Anda di halaman 1dari 2

Usia Anak kok Menikah? Berkarya Lebih Keren!

Oleh: Nadhira yahya

Berdasarkan data dari UNICEF pada Child Marriage Report, Indonesia menempati posisi 10
sebagai Negara dengan fenomena perkawinan anak tertinggi di dunia. Sedangkan
berdasarkan informasi dari Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak (Kemen PPA), Indonesia
menempati peringkat kedua tertinggi di ASEAN. Nah lho.. gimana enggak? Pada tahun 2018,
1 dari 9 anak perempuan menikah di Indonesia. Jadi gak aneh sih. Perempuan umur 20-24
tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai sekitar
1.220.900. Sedih.

Padahal, mau dilihat dari berbagai faktor manapun, tentu perkawinan anak ini termasuknya
gak layak dan juga miris ya. Dari segi fisik, tentu mereka masih rentan. Perkawinan anak
kerap dianggap ‘membahayakan’ dalam hal ini, apalagi untuk pihak perempuannya. Saat
perempuan menikah dan mengandung dalam usia yang masih sangat dini, tubuhnya tentu
belum siap untuk menopang dan juga melahirkan. Dari segi psikis, apalagi. Kita tahu bahwa
anak-anak di usia dini psikisnya masih sangat labil, lalu bagaimana mereka akan menghadapi
berbagai persoalan dan permasalahan rumah tangga nantinya? Secara, menikah kan gak
melulu tentang seneng-seneng aja. Dari segi ekonomi, juga belum siap. Walaupun salah satu
atau kedua pasangan lahir dari keluarga yang mapan, kalo udah berumah tangga, finansial
yang ngatur mereka berdua dong, masa mau disuapin mulu. Gak mungkin kan. Jadi, kira-kira
apa sih yang membuat pernikahan usia anak ini masih lumrah terjadi? Terutama pada
perempuan.

Sebelumnya, UU No. 1 Tahun 1974 menetapkan usia menikah laki-laki 19 tahun, dan
perempuan 16 Tahun. Lalu kemudian direvisi pada UU No. 16 Tahun 2019 menjadi 19
Tahun baik laki-laki maupun perempuan. Perubahan batas usia perkawinan anak menjadi 19
tahun memang sepertinya sangat penting untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.
Walaupun rasanya 19 tahun pun masih dibilang sangat dini. Dengan adanya peraturan
tersebut, diharapkan angka perkawinan anak di Indonesia terus menurun sehingga mereka
dapat melanjutkan pendidikan hingga siap menikah di usia yang lebih matang.

Tapi, alih-alih ditaatin, peraturan yang ada malahan gak ngasih efek apapun. Nyatanya,
fenomena perkawinan anak tetap dan terus terjadi di Indonesia. Sebabnya bisa banyak hal,
entah karena faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya, nilai-nilai agama
yang dianut, atau ya, cuman karena tradisi aja. Saya juga sempat mendengar celetukan salah
satu ibu-ibu yang bilang, “ngapain juga lah sekolah, nikah aja cewek mah”, ada juga yang
beranggapan anak-anak dinikahin aja demi menjauhi zinah atau fitnah. Dan masih banyak
lagi sudut pandang lainnya. Stereotip mengenai peran perempuan yang dianggap hanya wajib
untuk melakukan aktivitas seputar “dapur, sumur, dan kasur” juga sepertinya sudah melekat
dalam pandangan umum masyarakat. Jadi, gak salah kalo perkawinan anak udah kayak
budaya yang disakralkan dari dulu sampe sekarang.

Dan mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Orang tua yang menikahkan anaknya di usia
dini bukannya tidak pernah mendengar berita seputar kekerasan dalam rumah tangga yang
terjadi akibat perkawinan semacam itu, kan? Pernikahan yang usianya sudah tua saja masih
banyak terjadi kekerasan, bayangkan saja dengan perkawinan anak yang jelas mereka belum
memiliki kedewasaan yang matang. Perkawinan anak tidak sama dengan nikah muda ya, buk
ibuk, pak bapak. Nikah muda itu pernikahan yang dilakukan oleh orang yang sudah beranjak
dewasa, bukan anak-anak. Jadi tolong hentikan pandangan konyol seperti itu.

Sebelum memenuhi kebutuhan anak dalam hal pernikahan tersebut (padahal bukan kebutuhan
dasarnya juga sih), alangkah baiknya orang tua memperhatikan 10 hak dasar anak yang
ditetapkan oleh PBB (1989) sebagai berikut:

1. Hak untuk bermain


2. Hak untuk mendapatkan pendidikan
3. Hak untuk mendapatkan perlindungan
4. Hak untuk mendapatkan nama (identitas)
5. Hak untuk mendapatkan status kebangsaan
6. Hak untuk mendapatkan makanan
7. Hak untuk mendapatkan akses kesehatan
8. Hak untuk mendapatkan rekreasi
9. Hak untuk mendapatkan kesamaan
10. Hak untuk berperan dalam pembangunan

Disclaimer: saya tidak sedang menyinggung pihak manapun, tulisan ini saya jadikan sebagai
koreksian dan pembelajaran bagi siapa saja (termasuk saya). Sejatinya, pernikahan memang
tentang bagaimana kita akan dan bisa berperan menjadi orang tua, bukan main-main loh.
Lihat 10 hak dasar tadi, jadi berikan itu saja dulu pada anak-anak, jangan ada yang kurang,
baru deh orang tua bisa pikirkan hal yang lainnya. Sebenarnya, saya pun besar di lingkungan
dengan kebiasaan tersebut. Itu yang membuat saya sangat bersyukur bisa menjadi perempuan
usia 20-an yang masih bisa menempuh pendidikan dan berkarir di dalam dunia yang saya
gemari, daripada harus menikah. Pada dasarnya itu hal yang biasa, tapi bagi saya hal tersebut
menjadi anugerah yang tak terkira.

Jadi, saya berharap kita semua bisa akhiri perkawinan anak, tidak hanya di Indonesia, tapi
juga di belahan bumi manapun. Akhiri juga anggapan buruk mengenai orang-orang yang
tidak menjadikan pernikahan sebagai jalan hidupnya. Menikah itu pilihan, punya anak itu
pilihan. Pernikahan bukan komoditi. Stop menjadikan hal tersebut sebagai tolak ukur
pencapaian hidup seseorang. Mau berapa banyak anak lagi yang harus menjadi korban atas
ketidaksiapan dua orang yang cukup umur tapi belum dewasa namun berani untuk menikah.
Bukan cuman soal perceraian, tapi rumah rasa neraka, penuh kekerasan, penuh pertengkaran
juga akan berdampak terhadap perkembangan psikis seorang anak. Hemm, daripada
mengorbankan mereka, sibukkan aja anak-anak untuk terus berkarya. Lebih keren kan?
Intinya masih banyak kok hal-hal yang baik untuk perkembangan seorang anak. Yang jelas
bukan pernikahan ya.

“Pernikahan is a serious case. Its not a joke”

Anda mungkin juga menyukai