darah yang diperlukan dan kekurangan

zat besi mengakibatkan berkurangnya hemoglobin di dalam sel darah merah. b)

Hemoglobinopathies lebih jarang. Di masyarakat kondisi ini adalah lazim seperti

anemia sel sabit yang merupakan kondisi sel-sel darah merah berbentuk bulan sabit,

dan thalassemia yang merupakan penyakit kelainan darah.3,10

3. Anemia Normositik SDM memiliki ukuran dan bentuk normal serta

mengandung jumlah hemoglobin normal. (MCV dan MHCH normal atau rendah)

tetapi mengalami anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah pendarahan yang akut,

anemia dari penyakit yang kronis, anemia yang aplastic (kegagalan sumsum

tulang).9,10

6. Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam

diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari:11

a. Pemeriksaan penyaring (sceening test)

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar

hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari ini dapat dipastikan adanya

anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk

pengarahan diagnosis lebih lanjut.

b. Pemeriksaan darah seri anemia


13

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung

retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic

hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

c. Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga

mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis

definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan

untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan

hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.

d. Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:

1) Anemia defisiensi besi: serum iron. TIBC (total iron binding capacity),

saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin

dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).

2) Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi

deoksiuridin dan tes Schiling.

3) Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin

dan lain-lain.

4) Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya

pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.11


14

7. Tatalaksana

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada penderita

anemia adalah:11

a. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah

ditegakkan terlebih dahulu.

b. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.

c. Pengobatan anemia dapat berupa:

1) Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut

akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa penderita, atau pada anemia

pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik.

2) Terapi suportif.

3) Terapi yang khas untuk masing-masing anemia.

4) Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia

teresbut.

d. Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa

memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Disini harus dilakukan

pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan

penyakit penderita dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang kemungkinan

perubahan diagnosis.

e. Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda

gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika

anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Disini

diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering
15

dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan

tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid

sebelum transfusi.

C. Efusi Pleura Massive Sinistra

1. Definisi

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam

rongga pleura. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat,

eksudat, atau dapat berupa darah atau pus. Cairan pleura normalnya merembes secara

terus menerus ke dalam rongga dada dari kapiler-kapiler yang membatasi pleura

parietalis dan diserap ulang oleh kapiler dan sistem limfatik pleura viseralis. Kondisi

apapun yang mengganggu sekresi atau drainase dari cairan ini akan menyebabkan

efusi pleura.9

Cairan pleura diproduksi utama oleh pleura parietal dan direabsorbsi melalui

limfatik pleura melalui stomata yang ada di pleura parietal. Pada manusia sehat,

kavitas pleural umumnya berisi kira-kira 0.3 mL/kg cairan atau 10-20 mL dengan

konsentrasi protein yang rendah.12

2. Etiologi

Efusi pleura transudatif sering terjadi karena gagal jantung, penyakit hepar yang

disertai asites, dialysis peritoneal, hipoalbuminemia, dan gangguan yang

menimbulkan peningkatan volume intravaskuler secara berlebihan. Efusi pleura

eksudatif terjadi pada tuberkulosis (TB), abses subfrenikus, pankreatitis, pneumonitis,

atau empyema bakterialatau fungus, malignansi, emboli paru dengan atau tanpa
16

infark paru, penyakit kolagen (lupus eritematosus [LE] serta asrtritis rematoid),

miksedema, dan trauma dada. Empiema dapat terjadi karena infeksi idiopatik atau

dapat berkaitan dengan pneumonitis, karsinoma, perforasi, atau ruptura esofagus.

Transudat adalah cairan pleura dalam keadaan normal yang jumlahnya sedikit.

Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan

koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura

akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada

meningkatnya tekanan kapiler sistemik, meningkatnya tekanan kapiler pulmoner,

menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura, dan menurunnya tekanan intra

pleura.9,13

Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang

permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein

transudate. Terjadinya perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya

peradangan pada pleura. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan

berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening akan

menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan

eksudat.5,12,13

Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit

neoplastic, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh

sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar, yaitu: peningkatan tekanan kapiler

subpleural atau limfatik; penurunan tekanan osmotik koloid darah; peningkatan

tekanan negatif intrapleural; dan adanya inflamasi atau neoplastic pleura.5,13


17

3. Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara

cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura

dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini

terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial

submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.5,9,13

Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5ml cairan yang cukup untuk

membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Sebagian cairan

ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-

20%) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga aliran cairan disini mencapai 1

liter sehari.5,9,13

Tekanan yang seimbang dalam kapiler pleura viseralis meningkatkan reabsorpsi

cairan ini. Tekanan hidrostatik yang berlebihan atau tekanan osmotik yang menurun

dapat menyebabkan cairan berlebihan tersebut mengalir melintasi kapiler yang utuh.

Akibatnya akan terjadi efusi pleura transudatif. Sedangkan ketika kapiler

memperlihatkan peningkatan permeabilitas dengan atau tanpa perubahan tekanan

hidrostatik dan tekanan osmotik koloid, dapat mengakibatkan efusi pleura

eksudatif.5,9,13

4. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik yang ditimbulkan dari efusi pleura berdasarkan penyebabnya

adalah: batuk, sesak napas, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada, berat badan

menurun, adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, mengigil, dan

nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis),


18

banyak keringat, dan batuk; Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi

jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan; Pada pemeriksaan fisik:

inflamasi dapat terjadi friction rub; Atelektaksis kompresif (kolaps paru parsial) dapat

menyebabkan bunyi napas bronkus; Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan

duduk akan berlainan karena cairan akan berpindah tempat; Bagian yang sakit akan

kurang bergerak dalam pernapasan; Focal fremitus melemah dan pada perkusi

didapati pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis

melengkung (garis ellis damoiseu).9

5. Klasifikasi

Efusi pleura diklasifikasikan berdasarkan jenis cairannya, yaitu transudat dan

eksudat. Transudat adalah cairan pleura dalam keadaan normal yang jumlahnya

sedikit. Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik

dan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi

pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada

meningkatnya tekanan kapiler sistemik, meningkatnya tekanan kapiler pulmoner,

menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura, dan menurunnya tekanan intra

pleura.5,9,13

Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang

permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein

transudate. Terjadinya perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya

peradangan pada pleura. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan

berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening akan
19

menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan

eksudat.5,9,13

6. Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik menjadi acuan untuk mengevaluasi awal

efusi pleura. Tanda dan gejala bervariasi tergantung pada penyebabnya seperti

dispnea, batuk, dan nyeri dada pleuritik. Gejala tambahan seperti demam, ortopnea,

atau arthralgia bersamaan dapat memberikan petunjuk etiologi yang mendasarinya

dan dapat membantu mempersempit diferensial diagnosis. Riwayat perjalanan,

riwayat pekerjaan sebelum dan saat ini, penggunaan obat, riwayat operasi

sebelumnya (seperti bedah bypass arteri coroner; CABG), keganasan, tempat tinggal,

dan paparan asbes sebelumnya juga dapat menimbulkan efusi pleura.13

Presentasi klinis khusus yang muncul biasanya meliputi berkurangnya bunyi

nafas, redup pada perkusi thoraks, dan penurunan fremitus taktil pada area efusi

pleura; Temuan ini umumnya hanya terjadi pada efusi yang lebih besar dari 300 mL.

Petunjuk lain pada pemeriksaan fisik meliputi distensi vena leher, edema perifer,

pembesaran ventrikel kanan atau trombosis vena dalam, stigmata penyakit hati

stadium akhir, kelainan bentuk sendi, atau sinovitis. Setiap temuan ini dapat

membantu mempersempit diagnosis banding dan perencanaan pengujian tambahan.13

Radiografi dada biasanya merupakan studi pencitraan pertama yang dilakukan

ketika mengevaluasi efusi pleura. Foto posteroanterior umumnya akan menunjukkan

adanya efusi pleura ketika ada sekitar 200 ml cairan pleura, dan foto lateral akan

terinterpretasi abnormal ketika terdapat sekitar 50 ml cairan pleura. Ultrasonografi

thoraks juga memiliki peran yang semakin penting dalam evaluasi efusi pleura karena
20

sensitivitasnya yang lebih tinggi dalam mendeteksi cairan pleura daripada

pemeriksaan klinis atau radiografi toraks. Karakteristik yang juga dapat dilihat pada

USG dapat membantu menentukan apakah terjadi efusi sederhana atau kompleks.

