RPK Pemulihan Ekosistem Alami
RPK Pemulihan Ekosistem Alami
OLEH :
Mengesahkan, Penyusun
Kepala Sub Bagian Tata Usaha
Mengetahui,
Kepala Balai TNBT
Darmanto, SP.,M.AP
NIP. 19710317 200003 1 004
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat karunia, curahan kasih
sayang, rahmat dan hidayah-Nya dalam penyusunan Kriteria/indikator kegiatan Pemulihan
Ekosistem Dengan Mekanisme Alam di Wilayah Kerja SPTN Wilayah I Tebo Tengah Jambi dan
SPTN II Belilas ini dapat diselesaikan.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Maksud dan Tujuan 2
C. Ruang Lingkup Kegiatan 2
DAFTAR PUSTAKA 15
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) ditetapkan melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan nomor 6407/Kpts-II/2002 tanggal 21 Juni 2002 dengan
luas 144.223 ha. TNBT memiliki ekosistem asli berupa hutan hujan tropis dataran rendah
dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Ekosistem ini memiliki berbagai fungsi, baik
ekologi, hidroorologi, sosial budaya, hingga fungsi ekonomi. Fungsi TNBT yaitu sebagai
pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis satwa,
tumbuhan dan ekosistem, serta menyediakan sumberdaya hayati untuk pemanfaatan
secara berkelanjutan. Fungsi-fungsi tersebut memberikan kontribusi yang sangat besar
bagi kehidupan masyarakat di sekitar kawasan.
Kondisi kawasan TNBT jika dilihat dari sejarah pembentukan kawasan, diketahui
bahwa sebagian merupakan areal bekas Hutan Produksi Terbatas (HPT) terutama untuk
wilayah Riau. Kegiatan dalam areal HPT meninggalkan jejak berupa bekas jalan sarat
(jalan pengangkutan kayu) dan areal terbuka lainnya, meskipun telah mengalami suksesi,
kondisi ini mudah teramati dengan banyaknya tumbuhan pioner dan paku resam sebagai
tumbuhan penutup tanah. Akses menuju kawasan yang cukup tinggi karena merupakan
bekas jalan areal HPT terhubung dengan wilayah luar. Hal ini menambah tingginya
tekanan terhadap kawasan disamping pengaruh pertumbuhan penduduk dan arus
mobilitas masyarakat pendatang ke sekitar kawasan yang rata-rata lapar dan haus
kebutuhan lahan. Perubahan kawasan penyangga TNBT yang berubah menjadi ladang
dan perkebunan masyarakat memperburuk kondisi ekosistem kawasan secara
menyeluruh.
Kawasan TNBT yang mengalami kerusakan sebagaimana amanah Undang-undang
No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya bahwa areal
yang mengalami kerusakan harus diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan
berkelanjutan untuk mengembalikan ke kondisi ekosistem alami. Amanah undang-undang
ini menjadi dasar terbitnya Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), terutama yang
terkandung dalam pasal 29 menyebutkan pemulihan ekosistem dilakukan untuk
memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, keanekaragaman hayati dan
v
ekosistemnya, yang dilakukan melalui mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi .
Tata cara pemulihan ekosistem diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem pada KSA dan
KPA. Peraturan ini juga mengamanahkan pengelola KPA termasuk di dalamnya pengelola
kawasan taman nasional untuk menyusun Rencana Pemulihan Ekosistem (RPE). RPE
TNBT telah disusun untuk masa pengelolaan lima tahun yaitu 2016 sampai dengan 2020.
Kegiatan pemulihan ekosistem didalam kawasan TNBT adalah seluas 3.000 ha
sebagaimana Keputusan Dirjen KSDAE Nomor SK.18/KSDAE/KK/KSDAE.1/1/2016 tentang
Penetapan Lokasi Pemulihan Ekosistem Pada Kawasan Konservasi Yang Terdegrasi Seluas
100.000 Ha Pada RPJM 2015-2019. Rencana Kerja Tahun (RKT) 2019 pada RPE TNBT
tahun 2016-2020 mempunyai target lokasi secara mekanisme alam : Akses Jalan Datai
206 Ha, Suo-Suo 109 Ha, Aur Cina 75 Ha, Papunauan 779 Ha, Camp Granit I 605 Ha dan
Camp Granit II 229 Ha. Oleh karena itu, diperlukan tindakan pemulihan ekosistem
mekanisme alam dalam rangka pelaksanaan RKT 2019.
