Anda di halaman 1dari 20

KONDISI KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM BERHADAPAN DENGAN

PEMERINTAHAN KOLONIAL
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Islam Indonesia II
Dosen Pengampu : Dr. Suparman Jassin, M. Ag
Dina Marliana, S. Hum, M. Ag

Disusun Oleh:
Muhammad Raihan Averoes -1215010138
Nadya Amara Salsabila -1215010148

SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah karya tulis ilmiah ini tepat waktu.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada junjunan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjadi bekal hidup kita di dunia maupun di
akhirat kelak. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk menyelesaikan tugas terstruktur
mata kuliah Sejarah Islam di Indonesia II, juga bertujuan agar setiap mahasiswa dapat lebih
mempelajari serta memahami materi tentang kondisi masyarakat Indonesia pada masa
kolonial. Dan kami ucapkan terima kasih kepada Dosen dan rekan-rekan yang berpartisipasi
atas terselesaikannya makalah ini. Adapun judul makalah ini adalah “KONDISI
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM BERHADAPAN DENGAN PEMERINTAHAN
KOLONIAL: DEMAK, PAJANG MATARAM, BANTEN, CIREBON” ini merupakan tugas
yang tidak ringan. Maka kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, mengingat kemampuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari semua pihak sangat kami terima dan kami harapkan untuk menyempurnakan makalah
ini.

Bandung, 7 Juni 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
Latar Belakang..................................................................................................................................4
Rumusan Masalah.............................................................................................................................4
Tujuan Masalah.................................................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
KERAJAAN DEMAK......................................................................................................................5
Politik dan Agama.........................................................................................................................5
Perlawanan Terhadap Bangsa Kolonial..........................................................................................5
KERAJAAN PAJANG......................................................................................................................9
KERAJAAN MATARAM...............................................................................................................11
Campur Tangan VOC di Kerajaan Mataram................................................................................12
KESULTANAN BANTEN..............................................................................................................13
Konstelasi Perlawanan Rakyat Banten.........................................................................................13
KERAJAAN CIREBON..................................................................................................................17
BAB III................................................................................................................................................19
PENUTUP...........................................................................................................................................19
KESIMPULAN...............................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................20

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masuknya Islam ke Indonesia membuat perubahan yang banyak dalam kehidupan


masyaarakat, baik dalam segi pandangan maupun keyakinan. Selain itu, Islam yang
masuk juga berpengaruh terhadap bidang kepemerintahan. Hal ini dibuktikan dengan
terciptanya beberapa kerajaan Islam di Indonesia, seperti Demak, Pajang Mataram,
Banten, Cirebon, dll. Namun fokus penulis kali ini hanya kepada kesultanan-
kesultanan tersebut. Masing-masing kesultanan/kerajaan tersebut tentunya memiliki
sejarah, latar belakang dan peninggalan yang berbeda. Masing-masing sejarah ini
diketahui berdasarkan bukti sejarah yang ditinggalkan. Menurut beberapa sumber,
Kerajaan Islam di Jawa juga dipengaruhi oleh kerajaan Islam di Sumatra. Meski corak
kerajaannya sama yakni Islam, namun sejarah dan bentuk peninggalannya berbeda.
Bahkan cara mengatasi konflik internalnya pun berbeda.

B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana kondisi kerajaan-kerajaan tersebut di masa pemerintahan kolonial?


b. Bagaimana kerajaan-kerajaan tersebut mengatasi konflik internal dengan
pemerintah koloni?

C. Tujuan Masalah

a. Mengetahui kondisi kerajaan-kerajaan tersebut di masa pemerintahan kolonial


b. Mengetahui bagaimana kerajaan-kerajaan tersebut mengatasi konflik di
wilayahnya masing-masing

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. KERAJAAN DEMAK

A. Politik dan Agama

El Elit politik dan elit agama menduduki tempat yang khusus dalam
pemerintahan kerajaan Demak. Penyebutan gelat "Sultan" bagi raja-raja Demak
sebagaimana diceritakan oleh babad-babad tradisi, memberi petunjuk bahwa raja,
kecuali sebagai pimpinan politik, juga sebagai pimpinan agama. Perluasan politik
kerajaan Demak ke Jawa Barat, Tengah dan Timur selalu dibarengi dengan
dakwah agama. Bahkan mungkin raja-raja Demak menganggap masjid Demak
merupakan lambang kerajaan Islam mereka. Tidak mengherankan bahwa sesudah
beberapa abad kemudian masjid menjadi amat penting dikalangan orang-orang
Jawa. Bahwa ketika kekuasaan raja Demak jatuh pada paruh kedua abad ke-16,
kesetiaan orang Jawa terhadap orang-orang suci yang sudah lama berakar tetap
berlanjut dan menjadikan Demak sebagai pusat kehidupan beragama di Jawa
Tengah. Sebelum memasuki abad ke-16, Demak merupakan bagian dari
kekuasaan kerajaaan Majapahit yang beragama Hindu, tetapi wilayah kerajaan ini
mulai kehilangan kontrolnya terhadap wilayah Demak, agama Islam yang
nampaknya sudah berkembang jauh sebelum masa itu, mulai mendominasi
kehidupan masyarakat Demak. Sumber tertulis yang dapat dipercaya mengenai
awal mula dan bcrkembangnya Islam di Demak tidak mudah untuk diperoleh,
namun kesusasteraan Jawa abad ke-17 dan ke-18 banyak menceritakan kehidupan
para wali, yaitu orang-orang saleh yang dianggap menyebarkan agama Islam di
Jawa. Cerita-cerita itu biasanya menyebut jumlah wali ada sembilan, tetapi nama-
nama wali itu disebut berbeda-beda.
Bahwa Demak merupakan tempat penting dilihat dari segi agama Islam dapat
disimpulkan berdasarkan cerita bahwa wali-wali di Jawa berpusat di mesjid
keramat Demak, yaitu mesjid yang menurut cerita tersebut didirikan oleh wali itu
secara bersama-sama. Di tempat ini pula mereka mengadakan pertemuan untuk
bertukar pikiran atau Musawaratan. Memang cerita-cerita tersebut tidak terlalu
penting nilainya bagi penulisan sejarah karena urutan kronologis kisah-kisah yang
diceriterakan diabaikan sama sekali, namun bahwa cerita-cerita yang ada memberi
penekanan penting pada wilayah Demak sebagai pusat Islam sesungguhnya sudah
cukup bisa ditarik kesimpulan bahwa Demak telah dipandang penting sebagai
pusat Islam sebelum abad ke-17.