Efusi sederhana dapat diidentifikasi sebagai cairan dalam rongga pleura dengan

echotexture homogen seperti yang terlihat pada sebagian besar efusi transudatif,

sedangkan efusi yang kompleks bersifat echogenic, sering terlihat septasi di dalam

cairan, dan selalu eksudat. Bedside Ultrasound dianjurkan saat melakukan

thoracentesis untuk meningkatkan akurasi dan keamanan prosedural.13

7. Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan pada efusi pleura adalah paliasi atau mengurangi

gejala. Pilihan terapi harus tergantung pada prognosis, kejadian efusi berulang, dan

keparahan gejala pada pasien.13

a. Thorakosintesis

Thorakosintesis diindikasikan untuk efusi pleura baru yang tidak tau

penyebabnya. Obeservasi dan Optimal Medical Therapy (OMT) tanpa dilakukan

thorasentesis merupakan hal yang wajar dalam penanganan efusi pleura karena gagal

jantung atau setelah operasi CABG. Namun manifestasi lain (seperti demam,

pleuritis; radang selaput dada) atau kegagalan untuk menanggapi terapi pada pasien

harus segera dipertimbangkan dilakukan thorasentesis diagnostik.

b. Pemeriksaan laboratorium

Analisis cairan pleura, penampilan makroskopis cairan pleura harus

diperhatikan saat dilakukan thoracentesis, karena dapat menegakkan diagnosis.

Cairan bisa sifatnya serosa, serosanguineous (ternoda darah), hemoragik, atau


21

bernanah. Cairan berdarah (hemoragik) sering terlihat pada keganasan, emboli paru

dengan infark paru, trauma, efusi asbes jinak, atau sindrom cedera jantung. Cairan

purulen dapat dilihat pada empiema dan efusi lipid. Sebagai tambahan. bau busuk

dapat menyebabkan infeksi anaerob dan bau amonia menjadi urinothorax.

Karakterisasi cairan pleura sebagai transudat atau eksudat membantu menyingkirkan

diagnosis banding dan mengarahkan pemeriksaan selanjutnya.

c. Kimia darah

Pada pemeriksaan kimia darah konsentrasi glukosa dalam cairan pleura

berbanding lurus dengan kelainan patologi pada cairan pleura. Asidosis cairan pleura

(pH rendah berkorelasi dengan prognosis buruk dan memprediksi kegagalan

pleurodesis. Pada dugaan infeksi pleura, pH kurang dari 7,20 harus diobati dengan

drainase pleura. Amilase cairan pleura meningkat jika rasio cairan amilase terhadap

serum pleura lebih besar dari 1,0 dan biasanya menunjukkan penyakit pankreas,

ruptur esofagus, dan efusi yang ganas.

d. Water Seal Drainage (WSD)

Drainase cairan (Water Seal Drainage) jika efusi menimbulkan gejala subyektif

seperti nyeri, dispnea, dll. Cairan efusi sebanyak 1-1,2 liter perlu dikeluarkan segera

untuk mencegah meningkatnya edema paru, jika jumlah cairan efusi lebih banyak

maka pengeluaran cairan berikutya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian. Pada efusi

yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi melalui

selang iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila empiemanya

multiokuler, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu dengan

irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik. Pengobatan secara sistemik
22

hendaknya segera dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila tidak diiringi

pengeluaran cairan yang adequate.

Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi dapat dilakukan

pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis dan pleura parietalis. Zat-zat yang

dipakai adalah tetrasiklin, bleomicin, Corynecbaterium parvum, dll.13

D. Tumor Padat Ovarium

1. Definisi

Tumor padat ovarium merujuk pada pertumbuhan massa atau benjolan yang

padat di dalam ovarium. Tumor ini dapat bersifat jinak (non-kanker) atau ganas

(kanker). Tumor ovarium jinak meliputi fibroma, teratoma dermoid, adenofibroma,

dan Brenner tumor. Tumor ovarium ganas mencakup karsinoma ovarium,

karsinosarkoma ovarium, tumor sel germinal, dan stromal tumors.9

2. Etiologi

Etiologi tumor padat ovarium masih belum jelas untuk saat ini. Ada beberapa

hipotesis yang dapat menjelaskan terjadinya tumor pada ovarium antara lain:

hipotesis trauma ovulasi dan hipotesis gonadotropin. Saat ovulasi, terjadi kerusakan

epitel permukaan ovarium pada waktu pecahnya folikel dan kemudian diikuti oleh

perbaikan 16 sel/DNA. Ini menyatakan bahwa semakin banyak pembelahan sel yang

diikuti proses perbaikan meningkatkan peluang untuk terjadinya mutasi spontan yang

menyebabkan karsinogenesis. Hipotesis gonadotropin didasarkan pada pembentukan

kista inklusi yang berkembang karena stimulasi estrogen akibat tingginya

gonadotropin. Overstimulasi sel epitel permukaan ovarium oleh gonadotropin,


23

follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) menyebabkan

peningkatan pembelahan sel dan mutasi yang dapat menyebabkan karsinogenesis.

Beberapa hipotesis lain yang menjelaskan terjadinya kanker ovarium adalah hipotesis

stimulasi hormonal, hipotesis inflamasi, dan interaksi gen-lingkungan.9,10

Reaksi inflamasi akan menghasilkan oksidan yang toksik, menyebabkan

kerusakan DNA, protein dan lipid. Kerusakan DNA menyebabkan mutasi DNA.

Mekanisme perbaikan DNA tubuh akan melakukan perbaikan DNA yang rusak,

dengan demikian inflamasi kronik akan menimbulkan efek yang lama dan

menyebabkan kematian sel sehingga tubuh mengkompensasinya dengan melakukan

pembelahan pertama sel. Pembelahan yang dipacu atau diakselerasi akan

memudahkan kesalahan pembentukan DNA, memudahkan terjadinya mutasi dan

terjadi mutagenesis. Sitokin yang dilepaskan pada reaksi inflamasi juga berperan

dalam regulasi cylooxygenase (COX-2), yang berfungsi dalam sintesis prostaglandin.

Dimana fungsi prostaglandin sendiri antara lain adalah penurunan diferensiasi sel,

menghambat apoptosis, meningkatkan proliferasi sel dan merangsang pembentukan

angiogenesis melalui growth factor dan matrix metalloprotease. Inflamasi kronik

berhubungan dengan faktor imunitas selular dan humoral dimana masing-masing 17

menghasilkan sitokin T-helper 1 (Th-1) dan immune suppressive cytokine.9,10

3. Patofisiologi

Patofisiologi tumor padat ovarium melibatkan pertumbuhan dan proliferasi sel-

sel yang tidak terkendali di dalam ovarium. Proses ini melibatkan perubahan genetik

dan molekuler yang mengganggu mekanisme pengaturan normal pertumbuhan sel.9

Tumor padat ovarium jinak:


24

a. Fibroma: Fibroma ovarium berkembang dari jaringan ikat ovarium. Tidak ada

perubahan genetik yang jelas yang terlibat dalam fibroma ovarium, namun

mekanisme pasti yang memicu pertumbuhannya belum sepenuhnya dipahami.

b. Teratoma dermoid: Teratoma dermoid ovarium merupakan tumor yang terdiri

dari berbagai jenis jaringan, seperti rambut, gigi, dan tulang. Teratoma dermoid

berkembang dari sel-sel reproduktif primer yang tidak matang. Perubahan

genetik pada sel germinal di ovarium dapat menyebabkan terbentuknya

teratoma dermoid.

c. Adenofibroma: Adenofibroma ovarium terbentuk dari jaringan kelenjar dan

jaringan ikat ovarium. Perubahan genetik seperti mutasi gen tertentu dapat

menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali.

d. Brenner tumor: Brenner tumor ovarium adalah tumor yang terbentuk dari epitel

ovarium. Mekanisme terjadinya masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi

perubahan genetik pada sel-sel epitel ovarium dapat mempengaruhi proliferasi

sel.

Tumor padat ovarium ganas:

a. Karsinoma ovarium: Karsinoma ovarium terjadi ketika mutasi genetik dalam

sel-sel epitel ovarium menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali.

Mutasi pada gen BRCA1 dan BRCA2, serta faktor risiko lain seperti paparan

hormon, inflamasi kronis, dan faktor lingkungan, dapat berkontribusi pada

perkembangan karsinoma ovarium.


25

b. Karsinosarkoma ovarium: Karsinosarkoma ovarium merupakan tumor ganas

yang berasal dari jaringan ovarium baik epitelial maupun jaringan ikat.

Mekanisme pasti terjadinya belum sepenuhnya dipahami.

c. Tumor sel germinal: Tumor sel germinal ovarium, seperti teratoma ganas dan

disgerminoma, berkembang dari sel-sel reproduktif primer ovarium. Mutasi

genetik pada sel-sel germinal dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak

terkontrol.

d. Stromal tumors: Tumor stromal ovarium ganas, seperti granulosa cell tumors

dan Sertoli-Leydig cell tumors, terjadi akibat perubahan genetik pada sel-sel

penunjang ovarium. Mutasi gen tertentu, seperti gen FOXL2, dapat terlibat

dalam perkembangan tumor ini.

4. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis tumor padat ovarium dapat bervariasi tergantung pada

ukuran, jenis, dan lokasi tumor tersebut. Beberapa gejala yang mungkin muncul

termasuk:6,9

a. Perubahan menstruasi: Perubahan siklus menstruasi, seperti menstruasi yang

lebih berat atau lebih jarang, dapat terjadi.

b. Nyeri panggul: Nyeri atau ketidaknyamanan di daerah panggul dapat terjadi.