vi
II. TINJAUAN PUSTAKA
a. Letak
TNBT secara geografis terletak pada koordinat 040’ - 125’ LS dan 10210” -
10250’ BT. Secara administratif terletak pada 2 (dua) propinsi yaitu Propinsi
Riau dan Propinsi Jambi dan 4 (empat) kabupaten yaitu Kabupaten Indragiri Hulu
dan Indragiri Hilir (Riau) serta Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung
Barat (Jambi) (BTNBT, 2014).
Resort siambul adalah sebuah resort pengelolaan kawasan TNBT secara
fungsional berada di bawah Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Belilas.
Resort Siambul secara administrasi memangku wilayah Desa Rantau Langsat,
Desa Siambul, Desa Usul dan Desa Seberida Kecamatan Batang Gansal.
Wilayah Resort Talang Lakat adalah sebuah resort pengelolaan kawasan TNBT
secara fungsional berada di bawah Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II
Belilas. Resort Talang Lakat secara administrasi memangku wilayah Desa Sungai
Akar, Desa Talang Lakat dan Desa Seberida Kecamatan Batang Gansal,
Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau (BTNBT, 2014).
b. Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, TNBT termasuk tipe iklim A,
curah hujan rata-rata 2,577 mm/tahun, dengan kelembaban relatif antara 50%
dan 90% temperatur udara antara 20,8 - 33 C (BTNBT, 2014).
c. Topografi
Topografi kawasan TNBT dengan perbukitan yang cukup curam dengan
ketinggian berkisar antara 60 – 843 m dpl dan secara garis besar fisiografi dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian (BTNBT, 2014), yaitu:
- Pegunungan dengan lereng sangat curam (75%).
- Pegunungan dengan lereng agak curam sampai sangat curam (24% - 75%).
- Daratan antar pegunungan dan perbukutan kecil (<16%).
Relief pada umumnya berbukit-bukit dan merupakan daerah aliran sungai.
vii
d. Flora
TNBT memiliki keragaman tumbuhan yang tinggi, hal ini ditunjukkan oleh nilai
dari indek keragaman Shannon sebesar 4,66 dimana skala yang dipergunakan
adalah 0 sampai dengan 5,23 (Meirani,2010 dalam BTNBT, 2014). Tidak kurang
dari 1.500 spesies tumbuhan terdapat di TNBT yang sebagian besar adalah jenis
penghasil kayu, getah, kulit, buah, dan obat-obatan (SBKSDA Riau 1997 dalam
BTNBT, 2014). Selain itu, terdapat 27 jenis tumbuhan hias, 16 jenis untuk
bumbu masak, 10 jenis sumber karbohidrat, 5 jenis penghasil lateks dan resin,
26 jenis keperluan ritual, dan 3 jenis sumber pewarna (Schumacer 1994 dalam
BTNBT, 2014).
Flora yang terdapat pada TNBT seperti : cendawan mukarimau (Rafflesia
hasseltii), salo (Johannesteijsmannia altifrons), mapau (Pinanga multiflora),
mapau kalui (Iguanura wallichiana), jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonistylus
bancanus), kemenyan (Styrax benzoin), pasak bumi (Eurycoma longifolia), pinang
bacung (Nenga gajah), kabau tupai (Archidendron bubalinum), akar mendera
(Phanera kochiana), keduduk rimba (Baccaurea racemosa), silima tahun
(Baccaurea stipulata), (Wiriadinata, H 1994 dalam BTNBT, 2014).
e. Fauna
TNBT merupakan habitat ideal beragam jenis satwa terutama satwa-satwa
endemik Sumatera. Terdapat sekitar 59 jenis mamalia, 193 jenis burung, 18 jenis
kelelawar, dan 134 jenis serangga yang tercatat dan ditemukan di dalam dan
sekitar TNBT (Danielsen dan Heegard 1994 dalam BTNBT, 2014).