B. Perlawanan Terhadap Bangsa Kolonial

Perlawanan kerajaan Demak terhadap Portugis terjadi sebelum Portugis


menguasai Malaka. Bahkan, kedatangan mereka dilakukan pada tahun 1509 M
atas perintah raja Portugis di bawah pimpinan Diego Lopez de Squera untuk

5
membuat perjanjian dengan penguasa Malaka. Perjanjian tersebut bertujuan untuk
memperoleh lisensi untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua
belah pihak.1
Ketika Portugis datang ke Malaka, mereka justru disambut oleh penguasa
Malaka saat itu, Sultan Mahmud Syah. Namun, setelah komunitas perdagangan
Muslim internasional mengetahui bahwa Portugis akan membahayakan kerajaan
Malaka, Sultan Mahmud Syah akhirnya sadar dan melawan dengan menangkap
beberapa Portugis lainnya. Namun perahu yang mereka gunakan berhasil kabur ke
arah barat dari Malaka sebelum Sultan Mahmud menyerang kapal tersebut.
Kemudian pada tahun 1511 M, Malaka berhasil dikuasai oleh Portugis di bawah
pimpinan Jenderal Albuquerque.2
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pulau Jawa dan
pelopor penyebaran Islam di Jawa dan Indonesia. Berdirinya kerajaan Demak
menandai dimulainya integrasi Islam ke dalam ranah politik. Kerajaan Demak
terletak di Jawa Tengah dan sangat menguntungkan dalam perdagangan dan
pertanian pada saat itu. Wilayah Demak terletak di tepi selat antara Pegunungan
Muria dan Jawa. Kapal-kapal dagang dari Semarang dapat melewati selat tersebut
dan ingin mengambil jalan pintas menuju Lembang, namun selat tersebut sudah
tidak dapat dilalui sejak abad ke-17.
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah, putra Raja Majapahit. Raden Fatah
belajar agama Islam dari Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan kemudian menikahi
putri Sunan Ampel bernama Nyai Ageng Malaka. Demak dulunya merupakan
kerajaan di bawah Majapahit, yang dikenal sebagai Bintara atau Glagahwangi.
Kekuasaan Raden Fatah merupakan pemberian dari Raja Kertabumi Brawijaya V.
Raden Fatah beserta istrinya membuat pemukiman muslim dengan pondok
pesantren sebagai basis kegiatan dakwah di Glagahwangi.
Sultan Fattah sebagai seorang pemimpin memperkenalkan kitab Salokantara
sebagai kitab undang-undang kerajaan. Sikap Sultan Fattah terhadap umat
beragama lain sangatlah toleran, hal ini ditandai dengan tidak memaksakan untuk
mengembalikan kuil Sam Po Kong menjadi masjid, sebagaimana dulu saat
didirikan oleh Laksamana Ceng Ho yang beragama Islam.3 Dengan sikap toleransi
yang dimiliki oleh Sultan Fattah, hingga ia tidak ingin memerangi umat Hindu dan
Budha.
Pengaruh politik kerajaan Demak dalam hubungan dengan berbagai bangsa
teramatlah besar. Kerajaan Demak merupakan juru bicara dikawasan Asia
Tenggara yang sangat disegani. Sebagai Negara Adidaya dikawasan Asia Tenggara
Demak menempatkan duta besar kerajaannya diberbagai Negara seperti Johor,
Pasai, Gujarat, Turki, Parsi, Arab dan Mesir.4
Sebagai Imperium Islam yang memiliki kekuatan besar, bukan berarti Demak
tidak memiliki kepedulian terhadap jatuhnya kerajaan Malaka ketangan kaum
kafir Portugis. Kepedulian Demak terhadap jatuhnya wilayah Islam tersebut
dibuktikan dengan memerintahkan Pati Unus mempersiapkan diri dan segala
1
Marwati DjoenedPoesponegoro, et.al, Sejarah Nasional Indonesia, jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 353
2
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, terj. Tim Penerjemah Serambi (Jakarta: Serambi, 2007),
72.
3
Soedjipto Abimanyu, Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli (Yogyakarta: Laksana, 2014), 306.
4
Abdullah, Kerajaan Islam Demak: Api Revolusi Islam di Tanah Jawa 1518-1549 M, 27.

6
sesuatunya untuk keperluan perang melawan Portugis. Demi mengembalikan
tanah Islam yang terampas oleh musuh serta mengembalikan kemuliaan kerajaan
Malaka.
Armada laut Demak terus bertambah untuk menghadapi Portugis di Malaka
karena takut Portugis akan menyerang ibu kota Demak, Bintoro, sebelum pasukan
Demak menyerang Malaka. Selain untuk tujuan perang, penambahan armada
memberikan keamanan bagi para pedagang yang berdagang di Pelabuhan Demak.
5
Setelah merasa armadanya cukup kuat, akhirnya Demak melancarkan serangan ke
Malaka di bawah pimpinan Pati Unus. Di Malaka, Portugis bersiap menghadapi
tentara Demak di benteng mereka. Setelah mendekati benteng, pasukan Demak
dibombardir oleh peluru dari benteng yang terletak di atas bukit, yang
menyebabkan kegagalan serangan Demak.6
Setelah gagalnya penyerangan Demak ke Malaka pada tahun 1513 M
menimbulkan keinginan yang kuat untuk menyerang Portugis kembali, sehingga
Pati Unus melancarkan serangannya yang kedua pada tahun 1521 M, dalam
penyerangan ini Pati Unus yang telah naik tahta menjadi raja kerajaan Demak
pada tahun 1518 M turut serta dalam penyerangan. Penyerangan ke Malaka yang
kedua ini dikarenakan Pati Unus mendengar berita bahwa Portugis akan menjalin
hubungan kerja sama dengan kerajaan Syiwo-Budho Padjajaran.7
Seperti penyerangan yang pertama segala sesuatu dipersiapkan dengan matang
mulai dari pasukan, kapal-kapal, persenjataan dll, dengan harapan penyerangan
bisa memberikan hasil yang berbeda dengan penyerangan yang pertama. Namun,
kekuatan Portugis dibalik benteng A-Farmosa ditepi perairan Malaka lebih kuat.
Perang antara kedua belah pihak terjadi dengan sengit hingga kapal-kapalpasukan
Pati Unus kesulitan mendekati benteng yang dipersenjatai dengan meriam-meriam
besar. Hingga pada saat terjadinya pertempuran besar, Sultan dan juga panglima
yang gagah harus menemui suratan takdir Ilahi (wafat). 8
Sultan Trenggana memerintah kerajaan Demak pada usia 38 tahun dengan gelar
Sultan Syah Alam Akbar III yang berdaulat penuh pada tahun 1521 M, ini terjadi
setelah Syahidnya Pati Unus saat perang melawan Portugis di Malaka pada tahun
1521 M. Setelah diangkat menjadi pemimpin kerajaan Demak Sultan Trenggana
memperluas wilayah kekuasaannya baik ke Timur maupun ke Barat.
Perluasan kekuasaan yang dilakukan Sultan Trenggana menjadikan kerajaan
Demak semakin berdiri tegak. Wilayah kekuasaan yang hamper mencakup seluruh
tanah Jawa, kecuali Blambangan dan Padjajaran. Dengan melakukan perluasan
kekuasaan ini Sultan Trenggana berhasil mengalahkan sisa-sisa kerajaan
Majapahit yang berada di Daha Kediri dan juga menaklukkan kerajaan Syiwo-
Budha di jawa Barat.
Setelah meninggalnya Pati Unus perlawanan kerajaan Demak terhadap Portugis
tidak berhenti begitu saja melainkan terus berlanjut dibawah pemimpin baru
kerajaan Demak. Perlawanan kerajaan Demak ini tidak hanya melakukan
5
Rachmad Abdullah, Kerajaan Islam Demak: Api Islam di Tanah Jawa 1518-1549, 42.
6
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Jakarta:
LkiS, 2005), 215.
7
Abdullah, Kerajaan Islam Demak: Api Islam di Tanah Jawa 1518-1549, 57.
8
Krisna Bayu Adji, et. al, Ensiklopedi Raja-Raja Jawa: Dari Kalingga Hingga Kesultanan Yogyakarta (Yogyakarta:
Araska, 2011), 90.