Nyeri ini bisa bersifat kronis atau terjadi secara sporadis.

c. Pembengkakan abdomen: Tumor ovarium yang besar dapat menyebabkan

perasaan penuh atau pembesaran pada perut.


26

d. Perubahan berat badan: Perubahan berat badan yang tidak dijelaskan, seperti

penurunan berat badan yang tidak disengaja atau peningkatan berat badan,

dapat terjadi.

e. Perubahan saluran pencernaan: Beberapa pasien dapat mengalami perubahan

saluran pencernaan seperti perut kembung, sembelit, atau diare.

f. Mual dan muntah: Gejala ini mungkin terjadi sebagai akibat tekanan tumor

ovarium terhadap organ-organ di sekitarnya.

g. Gangguan kemih: Tumor ovarium yang menekan kandung kemih dapat

menyebabkan sering buang air kecil, sulit buang air kecil, atau perasaan tidak

puas setelah buang air kecil.

h. Kelelahan dan kelemahan: Tumor ovarium yang padat dapat menyebabkan

kelelahan dan kelemahan yang tidak dapat dijelaskan.

5. Klasifikasi

Tumor padat ovarium dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria,

termasuk histologi (jenis sel), karakteristik patologis, dan faktor prognostik. Berikut

adalah beberapa klasifikasi umum untuk tumor padat ovarium:

a. Tumor epitelial ovarium: Ini adalah jenis tumor ovarium yang paling umum.

Mereka berasal dari epitel yang melapisi permukaan ovarium. Klasifikasi

histologis tumor epitelial ovarium meliputi serous, endometrioid, clear cell,

mucinous, dan jenis campuran.

b. Tumor germinal ovarium: Tumor ini berasal dari sel-sel yang akan menjadi

telur (sel germinal) dalam ovarium. Contoh umum termasuk disgerminoma,

teratoma, dan tumor sel-sel granulosa.


27

c. Tumor stromal ovarium: Jenis tumor ini berasal dari jaringan pendukung

ovarium yang disebut stroma. Contoh tumor stromal ovarium termasuk tumor

sel granulosa, tumor sertoli-leydig, dan fibroma ovarium.

d. Tumor kecil sel ovarium: Ini adalah jenis tumor langka yang berkembang dari

sel-sel kecil di ovarium. Mereka seringkali bersifat ganas dan membutuhkan

penanganan agresif.

6. Diagnosis

Diagnosis tumor padat ovarium melibatkan serangkaian langkah dan

pemeriksaan. Beberapa prosedur yang biasa dilakukan untuk mendiagnosis tumor

padat ovarium antara lain:

a. Riwayat medis dan pemeriksaan fisik: riwayat medis lengkap dan pemeriksaan

fisik untuk mencari tanda-tanda atau gejala yang dapat mengarah ke tumor

ovarium.

b. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi): USG pelvis merupakan pemeriksaan yang

umum digunakan untuk memvisualisasikan ovarium dan mendeteksi adanya

tumor atau kelainan struktural pada ovarium.

c. CT Scan (Computed Tomography) atau MRI (Magnetic Resonance Imaging):

Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran yang lebih detail mengenai

ukuran, lokasi, dan karakteristik tumor ovarium.

d. Biopsi: Biopsi dilakukan untuk mengambil sampel jaringan tumor ovarium

guna analisis histologis oleh seorang ahli patologi. Biopsi dapat dilakukan

melalui laparoskopi (dengan membuat sayatan kecil di perut) atau melalui


28

biopsi jarum (dengan menggunakan jarum untuk mengambil sampel jaringan

tumor dari ovarium).

e. Marker tumor: Tes darah dapat dilakukan untuk mengukur tingkat marker

tumor spesifik seperti CA-125, HE4, atau CEA. Namun, perlu dicatat bahwa

tingkat marker tumor dapat meningkat dalam kondisi lain selain tumor ovarium.

Setelah diagnosis tumor padat ovarium ditegakkan, langkah selanjutnya adalah

penentuan stadium kanker ovarium untuk menentukan tingkat penyebaran tumor. Ini

melibatkan pemeriksaan tambahan seperti tes imaging, tes darah, dan evaluasi

laparoskopi atau laparotomi.6,9

Selain itu, dikenal juga Meigs Syndrome, yaitu sekumpulan gejala yang terdiri

dari tumor ovarium benigna dengan ascites dan efusi pleura yang menghilang setelah

reaksi tumor. Tumor ovarium pada Meigs Syndrome adalah jenis fibroma. Gejala

klinis Meigs Syndrome adalah kelelahan, napas yang pendek, peningkatan lingkar

perut, penurunan berat badan, batuk yang tidak produktif, bengkak, amenorea pada

wanita premenopause, menstruasi yang tidak teratur.

7. Tatalaksana

Tatalaksana tumor padat ovarium bergantung pada beberapa faktor, termasuk

jenis tumor, stadium kanker, keadaan umum pasien, serta preferensi pasien.

Tatalaksana yang umum digunakan yaitu:6,9

a. Pembedahan: Prosedur bedah biasanya merupakan langkah utama dalam

pengelolaan tumor padat ovarium. Tujuan utamanya adalah untuk mengangkat

tumor secara maksimal (debulking) dan memeriksa stadium kanker ovarium.


29

Pembedahan dapat melibatkan pengangkatan ovarium, tuba falopi, uterus, serta

jaringan atau organ lain yang terkena penyebaran tumor.

b. Kemoterapi: Kemoterapi adalah penggunaan obat-obatan kanker yang memiliki

efek sistemik untuk membunuh sel-sel kanker atau menghambat pertumbuhan

mereka. Kemoterapi dapat diberikan sebelum atau setelah pembedahan sebagai

terapi adjuvan atau neoadjuvan, tergantung pada karakteristik tumor dan

stadium kanker ovarium.

c. Radioterapi: Radioterapi menggunakan sinar radiasi tinggi untuk

menghancurkan sel-sel kanker. Meskipun tidak umum digunakan dalam

pengelolaan tumor padat ovarium, radioterapi dapat diterapkan pada kasus-

kasus tertentu, terutama jika ada penyebaran kanker ke daerah tertentu, seperti

area panggul atau perut.

d. Terapi Targeted: Terapi targeted adalah pendekatan pengobatan yang

menggunakan obat-obatan yang mengarahkan spesifik pada molekul atau

mekanisme yang terlibat dalam pertumbuhan kanker. Beberapa terapi targeted

telah ditemukan efektif dalam pengobatan beberapa jenis tumor ovarium,

terutama tumor epitelial ovarium.

e. Perawatan paliatif: Dalam beberapa kasus, tujuan pengobatan dapat menjadi

paliatif, yaitu untuk mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Perawatan paliatif dapat mencakup pengelolaan nyeri, perawatan suportif, dan

bantuan psikologis.
30

Setelah perawatan utama selesai, pasien akan memerlukan pemantauan rutin

untuk memeriksa respons terhadap terapi dan deteksi dini adanya kekambuhan atau

penyebaran kanker.6,9
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. R

Umur : 63 tahun

Agama : Islam

Suku : Banjar

Pendidikan : Tidak Tamat Sekolah SD

Pekerjaan : Tidak bekerja

Pernikahan : Menikah

Alamat : Jl. Seberang Mesjid, Banjarmasin Tengah

MRS : 12 Mei 2023

RMK : 01-51-XX-XX

Ruangan/Bed : Gedung Tulip Lantai 3 Bangsal Penyakit Dalam, PDP 8

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal

16 Mei 2022 pukul 10.00 WITA di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Ulin

Banjarmasin.

a. Keluhan Utama

BAB berdarah

b. Riwayat Penyakit Sekarang

31
32

Pasien mengeluh BAB berdarah sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi > 6 kali

sehari dengan warna darah segar dan keluar banyak seperti menstruasi, darah yang

keluar sekitar 3 sendok makan tiap kali BAB berdarah. Pasien ganti pampers 4-5 kali

sehari. Pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari dalam kondisi BAB berdarah

seperti ini dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. BAB berdarah tidak dipengaruhi

perubahan posisi atau makanan. BAB berdarah juga tidak berkurang dengan obat.

Pasien juga mengeluhkan perut membesar dan nyeri perut sebelah kanan sejak

4 bulan SMRS. Nyeri perut muncul hilang timbul. Nyeri dirasakan seperti ditusuk

benda tajam, memberat bila beraktivitas dan sedikit membaik bila istirahat. Nyeri

tidak menjalar ke seluruh area perut. Keluhan nyeri perut memberat bila pasien

beraktivitas. Keluhan berkurang dan membaik setelah diberikan obat untuk

mengurangi cairan perut. Tidak ada riwayat disedot cairan perut.

Pasien juga mengeluhkan sesak nafas hilang timbul sejak 4 bulan SMRS.

Keluhan bertambah bila beraktivitas dan lebih nyaman bila tidur posisi miring ke kiri.

Riwayat diambil cairan di paru-paru kiri sebanyak 1 kali di poli paru 1 bulan yang

lalu, didapatkan cairan 700cc berwarna kuning jernih dari paru-paru kiri.

