Anda di halaman 1dari 7

TIGA GOLONGAN YANG TIDAK DIAJAK BICARA OLEH

ALLAH DI AKHIRAT

Senin, 20 Juni 11

Dari Shahabat Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu


berkata:”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:

،‫ﺛﻼﺛﺔ ﻻ ﻳ ﻠﻤﻬﻢ اﻟ ﻪ وﻻ ﻳﺰﻛﻴﻬﻢ وﻟﻬﻢ ﻋﺬاب أﻟﻴﻢ ؛ أﺷﻴﻤﻂ زان‬


‫ ورﺟﻞ ﺟﻌﻞ اﻟ ﻪ ﺑﻀﺎﻋﺘﻪ ﻻ ﻳﺸﺘﺮي إﻻ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ‬،‫وﻋﺎﺋﻞ ﻣﺴﺘﻜﺒﺮ‬
.‫وﻻ ﻳﺒﻴﻊ إﻟ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ رواه اﻟﻄﺒﺮاﻧ ﺑﺴﻨﺪ ﺻﺤﻴﺢ‬

“Tiga golongan yang tidak diajak bicara oleh Allah (pada


hari kiamat) dan tidak disucikan-Nya dan bagi mereka
adzab yang pedih ( yaitu); orang yang sudah beruban (tua)
yang berzina, orang miskin yang sombong, dan orang
yang menjadikan Allah sebagai barang dagangannya, ia
tidak membeli kecuali dengan bersumpah (dengan nama-
Nya) dan tidaklah ia menjual kecuali dengan bersumpah
(dengan nama-Nya)” (HR. Thabrani dengan sanad yang
shahih).

Penyebutan kata tiga golongan dalam hadits ini bukanlah


pembatasan, akan tetapi ia hanyalah penjelasan terhadap
orang-orang yang terkandung dalam hadits, karena telah
datang ancaman yang serupa untuk orang-orang selain
yang disebutkan dalam hadits di atas. Maka dari sini kita
memahami bahwa jumlah-jumlah dalam konteks kata
seperti ini tidak memiliki mafhum, maksudnya tidak
menunjukkan sebuah pembatasan, yakni pembatasan
bahwa hukuman itu hanya berlaku untuk tiga golongan ini
saja dan menafikaannya dari selain ketiganya. Akan
tetapi, di dalam hadits-hadits lain ada tambahan tentang
orang-orang yang berhak mendapatkan ancaman yang
serupa dengan yang ada dalam hadits di atas.

Sabda beliau:((‫ ))ﺛﻼﺛﺔ ﻻ ﯾﻜﻠﻤﮭﻢ ﷲ‬Maksudnya, bahwa Allah


‘Azza wa Jalla mengadzab mereka pada hari Kiamat
dengan tidak mengajak bicara mereka. Hal ini
menunjukkan bahwa Allah tidak meridhoi mereka, dan
bahwasanya amalan yang berkonskwensi pada hukuman
yang seperti ini (tidak diajak bicara oleh Allah)
merupakan perbuatan yang diharamkan, karena hukuman
ini adalah ancaman di Akhirat dan perbuatan ini salah satu
dosa besar.

Sabda beliau:((‫( ))ﻻ ﯾﻜﻠﻤﮭﻢ ﷲ‬Allah tidak berbicara kepada


mereka), dan pembicaraan yang dinafikan (ditiadakan)
dalam hadits ini adalah pembicaraan yang menunjukkan
kasih sayang (kalamur rahmah), dan kebaikan. Bukan
peniadaan pembicaraan sama sekali, karena tidak ada
seorang pun pada hari Kiamat melainkan akan diajak
bicara oleh Allah, dan tidak ada penterjemah antara dia
dengan Allah, sekalipun dia adalah orang kafir. Akan
tetapi pembicaraan Allah dengan mereka (orang kafir)
adalah pembicaraan yang bersifat intimidasi, penghinaan,
penjelasan nikmat Allah kepada mereka dan
pengingkaran-Nya kepada mereka, maka ini adalah
pembicaraan adzab (yang mengandung siksaan).