7
pertempuran langsung dengan pasukan Portugis melainkan juga dengan orang
atau kerajaan-kerajaan yang melakukan kerjasama dengan Portugis. Seperti
pernyerangan yang dilakukan Demak ke Daha Kediri pada tahun 1527 M
dipimpin oleh Sunan Kudus. Penyerangan ini akhirnya membawa hasil dengan
kalahnya kerajaan Syiwo Budho Majapahit di Kediri. Kerajaan yang pernah
berjaya ini akhirnya musnah hingga tiada sisa, hingga menyebabkan terjadinya
arus pelarian besar-besaran dari kerabat kerajaan Majapahit ke Bali. 9
Kesuksesan mengalahkan Prabu Udhoro di Daha Kediri ini dilanjutkan dengan
penyerangan kerajaan Demak ke Sunda Kelapa. Sunda kelapa yang merupakan
bagian dari kerajaan Pajajaran adalah salah satu pelabuahan yang menakjubkan
dan terpenting diantara pelabuhan lain, karena pelabuhan ini menjadi salah satu
tempat perdagangan terbesar. Dimana orang-orang berdatangan dari berbagai
wilayah seperti Sumatera, Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa,
Madura dan masih banyak lagi lainnya.10 Tidak mengherankan jika Portugis
melakukan kerjasama dengan Pajajaran sejak tahun 1522 M.
Penyerangan ke Sunda Kelapa dipimpin oleh Fatahillah atau Feletehan, setelah
melakukan serangan ke Banten ia lalu mengajak para pejuang dari Banten dan
juga Ibu Kota Demak menuju Sunda Kelapa melalui jalur laut. Diantaranya adalah
Arya Penangsang yang merupakan salah satu komandan pasukan yang gagah
berani dalam menghadapi pertempuran.11 Dalam penyerangan ini jumlah pasukan
Demak lebih banyak jika dibandingkan dengan pasukan Padjajaran, karena
pasukan Demak mendapat bantuan dari Cirebon dan juga Banten. Selain
mendapat tambahan jumlah pasukan pada penyerangan ini, pasukan Demak juga
diuntungkan karena pasukan dari Banten telah menguasai jalur tempuh perjalanan
menuju Sunda Kelapa.
Dengan adanyanya jumlah pasukan yang lebih unggul dari kerajaan Pajajaran
pasukan Demak berhasil menguasai Sunda Kelapa. Sebelum jatuhnya Sunda
Kelapa ke tangan Demak, Portugis telah melakukan perjanjian dengan Pajajaran
pada tahun 1521 M untuk membangun benteng di Sunda Kelapa. Kemudian, pada
tahun 1526 M pasukan Portugis berlayar dari Malaka menuju Sunda Kelapa
dengan jumlah 600 pasukan yang terdiri dari budak dan pelaut Melayu.17
Sesampainya di tepi pelabuhan Sunda Kelapa panglima Portugis menyuruh
utusannya untuk menemui penguasa Pajajaran di Sunda Kelapa, kaum Katolik
Portugis ternyata belum mengetahui kalau Sunda Kelapa telah jatuh ketangan
kerajaan Demak dibawah pimpinan Fatahillah atau Falatehan. Kemudian utusan
Portugis tersebut menemui Fatahillah dan menagih janji kerjasama yang telah di
lakukan tahun 1521 M.
Fatahillah menolak apa yang diminta oleh utusan Portugis yang menagih janji
tentang perjanjian 1522 M, sehingga menjadikan utusan tersebut marah dan
mengancam akan membumihanguskan Sunda Kelapa. Namun, Fatahillah tidak
takut dengan ancaman tersebut, ia siap menghadapi pasukan Portugis di Sunda
Kelapa. Kapal-kapal Portugis yang terdamapar di pelabuhan Sunda Kelapa di usir
sehingga menjadikan pecahnya perang antara pasukan Fatahilah dengan Portugis
9
Dhurorudin Mashad, Muslim Bali: Mencari Harmoni yang Hilang (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2014), 57.
10
Tome Pires, Suma Oriental, ter. Andriyan Perakasa dan Anggita Pramesti (Yogyakarta: Ombak, 2016), 225-226
11
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), 435.

8
baik diwilayah darat maupun laut. Pasukan Fatahillah terus melakukan serangan
dengan membabi buta sehingga membuat pasukan Portugis terus terdesak mundur.
Serangan pasukan Demak ini menjadikan Portugis kembali ke Malaka dengan
membawa kekalahan total dan keadaan yang mengerikan. Angan-angan
menguasai Nusantara berbalik menjadi pil pahit. Harapan mendirikan benteng di
Sunda Kelapa dengan sambutan raja justru disambut dengan genderang perang
dan serangan yang bertubi-tubi dari pasukan Fatahillah. Kekalahan pasukan
Portugis ini terjadi pada 22 Juni 1527 M.
Keberhasilan Sultan Trenggana menaklukkan beberapa wilayah di Barat
maupun di Timur ingin memperluas kekuasaannya dengan menaklukan
Panarukan. Usaha penaklukkan yang dilakukan Sultan Trenggana ini
membawanya pada akhir kehidupannya. Ketika Sultan Trenggana berhasil
mengepung Panarukan selama tiga Bulan, namun belum bisa merebut kota
tersebut. Suatu ketika Sultan Trenggana melakukan rapat bersama adipati untuk
meluncurkan serangan selanjutnya. Putra bupati Surabaya yang berumur 10 tahun
dan bekerja sebagai pelayannya tertarik pada jalannya rapat sehingga tidak
mendengar perintah Sultan Trenggana. Hal ini menjadikan Sultan Trenggana
marahdan memukulnya, secara sepontan anak itu membalas dengan menusukkan
pisau di dada Sultan Trenggana. Tusukan pisau ini menjadikan Sultan Trenggana
tewas seketika.
Setelah wafatnya Sultan Trenggana pada tahun 1546 M tampu kekuasan
dilanjutkan oleh putra tertuanya yakni Sunan Prawoto. Sunan Prawoto
memerintah hanya tiga tahun yakni pada tahun1546-1549 M. pada masa
kepemimpinan Sunan Prawoto terjadi banyak konflik hingga menjadikan kerajaan
Demak runtuh.

2. KERAJAAN PAJANG

Kesultanan Pajang merupakan kesultanan yang memiliki corak Islam yang


hidupnya tergantung pada budaya agraris karena letaknya secara geografis yaitu
terletak di pedalaman Jawa kemudian pengaruh agama Islam yang menjalar
sehingga tersebar ke wilayah pedalaman Jawa, dimana pada masa pemerintahan
raja pertamanya yaitu Sultan Hadiwijaya Pajang berusaha untuk mengembangkan
kesusastraan dan kesenian Islam. Kesultanan Pajang sebagai lanjutan dari
Kesultanan Demak di Jawa. Perpindahan kekuasaannya tidak terlepas dari konflik
kalangan keluarga sehingga menyebabkan terbunuhnya Arya Penangsang, di mana
Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Arya Penangsang melalalui sayembaranya. Di
mana pada saat peralihan kekuasaaan Demak ke Pajang tidak terlepas dari peran
Senopati yang telah membantu Sultan Hadiwijaya.
Jaka Tingkir mewarisi tahta Demak dikarenakan faktor politik yang dimiliki serta
berdasarkan garis keturunan yang masih memiliki darah Raja Majapahit.
Disamping itu Jaka Tingkir juga merupakan menantu dari Sultan Trenggana,
Sultan Demak ke-3. Kompleks keraton, yang sekarang telah dipugar, berada di
perbatasan Kelurahan Pajang. Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura,
Sukoharjo. Di zaman Jaka Tingkir memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578