Nafsu makan pasien menurun sejak 4 bulan SMRS. Awalnya pasien bisa makan

1 porsi penuh, namun saat ini hanya bisa makan 4-5 sendok. Berat badan menurun

namun pasien tidak pernah mengukur berat badan. Pasien hanya merasakan pakaian

yang dipakai terasa lebih longgar.

Pasien pernah dilakukan USG oleh Obsgyn dan didiagnosis Tumor Padat

Ovarium sejak 4 bulan yang lalu. Pasien direncanakan untuk operasi dengan terlebih
33

dahulu kemoterapi regimen Paclitaxel dan Carboplatin oleh TS Obsgyn, tetapi pasien

menolak.

Keluhan lain seperti demam, batuk, nyeri dada, nyeri ulu hati, mual dan muntah

disangkal. Riwayat BAB hitam, benjolan di luar dubur, nyeri di area dubur, dan

riwayat wasir disangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat operasi sebelumnya (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga

HT (-), DM (-), asma (-), penyakit kuning (-) dan penyakit jantung (-)

e. Riwayat pengobatan

Pasien tidak ada konsumsi obat rutin

f. Riwayat Sosial, Pribadi dan Ekonomi

Pasien tidak merokok dan tidak minum alkohol, tidak ada alergi makanan dan

minuman, riwayat menikah 1 kali namun tidak mempunyai anak, tidak ada riwayat

KB, riwayat hamil 1 kali namun dikatakan keguguran, riwayat kuretase disangkal.

Biaya pengobatan BPJS, status ekonomi kurang.


34

C. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 16/05/2023)

Keadaan umum: tampak sakit sedang Status gizi:


GCS : E4V5M6 (compos mentis)  BB : 33 kg
TD : 130/70 mmHg  TB : 150 cm
N : 92 x/menit, reguler, kuat angkat  IMT : 14,2
RR : 34 x/menit (underweight)
T : 37,8 ºC
SpO2 : 95% on RA
Mata dan Kulit  Ptosis (-/-)  Warna kulit sawo matang
 Sklera ikterik (-/-)  Hipo/hiperpigmentasi(-),
 Konjungtiva pucat (+/+)  Turgor normal
 Eksoftalmus (-)  Ruam (-)
 Sekret (-)  Petekie (-)
 Perdarahan (-)  Hematom (-)
 Visus (tidak diperiksa)  Ikterik (-)
 Nodul (-), atrofi (-)
Kepala dan leher Inspeksi: Bentuk kepala normocephali, rambut hitam, rambut
tipis, terdistribusi merata, alopesia (-), wajah simetris, edema (-
), tumor/benjolan (-), trauma (-).
Palpasi: Nyeri tekan sinus frontalis dan maxillaris (-),
pembesaran KGB preauricular, postauricular, occipital, cervical
(-). Pembesaran tiroid (-), nyeri tekan pada tiroid dan KGB (-)
Auskultasi: Bruit (-)
Pemeriksaan JVP: 5+0 cm H2O
Thorax cor Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi: Iktus kortis teraba di ICS V linea midclavicularis
sinitra, thrill (-).
Perkusi: Batas jantung kanan di parasternalis kanan.
Batas jantung kiri, dan pinggang jantung sulit dievaluasi.
Auskultasi: S1 dan S2 normal, reguler, murmur (-), gallop (-).
Thorax pulmo Inspeksi: Bentuk dada normal, saat bernapas dada bagian kiri
tertinggal
Palpasi: Pergerakan dinding dada tertinggal di bagian kiri,
fremitus vokal menurun di dada kiri, tidak teraba massa
Perkusi: Sonor di lapang paru kanan, redup di lapang paru kiri,
batas paru-hepar di ICS V linea midclavicularis dextra.
Auskultasi: Suara napas post pungsi (vvv/v<<), ronkhi (---/---),
wheezing (---/---)
Abdomen Inspeksi: Perut cembung, herniasi (-), caput medusa (-), striae (-
)
Auskultasi: Bising usus (+) 10 x/menit
Perkusi: Timpani seluruh lapang abdomen, shifting dullness (-),
undulasi (+)
35

Palpasi: tidak teraba pembesaran hepar dan lien, liver span = 10


cm, defans muscular (-), murphy sign (-), mc burney sign (-),
teraba massa pada area suprapubik ukuran 10x6 cm, konsistensi
keras, berdungkul-dungkul, tepi ireguler, imobile, nyeri tekan
(+) VAS 3
Punggung Inspeksi: Kifosis, lordosis, skoliosis (-)
Palpasi: Nyeri tekan (-), massa (-)
Ekstremitas CRT < 2 detik, akral hangat
Rectal toucher Spincter ani menjepit kuat, ampula recti tidak kolaps, masssa
padat (+) arah jam 12 sampai jam 6, darah (+), feses (-), melena
(-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap 12/5/2023

NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 8.2 12.0 – 16.0 g/dl
Leukosit 9.0 4.0 – 10.5 ribu/ul
Eritrosit 2.93 4.00 – 5.30 juta/ul
Hematokrit 25.4 37.0 – 47.0 %
Trombosit 347 150 – 450 ribu/ul
RDW-CV 14.9 12.1 – 14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 86.7 80.0 – 92.0 Fl
MCH 28.0 28.0 – 32.0 Pg
MCHC 32.3 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.6 0.0 – 1.0 %
Eosinofil% 1.3 1.0 – 3.0 %
Neutrofil% 76.0 50.0 – 81.0 %
Limfosit% 17.8 20.0 – 40.0 %
Monosit% 4.3 2.0 – 8.0 %
Basofil# 0.05 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.12 <3.00 ribu/ul
Neutrofil# 6.85 2.5 – 7.00 ribu/ul
Limfosit# 1.61 1.25 – 4.00 ribu/ul
Monosit# 0.39 0.30 – 1.00 ribu/ul
36

KIMIA
DIABETES
Glukosa darah sewaktu 93 <200.00 mg/dl
HATI DAN PANKREAS
Albumin 3.4 3.2 – 4.6 g/dl
SGOT 25 5 – 34 u/l
SGPT 10 0 – 55 u/l
GINJAL
Ureum 29 0 – 50 mg/dl
Kreatinin 0.69 0.57 – 1.11 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 138 136 – 145 Meq/L
Kalium 2.8 3.5 – 5.1 Meq/L

Pemeriksaan kimia hati dan pankreas (albumin) 13/5/2023

KIMIA
HATI DAN PANKREAS
Albumin 2.6 3.2 – 4.6 g/dl

Pemeriksaan darah lengkap 15/5/2023

NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.5 12.0 – 16.0 g/dl
Leukosit 7.5 4.0 – 10.5 ribu/ul
Eritrosit 4.94 4.00 – 5.30 juta/ul
Hematokrit 41.7 37.0 – 47.0 %
Trombosit 225 150 – 450 ribu/ul
RDW-CV 14.4 12.1 – 14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 84.4 80.0 – 92.0 Fl
MCH 27.3 28.0 – 32.0 Pg
MCHC 32.4 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.7 0.0 – 1.0 %
Eosinofil% 2.5 1.0 – 3.0 %
Neutrofil% 81.4 50.0 – 81.0 %
Limfosit% 11.5 20.0 – 40.0 %
Monosit% 3.9 2.0 – 8.0 %
37

Basofil# 0.05 <1.00 ribu/ul


Eosinofil# 0.19 <3.00 ribu/ul
Neutrofil# 6.09 2.5 – 7.00 ribu/ul
Limfosit# 0.86 1.25 – 4.00 ribu/ul
Monosit# 0.29 0.30 – 1.00 ribu/ul
HFLC# 20 /ul
HFLC% 0 %
KIMIA
ELEKTROLIT
Natrium 138 136 – 145 Meq/L
Kalium 2.9 3.5 – 5.1 Meq/L
Chlorida 103 98 - 107 Meq/L

2. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan EKG dilakukan pada tanggal 12 Mei 2023 di RSUD Ulin

Banjarmasin, dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 3.1. Hasil Pemeriksaan EKG


38

Interpretasi:
 Irama: Sinus rhythm
 Frekuensi: 98 x/menit
 Axis: normoaxis (lead I (+), II (+), AVF (+))
 Gel. P: P mitral (-), P pulmonal (-)
 Interval PR: Prolonged PR (-)
 Kompleks QRS: 0,04s (normal) LVH (-), RVH (-), q patologis (-), LBBB
 (-), RBBB (-)
 Segmen ST: ST elevasi (-), ST depresi (-)
 Gel. T: T inversi (-), T tall (-)
 Interval QT: Prolonged QT (-)
 Gel. U: Tidak ada

Kesimpulan: Sinus rhythm, frekuensi 98 x/menit regular, normoaxis

3. Pemeriksaan Foto Toraks AP

Pemeriksaan Foto Toraks AP dilakukan pada tanggal 12 Mei 2023 di RSUD

Ulin Banjarmasin, dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 3.2. Hasil Pemeriksaan Foto Toraks AP


39

Interpretasi:
 Penetrasi cukup
 Marker L, tidak ada artefak
 Soft tissue: normal, swelling (-), tidak ada massa dan udara
 Skeletal: normal, clavicula simetris, costae simetris, tidak ada deformitas, tidak
ada fraktur
 Trakea: lusen, berada di tengah, tidak ada deviasi
 Cor tidak membesar
 Sinus dan diafragma kanan normal. Sinus dan diafragma kiri tertutup
perselubungan
 Pulmo: tampak perselubungan opak homogeny di hemitoraks atas sampai
bawah kiri

Kesimpulan: cor sulit dinilai, efusi pleura massive sinistra.

