Anda di halaman 1dari 3

Toleransi atas Kesadaran?

Hingga Peran Pers dalam


Penghapusan Diskriminasi

Seperti yang kita tahu 1 Juni merupakan peringatan hari lahirnya Pancasila,
peringatan hari lahir Pancasila sendiri pertama kali ditetapkan pada tahun 1949 yang
diresmikan oleh Soekarno untuk menghormati peranan Pancasila sebagai ideologi negara
yang mempersatukan berbagai keberagaman di Indonesia.
Pada tahun 1970 Soeharto sempat melarang peringatan Hari lahir Pancasila sebagai
bentuk upaya penghapusan warisan Soekarno. Kemudian pada Kemudian pada 1 Juni 2016,
Presiden Joko Widodo menandatangani Keppres NO 24 Tahun 2016 untuk kembali
menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dan masih berlanjut sampai
sekarang.

Penerapan Toleransi di Indonesia


Meskipun Indonesia memiliki Ideologi Pancasila dan semboyan negara yaitu
“Bhineka Tunggal Ika”, perlu kita sadari bahwa masih ada diskriminasi terhadap
keberagaman yang ada. Bahkan kita tidak bisa menampik bahwa Sebagian masyarakat
menormalisasikan ucapan yang mengandung SARA dengan alasan sudah berdamai dengan
dirinya sendiri.
Potensi terhadap tingkat diskriminasi yang tinggi pun juga dibenarkan oleh Komnas
Ham lewat surveynya yang membuktikan bahwa kesadaran terhadap diskriminasi terhadap
ras dan etnis perlu ditingkatkan.
Survey yang dilakukan pada 25 September - 3 Oktober 2018 di 34 Provinsi di
Indonesia, melibatkan 1207 responden mencatat terdapat 101 pelanggaran terhadap ras dan
etnis dalam rentan waktu 2011-2018. Bentuk – bentuk diskriminasi tersebut meliputi
pembatasan terhadap pelayanan publik, maraknya politik etnisitas/identitas, pembubaran
ritual adat, diskriminasi atas hak kepemilikan tanah bagi kelompok minortas, dan akses
ketenagakerjaan yang belum berkeadilan.
70% responden mengaku tidak melihat praktik disrkiminasi berdasarkan ras dan etnis,
namun Sebagian besar mengaku melihat praktik diskriminasi di fasilitas umum seperti
Kelurahan, Puskesmas, sekolah, Dll. 90% responden mengaku belum pernah mengalami
diskriminasi.
Berdasarkan pengakuan responden terlihat bahwa tingkat diskriminasi sangat jarang
terjadi bukan? Namun hal ini sebenarnya dapat dipertanyakan kembali, apa memang benar
diskriminasi jarang terjadi atau malah mereka yang tidak mengerti bagaimana sebenarnya
bentuk diskriminasi karena banyaknya orang yang menormalisasikan?
Dilansir dari Konde.co Hasil survei terbaru Setara Institute for Democracy and Peace
menunjukan bahwa pelajar aktif di sekolah menengah tingkat atas (SMA) sederajat di lima
kota meningkat.
Jika menggunakan baseline data SETARA di 2016-2017, tren toleransi menunjukkan
peningkatan dari 61,6% menjadi 70,2%. Angka ini membesar disumbang oleh menyusutnya
kelompok intoleran pasif dari sebelumnya berada pada angka 35,7% menjadi 22,4% di 2023.
Namun, sebagian remaja pada kategori intoleran pasif juga bertransformasi menjadi
intoleran aktif, sebagaimana digambarkan dari angka 2,4% di tahun 2016 menjadi 5% di
tahun 2023. Demikian juga pada kategori terpapar, mengalami peningkatan dari 0,3%
menjadi 0,6%.

Peran Media dan PERS terhadap Diskriminasi


Disney telah merilis film dengan berjudul “The Little Mermaid”, film yang diadaptasi
dari serial animanya ini menuai kontroversi setelah tokoh Ariel diperankan oleh Halle Bailey
tampak tidak persis dengan versi animasinya. Dalam animasinya Ariel digambarkan sebagai
sosok yang berkulit putih, sedangkan Halle Bailey gadis keturunan Afrika-Amerika.
Para penggemar ini bependapat bahwa seharusnya Ariel diperankan oleh orang yang
berkulit putih karena sesuai dengan penggambaran versi animasinya. Padahal saat kita
telusuri lagi dalam tulisan Jurno.id “Mengapa Malaikat dalam Film Tidak Ditampilkan
Biblically Accurate?” seorang Wanita cantik berekor ikan di perairan Karibia yang dilaporkan
oleh Christopher Colombus pada abad ke – 15 tidak disebutkan apa warna kulit dari makhluk
yang kini disebut Putri Duyung. Tidak hanya itu saja bahkan tidak ada literatur yang
menyebutkan secara spesifik bagaimana bentuk dari putri duyung.
Kontroversi ini harus digaris bawahi kepada media bahwa representasi penggambaran
terhadap minoritas itu sangat penting. Dalam pertelevisian kita sendiri banyak yang
menggambarkan bahwa kecantikan berasal dari kulit yang putih dan bersih, setidaknya itulah
slogan yang sering disebutkan dalam beberapa iklan produk kecantikan. Sering kali kita juga
melihat dalam sinema atau sebuah film layar lebar pemeran utama selalu di perankan oleh
kaum mayoritas dan para minoritas selalu menjadi pemeran sampingan.
Selain dari Sinema dan Film, PERS sebagai pilar ke IV dalam demokrasi juga punya
peran penting dalam upaya penghapusan diskriminasi yang ada. Dalam Pasal 6 (enam)
Undang-Undang  Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal tersebut, disebutkan
bahwa pers nasional berperan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Memenuhi masyarakat
disini termasuk memenuhi kebutuhan informasi terkait masalah diskriminasi, hak hak
minoritas yang belum terpenuhi dan edukasi.

Anda mungkin juga menyukai