9
seorang pemberontak bernama Wargautama dikalahkan oleh pasukan kerajaan
Pajang dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya
Pajang menjelang akhir pemerintahan Jaka Tingkir, Kekuasaan Pajang ke Timur
meliputi wilayah Madiun. Ada dugaan bahwa Jaka Tingkir sebgai raja Islam
berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, disebutkan pula bahwa
Arosbaya (Madura Barat) pun mengakui kekuasaan Jaka Tingkir. Adapun
hubungan dengan Tanah Pasundan di belahan Barat Pulau Jawa, terjadi Perubahan
penting seperti yang diberitakan dalam Kronik Klenteng Talang yang mencatat
perkataan Fatahilah, bekas panglima Demak, yang kemudian menggantikan Sunan
Gunung Jati sebagai Penguasa Kesultanan Cirebon. Isi beritanya adalah sebagai
berikut: “Panglima tentara Demak sangat kecewa mendengar pembunuhan-
pembunuhan di kalangan para keturunan Raden Patah di Demak. Dia tidak pula
mau tunduk kepada Sultan Pajang.”
Setelah Demak runtuh, kekuasaan pindah ke Pajang, di mana pusat kekuasaan
beralih dari kawasan pesisir ke kawasan pedalaman. Peralihan pusat kekuasaan
tersebut memberi dampak terhadap corak pemerintahan, lambat laun kehilangan
taring khas bangsa maritim dan terkungkung dalam eksotisme budaya agraris.
Pusat bentang alam Pajang yang asli adalah desa Pengging, yang sekarang
letaknya di soyolali. Wilayah pusat Pajang luasnya sekitar 300 km2 dan
merupakan triple junction sekit antara kali Pepe, kali Dengkeng, dan Bengawan
Solo. Kali Pepe dan Kali Dengkeng datang dari Merapi, Bengawan Solo datang
dari Gunung Lawu. Bisa dibayangkan, ini adalah wilayah yang sangat subur. Oleh
karena itu masyarakat Pajang amat mengandalkan pada sumberdaya agraris yang
dimilikinya. Karakter Agraris khas Jawa ini sangat dominan hingga amat
menentukan. dinamika politik dibanding pulau-pulau lain di wilayah Nusantara.12
Letak Kerajaan Pajang yang demikian, amatlah mirip seperti tipe Kerajaan-
kerajaan Hindu Kuno yang berpusat di Pedalaman, contohnya Majapahit.
Kerajaan tipe ini biasanya terletak di lembah yang subur, diantara-sungai sungai
dan kompleks gunung berapi di Jawa. Penduduknya hidup sebagai Petani, di desa-
desa kecil dimana sawah mereka dialiri menggunakan sistem irigasi. Disini
tampak jelas, ditinjau dari pemilihan lokasi, Jaka Tingkir tidak melupakan asal
usulnya sebagai keturunan Majapahit dan latar belakangnya itu ia jadikan
Legitimasi untuk memimpin kerajaannya dengan baik.
Pada masa pemerintahan Jaka Tingkir, Kesultanan Pajang mengalami puncak
kejayaannya. Pada awal berdirinya, wilayah kekuasaan Kesultanan Pajang hanya
mencakup bagian sebelah Barat Bagelan (Lembah Bogowonto) dan juga wilayah
Kedu (Lembah Progo Atas). Namun, Pajang tidak pernah melakukan perluasan
wilayah kekuasaan ke daerah di luar lautan karena Kesultanan Pajang sendiri
terletak didaerah pedalaman Jawa. Berdasarkan berita tahun 1580, yaitu oleh
seorang pelaut yang berasal dari Inggris bernama Francis Dake, menyatakan
bahwa pada tahun tersebut seluruh kerajaan di tanah Jawa kecuali Blambangan
telah tunduk kepada raja Pajang yaitu Jaka Tingkir. Daerah yang dulunya telah
melepaskan diri setelah runtuhnya Kesultanan Demak, mampu di taklukkan oleh

12
M. C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta, 2008),hal.52-
53 92

10
Kesultanan Pajang sehingga wilayah cakupan Kesultanan Pajang terdiri dari
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur kecuali daerah Blambangan.
Peralihan yang terjadi dari Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang yang
awalnya bersifat maritim beralih ke agraris membuat nama Pajang kurang dapat
bersaing dengan bagaimana masa pemerintahan Kesultanan Demak sebelum
mengalami keruntuhan yang menjadi jalur transit perdagangan. Masyarakat di
Kesultanan Pajang kurang dapat menguasai wilayah lautan seperti yang pernah
dilakukan oleh kerajaan-kerajaan sebelum Pajang karena wilayah Pajang sendiri
yang terletak di daerah pedalaman. Agar dapat meningkatkan perekonomian, Jaka
Tingkir mengadakan perniagaan yang berbasis pengembangan kebudayaan,
melalui Bandar Laweyan diamana Jaka Tingkir mendukung pendirian terhadap
kampung yang didalamnya menghasilkan sebuah kerajinan seperti Kampung
Batik Laweyan, Kampung Mutihan. Pajang memiliki pengaruh yang besar dalam
bidang politik dimana pada abad ke-16, pengaruh politiknya meliputi wilayah
pantai uatara Jawa yaitu Surabaya, Sedayu, Lasem, Tuban, Demak, Jepara, Pati,
Pemalang, dan Tegal. Pengaruh kerajaan Pajang juag hingga pedalaman Pulau
Jawa meliputi Madiun, Kediri, Banyumas, Kedu, Bagelan dan Mataram. Tidak
hanya mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi, Kesultanan Pajang
mengalami kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan pada masa pemerintahan
Jaka Tingkir. Dimana kesusastraan dan kesenian keraton yang telah berkembang
di wilayah Demak dan Jepara kemudian perlahan-lahan mulai di kenal di wilayah
pedalaman Jawa.
Kesenian yang berkembang pesat ialah wayang. Jaka Tingkir dan seniman
lainnya menciptakan wayang Kidang kencana, yang memiliki ukuran yang lebih
kecil jika dibandingkan dengan ukuran wayang pada umumnya. Kesusastraan
yang berkembang di Kesultanan Pajang ditandai dengan adanya bukti sebuah
sajak monolistik “Niti Sruti”, merupakan karangan Pangeran Karang Gayam
mengenai ajaran moral & mistik kejawean berdasarkan ajaran filsafat dan terdapat
sedikit unsur dari filsafat Jawa dan filsafat Hindu.
Dalam bidang sosial budaya, karena terjadinya perpindahan terhadap pusat
pemerintahan ke daerah pedalaman menyebabkan pola yang ada dalam
lingkungan masyarakat juga mengalami perubahan di mana di wilayah pedalaman,
sistem kehidupan yang bersifat feodal semakin kental terasa dalam lingkungan
masyarakat. Kekuasaan dan kedudukan tertenggi dipegang oleh Sultan dan rakyat
harus patuh kepada rajanya. Masyarakat di wilayah pedalaman hidup dengan
berhati-hati dan mengutamakan gotong royong atau kebersamaan dan budaya
yang ada dimasyarakat pedalaman sangat ketat dan tidak terlepas dari tradisi dan
budaya aslinya, sehingga pada umumnya masyarakat di wilayah pedalaman dapat
dikatakan cukup sulit untuk mengalami perubahan. Namun engan semakin
berkembanya agama Islam terjadi proses akulturasi kebudayaan Islam dengan
kebudayaan yang ada di Indonesia.