4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG dilakukan pada tanggal 8 November 2022 di RSUD Ulin

Banjarmasin, dengan hasil sebagai berikut.

Kesimpulan: tumor padat ovarium


40

E. RESUME DATA DASAR

Pasien Ny. R usia 63 tahun, datang dengan keluhan BAB berdarah. Pada

anamnesis didapatkan hematochezia sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi >6 kali

sehari dengan warna darah segar dan keluar banyak seperti menstruasi, darah yang

keluar sekitar 3 sendok makan. Pasien ganti pampers 4-5 kali sehari. Pasien tidak bisa

melakukan aktivitas sehari-hari dalam kondisi seperti ini dan hanya bisa berbaring di

tempat tidur.

Pasien juga mengeluhkan perut membesar dan nyeri perut sebelah kanan sejak

4 bulan SMRS. Nyeri perut muncul hilang timbul. Nyeri dirasakan seperti ditusuk

benda tajam, memberat bila beraktivitas dan sedikit membaik bila istirahat. Tidak ada

riwayat disedot cairan perut, tapi hanya diberikan obat untuk mengurangi cairan

perut.

Nafsu makan pasien menurun sejak 4 bulan SMRS, awalnya pasien bisa makan

1 porsi penuh namun saat ini hanya bisa makan 4-5 sendok. Berat badan menurun

namun tidak pernah mengukur berat badan, pasien merasakan pakaian yang dipakai

terasa lebih longgar. Riwayat melena, benjolan di luar dubur, nyeri di area dubur, dan

riwayat hemoroid disangkal.

Selain itu, pasien juga mengeluhkan dispneu hilang timbul sejak 4 bulan

SMRS, bertambah bila beraktivitas dan lebih nyaman bila tidur posisi miring ke kiri.

Riwayat pleurocentesis di paru-paru kiri sebanyak 1 kali di poli paru 1 bulan yang

lalu, didapatkan cairan 700cc dari paru-paru kiri.

Pasien pernah dilakukan USG oleh Obsgyn dan didiagnosis Tumor Padat

Ovarium sejak 4 bulan yang lalu, direncanakan untuk operasi dengan terlebih dahulu
41

kemoterapi regimen Paclitaxel dan Carboplatin oleh TS Obsgyn, tetapi pasien

menolak.

Keluhan lain seperti demam, batuk, nyeri dada, nyeri ulu hati, mual dan muntah

disangkal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,

kesadaran komposmentis. Pada tanda vital didapatkan tekanan darah 130/70 mmHg,

denyut nadi 92 kali/menit, kuat angkat, reguler, frekuensi napas 34 kali/menit, irama

reguler, suhu axila 37,8 ºC, saturasi oksigen 95% on Room Air.

Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan bentuk kepala normocephali,

rambut hitam, rambut tipis, terdistribusi merata, alopesia (-), wajah simetris,

konjungtiva anemis (+/+). Pemeriksaan JVP: 5+0 cm H2O.

Pada pemeriksaan thorax cor didapatkan iktus kordis tidak terlihat, iktus kortis

teraba di ICS IV linea parasternalis sinitra, thrill (-). Perkusi batas jantung kiri, batas

kanan dan pinggang jantung sulit dievaluasi. Auskultasi: S1 dan S2 normal, reguler,

murmur (-), gallop (-). Pada pemeriksaan thorax pulmo didapatkan bentuk dada

normal, saat bernapas dada bagian kiri tertinggal. Pergerakan dinding dada tertinggal

di bagian kiri, fremitus vokal menurun di dada kiri, tidak ada massa. Pada perkusi

ditemukan suara sonor di lapang paru kanan, redup di lapang paru kiri, batas paru-

hepar di ICS V linea midclavicularis dextra. Pada Auskultasi ditemukan suara napas

post pungsi (vvv/v<<), ronkhi (---/---), wheezing (---/---).

Pada pemeriksaan abdomen didapatkan perut cembung, herniasi (-), caput

medusa (-), striae (-). Bising usus (+) 10 x/menit. Timpani seluruh lapang abdomen,
42

undulasi (+), hepar dan lien sulit dievaluasi, massa (+), defans muscular (-), murphy

sign (-), mc burney sign (-), nyeri tekan (+) VAS 3.

Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan spincter ani menjepit kuat, ampula

recti tidak kolaps, masssa padat (+) arah jam 12 sampai jam 6, darah (+), feses (-),

melena (-).

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium tanggal 12 Mei 2023 didapatkan Hb

8.2, MCV 86.7, MCH 28.0, MCHC 32.3, eritrosit 2.93, hematokrit 25.4, RDW-CV

14.9, limfosit 17.8%, kalium 2.8, dan albumin 2.6. Pemeriksaan foto toraks tanggal

12 Mei 2023 didapatkan hasil efusi pleura sinistra massive. Pemeriksaan USG

tanggal 8 November 2022 didapatkan hasil tumor padat ovarium.

F. DIAGNOSIS KERJA

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka

dapat ditegakkan diagnosis penyakit pasien ini yaitu: Hematochezia + Moderate

Anemia NN + Efusi Pleura Massive Sinistra + Tumor Padat Ovarium.

G. DAFTAR MASALAH

No Masalah Data Pendukung


1. Hematochezia Subjektif:
1.1. Related to malignancy - Hematochezia sejak 1 hari SMRS
1.2. Hemorrhoid interna gr II-III dengan frekuensi >6 kali sehari dengan
warna darah segar dan keluar banyak
seperti menstruasi, darah yang keluar
sekitar 3 sendok makan tiap kali BAB.
Pasien ganti pampers 4-5 kali sehari.
Pasien tidak bisa melakukan aktivitas
sehari-hari dalam kondisi hematochezia
43

seperti ini dan hanya bisa berbaring di


tempat tidur.
- Pasien pernah dilakukan USG oleh
Obsgyn dan didiagnosis Tumor Padat
Ovarium sejak 4 bulan yang lalu

Objektif:
- Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
perut cembung, teraba massa pada area
suprapubik ukuran 10x6 cm, konsistensi
keras, berdungkul-dungkul, tepi ireguler,
imobile, nyeri tekan (+) VAS 3
- Pada rectal toucher didapatkan massa
padat (+) arah jam 12 sampai jam 6,
darah (+)
- USG Abdomen: tumor padat ovarium
2. Moderate anemia NN Subjektif:
2.1. Blood loss - Hematochezia sejak 1 hari SMRS
2.2. Chronic disease dengan frekuensi >6 kali sehari dengan
warna darah segar dan keluar banyak
seperti menstruasi, darah yang keluar
sekitar 3 sendok makan
- Pasien pernah dilakukan USG oleh
Obsgyn dan didiagnosis Tumor Padat
Ovarium sejak 4 bulan yang lalu

Objektif:
- Konjungtiva anemis (+/+)
- Hb 8.2, MCV 86.7, MCH 28.0
3. Efusi pleura masive sinistra post Subjektif:
pungsi - Dispneu hilang timbul sejak 4 bulan
3.1 Metastasis process related no SMRS, bertambah bila beraktivitas dan
4 lebih nyaman bila tidur posisi miring ke
3.2 Infection - pleuropneumonia kiri. Riwayat pleurocentesis di paru-paru
kiri sebanyak 1 kali di poli paru 1 bulan
yang lalu, didapatkan cairan 700cc dari
paru-paru kiri

Objektif:
- Pemeriksaan fisik toraks pulmo: saat
bernapas dada bagian kiri tertinggal,
pergerakan dinding dada tertinggal di
bagian kiri, fremitus vokal menurun di
dada kiri, tidak ada massa. Sonor di
44

lapang paru kanan, redup di lapang paru


kiri. Suara napas post pungsi (vvv/v<<)
- Foto toraks AP: efusi pleura massive
sinistra
4. Tumor padat ovarium Subjektif:
4.1 Malignant – ca ovarium - Perut membesar dan nyeri perut sebelah
4.2 Benign kanan sejak 4 bulan SMRS. Nyeri perut
muncul hilang timbul. Nyeri dirasakan
seperti ditusuk benda tajam, memberat
bila beraktivitas dan sedikit membaik
bila istirahat
- Pasien pernah dilakukan USG oleh
Obsgyn dan didiagnosis Tumor Padat
Ovarium sejak 4 bulan yang lalu,
direncanakan untuk operasi dengan
terlebih dahulu kemoterapi regimen
Paclitaxel dan Carboplatin oleh TS
Obsgyn, tetapi pasien menolak

