Anda di halaman 1dari 3

A.

  LATAR BELAKANG
Kopi merupakan salah satu hasil komoditi perkebunan yang memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi diantara tanaman perkebunan yang lainnya dan berperan
penting sebagai sumber devisa Negara. Kopi tidak hanya berperan penting sebagai
sumber devisa melainkan juga merupakan sumber penghasilan bagi bagi tidak kurang
dari satu setengah juta jiwa petani kopi di Indonesia (Rahardjo, 2012).
Pemerintah baik pusat maupun daerah, asosiasi komoditi (AEKI), peneliti dan
pelaku bisnis kopi mulai petani pekebun, pedagang hingga eksportir dituntut untuk
menggalang berbagai upaya guna memperbaiki mutu produksi kopi Indonesia.
Keberhasilan perbaikan mutu kopi Indonesia tidak hanya memperbaiki citra kopi
Indonesia, tetapi juga ikut  membantu perbaikan harga kopi di tingkat petani dan harga
kopi dunia, sekaligus dapat membangkitkan kembali peran kopi bagi perekonomian
Indonesia. Namun sebaliknya jika upaya perbaikan mutu gagal  maka akan berdampak
negatif bagi perkopian nasional. Ekspor kopi Indonesia akan turun, harga kopi di tingkat
petani merosot dan pendapatan petani kopi juga menurun. Dampak yang lebih buruk
lagi, Indonesia dikategorikansebagai negara yang gagal memenuhi kometmen dan
akan kehilangan pasar kopi internasional. Jika hal ini sampai terjadi, maka dampaknya
sangat luas terutama di sentra-sentra produksi kopi yang menyangkut lapangan kerja,
pendapatan petani, perekonomian daerah dan devisa negara.
Hampir 70% produksi kopi Indonesia dipasarkan ke berbagai negara dan hanya
sekitar 30% yang digunakan untuk konsumsi domestik. Kondisi ini menggambarkan
bahwa kopi Indonesia sangat tergantung pada pasar ekspor. Akhir-akhir ini muncul
permasalahan karena lebih dari 65% ekspor kopi Indonesia adalah Grade IV ke atas
dan tergolong kopi mutu rendah yang terkena larangan ekspor. Rendahnya mutu
produksi kopi terutama disebabkan oleh pengelolaan kebun, panen dan penanganan
pasca panen yang kurang memadai karena hampir seluruhnya kopi diproduksi oleh
perkebunan rakyat. Disamping itu, pasar kopi masih menyerap seluruh produk kopi dan
belum memberikan insentif harga yang memadai untuk kopi bermutu baik.  Budidaya
kopi sebenarnya sudah dilakukan oleh petani sejak jaman penjajahan, tetapi
pengelolaannya masih tetap tradisional. Kesalahan yang paling fatal yang umum
dilakukan petani adalah pada fase pemetikan dan penanganan pasca panen, sehingga
menghasilkan kopi mutu rendah. dihampir semua sentra produksi kopi, petani memetik
buah kopi sebelum usia panen (petik hijau) dengan berbagai alasan seperti desakan
kebutuhan hidup dan rawan pencurian. 
Kemudian saat penanganan pasca panen, penjemuran kopi umumnya dilakukan
ditepi jalan atau tempat-tempat yang sanitasinya tidak memadai, sehingga
terkontaminasi berbagai kotoran. Disamping itu, penjemuran yang dilakukan tidak dapat
mencapai kadar air maksimum yang diizinkan yaitu 12,5%, sehingga biji kopi sering
berjamur. Lebih lanjut, alat pengupas kopi yang digunakan umumnya tidak memenuhi
standar, sehingga biji kopi yang dihasilkan banyak yang pecah. Disamping itu, cara dan
tempat untuk menyimpan hasil yang tidak memadai menyebabkan meningkatnya kadar
kotoran dan kadar air. Akibatnya mutu biji kopi yang dihasilkan petani paling banter
grade IV. Penanganan pasca panen tersebut sulit diperbaiki karena tidak ada insentif
harga, kopi bermutu baik dihargai hampir sama dengan kopi bermutu rendah. Petani
merasa lebih untung menghasilkan kopi dengan mutu seadanya tanpa harus
mengorbankan waktu dan biaya untuk memperbaiki mutu kopi yang mereka hasilkan.
Jadi selama ada pasar yang dapat menyerap produksi mutu rendah, maka sulit
diharapkan petani memperbaiki mutu kopinya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
perbaikan mutu kopi membutuhkan kerja keras terutama untuk mensosialisasikannya
kepada jutaan petani kopi Indonesia dan tugas ini merupakan taruhan masa depan
perkopian Indonesia. Apabila hal ini tidak ditangan secara tepat maka ekspor kopi
Indonesia akan turun dan pasar kopi domestik akan kelebihan penawaran yang pada
gilirannya akan menurunkan harga kopi.

B.  GAMBARAN KELOMPOK TANI


Kelompok Tani   Tunas Harapan  telah dibentuk sejak tahun 2013.  Jumlah
anggota kelompok sebanyak  30 orang yang semuanya berdomisili di Desa Wae Ri’i 
Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai. Memiliki lahan perkebunan Kopi Arabika
seluas 25 ha.

C. PERMASALAHAN
1.  Masih rendahnya mutu kopi biji akibat penanganan pasca  panen yang kurang tepat.
2.  Hasil olahan oleh masyarakat  tradisional tertinggal dan terdesak  oleh produk olahan
modern.

D. MAKSUD DAN TUJUAN


1.      Meningkatkan kualitas produk kopi sehingga harga jual tinggi
2.      Memenuhi permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri.
3.      Meningkatkan kesempatan kerja / kesempatan berusaha
4.      Meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya petani kopi.
5. Mendorong pemberdayaan, memperkuat kelembagaan petani kopi dalam
mengembangkan agribisnis dalam pembagunan

E.    DASAR PELAKSANAAN
Dasar Pelaksanaan Kegiatan ini adalah :
1. Program Pemerintah Kabupaten Manggarai  melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan
2.    Program Kerja Pemerintah Kecamatan Wae Ri’i
3.    Program Kerja Pemerintah Desa Wae Ri’i

F.     KEBUTUHAN ALAT PENGOLAHAN HASIL KOPI


Dalam rangka meningkatkan mutu produksi biji kopi maka  Kelompok Tani Tunas
Harapan Desa Wae Ri’i Kecamatan Wae Ri’i Kabupaten Manggarai membutuhkan  alat
pengolahan paca panen sebagai berikut :
1.    Alat pengupas kulit kopi basah        :  2 unit
2.    Alat jemur kopi                                 :  6 unit

G. STRUKTUR KELOMPOK TANI


 Terlampir

H. PENUTUP

Demikian Proposal ini disampaikan semoga mendapat dukungan  dari


Bapak Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Manggarai  dan atas
bantuannya  diucapkan terima kasih.

Hormat kami

Kelompok Tani
“Tunas Harapan”

Ketua Kelompok, Penyuluh


Desa Wae Ri’i

.................................... ...........................................
Mengetahui
Kepala Desa Wae Ri’i,

....................................

Anda mungkin juga menyukai