3. KERAJAAN MATARAM

Kerajaan Mataram merupakan kerajaan Islam di Pulau Jawa yang didirikan oleh
Sutawijaya, kemudian digantikan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Pada

11
masa pemerintahan Sultan Agung inilah kemudian hukum Islam mulai mengalami
perkembangan setelah sebelumnya tidak terlalu berpengaruh dimasa itu. Hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya perubahan pada struktur tata hukum di Kerajaan
Mataram yang mengadili permasalahan yang dianggap dapat mengancam
keselamatan kerajaan.
Pada masa pergantian kekuasaan (dalam bidang pemerintahan) Sultan Agung,
terjadi peperangan antara Kerajaan Mataram dengan VOC yang diakibatkan
adanya pengaruh dari VOC yang berpusat di Batavia pada saat itu yang kemudian
dapat diselesaikan dengan diadakannya pembagian wilayah Mataram pada Tahun
1755 menjadi dua bagian yakni Kesultanan Ngayogyakarta dan Kesultanan
Surakarta. Pembagian wilayah kesultanan tersebut tertuang pada “Perjanjian
Giyanti” yang disertai dengan tanda tangan sebagai bukti bahwa pada wilayah
kesultanan tersebuttelah sah dilakukan pembagian wilayah kesultanan. Dengan
adanya bukti tersebut, maka era kerajaan Mataram berakhir sebagai satu kesatuan
wilayah dan politik.13

A. Campur Tangan VOC di Kerajaan Mataram

Salah satu penyebab jatuhnya kerajaan Mataram Islam adalah adanya campur
tangan VOC di dalam kehidupan pemerintahannya. Intervensi VOC dimulai
pada masa pemerintahan Amangkurat I (1645-1677), putra sekaligus
pengganti Sultan Agung. Sejak saat itu, kondisi Mataram semakin tidak
menentu dan mencapai pada 1755, saat terjadi perjanjian Giyanti, yang
menyebabkan kerajaan harus dibagi menjadi kasunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta.
Sepeninggal ultan Agung pada 1645, tahta Mataram Islam jatuh ke tangan
Amangkurat I. Berbeda dengan sang ayah, yang sangat anti terhadap Belanda
dan berhasil membawa Kerajaan Mataram Islam menuju puncak kejayaan,
Amangkurat I dikenal sebagai raja yang kejam. Tidak hanya itu, Amangkurat I
sangat lunak terhadap Belanda, dan bahkan memilih bersekutu dengan VOC
daripada meminta dukungan rakyatnya sendiri. Sejak awal pemerintahannya,
Amangkurat I melakukan perjanjian dengan VOC yang hakikatnya Mataram
harus mengakui kekuaaan politik di Batavia.
Setiap tahunnya VOC mengirimkan utusan ke Mataram, yang pada akhirnya
ikut campur urusan politik kerajaan. Selama Amangkurat I berkuasa, terjadi
banyak pemberontakan, salah satunya adalah pemberontakan yang dipimpin
oleh Trunojoyo. Dalam pemberontakan itu, Amangkurat I meninggal dalam
pelarian untuk meminta bantuan VOC. Setelah itu, putranya yang bernama
Pangeran Adipati Anom terpaksa menjalin kerjasama dengan VOC untuk
melumpuhkan Trunojoyo.
Trunojoyo berhasil dilumpuhkan dan takhta kesultanan Mataram diberikan
kepada Adipati Anom dengan gelar Amangkurat II. Sebagai imbalan atas
memberikan bantuan militernya, VOC pada 1677 dan 1678 memberikan tiga
berkas kontrak baru kepada Amangkurat II. Kontrak beru tersebut menyatakan

13
Mayani, Wiwi Arwinda. “Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia Pada Masa Kerajaan IslamSampai
Dengan Masa Reformasi”

12
bahwa batas daerah VOC sebelah timur mencapai sungai Pemanukan. Selain
itu, seluruh biaya perang yang dikeluarkan VOC harus dibayar oleh
Amangkurat II. Apabila belum dapat dilunasi, maka semua pelabuhan di
pantai Utara sampai ujung timur Pulau Jawa harus digadaikan kepada VOC.
Selain itu, ekspor beras Mataram dan impor barang-barang manufakturserta
tekstil menjadi monopoli VOC. Secara berangsur-angsur, wilayah kerajaan
menyempit akibat aneksasi yang dilakkukan VOC sebagai imbalan atas
intervensinya dalam pertentangan di kalangan keluarga kerajaan. Sebelum
meninggal, Amangkurat II memindahkan ibu kota Mataram Islam ke
Kertasura. Intrik-intrik dan perselisihan di kalangan bangsawan keraton
semakin menghebat setelah Amangkurat II meninggal. Putranya yang bergelar
Amangkurat III sempat menjadi raja, tetapi hanya bertahan selama dua tahun
karena VOC menuduhnya terlibat dalam pemberian perlindungan kepada
Untung Suropati. Hal ini semakin mengundang campur tangan VOC dalam
perebutan tahta kerajaan Mataram. VOC kemudian merekayasa agar paman
Amangkurat III, Pangeran Puger, dapat menjadi raja dengan gelar
Pakubuwono I. Lagi-lagi VOC meminta imbalan yang tertuang dalam kontrak
atas jasanya membuat Pakubuwono menjadi raja. Kontrak tersebut membuat
Mataram kehilangan haknya atas Cirebon, Periangan, Sumenep, dan
Pamekasan, serta pelayaran lautnya menjadi terbatas. Selama abad ke-1, VOC
terus melakukan intervensi dalam pergantian penguasa Kerajaan Mataram.

4. KESULTANAN BANTEN

Sebenarnya, perlawanan abad ke-19 rakyat Banten merupakan kelanjutan dari


abad-abad sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui, Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1683 M) gigih mempertahankan Kesultanan Banten dari kejahatan adu
domba yang dilakukan oleh kaum kompeni antara dia dan puta mahkota,
Sultan Haji yang berujung tergerusnya kekuasaan kesultanan oleh kompeni. Di
samping itu, perlawanan terhadap Belanda di abad ke-19 muncul juga di
berbagai daerah seperti perang Jawa di bawah pimpinan Pangeran
Diponegoro, Perang Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol yang bergejolak di
Sumatera Barat, Perang Batak dan Perang Aceh di Sumatera Bagian Utara.
Bahkan, perang yang tak kalah penting adalah perlawanan rakyat Banten yang
tak henti-hentinya sejak awal abad ini sampai peristiwa geger Cilegon yang
dikomandoi oleh K.H. Wasyid. Peristiwa-peristiwa perlawanan rakyat Banten
didukung, dipelopori dan dipimpin oleh para Ulama, kaum bangsawan, dan
Jawara bahkan para Srikandi Banten, di antaranya adalah Nyai Gumpara,
Tumenggung Muhammad, Demang dari Menes, Mas Jakaria, Ratu Bagus Ali,
Pangeran Radli, Mas Jebeng (putera Mas Jakaria), Mas Anom, Mas Serdang,
Mas Adong, Mas Anjung (Puteri Mas Jakaria), Nyai Permata, Raden Yuntan,
dan masih banyak lagi.