Objektif:
- Pemeriksaan palpasi abdomen: teraba
massa, nyeri tekan (+) VAS 3
- USG abdomen: tumor padat ovarium
5. Ascites grade III Subjektif:
- Perut membesar sejak 4 bulan SMRS
- Tidak ada riwayat disedot cairan perut,
tapi hanya diberikan obat untuk
mengurangi cairan perut

Objektif:
- Pemeriksaan abdomen: perut cembung,
undulasi (+)
6. Moderate hipokalemia Subjektif:
6.1 GI loss - Nafsu makan menurun sejak 4 bulan
6.2 Low intake SMRS, awalnya bisa makan 1 porsi
6.3 Renal loss penuh namun saat ini hanya bisa makan
4-5 sendok

Objektif:
- Pemeriksaan laboratorium: Kalium 2.8
7. Severe malnutrition Subjektif:
- Nafsu makan menurun sejak 4 bulan
SMRS, awalnya bisa makan 1 porsi
penuh namun saat ini hanya bisa makan
45

4-5 sendok. Berat badan menurun namun


tidak pernah mengukur berat badan,
pasien merasakan pakaian yang dipakai
terasa lebih longgar

Objektif:
- Berat badan 33 kg, tinggi badan 150 cm,
IMT 14,2 (underweight)

H. RENCANA AWAL

No Masalah Rencana Rencana Terapi Rencana Rencana Edukasi


Diagnosis Monitoring
1. Hematochezia Colonoscopy Non-farmakologi: Monitor tanda KIE pasien dan
1.1. Related to - Tirah baring vital & tanda keluarga mengenai:
malignancy perdarahan - Kondisi pasien
1.2. Hemorrhoid Farmakologi: saat ini
interna gr III - Konfirmasi - Penyebab
diagnosis munculnya
- Asam traneksamat keluhan pada
250mg/8jam pasien
- Tujuan dari
pemeriksaan
yang akan
dilakukan
- Tujuan
pengobatan yang
dilakukan pada
pasien
- Komplikasi dari
penyakit yang
pasien alami
2. Moderate anemia MDT Non farmakologi: Monitor tanda KIE pasien untuk
NN - O2 NK 2 lpm (kp) vital & Hb mengonsumsi
2.1. Blood loss makanan yang
2.2. Chronic disease Farmakologi: mengandung zat
- Transfusi PRC: besi
(10-8,2) x 32 x 4 =
230 cc
 transfusi PRC 2
kolf, 1 kolf/hari
3. Efusi pleura masive Analisis dan Non Farmakologi Monitoring KIE pasien dan
sinistra post pungsi sitologi cairan - Pungsi cairan tanda vital keluarga mengenai:
3.1 Metastasis pleura pleura - Kondisi pasien
process related no 4 - Head up 45-90º saat ini
3.2 Infection – - Penyebab
pleuropneumonia munculnya
keluhan pada
pasien
- Tujuan dari
pemeriksaan
yang akan
dilakukan
- Tujuan
46

pengobatan yang
dilakukan pada
pasien
- Komplikasi dari
penyakit yang
pasien alami
4. Tumor padat CT scan abdomen Farmakologi: Monitoring KIE pasien dan
ovarium curiga Ca 125 - Konfirmasi tanda vital keluarga mengenai:
maligna diagnosis - Kondisi pasien
4.1 Malignant – ca - Konsul obgyn saat ini
ovarium pertimbangan - Penyebab
4.2 Benign biopsi munculnya
keluhan pada
pasien
- Tujuan dari
pemeriksaan
yang akan
dilakukan
- Tujuan
pengobatan yang
dilakukan pada
pasien
- Komplikasi dari
penyakit yang
pasien alami
5. Ascites grade III Sitologi cairan Non farmakologi: Monitoring KIE pasien dan
ascites - Diet rendah garam tanda vital dan keluarga mengenai:
balance cairan - Kondisi pasien
Farmakologi: saat ini
- Pertimbangan - Penyebab
parasentesis munculnya
keluhan pada
pasien
- Tujuan dari
pemeriksaan
yang akan
dilakukan
- Tujuan
pengobatan yang
dilakukan pada
pasien
- Komplikasi dari
penyakit yang
pasien alami
6. Moderate Urine kalium Non farmakologi: Monitoring KIE pasien untuk
hipokalemia - Diet tinggi kalium tanda vital dan mengonsumsi
6.1 GI loss balance cairan makanan tinggi
6.2 Low intake Farmakologi: kalium
6.3 Renal loss - KSR 2x600mg
7. Severe malnutrition Non farmakologi: Monitoring KIE pasien untuk
- Diet 1300kkal/hari tanda vital dan mengonsumsi
- Peptimun asupan nutrisi makanan sesuai
2x100mg kebutuhan kalori
- Jus buah 2x100cc harian
47

I. FOLLOW UP

SOAP Keterangan
13 Mei 2023
Subjective Bab darah (-), lemas (-)
Objective KU: tampak sakit sedang
GCS: E4V5M6
TD: 140/70 mmHg
HR: 84 x/m
RR: 24 x/m
T: 37,2 ºC
SpO2: 96% on RA
GDS: 119 mg/dl
VAS: 3
BC: -225 cc/24jam

Mata: konj anemis (+), sklera ikterik (-)


Abd: undulasi (+), BU (+)
RT: spincter ani menjepit kuat, ampula recti
tidak keras, massa padat (+) arah jam 12
sampai jam 6, darah (+), feses (-), melena (-)
Assesment 1. Hematochezia
1.1. RT malignancy
1.2. Hemoroid interna gr II-III
2. Moderate Anemia NN (Hb 8,2)
2.1. Blood loss
2.2. Chronic disease
3. Efusi pleura masif sinistra post pungsi dt
no. 4
4. Tumor padat ovarium curiga maligna
5. Asites grade III
6. Moderate Hipokalemia dt low intake (2.8)
7. Cancer Cahexia
8. Severe malnutrition
Planning Diet: TKTP 1300 kkal
O2: NK 2 lpm

IV: Asam traneksamat 250 mg/8jam


Omeprazole 40 mg/24jam
Ketorolac 30 mg/8jam (k/p) nyeri

PO: KSR 2x600 mg

Plan: Cek sitologi cairan pleura + albumin


post pungsi
Transfusi PRC 2 kolf
Colon in loop
Konsul gizi klinik
48

SOAP Keterangan
15 Mei 2023
Subjective Bab darah kadang-kadang, sesak napas (-)
Objective KU: tampak sakit sedang
GCS: E4V5M6
TD: 140/80 mmHg
HR: 90 x/m
RR: 30 x/m
T: 37,8 ºC
SpO2: 96% on RA
GDS: 113 mg/dl
VAS: 2
BC: -375 cc/24jam

Mata: konj anemis (+), sklera ikterik (-)


Abd: undulasi (+), BU (+)
Assesment 1. Hematochezia
1.1. RT malignancy
1.2. Hemoroid interna gr II-III
2. Moderate Anemia NN (Hb 8,2)
2.1. Blood loss
2.2. Chronic disease
3. Efusi pleura masif sinistra post pungsi dt
no. 4
4. Tumor padat ovarium curiga maligna
5. Asites grade III
6. Moderate Hipokalemia dt low intake (2.8)
7. Cancer Cahexia
8. Severe malnutrition
Planning Diet: TKTP 1300 kkal
O2: NK 2 lpm

IVFD: intrafluid 500 cc/24jam

IV: Asam traneksamat 250 mg/8jam


Omeprazole 40 mg/24jam
Ketorolac 30 mg/8jam (k/p) nyeri => Stop

PO: KSR 2x600 mg

Plan: cek DR & SE post transfusi PRC


Lacak hasil analisis pleura dan foto thoraks
Colon in loop => 16/05/23
49

SOAP Keterangan
16 Mei 2023
Subjective Bab darah (<), nyeri perut (+), sesak napas (-
)
Objective KU: tampak sakit sedang
GCS: E4V5M6
TD: 140/80 mmHg
HR: 110 x/m
RR: 30 x/m
T: 37,2 ºC
SpO2: 96% on RA
GDS: 169 mg/dl
VAS: 3 on tramadol
BC: -175 cc/24jam

Mata: konj anemis (+), sklera ikterik (-)


Abd: undulasi (+), BU (+)
Assesment 1. Hematochezia
1.1. RT malignancy
1.2. Hemoroid interna gr II-III
2. Moderate Anemia NN resolve (Hb 13,5)
2.1. Blood loss
2.2. Chronic disease
3. Efusi pleura masif sinistra post pungsi dt
no. 4
4. Tumor padat ovarium dextra curiga
maligna
5. Asites grade III
6. Moderate Hipokalemia dt low intake (2,9)
7. Cancer Cahexia + cancer pain VAS 8
8. Severe malnutrition
Planning Diet: TKTP 1300 kkal
O2: NK 2 lpm