Sabda beliau:((‫ ))وﻻ ﯾﺰﻛﯿﮭﻢ‬maksudnya mereka tidak dipuji


oleh Allah, dan tidak disucikan dari dosa, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan
hafizhahullah. Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa makna
sabda beliau ini adalah bahwa Allah tidak memberikan
rekomendasi dan pengakuan terhadap mereka, dan tidak
ada juga yang bersaksi atas keimanan mereka disebabkan
apa yang mereka kerjakan berupa perbuatan yang keji ini
(yang disebutkan dalam hadits).

Sabda beliau:((‫( ))وﻟﮭﻢ ﻋﺬاب أﻟﯿﻢ‬bagi mereka adzab yang


pedih) maksudnya, mereka berhak mendapatkan azab
(siksa) yang menyakitkan.

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mulai


menyebutkan siapa mereka, beliau bersabda: ((‫))أُﺷَﯿ ِﻤﻂ زان‬
ini adalah bentuk tasghir (pengecilan) dari kata ‫أﺷﻤﻂ‬yang
artinya bercampurnya rambut hitam dengan uban. Dan
yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang yang berusia
lanjut namun terjatuh dalam perbuatan zina. Inilah makna
sabda beliau ((‫))أُﺷَﯿ ِﻤﻂ زان‬. oleh sebab itu di sebagian
riwayat disebutkan ((‫زان‬
ٍ ‫ﺷﯿﺦ‬ٌ ‫ ))ﻛﺒﯿ ٌﺮ‬. Karena dorongan zina
pada orang ini kecil, berbeda dengan dorongan zina pada
para pemuda, oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala
memberikan hukuman ini pada orang tua yang berzina.
Dikarenakan kecilnya dorongan untuk berbuat maksiat
pada diri, maka jatuhnya dia pada kemaksiatan ini
menunjukkan kerusakan jiwanya dan telah bercokolnya
kemaksiatan pada dirinya.

Sabda beliau:((‫ ))وﻋﺎﺋﻞ ﻣﺴﺘﻜﺒﺮ‬kata ((‫ ))ﻋﺎﺋﻞ‬maksudnya


adalah orang yang memiliki tanggungan untuk dinafkahi,
atau ia adalah orang yang fakir (miskin) sekalipun tidak
memiliki tanggungan yang harus dinafkahi. ((‫))ﻣﺴﺘﻜﺒﺮ‬
(menyombongkan diri) beliau tidak mengatakan ‫ﻣﺘﻜﺒﱢﺮ‬
(sombong), karena orang yang miskin bukanlah orang
yang pantas berlaku sombong, karena pada asalnya orang
yang fakir, yang tidak memiliki harta untuk memenuhi
kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya kondisinya
terhina. Maka jika ada orang miskin/fakir memiliki
perilaku seperti ini (menyombongkan diri), hal itu
menunjukkan rusaknya orang tersebut. Karena
kesombongan adalah perilaku yang dibuat-buat
bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia pada setiap keadaan, maka bagaimana jika orang
tersebut adalah orang yang membutuhkan, di tangannya
tidak ada sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhannya?
Maka rasa rendah dan terhina lebih pantas ditunjukkan,
bukan sebaliknya, yaitu dengan menombongkan diri.
Dan hakekat kesombongan adalah menolak kebenaran dan
merendahkan/menghinakan manusia, sebagaimana sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