Keanekaragaman jenis ikan di TNBT cukup tinggi, dicatat 97 jenis ikan dari 52
genus dan 25 famili diperairan sekitar TNBT (Siregar et al 1993 dalam BTNBT,
2014). Dari jenis satwaliar tersebut, terdapat jenis yang tergolong terancam
punah dengan status perlindungan khusus, baik menurut PP. 7/1999, CITES, dan
IUCN.
Jenis fauna yang menjadi spesies kunci di TNBT adalah harimau sumatera
(Panthera tigris sumatrae). Sejak tahun 1996 harimau sumatera dikategorikan
sebagai satwa terancam punah yang dilindungi oleh undang-undang. Pada
viii
tahun 1992, jumlah harimau sumatera diperkirakan di dua taman nasional dan
dua Kawasan Suaka Margasatwa sekitar 400 ekor, sedangkan yang berada di luar
kawasan konservasi diperkirakan sekitar 100 ekor (Soehartono et al. 2007 dalam
BTNBT, 2014).
ix
kerusakan lebih lanjut akibat aktivitas manusia. Kegiatan perlindungan dari
gangguan akibat kebakaran hutan, penebangan liar, perambahan kawasan,
penggembalaan liar, serta kegiatan campur tangan pemeliharaan tumbuhan
secara terbatas berupa pembersihan tumbuhan asli dari gulma serta
perlindungan terhadap pohon induk, satwa penyerbuk, tempat kawin dan
bersarangnya satwa liar. Pengamanan dilakukan melalui kegiatan penjagaan,
patroli, pengawasan dan pelaporan.
Indikator keberhasilan pemulihan ekosistem mekanisme alam dapat diukur
apabila ekosistem telah berisi karakteristik berupa spesies yang terdapat pada
ekosistem referensi dan ekosistem tersebut telah memperlihatkan struktur
vegetasi dan dinamika populasi menyerupai ekosistem referensi atau kondisi
asli.
Selain indikator, tingkat keberhasilan dicirikan juga melalui kondisi seluruh
kelompok fungsional tumbuhan dan satwa seperti tumbuhan pakan, herbivora,
karnivora, dekompuser, nitrogen fixerdan pollinator telah terwakili. Untuk
kelompok yang belum terwakili dan mempunyai potensi untuk mengkoloni
secara alami harus dicirikan dengan telah berkembangnya spesies dominan yang
dapat mempengaruhi spesies lain pembentuk ekosistem untuk tumbuh dan
berkembang.
Lingkungan fisik seperti mata air, aliran air, kondisi tanah, humus, cahaya, suhu
udara, suhu tanah dan kelembaban telah mampu mendukung populasi
tumbuhan dan satwa untuk berproduksi, terutama jenis-jenis penting bagi
stabilitas atau perkembangan ekosistem menuju kea rah ekosistem referensi.
Tahap perkembangan ekologis tertentu menampakkan fungsi yang normal, tidak
terdapat tanda-tanda adanya disfungsi dan hubungan timbal balik antara
komponen biotik dan fisik tidak terjadi hambatan.
Ekosistem telah terintegrasi dengan komponen ekologis atau bentang alam yang
lebih luas dan ekosistem berinteraksi melalui aliran atau pertukaran materi
biotik dan abiotik, yang ditunjukkan dengan adanya aliran materi fisik seperti air,
udara, suhu yang telah menyatu dengan lingkungan sekitarnya serta adanya
x
perpindahan spesies satwa maupun tumbuhan yang dibawa satwa telah terjadi
dari dan ke areal yang dipulihkan.
Potensi ancaman yang dapat menjadi tekanan (stressor) terhadap kesehatan
dan integritas ekosistem ekosistem dari bentang alam di sekelilingnya seperti
api, badai, banjir dan salinitas telah hilang atau berkurang secara signifikan
(Permenhut Nomor 48, 2014).
xi
III. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN
12
B. Waktu dan Lokasi
Kegiatan pemulihan ekosistem mekanisme alam dilaksanakan pada bulan Juni
2019 di Akses Jalan Datai 206 Ha, Suo-Suo 109 Ha, Aur Cina 75 Ha, Papunauan 779 Ha,
Camp Granit I 605 Ha dan Camp Granit II 229 Ha Wilayah Kerja SPTN Wilayah I Tebo
Tengah Jambi dan SPTN Wilayah II Belilas Riau.