IVFD: intrafluid 500 cc/24jam

IV: Asam traneksamat 250 mg/8jam


Omeprazole 40 mg/24jam
Ketorolac 30 mg/8jam (k/p) nyeri => Stop

PO: KSR 2x600 mg

Plan: cek DR & SE post transfusi PRC


Lacak hasil analisis pleura dan foto thoraks
Colon in loop => 16/05/23
50

SOAP Keterangan
17 Mei 2023
Subjective Bab darah (<), sesak (<), perut membesar (<)
Objective KU: tampak sakit sedang
GCS: E4V5M6
TD: 100/70 mmHg
HR: 100 x/m
RR: 22 x/m
T: 37,2 ºC
SpO2: 96% on RA
GDS: 139 mg/dl
VAS: 2
BC: -225 cc/24jam

Mata: konj anemis (+), sklera ikterik (-)


Abd: undulasi (+), BU (+)
Assesment 1. Hematochezia
1.1. RT malignancy
1.2. Hemoroid interna gr II-III
2. Moderate Anemia NN resolve (Hb 13,5)
2.1. Blood loss
2.2. Chronic disease
3. Efusi pleura masif sinistra post pungsi dt
no. 4
4. Tumor padat ovarium dextra curiga
maligna
5. Asites grade III
6. Moderate Hipokalemia dt low intake (2,9)
7. Cancer Cahexia + cancer pain VAS 8
8. Severe malnutrition
Planning Diet: TKTP 1300 kkal
O2: NK 2 lpm
Peptimun 2x100mg
Jus buah 2x100cc

IVFD: intrafluid 500 cc/24jam

IV: Asam traneksamat 250 mg/8jam


Omeprazole 40 mg/24jam
Drip tramadol 50mg dalam NS 100 cc/8jam

PO: KSR 2x600 mg

Plan: Rencana BLPL, kemoterapi dari poli


obsgyn, lacak hasil analisa pungsi pleura dan
asites.
51

BAB IV

PEMBAHASAN

Laporan kasus ini membahas mengenai kasus Ny. R berusia 63 tahun dirawat di

PDP 8 Ruang Tulip Lantai 3 RSUD Ulin Banjarmasin dengan diagnosis

Hematochezia + Moderate Anemia NN + Efusi Pleura Massive Sinistra + Tumor

Padat Ovarium.

Hematochezia adalah kondisi ketika terdapat darah segar dalam feses atau tinja.

Hal ini terjadi karena perdarahan yang terjadi di saluran pencernaan bagian bawah

terletak tidak jauh dari anus. Pada anamnesis didapatkan hematochezia sejak 1 hari

SMRS dengan frekuensi >6 kali sehari dengan warna darah segar dan keluar banyak

seperti menstruasi, darah yang keluar sekitar 3 sendok makan. Pasien ganti pampers

4-5 kali sehari. Pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari dalam kondisi

hematochezia seperti ini dan hanya bisa berbaring di tempat tidur.

Hematochezia umumnya disebabkan oleh perdarahan di saluran pencernaan

bagian bawah, seperti usus besar dan rektum. Beberapa kondisi yang dapat

menyebabkan terjadinya perdarahan pada saluran pencernaan yaitu: hemorrhoid,

fisura ani, karsinoma kolon, kolitis ulseratif, Polip kolon, Tumor jinak di usus besar

atau rektum, Crohn disease, proctitis, dan diverkulitis. Pada pasien, kemungkinan

penyebab hematochezia nya adalah akibat proses dari tumor padat ovarium yang

dicurigai sudah terjadi malignansi.2


52

Diagnosis hematochezia dapat tegak dengan mendeteksi secara visual bahwa

ada darah dalam feses. Jika hasil pemeriksaan mendeteksi darah dalam feses, maka

dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui penyebabnya, seperti: Tes

darah, untuk mengetahui jumlah sel darah, memeriksa kecepatan proses pembekuan

darah, serta memeriksa fungsi organ hati. Kolonoskopi, untuk melihat kondisi usus

besar dengan memasukkan selang berkamera melalui anus. Biopsi, untuk mengambil

sampel jaringan guna diperiksa di laboratorium. Foto Rontgen, untuk melihat kondisi

saluran pencernaan dengan bantuan sinar X atau menggunakan larutan barium.

Angiografi, untuk melihat kerusakan pada pembuluh darah dengan menyuntikkan

cairan kontras ke pembuluh darah. Radionuclide scan, untuk melihat kerusakan pada

pembuluh darah dengan menyuntikkan bahan radioaktif ke pembuluh darah. Ataupun

laparotomi, untuk melihat sumber perdarahan dengan cara bedah terbuka pada perut.2

Pada pasien juga didapatkan kondisi anemia. Anemia adalah menurunnya

massa eritrosit yang menyebabkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan

oksigen ke jaringan perifer. Secara klinis, anemia dapat diukur dengan penurunan

kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit, namun yang paling sering

digunakan adalah pengujian kadar hemoglobin.8 Pada pasien didapatkan konjungtiva

anemis (+/+) dengan Hb 8.2, MCV 86.7, MCH 28.0. Data ini mengindikasikan

bahwa pasien mengalami Moderate Anemia Normositik Normokromik. Penyebab

yang paling mungkin dari anemia yang dialami pasien adalah kondisi Hematochezia

sehingga pasien banyak kehilangan darah. Setelah dilakukan transfusi PRC 2 kolf,

Moderate Anemia Normositik Normokromik yang dialami pasien dapat teratasi,

dengan Hb terakhir 13.5.


53

Tatalaksana anemia pada penyakit kronik yang paling baik adalah mengobati

penyakit yang mendasarinya. Pemberian transfusi darah harus dipertimbangkan

dengan cermat mengingat transfusi memiliki efek samping yang tidak

menguntungkan. Transfusi diindikasikan untuk anemia yang berat dan telah

membahayakan pasien juga bila terjadi komplikasi pada pasien seperti perdarahan.

Pemberian suplemen besi secara oral tidak akan memberikan perbaikan pada anemia

yang terjadi akibat penyakit kronik.11

Pasien juga mengeluh dispneu hilang timbul sejak 4 bulan SMRS, bertambah

bila beraktivitas dan lebih nyaman bila tidur posisi miring ke kiri. Riwayat

pleurocentesis di paru-paru kiri sebanyak 1 kali di poli paru 1 bulan yang lalu,

didapatkan cairan 700cc dari paru-paru kiri. Berat badan pasien menurun namun

tidak pernah mengukur berat badan, pasien merasakan pakaian yang dipakai terasa

lebih longgar. Pada pemeriksaan fisik toraks pulmo, saat bernapas dada bagian kiri

tertinggal, pergerakan dinding dada tertinggal di bagian kiri, fremitus vokal menurun

di dada kiri, tidak ada massa. Sonor di lapang paru kanan, redup di lapang paru kiri.

Suara napas post pungsi (vvv/v<<). Foto toraks AP: efusi pleura massive sinistra.

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami efusi pleura

massive sinistra.

Hal ini sesuai dengan teori bahwa manifestasi klinik yang ditimbulkan dari

efusi pleura yaitu sesak napas/dispneu, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada, batuk,

ataupun berat badan menurun. Dapat terjadi deviasi trachea menjauhi tempat yang

sakit jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik:

inflamasi dapat terjadi friction rub; Atelektaksis kompresif (kolaps paru parsial) dapat
54

menyebabkan bunyi napas bronkus; Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan

duduk akan berlainan karena cairan akan berpindah tempat; Bagian yang sakit akan

kurang bergerak dalam pernapasan; Focal fremitus melemah dan pada perkusi

didapati pekak, dan pada foto toraks dalam keadaan duduk permukaan cairan

membentuk garis melengkung (garis ellis damoiseu).9

Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu perut membesar dan nyeri perut

sebelah kanan sejak 4 bulan SMRS. Nyeri perut muncul hilang timbul. Nyeri

dirasakan seperti ditusuk benda tajam, memberat bila beraktivitas dan sedikit

membaik bila istirahat. Pasien pernah dilakukan USG oleh Obsgyn dan didiagnosis

Tumor Padat Ovarium sejak 4 bulan yang lalu, direncanakan untuk operasi dengan

terlebih dahulu kemoterapi regimen Paclitaxel dan Carboplatin oleh TS Obsgyn,

tetapi pasien menolak. Pada pemeriksaan palpasi abdomen: teraba massa, nyeri tekan

(+) VAS 3, dan pada pemeriksaan USG abdomen didapatkan tumor padat ovarium.

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami Tumor padat

ovarium curiga maligna. Selain itu, pasien juga dicurigai mengalami Meigs

Syndrome, yaitu sekumpulan gejala yang terdiri dari tumor ovarium benigna dengan

ascites dan efusi pleura yang menghilang setelah reaksi tumor. Tumor ovarium pada

Meigs Syndrome adalah jenis fibroma. Gejala klinis Meigs Syndrome adalah

kelelahan, napas yang pendek, peningkatan lingkar perut, penurunan berat badan,

batuk yang tidak produktif, bengkak, amenorea pada wanita premenopause, dan

menstruasi yang tidak teratur. Namun, pada pasien masih belum diketahui jenis tumor

padat ovarium yang dialami, sehingga masih memerlukan pemeriksaan lebih lanjut

dengan konsultasi bersama sejawat Obsgyn untuk tindakan biopsi.