A. Konstelasi Perlawanan Rakyat Banten

13
Sejak didirikan oleh Sunan Gunung Djati, Banten sebagai sebuah kesultanan
sudah sangat menarik bagi para pedagang untuk merapatkan kapalnya di
pelabuhan Banten, baik yang berasal dari Eropa maupun Asia termasuk
Nusantara. Kemudian, pada era sultan-sultan berikutnya dari Sultan Maulana
Hasanuddin sampai Sultan Ageng Tirtayasa, menurut Claude Guillot, Banten
masih menarik, karena: sepenuhnya merdeka, merupakan periode yang
cemerlang, khususnya tahun 1670 M, dan Sultan Ageng Tirtayasa masih
berkuasa penuh. Sekalipun demikian, negara satelitnya, Jayakarta sudah lebih
dulu jatuh ke tangan J.P Coen pada 1619 dan mengganti namanya menjadi
Batavia. Artinya, upaya VOC menggerogoti kekuasaan kesultanan Banten
sudah dimulai, di antaranya dengan berupaya mengurangi peran pelabuhan
Banten. Upaya-upaya VOC di Batavia yang sudah dikuasainya menggembosi
peran pelabuhan Banten. Hal ini sangat dirasakan oleh Abdul Fath (Sultan
Agung Tirtayasa) yang mulai berkuasa tahun 1651. VOC dianggap
menghalangi usaha Banten memajukan perdagangan. Namun, beliau tetap
dianggap berhasil dalam bidang perdagangan dengan adanya ekspor-impor
antara Banten dan Persia, Koromandel, Benggala, dan Siam. Dia juga
membangun irigasi untuk pertanian dan persawahan. Suasana damai dan
tentram berjalan hingga 1676. Lantas, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat
putranya Abdul Kohar Nasar (Sultan Haji) menjadi sultan muda yang ternyata
tidak suka keluarga kerajaan memusuhi kompeni. Dapat diprediksi bahwa
akan terjadi pertentangan antara ayah dan anak. Sultan Ageng ingin terus
mengadakan Blokade terhadap VOC, sementara Sultan Haji ingin mengadakan
hubungan baik.
Pasca perang Trusnojoyo, tahun 1680 Belanda melakukan agitasi terhadap
Banten yang sudah dikuasai oleh Sultan Haji. Namun, Sultan Ageng Tirtayasa
tidak mau kompromi dengan kompeni. Pertikaian antara Sultan Ageng dan
Sultan Haji membuat Belanda mendukung salah satunya untuk dengan mudah
menguasai. Terjadi perlawanan bersenjata Sultan Ageng Tirtayasa bersama
ulama rakyatnya terhadap kompeni, tapi berakibat jatuhnya Banten ke tangan
mereka atas nama Sultan Haji.
Pasca bangkrutnya VOC (tahun 1799), kondisi sosial rakyat Banten bukan
bertambah baik, justru sebaliknya, pemerintah kolonial Belanda bertambah
represif sehingga menimbulkan perlawanan di berbagai daerah di Indonesia,
termasuk di Banten. Berbagai sistem yang diciptakan kaum kolonial tak
satupun yang dapat mensejahterakan rakyat, bahkan dipaksakan penerapannya
dengan kekerasan. Pada saat Herman Willem Deandels berkuasa, sepak
terjangnya sangat otoriter. Ia menambah serdadu dari 200 menjadi 18.000
orang dalam waktu singkat. Umumnya, serdadu berasal dari anak-anak
Manado, Madura dan Jawa. Yang tidak mau menjadi tentara ia hukum dengan
berbagai bentuk kekerasan. Untuk pakaian seragam serdadu, dia paksa petani
memintal benang dan menenun kain. Semua bidang kehidupan di berbagai
daerah dijaman Deandels, termasuk pengrajin tembaga untuk membuat bedil.
Pada tahun 1808 Deandels membangun jalan raya dari Anyer sampai ke
Panarukan dengan kerja paksa. Tidak sedikit rakyat meregang nyawa dalam
pembangunan jalan ini karena kekurangan makan, penyakit, dan sebagainya.

14
Si tangan besi Deandels juga memangkas kekuasaan para penguasa lokal, raja-
raja lokal diturunkan jabatannya menjadi pegawai biasa, ia hapus pula tanda
kehormatannya. Timbul perlawanan dari penguasa-penguasa lokal khususnya
di Banten. Daendels marah besar, istana sultan dihancurkan, Sultan ditangkap
dan dibuang ke Ambon. Pada tahun 1811, Deandels digantikan oleh Janssens.
Akan tetapi, karena Perancis-Belanda dikalahkan Inggris maka pada tahun
yang sama Inggris mengangkat Thomas Stanford Raffles berkuasa di daerah
jajahan Belanda hingga tahun 1816. Pemerintahan Raffles disebut-sebut
sebagai pemerintahan tangan liberal yang lebih lunak dibandingkan Daendels
dan melakukan berbagai pembaharuan. Ia menghapus kebijakan-kebijaka
Daendels dan melakukan berbagai pembaharuan. Ia menghapus kebijakan-
kebijakan Deandels, misalnya dalam bidang monopoli dagang, kerja rodi,
sistem hak pemerintah atas hasil bumi, tak ada pemaksaan, yang paling
terkenal dari kebijakan Raffles adalah pelaksanaan pajak tanah (Land-rent).
Kemudian, penguasaan tanah jajahan diserahkan kembali ke tangan
pemerintah Belanda, berbagai kebijakan para gubernut jenderal di Hindia-
Belanda kembali membuat rakyat menderita, semisal penerapan sistem tanam
paksa yang digagas gubernur Jendral Johannes Van den Bosch pada tahun
1830. Empat puluh tahun lamanya sistem ini diterapkan dengan berbagai
dampak negatifnya bagi rakyat Indonesia umumnya dan rakyat Banten
khususnya. Banyak penduduk yang meninggalkan kampungnya menghindari
tanam paksa, lain halnya dengan rakyat Banten, mereka melakukan
perlawanan sistem ini, dan kebijakan-kebijakan lainya yang tidak pro-rakyat.
Jika dirumut dari sejak sebelum penerapan kultuurstesel, hingga
penerapannya selama empat puluh tahun, telah terjadi berbagai perlawanan
bersenjata dari rakyat Banten terhadap kaum penjajah. Antara 1810 sampai
1840, terjadi sebelas kali perlawanan bersenjata rakyat Banten, di antaranya
perlawanan Nyai Gumpara pada 1818 untuk mengembalikan kesultanan
Banten dan penyerangan ke Anyer dengan kekuatan 500 orang pada 1822.
Pada akhir tahun 1825, Tumenggung Muhammad Demang dari Menes dengan
dukungan para Kiyai dan tokoh agama serta para santrinya memimpin
perlawanan bersenjata menentang pemungutan pajak. Letnan de Quay
mematahkan perlawanan ini yang membuat Tumenggung Muhammad
mengundurkan diri melintasi puncak gunung Pulosari melalui perbatasan
Pandeglang. Dua tahun kemudian muncul lagi perlawanan bersenjata dari Mas
Jakaria.Pada 1811, ia pernah menduduki Pandeglang yang kala itu menjadi
kota Kraton, tetapi ia tertawan. Namun pada tahun 1927, ia berhasil melarikan
diri. Banyak hadiah disediakan bagi siapapun yang berhasil menagkapnya,
tetapi selalu gagal, bahkan pada tahun tersebut ia kembali menyerbu
Pandeglang dan berhasil menawarkan anggota-anggota detasemen antara
Belanda. Pasukan Belanda secara membabi buta membakari rumah
pendudukuntuk memaksa pengakuan penduduk dimana keberadaan Mas
Jakaria. Baru lah beberapa bulan kemudian ia berhasil ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati dan membakarnya.
Pada tahun-tahun 1831, 1833, 1836, dan 1839 terjadi banyak perlawanan
bersenjata. Pemimpin-pemimpin yang lolos dari perlawanan tahun 1936