C. Pelaksana
Pelaksana kegiatan pemulihan ekosistem dengan mekanisme alam wilayah kerja
Resort SPTN Wilayah I Tebo Tengah Jambi dan SPTN Wilayah II Belilas Riau adalah
petugas Balai TNBT sebanyak 3 (tiga) orang, dibantu oleh masyarakat setempat sebagai
tenaga buruh lapangan sebanyak 5 (lima) orang, sebagai berikut :
Tabel.1. Daftar Petugas Pelaksana Kegiatan
No Nama / NIP Jabatan Keterangan
1. PM - Ketua
2. PM - Anggota
3. PM - Anggota
13
D. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan sebagai instrumen pelaksanaan kegiatan ini yaitu :
ATK(pensil, pena, penggaris), GPS, Clinometer, tally sheet, kompas, kamera, Roll meter,
parang, pitameter, tenda (personal use), tali tambang plastik.
Bahan yang digunakan terdiri dari peta kerja, bahan spanduk, plang nama
Pemulihan ekosistem.
E. Metode Pelaksanaan
a. Patroli Dalam Lokasi Pemulihan Ekosistem
Patroli adalah salah satu kegiatan pengamanan sebagai usaha mencegah terjadinya
ganguan keamanan yang disebabkan oleh adanya potensi gangguan, ambang
gangguan dan gangguan nyata dengan cara mendatangi, menjelajahi, mengamati,
mengawasi, memperhatikan situasi, dan/atau kondisi yang diperkirakan akan
menimbulkan gangguan nyata yang memerlukan kehadiran petugas untuk
melakukan tindakan-tindakan pengamanan.
Patroli dilaksanakan dengan tujuan mengidentifikasi ancaman dan gangguan
terhadap keamanan kawasan serta tindakan penanganan gangguan keamanan
dalam lokasi Pemulihan Ekosistem. Sasaran patroli meliputi orang, kawasan,
termasuk tumbuhan, satwa liar, dan ekosistem penyusunnya.
Kegiatan patroli dilakukan dengan metode berjalan/bergerak melalui perpindahan
dari satu tempat ke tempat lain sesuai lokasi yang telah ditentukan sebagai lokasi
patroli. Selain bergerak, patroli juga berhenti sambil melakukan pengamatan,
dan/atau penilaian karena menemukan hal-hal yang dapat menjadi ancaman dan
gangguan terhadap keamanan kawasan. Dalam kegiatan patroli, dilakukan observasi
dengan melakukan pengamatan terhadap objek tertentu demi mencegah dan
mengurangi tindakan pengrusakan kawasan dengan melibatkan semua indera,
sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas terhadap objek sasaran patroli.
Penilaian melalui pengambilan kesimpulan sementara petugas patroli setelah
melakukan observasi. Tindakan penanganan gangguan keamanan hasil penilaian dari
patroli yang telah disimpulkan untuk mencegah terjadinya gangguan keamanan.
14
b. Teknik Metode Titik Pusat Kuadran
Penentuan analisis vegetasi menggunakan metode tanpa plot (plotless) yang
terpusat di titik (point-centered quarter method) atau metode titik pusat kuadran.
Metode ini diawali dengan penentuan titik awal sampel secara purposive sampling
pada lokasi areal kerja yang telah ditetapkan. Metode penentuan sampel yang
dilakukan secara sengaja dianggap representatif (Fachrul, 2012). Membuat garis
transek dengan menggunakan kompas yang pada jarak-jarak tertentu di sepanjang
garis tersebut dibuat titik pengukuran.
Pembagian areal titik pengukuran menjadi empat kuadran yang berukuran sama
dengan menggunakan kompas dan mencatat koordinat data GPS dalam tally sheet
untuk selanjutnya membuat garis absis dan ordinat. Titik pengukuran dengan
intensitas sampling 0.25% dari luasan masing-masing lokasi area. Jarak antara stand
titik pengukuran satu dengan yang berikutnya per 200 m. Selanjutnya, pilih pohon,
tiang dan pancang disetiap kuadran yang letaknya paling dekat dengan titik
pengukuran dan ukur jarak dari masing-masing tegakan tersebut ke titik pengukuran.