: ‫ ﻓﻘﺎل رﺟﻞ‬، ‫ﻻﻳﺪﺧﻞ اﻟﺠﻨّﺔﻣﻦ ﻛﺎن ﻓ ﻗﻠﺒﻪ ﻣﺜﻘﺎل ذرةﻣﻦ ﻛﺒﺮ‬


‫ن اﻟ ﻪ‬
ّ ‫ ا‬: ‫ ﻗﺎل‬، ‫انّ اﻟﺮﺟﻞ ﻳﺤﺐ ان ﻳ ﻮن ﺛﻮﺑﻪ ﺣﺴﻨﺎوﻧﻌﻠﻪ ﺣﺴﻨﺔ‬
‫ ﺑﻄﺮاﻟﺤﻖ وﻏﻤﻂ اﻟﻨّﺎس )رواه‬: ‫ اﻟ ﺒﺮ‬. ‫ﺟﻤﻴﻞ ﻳﺤﺐ اﻟﺠﻤﺎل‬
;(‫ﻣﺴﻠﻢ‬

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada


sebesar dzarrah dari kesombongan.” Salah seorang
shahabat lantas bertanya: “Sesungguhnya seseorang
senang jika bajunya bagus dan sandalnya baik?” Maka
beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Dzat yang Maha
Indah dan senang dengan keindahan, Al-Kibru (sombong)
adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”
(HR Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Iman, Bab:
Tahrimul Kibri wa Bayanuhu)

Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: (( ‫ورﺟﻞ ﺟﻌﻞ ﷲ‬


‫ ))ﺑﻀﺎﻋﺘﮫ‬yakni seseorang yang menjadikan Allah
Subhanahu wa Ta'ala sebagai komoditi dagangannya,
karena dia membeli sesuatu yang rendah dengan sesuatu
yang lebih baik. Dia mengambil sesuatu yang rendah,
yaitu mata pencahariaan dan harga barang yang dia
dapatkan di dunia dan menggantinya dengan yang lebih
baik, yaitu Akhirat dan kenikmatan-kenikmatan yang ada
di dalamnya. Yang mana dia memalsu dan menipu, lalu
menjadikan Allah sebagai barang dagangan. Maksudnya,
dia menjual Allah Subhanahu wa Ta'ala –Mahasuci Allah
dari tindakan mereka itu- untuk mendapatkan harta dan
keuntungan di dunia. Inilah maksud sabda beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam:

((‫))ورﺟﻞ ﺟﻌﻞ اﻟ ﻪ ﺑﻀﺎﻋﺘﻪ‬

”Dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang


dagangannya.”

Yaitu orang yang bersumpah ketika menjual dan membeli,


dalam rangka meyakinkan barang dagangan yang ada di
tangannya, padahal ia berdusta.

Sabda beliau:

.((‫))ﻻ ﻳﺸﺘﺮي إﻻ ﺑِﻴﻤﻴﻨﻪ وﻻ ﻳﺒﻴﻊ إﻻ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ‬

”Ia tidak membeli kecuali dengan bersumpah (dengan


nama-Nya) dan tidaklah ia menjual kecuali dengan
bersumpah.”

Maksudnya, tidak membeli kecuali dengan sumpah, dan


tidaklah ia menjual kecuali dengan sumpah. Dan ini
menunjukkan rendahnya rasa pengagungan kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam dirinya. Seandainya saja dia
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang
sebenarnya, niscaya dia akan menjaga sumpah (tidak
banyak bersumpah) dan tidak menjadikan Allah sebagai
barang dagangannya.

Faidah dari hadits di atas:

1. Peringatan dari banyak bersumpah dalam berjual beli,


dan anjuran untuk menghargai/mengormati sumpah dan
memuliakan nama Allah Subhanahu wa Ta'ala.

2. Penetapan sifat Kalam (berbicara) bagi Allah, dan


sesungguhnya Dia berbicara dengan hamba yang taat
kepada-Nya.

3. Peringatan dari berbuat zina terlebih lagi untuk orang


yang sudah berusia lanjut.

4. Peringatan dari berbuat sombong terlebih lagi untuk


orang yang faqir.

(Sumber:Syarh Kitab Tauhid karya Syaikh Dr. Khalid


bin ‘Abdullah Al-Mushlih, dengan tambahan dari al-
Qoulul Al-Mufid dan al-Mulakhash fii Syarh Kitabit
Tauhid. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf
Sujono)

Anda mungkin juga menyukai