15
adalah Ratu Bagus Ali dikenal sebagai Kiyai Gede, Pangeran Radli dan Mas
Jebeng, putera Mas Jakaria. Rakyat bersemangat lagi melawan penjajah ketika
ketiga putra Mas Jakaria melarikan diri dari penjara Banyuwangi; Mas Anom,
Mas Serdang, dan Mas Andong. Salah seorang wanita yang memimpin
perlawanan Nyai Mas Anjung, puteri Mas Jakaria, ikut pula Mas Ubid,
kemenakan dan menantu Mas Jakaria. Raden Yintan, Pangeran Lamir, dan
seorang wanita Sarinam dapat ditambahkan sebagai pemimpin perlawanan
bersenjata.
Pada tanggal 13 Desember 1845, para pejuang Banten merebut rumah tuan
tanah di Cikandi Udik dengan membunuh tuan tanah Kamphuys, istrinya dan
lima anaknya. Peristiwa ini disebut peritiwa Cikandi, semua orang Eropa
Cikandi menemui ajalnya. Sebuah detasemen bejumlah 60 orang berhasil
melumpuhkan perlawanan di Cikandi. Sebenarnya, peristiwa ini dilakukan
sebagai isyarat perlawanan di seluruh Banten. Mereka bersekutu dengan
pemimpin kelompok Banten Selatan yang dipimpin oleh Nyai Permana, ibu
Nyai Gumpara, pemimpin perlawan tahun 1836. Pada 24 Pebruari 1850,
Raden Bagus Jayakarta, patih Serang, mencetuskan perlawanan dan
menewaskan Demang Cilegon beserta stafnya. Raden Bagus Jayakarta
didukung oleh pemuda-pemuda antara lain Tubagus Iskak, Mas Derik, Haji
Wakhia, dan Penghulu Dempol. Di Lampung, banyak orang Banten yang
melarikan diri dari Banten untuk menghindar dari pengejaran kaum penjajah
atau untuk mengelak dari penindasan para pejabat. Salah seorang daripadanya
adalah orang kaya H. Wakhia dari Budang Batu yang dikejar-kejar polisi yang
bersembunyi di Lampung kemudian menuju Mekkah untuk menunaikan
ibadah haji. Pada tahun 1847 ia kembali ke desanya. Lagi-lagi ia tidak mau
membayar pajak. Ia dipanggil residen, tapi tidak mengindahkannya. H.
Wakhia turut serta dalam merencanakan perlawanan dan seruan H. Wakhia
yang dibantu oleh Penghulu Dempol untuk melancarkan Perang Sabil
disambut dengan semangat dan menyala-nyala. H. Wakhia dan penghulu
Dempol mengambil posisi di sebelah barat bukit-bukit Simari Kangen,
kelompok yang dipimpin Mas Derik dan Nasid berada di pegunungan sebelah
timur Pulau Merak, sedangkan Tubagus Ishak dan Mas Diad dan pasukannya
beroperasi di distrik Banten. R.B. Jayakarta, pengambil inisiatif berada di
belakang layar. Lebih kurang tiga bulan lamanya pasukan-pasukan rakyat
maju mundur diselingi serangan-serangan sporadik terhadap kota-kota kecil
dan desa seperti Tanjak dan Anyer. Dalam menghadapi pasukan kolonial pada
tanggal 3 Mei 1850 di Tegalpapak mereka mengalami kekalahan dan beberapa
pemimpin mereka ditawan. H. Wakhia dan Tubagus Ishak berhasil meloloskan
diri ke Lampung dan di daerah ini ia kembali ikut perlawanan terhadap
penjajah Belanda yang dilancarkan Raden Intan dan Pangeran Singabranta. H.
Wakhia akhirnya ditangkap dan dihukum mati. Anak dan isterinya menetap di
desa asal H. Wakhia yang kemudian dikenal dengan nama Arjawinangun. Di
tempat ini mereka sangat dihormati.
Antara tahun 1851 sampai 1871 masih sering terjadi perlawanan bersenjata,
seperti peristiwa Usup di tahun 1851, peristiwa Pungut di tahun 1852,
kerusuhan di Kolelet di tahun 1866 dan kasus Jayakusuma di tahun 1869. Dari

16
rentetan perlawanan bersenjata rakyat Banten terhadap kolonial Belanda sejak
awal abad XIX, perlawanan bersenjata yang sangat besar adalah yang terjadi
pada 9 Juli tahun 1888 yang dipimpin oleh K.H. Wasyid. Tengku Ibrahim
Alfian merasa perlu menjelaskan ini secara komprehensif mengingat begitu
dahsyatnya keadaan Banten baik sebelum, saat terjadinya peristiwa, dan
sesudahnya. 14

5. KERAJAAN CIREBON

Cirebon zaman Belanda dibagi menjadi dua periode yang pertama zaman kompeni
dari tahun 1681 hingga berakhir 1799. Kemudian dilanjutkan periode kedua yakni
zaman Hindia Belanda dari tahun 1808 dan berakhir tahun 1942. Pengaruh Belanda di
Cirebon awalnya hanya sebatas perdagangan antara VOC dengan pelabuhan Cirebon,
atau saling membantu antara kerajaan Cirebon dan Kompeni. Pengaruh kekuasaan
Belanda mulai terasa ketika ikut campurnya Belanda dalam masalah internal yang
dihadapi kesultanan Cirebon yang pada saat itu sedang beradu pendapat tentang batas
wilayah kekuasaan masing-masing. Kompeni makin mantap menancapkan
kekuasannya ketika Sultan Sepuh I meminta perlindungan kepada Kompeni dan
sultan Anom I meminta perlindungan kepada Banten.

Datangnya Kompeni memberikan peran atau sentuhan sebagai pengadem suasana


kisruh dan pelindung kesultanan Cirebon dengan cara menjadi penengah antara 3
putra panembahan ratu II tersebut, dengan cara membuat perjanjian yang bertujuan
membagi batas wilayah kekuasaan dan tentu saja kompeni menaruh beberapa
keuntungan dalam perjanjian tersebut. Permintaan perlindungan Kesultanan Cirebon
terhadap kompeni juga didasari rasa ingin balas dendam kepada Mataram yang sudah
menahan panembahan ratu II dan pangeran. Akhirnya dilaksanakan sebuah perjanjian
pada tanggal 7 januari 1681 yang dihadiri oleh 3 putra dan enam pejabat tinggi
kesultanan Cirebon (raksanegara, Anggaderaksa, Purbanegara, Anggadeprana,
Anggaraksa, Nayapati) dan juga wakil komisrais VOC yakni Jochem Michielse dan
Jacob Van Dyck.

Jika dilihat isi perjanjian lebih banyak menguntungkan kompeni daripada kesultanan
Cirebon dan juga perjanjian ini tidak dapat menyelesaikan masalah yang tadinya ingin
diselesaikan karena isi perjanjian tersebut lebih mengarah kepada keuntungan
Kompeni. Isi perjanjian itu antara lain: Cirebon adalah daerah protektorat kompeni,
Sultan Cirebon tidak boleh memperkuat pertahanan didaerah perbatasan dan
sepanjang pantai tanpa izin kompeni, kompeni berhak membangun benteng (loji) di
Cirebon. Keikut campuran kompeni didalam kesultanan menjadikan Cirebon tidak
berdaya karena semuanya diatur oleh Kompeni. Kompeni semakin berkuasa di
Cirebon dengan dibangunya sebuah benteng atas usulan Francois Tack kepada
Gubernur jenderal kompeni yakni J. Camphujis pada tahun 1686.