Pengukuran dimensi pohon, tiang dan pancang hanya dilakukan terhadap keempat
pohon yang terpilih. Pengukuran dimensi pohon, tiang dan pancang melalui
diameter batang setinggi dada (dbh), tinggi bebas cabang dan tinggi total dengan
terlebih dahulu membersihkan batang dari liana dan epifit. Pemberian label tempel
pada tegakan yang berisikan data nomor titik pengukuran, jenis, jarak dari titik
pengukuran, diameter dan tinggi. Desain digambarkan di bawah ini :
15
c. Satwa Liar
Pengambilan data satwa liar melalui penjumpaan langsung dan tidak langsung
dilokasi pengamatan. Metode jelajah digunakan dalam pengambilan data dengan
titik pengamatan dan jalur transek ditentukan terlebih dahulu. Pengamatan
dilakukan pada jalur transek yang telah ditentukan dengan mengamati daerah
sekitarnya yang masih terpantau. Pencatatan jenis satwa yang ditemui, koordinat
lapangan, perjumpaan langsung dan tidak langsung (jejak, kotoran, cakaran, scrap
dan bekas makan).
F. Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif yaitu bertujuan untuk
menggambarkan situasi atau kejadian yang berhubungan dengan keadaan sesuatu
kondisi yang ada. Data patroli, data satwa liar yang dijumpai baik secara langsung dan
tidak langsung serta data analisa vegetasi dianalisa secara deskriptif.
Data analisa vegetasi berupa keanekaragaman jenis/biodiversitas
dikuantifikasikan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
a. Jarak rata-rata individu ke titik pengukuran
d 1+d 2+ …+dn
d=
n
Dimana :
d1,d2 = jarak individu pohon ke titik pengukuran di setiap kuadran
n = banyaknya pohon
d = rata-rata unit area/ind (rata-rata luasan permukaan tanah yang
diokupasi oleh satu individu tumbuhan
16
f. Dominasi relative suatu jenis (DR)
D
DR= ×100 %
Dominasi seluruh jenis
17
DAFTAR PUSTAKA
BTNBT. (2014). Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
Periode 2015-2024. Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Tebo, Tanjung Jabung
Barat Provinsi Riau Jambi. Balai Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Direktorat
Jenderal PHKA. Kementerian Kehutanan. Rengat.
BTNBT. (2017). Laporan Pelaksanaan Kegiatan Survey Sosial Ekonomi Kecamatan Batang
Gansal. Balai Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Direktorat Jenderal PHKA.
Kementerian Kehutanan. Rengat.
Fachrul, M., F. (2012). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta : Bumi Aksara.
Keputusan Dirjen KSDAE Nomor SK.159.(2016). tentang Zonasi Taman Nasional Bukit Tiga
Puluh, Provinsi Riau dan Provinsi Jambi
Keputusan Dirjen KSDAE Nomor SK.18.(2016). tentang Penetapan Lokasi Pemulihan
Ekosistem Pada Kawasan Konservasi Yang Terdegrasi Seluas 100.000 ha Pada
RPJM 2015-2019
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48., (2014). tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemulihan Ekosistem pada KSA dan KPA
Peraturan Dirjen KSDAE Nomor. P.7. (2016). tentang Standar Kegiatan dan Biaya Bidang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Tahun 2017.
Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor : P.12.,
(2015). tentang Pedoman Tata Cara Penanaman dan Pengkayaan Dalam Rangka
Pemulihan Ekosistem Daratan Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam
Undang – Undang Nomor 5.(1990). tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Undang – Undang Kehutanan Nomor 41 .(1999). tentang Kehutanan
Undang – Undang No 32 .(2009). tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
18
TALLY SHEET KEGIATAN PEMULIHAN EKOSISTEM MEKANISME ALAM
HARI/TANGGAL :
LOKASI :
TIM PELAKSANA :
A. PELAKSANAAN PATROLI LOKASI PE
KOORDINAT
NO KEJADIAN TINDAKAN / DOKUMENTASI
X Y
1 Penebangan Liar
2 Perambahan
3 Penggembalaan liar
4 Tumbuhan Invasif
5 Kebakaran hutan
6 (lain-lain)………………….
Penebangan Liar
Perambahan
Penggembalaan liar
Tumbuhan Invasif
Kebakaran hutan
(lain-lain)………………….