55

Hal ini sesuai dengan teori bahwa manifestasi klinis tumor padat ovarium dapat

bervariasi tergantung pada ukuran, jenis, dan lokasi tumor tersebut. Beberapa gejala

yang mungkin muncul termasuk: perubahan siklus menstruasi, nyeri panggul,

pembengkakan abdomen, perubahan berat badan, perubahan saluran pencernaan

(seperti diare dan konstipasi), mual muntah, gangguan berkemih, maupun kelelahan

dan kelemahan.6,9

Selain itu, pasien mengeluhkan perut membesar sejak 4 bulan SMRS, tidak ada

riwayat disedot cairan perut, tapi hanya diberikan obat untuk mengurangi cairan

perut. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan perut cembung, undulasi (+).

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami Asites Grade

III.

Asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi

porta) dan penurunan tekanan osmotic koloid akibat hipoalbuminemia, manifestasi

cardinal sirosis, ataupun bentuk berat lain dari penyakit hati. Pada pasien dapat terjadi

asites akibat dari sekuestrasi cairan yang tidak memadai pada pembuluh darah

splanknik akibat peningkatan tekanan portal dan penurunan Effective Arterial Blood

Volume (EABV). Selain itu, asites pada pasien disebabkan karena gangguan organ

lain, dalam hal ini adalah iritasi peritoneum akibat tumor padat ovarium, dan

gangguan pada ovarium.9,14

Pasien juga mengeluhkan nafsu makan menurun sejak 4 bulan SMRS, awalnya

pasien bisa makan 1 porsi penuh namun saat ini hanya bisa makan 4-5 sendok. Berat

badan menurun namun tidak pernah mengukur berat badan, pasien merasakan

pakaian yang dipakai terasa lebih longgar. Pada pemeriksaan laboratorium


56

didapatkan Kalium 2.8. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 33 kg, tinggi

badan 150 cm, IMT 14,2 (underweight). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan

bahwa pasien mengalami Moderate Hipokalemia dan Severe Malnutrition.

Hipokalemia adalah kondisi ketika tubuh kekurangan kalium dengan hasil

pemeriksaan kalium <3.5 mmol/L. Klasifikasi hipokalemia berdasarkan kadar kalium

serum dibagi menjadi: Mild/ringan yaitu 3-3.4 mmol/L, moderate yaitu 2.5-3

mmol/L, dan severe/berat yaitu <2.5 mmol/L.15 Pada pasien, kadar kalium serum

sebesar 2.8 mmol/L sehingga diklasifikasikan sebagai Moderate Hipokalemia.15

Penatalaksanaan utama hipokalemia adalah manajemen penyebab yang

mendasari atau eliminasi faktor kausatif seperti menghentikan penggunaan laksatif,

penggunaan diuretik hemat kalium, penatalaksanaan kondisi diare dan muntah,

ataupun penggunaan penyekat H2 pada pasien dengan nasogastric suction. Prinsip

penatalaksanaan hipokalemia memiliki 4 tujuan yaitu: menurunkan kehilangan

kalium, mengganti simpanan kalium, mengevaluasi kemungkinan toksisitas, dan

menentukan penyebab dasar sehingga apabila memungkinkan mencegah episode

rekurensi di masa depan. Pemberian kalium baik secara oral atau intravena

dipertimbangkan berdasarkan derajat keparahan dari hipokalemia. Pasien dengan

kadar kalium 2,5-3,5 mEq/L (hipokalemia ringan sedang) cukup diberikan

penggantian kalium secara oral. Garam kalium klorida mengandung sekitar 13,6

mEq/gram. Pemberian kalium secara oral sebaiknya diikuti dengan pemberian 100-

250 mL air dan diberikan setelah makan. Pasien dengan kadar kalium serum <3 mEq/

L yang menunjukkan tanda kegawatdaruratan seperti aritmia, rabdomiolisis dan gagal

nafas memerlukan koreksi kalium secara intravena. Pasien dengan kadar kalium <2,5
57

mEq/L memerlukan penggantian kalium secara intravena dengan evaluasi berkala

termasuk EKG dan pengukuran kalium serum secara serial.16

Malnutrisi adalah kondisi ketika asupan nutrisi tidak sesuai dengan kebutuhan

harian tubuh baik kekurangan ataupun kelebihan makronutrien (karbohidrat, protein,

dan lemak) atau mikronutrien (vitamin dan mineral). Klasifikasi malnutrisi

berdasarkan IMT dibagi menjadi: Mild/ringan yaitu 17-18.5, moderate yaitu 16-17,

dan severe/berat yaitu <16.17 Pada pasien didapatkan IMT sebesar 14.2 sehingga

masuk kriteria Severe Malnutrition/Malnutrisi berat.18

Penatalaksanaan malnutrisi yang paling penting adalah modifikasi diet dan

pemberian suplemen. Tujuan terapi pada malnutrisi adalah agar pasien dapat

memiliki tingkat kesehatan optimal, mencegah perburukan status gizi dan metabolik,

serta untuk memastikan asupan yang memadai. Pasien yang memiliki nafsu makan

dan tingkat kesadaran baik dapat dirawat jalan. Pasien yang memiliki komplikasi

medis, edema berat, atau nafsu makan yang buruk akan memerlukan rawat inap.18
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus seorang perempuan usia 63 tahun dengan

diagnosis Hematochezia + Moderate Anemia NN + Efusi Pleura Massive Sinistra +

Tumor Padat Ovarium. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Selama perawatan pasien

mendapatkan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) 1300 kkal; oksigenasi O2 NK

2 lpm; IV: Asam traneksamat 250 mg/8jam, Omeprazole 40 mg/24jam, Ketorolac 30

mg/8jam (k/p) nyeri, Drip tramadol 50 mg dalam NS 100 cc/8jam; IVFD: intrafluid

500 cc/24jam; PO: KSR 2x600 mg; Peptimun 2x100mg; dan Jus buah 2x100cc.

Pasien BLPL pada tanggal 17 Mei 2023.

58
59

DAFTAR PUSTAKA

1. Sanda A, Mutmainnah, Samad IA. Analysis of Blood Urea Nitrogen/Creatinin


Ratio to Predict The Gastrointestinal Bleeding Tract Site. Indonesian Journal
of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2017;24(1):86–90.

2. Percac-Lima S, Pace LE, Nguyen KH, Crofton CN, Normandin KA, Singer SJ,
et al. Diagnostic Evaluation of Patients Presenting to Primary Care with Rectal
Bleeding. J Gen Intern Med. 2018;33(4):415–22.

3. Kurniati I. Anemia Defisiensi Zat Besi (Fe). Jurnal Kedokteran Unila.


2020;4(1):18–33.

4. Betty J. Chest Radiograph. Atlas of the Oral and Maxillofacial Surgery Clinics
of North America. 2002;166–77.

5. Rubben M, Padley S. The pleura. In: Textbook of Radiology and Imaging


Volume I. 7th ed. Philadelphia: Churchill; 1969.

6. BUDIANA ING. Tumor Ovarium Prediksi Keganasan Prabedah. MEDICINA.


2013;44(3):179–85.

7. Tyas A, Miro S, Asyari A. Gambaran Kejadian Perdarahan Saluran Cerna pada


Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2020;9(1):8–15.

8. Bakta I. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2015.

9. Hasdianah, Suprapto SI. Patologi & Patofisiologi Penyakit. 2nd ed.


Yogyakarta: Nuhamedika; 2016.

10. Wijaya AS, Putri YM. KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa. Yogyakarta: Nuhamedika; 2013.

11. Bakta IM. Pendekatan Diagnosis dan Terapi terhadap Penderita Anemia. Bali
Health Journal. 2017;1(1):36–48.

12. D’Agostino H, Edens M. Physiology, Pleural Fluid. Finlandia: StatPearls


Publishing; 2020.

13. Pranita NPN. Diagnosis dan Tatalaksana Terbaru Penyakit Pleura. Wellness
And Healthy Magazine. 2020;2(1):69–78.

14. Saif MW, Siddiqui IAP, Sohail MA. Management of Ascites due to
Gastrointestinal Malignancy. Ann Saudi Med. 2009;29(5):369–77.
60

15. Vanholder R, Biesen W Van, Nagler E V. Treating Potassium Disturbances:


Kill the Killers but Avoid Overkill. Acta Clin Belg. 2019;74(4):215–28.

16. Kardalas E, Paschou S, Anagnostis P. Hypokalemia: A Clinical Update.


Endocrinology Connections. 2018;7(4):135–46.

17. Skeie E, Tangvik RJ, Nymo LS, Harthug S, Lassen K, Viste A. Weight loss
and BMI criteria in GLIM’s definition of malnutrition is associated with
postoperative complications following abdominal resections – Results from a
National Quality Registry. Clinical Nutrition. 2020;39(5):1593–9.

18. Friedli N, Odermatt J, Reber E, Schuetz P, Stanga Z. Refeeding Syndrome:


Update and Clinical Advice for Prevention, Diagnosis and Treatment. Curr
Opin Gastroenterol. 2020;36(2):136–40.

Anda mungkin juga menyukai