14
Parlindungan Siregar (2017) “Perjuangan Rakyat Banten Melawan Belanda : Studi Tentang K.H
Wasyid”,Buletin Al-Turas.Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya dan Agama.VOL XXIII NO.1.Januari 2017

17
Benteng tersebut digunakan sebagai tempat tinggal para kompeni dan kantor residen.
Benteng tersebut bernama De Fortrese de Bescherming (benteng perlindungan)
dengan menggunakan bahan bangunan dari runtuhan pagar tembok keliling kota yang
dibangun panembahan senopati. Disisi lain didalam pemerintahan kesultanan masih
terjadi kegaduhan soal wilayah kekuasaan, akhirnya perjanjian tersebut di refisi oleh
kompeni pada tanggal 8 September 1688. Perjanjian tersebut berisi hal-hal yang harus
dipatuhi oleh pihak Cirebon dan menyangkut kedudukanya, wewenang dan peranan
sultan sepuh, sultan Anom dan panembahan Cirebon.
Pada tahun 1697, sultan sepuh I mangkat dan meninggalkan dua putra yang bernama
pangeran dipati Anom dan Aria Diwijaya. Kegaduhan kembali terjadi ketika kedua
putra tersebut memperbutkan tahta satu sama lain. Akhirnya kompeni kembali hadir
sebagai penengah dengan dipecahnya kesultanan kesepuhan menjadi kesepuhan dan
kacirebonan dengan dibuatnya perjanjian yang dibuat di Batavia. Pangeran dipati
Anom bergelar Sultan Raja Tajularifin dengan sebutan sultan sepuh II (1697-1724)
dan Pangeran Aria Adiwijaya dengan gelar pangeran Aria Cirebon (1697-1723).
Keikut campuran kompeni terus berlangsung hingga sultan Anom IV, masa ini
Kompeni sangat licik. Kompeni sesuka hati memilih siapa yang dia izinkan menjadi
penerus dan putra mahkota belum tentu menjadi sultan. Kerancuan pemerintahan
tersebut membuat rakyat geram dan memberontak, selain itu kompeni juga membuat
rakyat Cirebon kelaparan, terserang wabah penyakit, dan pada emigrasi, dan juga
tanah-tanah milik pribumi disewakan ke Cina membuat rakyat Cirebon marah hingga
akhirnya memberontak, namun VOC sudah kehilangan kekuatan dan hancur pada 31
Desmber 1799.
Pada masa kehancuran VOC di Cirebon bergolak pemberontakan demi
pemberontakan yang digagas oleh beberapa tokoh dari kalangan pangeran maupun
ulama, meskipun begitu pada tahun 1806 terjadi perdamaian antara kompeni dan
pribumi dengan berhenti mengeksploitasi ekonomi dan tidak ikut campur kepada
kesultanan Cirebon.

18
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Ketika kekuasaan raja Demak jatuh pada paruh kedua abad ke-16, kesetiaan orang
Jawa terhadap orang-orang suci yang sudah lama berakar tetap berlanjut dan
menjadikan Demak sebagai pusat kehidupan beragama di Jawa Tengah. Sebelum
memasuki abad ke-16, Demak merupakan bagian dari kekuasaan kerajaaan Majapahit
yang beragama Hindu, tetapi wilayah kerajaan ini mulai kehilangan kontrolnya
terhadap wilayah Demak, agama Islam yang nampaknya sudah berkembang jauh
sebelum masa itu, mulai mendominasi kehidupan masyarakat Demak. Kesultanan
Pajang sebagai lanjutan dari Kesultanan Demak di Jawa. Perpindahan kekuasaannya
tidak terlepas dari konflik kalangan keluarga sehingga menyebabkan terbunuhnya
Arya Penangsang, di mana Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Arya Penangsang
melalalui sayembaranya. Di mana pada saat peralihan kekuasaaan Demak ke Pajang
tidak terlepas dari peran Senopati yang telah membantu Sultan Hadiwijaya. Salah satu
penyebab jatuhnya kerajaan Mataram Islam adalah adanya campur tangan VOC di
dalam kehidupan pemerintahannya. Intervensi VOC dimulai pada masa pemerintahan
Amangkurat I (1645-1677), putra sekaligus pengganti Sultan Agung. Sejak saat itu,
kondisi Mataram semakin tidak menentu dan mencapai pada 1755, saat terjadi
perjanjian Giyanti, yang menyebabkan kerajaan harus dibagi menjadi kasunanan
Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Awal abad ke 16, wilayah Banten masih
beragama Hindu dan masih menjadi bagian wilayah Pajajaran yang berpusat di Bogor.
Bahkan, kerajaan Pajajaran telah melakukan kesepakatan dengan Portugis. Sehingga
Portugis bisa mendirikan wilayah dagang dan benteng di Sunda Kalapa. Pada tahun
1526, Sultan Trenggono menugaskan anaknya, Fattahila untuk menaklukan wilayah
Pajajaran sekaligus memperluas Kerajaan Demak. Alhasil pasukan Fatahilla berhasil
merebut pelabuhan Sunda Kalapa pada tanggal 22 Juni 1527. Dari situ lah, nama
Sunda Kalapa diganti dengan Jayakarta yang berarti Ibu Kota Kemenangan. Pada
masa pemerintahan VOC para bupati masih memiliki kekuasaan di daerah daerah.
Namun pada masa pemerintahan Deandels kekuasaannya banyak dikurangi, sehingga
para bupati dan bawahannya tidak lebih dari pelaksana tugas bagi pemerintah. Dalam

19
pandangan Deandels bupati itu masih diperlukan, karena mereka dijadikan pegawai-
pegawai pemerintah Belanda dan mereka masih berada dibawah perfect. Daendels
juga mengatur jabatan ketiga sultan Cirebon. Dalam peraturan yang dikeluarkan,
Daendels menghapus kekuasaaan politik kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan
Kacirebonan, serta ketiga sultan dijadikan pegawai pemerintah Kolonial Hindia
Belanda. Fungsi sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh bupati yang diangkat
oleh Gubernur Jenderal. Para bupati diberi pangkat serta kedudukan sesuai dengan
ketentuan kepegawaian pemerintah Belanda.

DAFTAR PUSTAKA

Marwati DjoenedPoesponegoro, et.al, Sejarah Nasional Indonesia, jilid III (Jakarta:


Balai Pustaka, 1984), 353

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, terj. Tim Penerjemah


Serambi (Jakarta: Serambi, 2007), 72.

Siti Maria Ulfah, “Perlawanan Banten Terhadap Belanda”, Fakultas Ushuluddin dan
Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Parlindungan Siregar (2017) “Perjuangan Rakyat Banten Melawan Belanda: Studi


Tentang K.H Wasyid”, Buletin Al-Turas.Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya dan
Agama.VOL XXIII NO.1.Januari 2017

Islamiati Rahayu (2016) “Strategi-Strategi Perlawanan Rakyat Cirebon Dalam


Perang Kedongdong Tahun 1802-1818M 0”, Tamaddun Vol 4 Edisi 1 Januari 2016,
IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Heni Rosita (2015) “Pecahnya Kesultanan Cirebon Dan Pengaruhnya Terhadap


Masyarakat Cirebon Tahun 1677-1752”, Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negri Yogyakarta.

Heni Purnaningsih, Agus Mulyana (2017)” Perlawanan Bagus Rangin,Perang


Nasional Yang Terlupakan “FACTUM,Vol 6 No.1,April 2017

20

Anda mungkin juga menyukai